NovelToon NovelToon

PESONA PENGANTIN PENGGANTIKU

Bab 1 Terpaksa menyetujui

Malam yang gelap di temani bintang, suasana di Bali saat itu cukup syahdu. Katrine mengajak Ferdinan untuk ke kamar. Bahkan dengan brutal, Katrine meraup dan melumat bibir Ferdinan dan mereka melewati malam panjang dengan aktivitas panas dan int**.

"Honey..." Katrine kekasih Ferdinan meracau . Disela-sela aktivitas pa**s mereka.

Demi seolah-olah Ferdinan Honeymoon bersama sang istri yang tak dia inginkan, Ferdinan mengajak Katrine kekasihnya untuk ikut bulan madu. Sementara istri sahnya tidur di kamar terpisah.

Alzena menutup telinganya karena suara desah**, yang terdengar sangat nyaring membuat tubuhnya ikut meremang, mendengarnya. "Apakah ini yang harus aku alami ... ,Ya Allah kuatkan aku dalam menghadapi cobaan ini!"Alzena berdoa dalam kegelisahannya mendengar suara lak**t tersebut. "Sungguh, tega sekali dia menyakitiku seperti ini."lirih Alzena.

Alzena menutupi telinganya dengan bantal. Hingga dia akhirnya memejamkan matanya.

Alzena merupakan pengantin pengganti, menggantikan sepupunya Kaira yang kabur ke luar negeri mengejar karinya.

Beberapa waktu sebelumnya....

Di sebuah gedung megah yang gemerlap oleh lampu-lampu warna-warni, acara fashion show tahunan digelar dengan meriah. Para model profesional, desainer, dan tamu undangan berkelas dari berbagai negara hadir, memenuhi ruangan dengan suasana yang elegan dan eksklusif. Di atas catwalk, Kaira tampil anggun dan penuh percaya diri.

Tubuh rampingnya bergerak luwes, tatapan matanya tajam, penuh dengan aura percaya diri yang memikat. Dengan gaun berpotongan indah yang memeluk tubuhnya, Kaira terlihat bagaikan model internasional yang telah lama menaklukkan panggung dunia.

Di antara gemuruh tepuk tangan penonton dan sorotan kamera yang terus mengikutinya, Kaira menyadari impiannya yang besar untuk menjadi model internasional semakin mendekati kenyataan.

Dia telah berlatih keras selama bertahun-tahun, meniti karier dari bawah, dan sekarang kesempatan itu akhirnya tiba. Setelah selesai berjalan di atas panggung, dia kembali ke belakang panggung, disambut hangat oleh teman-teman sesama model yang memberikan selamat atas penampilannya yang sempurna.

"Ka, kamu benar-benar luar biasa!" seru salah seorang temannya, Mia, sambil memeluknya. "Aku yakin setelah ini, kariermu akan semakin melesat!"

"Semoga saja ,"ucap Kaira sambil tersenyum.

Kaira tersenyum sambil menata napasnya yang masih tersisa sedikit dari penampilannya tadi. Namun, sesaat kemudian, sang manajer datang mendekat dengan wajah penuh antusias. "Kaira, kabar baik! Pihak sponsor menyukai penampilanmu, dan mereka menawarkanmu untuk tampil di Paris Fashion Week!" ucapnya penuh semangat.

Kaira tercengang sejenak. Paris Fashion Week—impian terbesar setiap model, termasuk dirinya! Ini adalah kesempatan emas yang tidak mungkin datang dua kali. Namun, hatinya mendadak dilanda kebingungan. Satu minggu lagi, seharusnya dia melangsungkan pernikahan dengan pria pilihan keluarganya, Ferdinan, seorang pengusaha muda kaya yang diharapkan mampu memberi kehidupan yang lebih baik bagi Kaira.

Kaira menarik napas panjang, berpikir keras di tengah hiruk-pikuk suasana belakang panggung. "Tapi… pernikahanku," gumamnya pelan.

Manajernya menatap Kaira dengan serius. "Ini adalah kesempatan yang besar, Kaira. Paris akan membuka jalan untukmu menjadi model internasional. Kalau kau melewatkannya, mungkin ini tidak akan datang lagi," ujar manajernya.

Pikirannya berputar cepat. Sejak kecil, menjadi model internasional adalah impian terbesarnya. Paris adalah pusat dunia fashion, dan kesempatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Di sisi lain, pernikahan itu bukan hanya soal dirinya. Biaya besar sudah dikeluarkan untuk gedung, jasa Event Organizer, serta undangan yang disebar kepada tamu-tamu penting dari kalangan pengusaha dan keluarga besar Ferdinan. Orangtuanya sudah memastikan segalanya sempurna, dan jika dia membatalkannya, bukan hanya keluarganya yang kecewa, tapi juga pihak Ferdinan.

Akhirnya, dengan tekad yang bulat, Kaira memberanikan diri mengungkapkan keinginannya kepada orangtuanya. Malam itu, saat pulang ke rumah, dia berbicara dengan penuh harap kepada kedua orangtuanya.

"Papa, Mama… Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting. Aku baru saja ditawari untuk tampil di Paris Fashion Week," ucap Kaira hati-hati. "Ini adalah impian terbesarku, kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi."

Wajah kedua orangtuanya berubah muram, terutama ayahnya yang terlihat sangat kecewa. "Kaira, kau tahu pernikahan ini sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Pihak Ferdinan sudah mengundang banyak tamu. Gedung, EO, semuanya sudah terikat kontrak. Ini bukan hanya soal kita, tetapi juga soal keluarga mereka."

"Tapi, Pa, Ma… Paris adalah kesempatan yang akan mengubah hidupku," kata Kaira memohon. "Bisakah kita menunda pernikahan hanya sedikit waktu saja?"

Ayahnya menggeleng pelan, tatapannya penuh kebimbangan. "Jika pernikahan ini ditunda, kita akan menanggung biaya kompensasi yang besar, belum lagi reputasi keluarga kita di mata Ferdinan dan keluarganya."

Ibunya berpikir sejenak, kemudian memandang Kaira dengan mata penuh pengertian.

"Jika memang kau ingin mengejar mimpimu, Kaira, ada satu solusi," ujarnya perlahan. "Alzena, sepupumu yang tinggal bersama kita… mungkin dia bisa menggantikanmu. Tentu saja, jika dia bersedia."

Kaira terdiam sejenak, memikirkan usulan itu. Alzena adalah sepupu yang selama ini sangat dekat dengannya. Mereka hampir seperti saudara, tinggal satu atap, dan memiliki hubungan yang sangat akrab. Meskipun Alzena tidak pernah terlibat dalam dunia modeling atau pergaulan sosial tingkat atas, dia adalah gadis yang lembut dan penurut.

Keesokan harinya, dengan hati berdebar, Kaira berbicara pada Alzena. "Zena… aku tahu ini permintaan yang tidak biasa. Tapi aku memerlukan bantuanmu. Aku ingin kau menggantikan aku dalam pernikahan ini."

Saat Kaira mengutarakan rencananya kepada Alzena, wajah Alzena berubah pucat. Tangan Kaira menggenggam tangan sepupunya itu dengan penuh harap, namun Alzena tetap merasa cemas dan ragu.

"Bagaimana mungkin aku bisa tiba-tiba menggantikan posisimu sebagai pengantin, Kaira? Ini terlalu mendadak dan… tidak masuk akal," ucap Alzena dengan suara bergetar. "Bagaimana kalau pria itu marah ketika tahu aku bukan dirimu? Bagaimana kalau dia menuntutku atau bahkan keluargamu?"

Kaira menggigit bibirnya, berusaha menyusun kata-kata. "Zena, aku tahu ini permintaan yang sangat sulit. Tapi tolong, ini adalah satu-satunya jalan agar aku bisa ke Paris. Aku tahu ini egois, tapi hanya kau yang bisa aku percaya untuk menggantikanku."

Alzena terdiam. Dia menyayangi Kaira, tapi keputusan sebesar ini tidak mudah baginya. Dia merasa seperti berada di persimpangan yang sulit. Seandainya orang tua Kaira tahu, pasti mereka tidak akan menyetujui gagasan ini. Terlebih, Alzena tahu bahwa Ferdinan, pria yang akan dinikahi Kaira, adalah sosok yang berasal dari keluarga terpandang, kaya, dan berpengaruh. Bagaimana jika ia kecewa? Bagaimana jika akhirnya pernikahan ini berujung pada masalah besar?

"Aku... aku tidak tahu, Kaira," Alzena akhirnya berkata dengan nada penuh keraguan. "Bagaimana jika keluargamu kecewa? Atau bahkan keluarga pria itu?"

Kaira menarik napas dalam, memegang kedua pundak Alzena dengan lembut.

"Zena, kita sama-sama tahu bahwa kau sebenarnya memiliki kecantikan yang tidak kalah dariku. Kau memang tidak suka berdandan dan memilih berpakaian sederhana, tapi kau jauh lebih cantik dariku secara alami. Aku sudah mengatur semuanya. Aku hanya butuh kau untuk satu hari, dan setelah itu, aku akan kembali. Kalau kau mau, kita bisa melakukan ini tanpa sepengetahuan orangtuaku."

Alzena tertunduk, pikirannya berkecamuk. Kaira selalu tampil memukau karena pandai merias diri dan membawa diri di depan orang-orang. Tubuhnya ramping dan tinggi, sementara Alzena meski tak kalah ramping, selalu memilih gaya sederhana, tidak suka menonjolkan diri. Tapi di balik itu, Kaira tahu Alzena sebenarnya sangat anggun dan memiliki kecantikan yang alami.

Setelah beberapa saat berpikir dalam-dalam, Alzena akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, Kaira. Aku akan mencoba menggantikanmu… meskipun aku tidak yakin bisa."

Kaira tersenyum lega dan memeluk Alzena erat-erat. "Terima kasih, Zena. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu ini. Aku janji akan segera kembali begitu urusanku selesai di Paris."

Mereka pun bersepakat, diam-diam dan tanpa sepengetahuan orangtua Kaira. Mereka menyusun rencana dengan hati-hati, menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk hari pernikahan yang semakin dekat. Kaira membantu Alzena belajar untuk tampil percaya diri dan mengenakan busana serta riasan ala pengantin. Alzena merasa sangat canggung, tapi demi membantu Kaira mewujudkan mimpinya, ia berusaha sekuat mungkin.

Akhirnya, hari pernikahan pun tiba. Alzena berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin yang indah, wajahnya dirias dengan sempurna oleh penata rias yang disewa khusus oleh keluarga Kaira. Dia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. Dia terlihat bagaikan seorang putri yang anggun, namun di hatinya masih tersimpan kekhawatiran dan keraguan besar tentang apa yang akan terjadi setelahnya.

Dengan langkah penuh harap dan sedikit gemetar, Alzena bersiap untuk menjalani hari yang akan mengubah hidupnya selamanya. Dalam benaknya, dia terus berdoa agar semua berjalan lancar, dan bahwa Ferdinan tidak akan menyadari bahwa pengantin yang berdiri di sampingnya nanti bukanlah Kaira, melainkan dirinya, Alzena.

Pov Ferdinan

Dia seorang CEO muda dan untuk menunjang jabatannya sang kakek menuntut dia untuk menikah. Karena kekasih seorang aktris terkenal dan sedang terikat kontrak ekskkusif dengan Production house selama 2 tahun. Sehingga kekasihnya tak mau menikah dengannya. Sang kakek tidak setuju Ferdinan menikah dengan katrine karena rekam jejak Katrine yang sering bermain film adegan dewasa.

Ferdinan menurut pada sang Kakek mau dinikahkan dengan Kaira. Yang bahkan belum pernah dia temui.

Bagaimana kisahnya ? Apakah Ferdinan akan menerima Alzena ?

bersambung....

Bab 2 Terpaksa Menikah

Hari pernikahan itu tiba, namun suasana terasa begitu canggung. Saat Alzena melangkah menuju pelaminan dengan gaun pengantin, hatinya berdebar-debar. Dia melihat Ferdinan berdiri dia pelaminan, seorang pria tampan dengan tatapan dingin yang mengisyaratkan rasa tidak tertarik.

Begitu tiba di sampingnya, Ferdinan bahkan enggan untuk menatap Alzena. Dia berdiri kaku, tidak sedikit pun menunjukkan ketertarikan atau kehangatan.

Ketika penghulu memintanya untuk memegang tangan Alzena, Ferdinan ragu-ragu sejenak, lalu dengan singkat menyentuh tangan Alzena hanya untuk menyelesaikan prosesi. Namun, dari caranya memegang tangan, Alzena tahu bahwa bagi Ferdinan, pernikahan ini tidak lebih dari sebuah kewajiban yang harus dijalani, sesuatu yang diatur oleh sang kakek dan bukan atas kehendaknya sendiri.

Alzena merasakan kekecewaan mendalam. Pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa kosong dan dingin. Dia menyadari sejak awal bahwa ini bukanlah pernikahan atas dasar cinta, namun ia tak menduga Ferdinan akan bersikap sejauh ini acuh tak acuh. Meskipun begitu, ia mencoba tegar, menampilkan senyuman yang tenang di depan tamu-tamu yang hadir.

Orangtua Kaira, yang baru mengetahui bahwa putri mereka telah terbang ke Paris tepat sehari sebelum pernikahan, terlihat sangat terpukul. Mereka merasa dikhianati oleh keputusan Kaira yang meninggalkan kewajiban ini tanpa penjelasan, namun tidak punya pilihan selain melanjutkan acara. Mereka berusaha menjaga sikap, agar tidak mempermalukan keluarga di depan keluarga besar Ferdinan dan para tamu undangan yang sudah datang.

Di sisi lain, kakek Ferdinan dan ibunya tidak mempermasalahkan pergantian mempelai ini. Sang kakek, seorang pria tua yang tegas dan berwibawa, memandang Alzena dengan penuh rasa kagum. Kecantikan Alzena yang anggun dan alami justru membuat sang kakek merasa beruntung. Baginya, yang terpenting adalah Ferdinan menikah dengan gadis dari keluarga baik-baik, tidak peduli siapa yang berdiri di samping cucunya hari itu.

Setelah prosesi pernikahan selesai, resepsi berlangsung dengan cukup meriah, meskipun tanpa antusiasme dari Ferdinan. Dia menjaga jarak dari Alzena, hanya berinteraksi jika benar-benar diperlukan. Banyak tamu yang memperhatikan sikapnya, dan beberapa bahkan membisikkan bahwa mungkin ada masalah di antara kedua pengantin baru ini. Namun, Alzena mencoba menutupi perasaan canggungnya, tersenyum dan bersikap ramah kepada para tamu yang mengucapkan selamat.

Saat pesta usai dan mereka kembali ke kamar hotel yang sudah disiapkan, Ferdinan langsung masuk tanpa menunggu Alzena, dan duduk di sofa sambil melepas dasinya dengan kasar. Wajahnya tampak muram dan penuh kekecewaan. Alzena hanya berdiri di pintu, tidak berani mendekat.

"Aku tidak tahu apa rencanamu dan Kaira dengan semua ini," kata Ferdinan dingin tanpa menatap Alzena. "Tapi aku berharap kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menerima pernikahan ini sebagai sesuatu yang nyata."

Alzena menunduk, hatinya terasa perih mendengar ucapan itu. "Maafkan aku… Aku tidak bermaksud menggantikan posisi Kaira. Hanya saja… keadaan memaksaku untuk melakukannya."

Ferdinan akhirnya menatapnya, meskipun tatapannya masih dingin. "Seharusnya kalian bisa memberitahuku dari awal. Bukankah ini jelas-jelas sebuah tipuan?"

"Tidak ada niat untuk menipumu, Ferdinan. Kaira terpaksa meninggalkan semuanya demi mengejar impiannya. Aku hanya… aku hanya mencoba untuk membantu keluarganya agar tidak kehilangan martabat di depan keluargamu."

Ferdinan terdiam sejenak. Meskipun ia merasa marah, hatinya perlahan melunak melihat ketulusan yang terpancar dari wajah Alzena. Kecantikan Alzena memang tidak bisa dipungkiri. Tidak seperti Kaira yang selalu tampil sempurna dengan riasan dan gaya hidup yang glamor, Alzena memiliki pesona yang sederhana namun sangat memikat.

Setelah menghela napas panjang, Ferdinan bangkit berdiri dan memandang Alzena sekali lagi. "Aku tidak tahu bagaimana kita akan menjalani ini semua. Tapi satu hal yang harus kau tahu, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini, apalagi dengan segala kebohongan di dalamnya."

Alzena hanya mengangguk pelan. Dia tahu tidak ada yang mudah dalam situasi ini. "Aku mengerti. Aku juga tidak berharap banyak. Aku hanya akan berusaha menjalani apa yang bisa aku lakukan."

Dengan itu, malam pertama mereka berlalu dengan suasana penuh jarak dan keheningan. Alzena tahu ini akan menjadi pernikahan yang tidak biasa. Namun, dalam hatinya, ia bertekad untuk menjalani perannya dengan baik, apa pun yang terjadi di kemudian hari.

Alzena duduk di tepian ranjang kamar hotel, berusaha menenangkan dirinya meskipun perasaannya kacau. Pikirannya berputar-putar, berusaha memahami semua yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya. Hari ini, dia baru saja menikah dengan seorang pria yang nyaris tidak dikenalnya, dan pria itu sudah menunjukkan bahwa dia tidak menginginkan pernikahan ini sama sekali. Dengan hati yang berat, Alzena mencoba memejamkan matanya, berharap bisa beristirahat dan melupakan kekecewaan yang menyesakkan dadanya.

Sementara itu, tanpa sepengetahuan Alzena, Ferdinan keluar dari kamar hotel dengan langkah cepat dan hati yang tidak tenang. Begitu jauh dari Alzena dan semua tanggung jawab yang terpaksa dipikulnya, ia merasa lega. Hatinya hanya tertuju pada seorang wanita—Katrine, seorang aktris terkenal yang telah lama menjadi kekasihnya. Perasaan cinta Ferdinan terhadap Katrine sangat dalam. Di matanya, Katrine adalah sosok sempurna: cerdas, cantik, dan memesona. Mereka telah bersama selama beberapa tahun, berbagi mimpi, ambisi, dan segala hal yang Ferdinan yakini tidak mungkin bisa ia dapatkan dari Alzena atau dari pernikahan ini.

Begitu tiba di apartemen Katrine, Ferdinan merasakan ketenangan yang sulit dijelaskan. Katrine menyambutnya dengan senyuman lembut, seolah memahami seluruh beban yang dipikulnya. Mereka duduk berdua di ruang tamu, mengobrol dengan hangat. Katrine tahu tentang pernikahan Ferdinan dan Alzena, dan meskipun hatinya sedikit terguncang, ia tetap memilih berada di sisi Ferdinan.

“Kau baik-baik saja?” tanya Katrine, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Ferdinan mengangguk, namun tatapannya tampak lelah. “Aku merasa… bingung, Katrine. Pernikahan ini hanyalah perintah dari kakek. Aku tidak pernah menginginkannya. Tapi aku tidak bisa menolak.”

Katrine memegang tangannya, memberikan dukungan tanpa perlu banyak bicara. Bagi Ferdinan, Katrine adalah segalanya—orang yang memahami dirinya lebih dari siapa pun. Kehadiran Katrine seolah membuat dunia Ferdinan kembali tenang. Dengan perasaan yang lebih baik, mereka pun menghabiskan malam bersama, saling mencurahkan perhatian yang tak bisa ia dapatkan dari pernikahan barunya dengan Alzena.

Keesokan paginya, saat matahari mulai terbit, Ferdinan bersiap untuk kembali ke hotel. Dia memandang Katrine dengan penuh rasa cinta, menyentuh wajahnya dengan lembut. “Aku akan segera kembali. Ini hanya sementara, aku janji,” katanya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Katrine mengangguk dengan senyum tipis. “Aku percaya padamu, Ferdinan. Aku akan selalu ada untukmu.”

"See you baby," Setelah mengucapkan selamat tinggal, Ferdinan pergi dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, meski hatinya masih penuh kebimbangan. Namun, di satu sisi, ia tetap merasa enggan untuk kembali ke kehidupan yang penuh tekanan sebagai suami Alzena, seorang wanita yang tiba-tiba menggantikan sosok Kaira tanpa sepengetahuannya.

Sementara itu, Alzena terbangun pagi itu dengan hati yang hampa. Semalaman dia menunggu Ferdinan kembali ke kamar, namun tidak ada tanda-tanda kehadirannya. "Hahh, nasiiib, jadi pengantin pengganti, bahkan malam pertama sendirian di kamar ckck Zena-Zena , nasibmu sungguh malang," gumam Alzena.

Sekilas ia merasakan kesepian yang begitu dalam, menyadari bahwa meskipun secara hukum mereka suami-istri, nyatanya mereka adalah dua orang asing yang terikat oleh kepentingan keluarga. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, Ferdinan akan memberinya kesempatan untuk membuktikan dirinya.

Namun, di sudut hatinya, Alzena tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Baginya, ini bukan hanya tentang menjalani peran sebagai istri yang baik, tapi juga menghadapi perasaan Ferdinan yang sepenuhnya tertuju pada wanita lain.

"Duhh laper sekali, makan apa ... coba ini, enggak ada makanan lagi!"Alzena sambil memegang perutnya.

"Jiah... dia .. malah senang-senang lagi, di Paris. Enggak mikirin aku yang kesepian di malam pertama dan ketakutan menghadapi bule,"gumam Alzena sambil melihat foto di akun sosial media milik Kaira.

"Ting tong."Suara pintu kamar dibuka.

"Layanan kamar." Seorang pelayan hotel mengantar makanan untuk paket pengantin, semua serba berdua dan banyak hiasan lovenya .

"Iya, sebentar. "Alzena membukakan pintu.

"Permisi nona kami mengantar makanan untuk sarapan."

"Ah iya, terimakasih ya."Alzena menjawab dengan mata berbinar melihat makanan di troli yang dibawa oleh pelayan tersebut.

"Heumm, Bismillahirrohmanirrohim, makan ahh. Tapi ... ini dua porsi mending ... aku habiskan saja , lagipula dia enggak bakal datang. "Alzena menghabiskan makanan di meja tersebut.

"Tingtong."Suara pintu dibuka.

"Ah, tuan silahkan sarapan."Alzena terkejut dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Kau... makan dua porsi makanan ini?"

Bersambung...

Bab 3 . Sendiri di Malam Pengantin

Pagi itu, Ferdinan melangkah masuk ke kamar hotel dengan wajah lelah namun tetap memancarkan ketegasan yang khas. Dia terdiam sejenak ketika melihat pemandangan yang tak diduganya di dalam kamar. Di meja kecil dekat jendela, Alzena sedang menikmati sarapan—bukan satu, tetapi dua porsi sekaligus. Dengan tatapan penuh rasa takut, Alzena menoleh saat menyadari kehadiran Ferdinan. Dia tersentak, seolah tertangkap basah, dan matanya melebar seakan tak tahu harus berbuat apa.

Ferdinan menaikkan alis, sedikit terkejut namun tak menyembunyikan senyum sinisnya. "Benar-benar tak kusangka, pengantin baruku punya nafsu makan besar,” katanya dengan nada dingin.

Alzena menelan ludah, wajahnya memerah karena malu. Sebenarnya, dia memang merasa sangat lapar setelah semalam nyaris tidak bisa tidur karena rasa cemas. Tanpa pikir panjang, dia memesan dua porsi sarapan, berharap makanan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari segala kerumitan yang menghantui pikirannya sejak pernikahan mendadak ini.

“Aku… aku tidak tahu kau akan datang secepat ini,” ujar Alzena terbata-bata, mencoba mencari alasan. “Aku hanya merasa lapar…”

Ferdinan mendekat, melipat tangannya sambil memandangi Alzena dengan tatapan dingin. "Tidak perlu menjelaskan. Lagipula, apa pun yang kau lakukan di sini takkan membuat pernikahan ini jadi berarti," katanya tanpa basa-basi. “Satu hal yang harus kau tahu, aku tidak menganggap ini pernikahan yang sesungguhnya, dan aku berharap kau tidak akan berharap lebih.”

Alzena menunduk, hatinya terasa perih mendengar kata-kata tajam itu. “Aku tidak pernah meminta pernikahan ini, Ferdinan. Aku hanya mengikuti permintaan keluarga untuk menggantikan Kaira. Tidak lebih.”

Ferdinan mendengus, seolah tak percaya. "Jadi, kau sama sekali tak punya kepentingan dalam pernikahan ini? Bukankah kau yang sekarang berada di posisi ‘istri’ setelah Kaira pergi tanpa jejak?"

Alzena menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk. “Aku hanya melakukan ini demi keluargaku, bukan karena aku menginginkannya. Aku tahu kau tidak suka padaku, dan aku juga tidak berharap banyak dari pernikahan ini,” jawabnya dengan suara pelan namun tegas.

"Aku tahu kau pasti, mau menikah denganku karena uang bukan, kau akan menikah dengan seorang Konglomerat sepertiku bukan?"

"Ya , kau benar, aku memang materlistis, aku menikah karena uang, dan kuharap kau bersiap-siap, karena aku akan menguras uangmu dan juga merebut perusahaanmu, kau mengerti!"

Untuk pertama kalinya, Ferdinan terlihat sedikit bingung. Ada kejujuran yang terpancar dari ucapan Alzena, sesuatu yang membuatnya merasa Alzena mungkin tidak seburuk yang ia kira.

"Hhhh, kata-katamu seolah kau bukan seperti itu, namun aku tahu orang-orang sepertimu itu bagaimana !"

"Lalu bagaimana dengamu? yang meninggalkan pengantinnya sendirian, tanpa pesan apapun!"

Namun, dia buru-buru menepis perasaan tersebut, meyakinkan dirinya bahwa Alzena tetaplah bagian dari intrik pernikahan yang diatur oleh keluarganya.

"Terserah kau mau berpikir apa," ucap Ferdinan akhirnya, mencoba menegaskan jarak di antara mereka. "Aku akan pergi lagi setelah ini. Dan aku tidak peduli apa yang kau lakukan di sini."

Tanpa menunggu jawaban, Ferdinan berbalik dan melangkah keluar kamar, meninggalkan Alzena sendirian dengan perasaan campur aduk. Meski hatinya terasa terluka oleh sikap dingin Ferdinan, Alzena mencoba menenangkan diri dan berjanji untuk tetap menjalani peran ini tanpa berharap apa pun.

Dia tahu bahwa perjalanannya sebagai ‘istri pengganti’ ini akan penuh dengan tantangan. Namun, dalam hati kecilnya, Alzena bertekad untuk tetap bertahan, meski harus berhadapan dengan pria yang seolah menolak kehadirannya setiap waktu.

Pagi itu, Alzena berjalan di belakang Ferdinan dengan langkah bingung, masih memikirkan mengapa Ferdinan mengajaknya bulan madu ke Bali namun tetap memesan dua kamar di villa yang mereka tempati nanti. Di satu sisi, Alzena merasa sedikit lega karena setidaknya tidak harus berbagi kamar dengan pria yang masih terasa asing baginya, meskipun sekarang secara hukum ia adalah suaminya.

Namun, rasa bingung Alzena berubah menjadi keterkejutan dan kekecewaan begitu mereka tiba di bandara. Ferdinan tidak hanya mengajaknya, tapi juga seorang wanita lain yang segera dikenali Alzena sebagai Katrine—seorang aktris terkenal dan kekasih Ferdinan yang sudah lama beredar dalam berita-berita gosip. Pagi itu, mereka bertiga melakukan perjalanan yang tampaknya sudah direncanakan dengan sangat rahasia; berangkat pada jam empat pagi untuk menghindari wartawan dan paparazzi.

Saat mereka menunggu penerbangan di ruang tunggu bandara, Alzena merasa terpinggirkan. Ferdinan dan Katrine duduk berdekatan, saling berbicara dan tertawa tanpa sedikit pun memperhatikan keberadaannya. Sesekali, Katrine merapatkan diri pada Ferdinan, dan mereka bahkan tidak ragu saling berpelukan di hadapan Alzena.

Ketika mereka akhirnya duduk bersebelahan di ruang tunggu, Katrine menyenderkan kepalanya pada bahu Ferdinan sambil berbisik, “Kau benar-benar romantis, mengajak kita bulan madu bersama. Aku tahu, hanya aku yang kau cintai.”

Ferdinan tersenyum, membalas bisikan Katrine dengan lembut sambil melirik sekilas ke arah Alzena, seolah ingin menunjukkan pada Alzena bahwa dia tidak berarti baginya. Alzena merasa hatinya tersayat, tetapi ia memilih menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa perjalanan ini akan sekejam ini.

Ketika mereka naik ke pesawat, Alzena dengan berat hati mengikuti mereka. Ferdinan dan Katrine memilih kursi berdampingan, sementara Alzena duduk agak jauh, sendirian. Dalam diam, dia menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar perjalanan bulan madu—ini adalah pernyataan tak langsung dari Ferdinan bahwa ia tidak diinginkan di sini, dan bahwa Katrine adalah wanita yang sebenarnya ia anggap sebagai pendamping hidup.

Saat pesawat lepas landas, Alzena berusaha menenangkan pikirannya. Ia menyadari bahwa tidak ada gunanya menaruh harapan pada Ferdinan, pria yang bahkan tidak memberinya sedikit pun penghargaan sebagai istrinya, walau sekadar dalam bentuk sopan santun. Bagi Ferdinan, Alzena hanyalah pengganti sementara yang harus diabaikan.

Ketika sampai di Bali, perasaan terasing Alzena semakin mendalam. Ferdinan dan Katrine terus menunjukkan kemesraan mereka tanpa peduli perasaan Alzena. Bahkan di depan staf villa tempat mereka menginap, Ferdinan memperkenalkan Katrine sebagai “orang penting” dalam hidupnya, sementara Alzena hanya diperkenalkan sekilas sebagai “anggota keluarga.” Semua ini dilakukan seolah Alzena tidak lebih dari sekadar tamu tak diundang.

Di dalam villa, Alzena masuk ke kamar yang telah disiapkan untuknya, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melalui hari-hari ini.

"Hah, ini awal.yang berat bagiku, tapi ingat .. aku adalah seorang wanita tangguh, bahkan aku sejak kecil sudah ditinggalkan orangtuaku."gumam Alzena.

Meskipun sakit hati, ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya di hadapan Ferdinan dan Katrine. Di balik perasaan terluka, Alzena mulai merencanakan bagaimana caranya agar ia dapat melalui semuanya dengan kepala tegak, meski cintanya tak dianggap.

Saat makan malam tiba mereka makan di resto dekat villa dan Alzena duduk sendiri, di meja terpisah dengan Ferdinan. Alzena hanya fokus pada makanan baginya saat inu dia harus makan yang banyak supaya imun tubuhnya kuat, menahan penderitaan yang di berikan oleh Ferdinan. "Hahh, Alhamdulillah, akhirnya aku makan enak, bodo amat mereka mau apa, yang terpenting saat ini aku makan!"

"Nona,kau sendirian?" seorang bule tampan mendekati Alzena.

"Ehmm, ya, aku duduk sendiri. "Alzena melirik ke Ferdinan.

"Duduk dengan siapa dia ?"Ferdinan memicingkan matanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!