Lisa Dwiyati, anak kedua dari Susilo dan Mira. Usianya sudah menginjak 29 tahun, memiliki suami yang begitu sayang dan baik padanya-Aptoni Saputra.
Keduanya telah menikah selama 5 tahun dan sudah memiliki anak 1 berusia 3 tahun, Ashila. Ya, Lisa dan Toni memiliki anak perempuan yang sangat cantik dan menggemaskan.
Keduanya hidup bahagia, Lisa yang bekerja sebagai MUA tak pernah merasa kekurangan dalam urusan materi. Sang suami-Toni juga memiliki penghasilan yang tak sedikit dari usahanya mengelola beberapa kebun karet.
Semua berjalan dengan baik. Toni merasa bahagia dan bangga memiliki istri secantik Lisa. Lisa pun begitu, Toni tampan dan tak pernah melarangnya melakukan apapun yang ia inginkan.
Sampai suatu hari, Lisa bertemu dengan Rio, sang fotografer tampan yang mampu membuatnya jatuh hati.
Lisa merasa Rio jauh lebih menarik dibanding Toni. Wanita itu merasa jenuh pada rumah tangganya yang hanya datar-datar saja, tak ada masalah yang serius.
Berkat rayuan maut Rio yang ternyata juga memiliki perasaan pada Lisa, keduanya akhirnya terlibat hubungan terlarang.
"Mbak, jilbab pengantinnya berantakan. Itu, diminta sama tukang foto buat benerin."
Suara wanita yang berasal dari luar kamar pengantin itu membuat Lisa menoleh seketika. Lisa yang tengah merapikan alat make-upnya bersama asistennya langsung berhenti dan menatap pada wanita itu.
"Oh iya, sebentar." Lisa menatap asistennya-Tutik, lalu menggerakkan dagunya sebagai isyarat kalau Tutiklah yang membetulkan jilbab pengantin itu.
"Tak tinggal dulu, Mbak." Tutik pergi meninggalkan kamar pengantin itu lalu menuju ke pelaminan. Lisa lalu melanjutkan kegiatannya yang sedang merapikan alat make-upnya itu.
Lisa tinggal di kampung, salah satu kampung yang ada di Tulang Bawang Barat, Lampung. Sejak menikah dengan Toni, Lisa menekuni hobinya yang suka merias wajah. Toni membiayai kursus istrinya itu yang bercita-cita sebagai MUA.
Tak butuh waktu lama, setahun setelah menikah, Lisa langsung membuka jasa rias pengantin di kampungnya. Toni sendiri merupakan anak dari salah satu orang kaya di kampung Lisa. Orangtua Toni memiliki kebun karet dan kebun singkong hingga puluhan hektar.
Semenjak menikah dengan Toni, kehidupan Lisa sangat terjamin. Wanita yang memiliki rambut panjang lurus dan berwarna pirang itu tak pernah merasa kekurangan. Dulunya Lisa hanyalah anak dari keluarga sederhana, ia hanya lulusan SMA dan bekerja di salah satu salon kecil yang gajinya tak seberapa. Hingga Toni datang dan meminangnya, kehidupan Lisa berubah dan membuatnya tampil lebih cantik.
"Mbak, dicariin sama Mas Rio," ucap Tutik yang usianya 2 tahun lebih muda dari Lisa. Ia baru saja masuk ke kamar pengantin setelah membetulkan jilbab pengantin yang berantakan.
Lisa berkerut, ia mendengarkan Tutik sambil menghitung kotak bulu mata palsu yang ada di tangannya. "Rio siapa?"
"Itu loh, tukang foto yang kerja sama Mas Arif. Tukang foto baru, katanya salam buat Mbak Lisa." Tutik bercerita sambil membantu bosnya itu merapikan alat make-up.
Lisa mengangguk, "biarin aja." Lisa tak ingin menanggapi hal yang dianggapnya tak penting. Rio adalah fotografer yang bekerja di salah satu studio foto paling terkenal di Tulang Bawang Barat. Usianya setahun lebih muda dari Lisa, 28 tahun. Ia baru saja bekerja di Arifin Digital sekitar 3 bulan.
Sejak pertemuannya dengan Lisa 1 bulan lalu, Rio memiliki perasaan untuk Lisa. Rio sendiri adalah tipe pemuda yang lebih memandang fisik pada lawan jenis. Sementara Lisa adalah wanita mapan yang cantik dan tubuh Lisa bak gitar Spanyol untuk ukuran ibu muda. Itu sebabnya Rio begitu terobsesi pada Lisa.
Ya, Rio tahu pasti kalau Lisa adalah istri Toni dan ibu dari Ashila. Namun Rio seperti tak peduli, ia bahkan berniat merebut Lisa dari Toni.
***
Pesta pernikahan di kampung Lisa tak seperti pesta pernikahan di kota-kota besar. Di kampung Lisa, pesta pernikahan akan diadakan sejak pagi hingga malam tiba.
Pengantin akan menikmati 3 kali ganti baju, atau sesuai dengan kesepakatan antara pengantin dan pihak wedding organizer. Lisa memang tak hanya menyediakan jasa make-up saja. Mulai dari dekorasi pelaminan, grown, catering dan keperluan pesta lainnya ia tawarkan dengan berbagai jenis dan harga yang bervariasi.
Seperti biasa, jika sudah jam 8 malam, Lisa akan meminta pengantin turun dari pelaminan. Lisa membantu sang pengantin turun dari pelaminan dengan memegangi ekor grown yang menjuntai hingga beberapa meter panjangnya.
Saat itu, Rio-sang fotografer baru itu mendekati Lisa dan mencoba membantu Lisa. Tutik yang hendak membantu Lisa memilih mundur karena Rio lebih dulu menyerobot.
"Mbak, sombong amat sih." Rio mencoba mengajak Lisa berbicara.
"Aku nggak sombong," ucap Lisa dengan senyumnya yang tampak manis. Lisa dan Rio akhirnya sampai di kamar pengantin, Rio melepas ekor grown itu dan memandangi Lisa dengan takjub. Bahkan ketika malam tiba, wajah Lisa masih saja cantik di mata Rio.
"Kenapa nggak keluar seharian? Biasanya Mbak minta foto buat jadi testi."
"Aku capek aja, kebetulan kamu di sini, tolong kirim ya beberapa foto ke WA aku." Lisa menatap Rio, masih dengan tersenyum.
"Aku kirim ke nomor siapa nih?" tanya Rio.
"Ke nomor aku dong, Rio. Masak kamu nggak tahu nomor MUA paling terkenal di Tulang Bawang Barat."
"Tahu, tapi aku nggak tahu nomor pribadinya. Setahu aku itu nomor kan buat bisnis." Rio mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.
"Sama aja, Yo. Nomorku satu untuk semua, nanti kirimin ya. Udah ya, tuh pengantinnya udah gerah."
"Yang ini kan nomornya, Mbak?" tanya Rio sambil menyodorkan ponselnya ke hadapan Lisa.
"Iya." Lisa menjawab singkat dan langsung menutup pintu kamar pengantin.
Rio pergi dengan perasaan kecewa. Ia masih berharap kalau sikap Lisa akan berubah dan menjadi semakin akrab dengannya.
***
Lisa tiba di rumahnya tepat jam 10 malam. Ashila, sang buah hati sudah terlelap tidur. Jika Lisa bekerja, Ashila akan ikut ayahnya atau ikut kakek dan neneknya. Alisha sudah terbiasa ditinggal sang ibu sejak masih bayi. Toni sendiri tak pernah mempermasalahkan itu dan selalu mendukung apa yang Lisa lakukan.
"Shila udah tidur, Mas?" tanya Lisa sambil mencium punggung tangan suaminya.
"Assalamualaikum dulu dong, Sayang." Toni mencubit hidung Lisa dengan manja.
"Assalamualaikum, Mas. Shila udah tidur?"
"Waalaikumsalam, udah, dari jam 8 tadi. Udah sana, mandi." Toni memegangi pundak sang istri lalu mendorongnya menuju ke kamar mandi, "aku bisa sendiri, Mas."
Ketika Lisa tengah mandi, ponsel Lisa terus-menerus bergetar. Toni melirik ponsel istrinya yang tergeletak di ranjang dan lalu mengeceknya. Ternyata Rio mengirim banyak sekali foto pengantin yang dirias Lisa hari ini. Namun foto terakhir yang Rio kirim membuat Toni mengernyitkan dahinya.
Di dalam foto itu, tampak Rio yang tengah duduk di sebuah kamar dengan bertelanjang dada. Dada Rio yang bidang serta perutnya yang bak roti sobek itu terlihat begitu maskulin. Tangan kanan Rio tampak mengarah ke kamera, ibu jari dan jari telunjuknya membentuk simbol hati.
Toni tak mengerti kenapa Rio mengirim fotonya beserta dengan foto-foto pengantin itu.
"Siapa, Mas?" tanya Lisa yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Rio," jawab Toni jujur setelah membaca nama kontak yang tertera.
"Oh, dia kirim foto pengantin, ya?" tanya Lisa yang kini sudah duduk di depan meja riasnya. Lisa selalu rutin merawat wajahnya, karena baginya wajahnya adalah aset darinya yang paling berharga.
"Iya, tapi ini dia juga kirim foto dia sendiri, nggak pake baju lagi. Apa mungkin dia salah kirim, ya?" tanya Toni tanpa curiga berlebih.
"Mungkin salah kirim, Mas." Lisa mencoba menjawab santai. Namun di benaknya tengah memikirkan apa benar Rio hanya salah kirim. Sejak pertemuan pertama mereka hingga tadi, sikap Rio menunjukkan kalau Rio seperti memiliki perasaan padanya. Lisa lalu mengembuskan nafas panjang, ia tak ingin memikirkan Rio lagi. Karena baginya, Toni merupakan paket lengkap, tampan, baik dan kaya raya.
Bersambung...
Hari ini Lisa libur, tak ada pekerjaan yang menanti. Ia biasanya memanfaatkan waktunya untuk menemani sang buah hati bermain. Ashila sangat senang jika ibunya di rumah, ia akan mengajak ibunya bermain boneka Barbie sesuai hobinya.
"Mas mau ke ladangnya Pak Darno?" tanya Lisa pada Toni. Wanita itu sendiri tengah menemani putrinya yang sibuk bermain di teras rumah.
Toni menghampiri Ashila lalu mencium putrinya berkali-kali. "Aku mau nengok sebentar aja, mau cek apa Pak Mesran bohong atau cuma ngarang," ucap Toni pada Lisa.
"Aku lagi libur loh, Mas. Kok malah kerja, sih, kan jarang-jarang kita bisa kumpul begini," rengek Lisa yang selalu bersikap manja pada sang suami.
"Iya, maafin Mas. Sebentar aja, cuma mau cek. Habis itu aku langsung pulang. Nanti kita pergi ke Tanjung Karang, ya, ajak Shila main ke Transmart." Pria itu mendekati istrinya lalu mengecup lembut kening sang istri.
"Jangan lama, 15 menit aja." Lisa mencium punggung tangan suaminya sambil memajukan bibirnya. Toni merasa gemas pada sang istri, pria itu mencubit manja bibir istrinya, "iya, Sayang."
"Shila, Ayah pergi kerja dulu ya Sayang. Shila di rumah sama Ibu, Ayah cuma sebentar aja." Toni lalu pergi menggunakan sepeda motornya setelah putri kecilnya melambaikan tangan padanya.
Lisa ikut melambaikan tangan melihat sang suami pergi. Wanita itu merasa kesal karena sang suami yang sibuk bekerja di hari liburnya. Ia kemudian menemani putrinya kembali, bermain boneka.
Tak lama kemudian, ada pesan masuk ke ponsel Lisa. Pesan itu berasal dari Rio. [Mbak, bisa dateng ke studio nggak? Ada client nih, maunya Mbak yang ngerias. Soal tarif, dia mau bayar berapapun yang Mbak minta. Dia maunya MUA terbaik di Tulang Bawang Barat.]
Lisa mengerutkan keningnya, "dari mana Rio tahu kalau aku libur hari ini?" ucap wanita itu penuh tanya.
"Apa, Bu?" tanya Ashila penasaran karena ibunya tiba-tiba berucap, "ah, enggak, ini Ibu ngomong sama temen Ibu." Lisa mengangkat ponselnya demi memberi tahu sang anak kalau ia sedang berbicara di telepon.
Lisa lalu membalas pesan Rio. [Aku sibuk, Yo.]
[Tutik bilang hari ini Mbak libur, ayolah Mbak. Clientnya cuma mau sama Mbak, Mas Arif juga udah capek buat ngerayu dia. Dia anaknya Pak Samadi, Lurah kampung Tirta.] Rio masih berusaha merayu Lisa. Lisa menatap Ashila dengan tatapan sendu, ia tak tega jika harus meninggalkan anaknya itu di hari liburnya. Terlebih Toni mengajaknya untuk bepergian demi menyenangkan buah hati mereka nanti sepulang Toni dari kebun.
Lisa kembali membalas pesan Rio. [Tutik aja ya yang ke situ.]
[Dia maunya sama Mbak, ayolah Mbak. Bantu aku kali ini aja.] Balas Rio lagi. Lisa mengembuskan nafas panjang, lalu kembali mengirim pesan ke Rio.
[Ya udah, aku ke sana sekarang.]
Setelah membalas pesan Rio, Lisa langsung mencari kontak suaminya dan mencoba menghubunginya via panggilan video.
Di tempat lain, Toni tengah berkacak pinggang menghadapi pekerjanya. Ya, Toni menerima laporan dari salah satu pekerjanya mengenai pekerja lain yang mencoba berbuat curang. Pekerja yang biasa dipanggil Pak Darno itu dilaporkan tengah melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan.
"Pak Darno kan tahu, kalau gini caranya karet saya bisa cepet mati." Toni berteriak pada pria yang tengah gemetaran itu.
"Terus Pak Darno juga malsuin cek penjualan. Pak Darno nilep duitnya juga kan? Gini nih, karet saya rusak, duit saya Pak Darno ambil juga. Kalau begini caranya, mulai besok Pak Darno nggak usah nyadap di sini lagi." Toni sebenarnya hanya mengancam, ia sendiri tak tega melihat orang lain kesusahan.
Darno yang tengah gugup karena ketahuan menyadap karet milik Toni dengan cara curang, langsung berlutut di depan Toni. "Maaf, Pak Toni. Saya janji nggak akan nyuntik karet begini lagi, tolong jangan pecat saya."
Toni terkejut bukan main, ia tak menyangka kalau Darno yang jauh lebih tua darinya kini berlutut di depannya. Ia sama sekali tak menginginkan hal itu, bukan itu yang ia harapkan. Pria tampan itu memang tengah naik darah, namun bukan berarti ia ingin melihat orang yang jauh lebih tua darinya berlutut di depannya.
Ketika Toni hendak menyuruh Darno berdiri, ponselnya berdering. Panggilan video dari sang istri masuk. "Bangunlah." Toni lalu berjalan menjauh dari Darno yang beringsut berdiri.
"Assalamualaikum," sapa Toni setelah mengangkat panggilan video Lisa. "Waalaikumsalam, Mas. Bisa pulang sekarang enggak? Lisa ada job ini."
"Job apaan? Kok mendadak?" tanya Toni dengan kening yang berkerut indah. "Di studio Mas Arif, ada anaknya Pak Lurah Tirta. Nggak tahu juga ada acara apa, tapi maunya aku yang make-up-in."
"Ya udah, aku pulang sekarang," ucap Toni yang langsung menutup panggilan video sang istri setelah mengucapkan salam. Toni kembali menghampiri Darno. "Aku kasih Pak Darno kesempatan, tapi kalau Bapak berani berbuat curang, jangan berani-beraninya Bapak meminta ampun."
"Terima kasih, Pak. Saya janji nggak akan curang lagi," ucap Darno yang merasa lega karena Toni tak jadi memecatnya.
Toni langsung kembali ke rumahnya, tak butuh waktu lama baginya untuk segera tiba di rumah. Ketika ia sampai di rumah, istri dan anaknya sudah tak ada lagi di teras. Hanya ada beberapa boneka milik Ashila yang masih tergeletak di sana. Toni mengambil boneka-boneka tersebut untuk merapikannya dan menyimpannya di kotak mainan.
Tiba-tiba saja muncul seorang asisten rumah tangga. "Biar saya aja, Pak," ucap wanita yang memiliki badan gemuk itu. Toni tersenyum lalu memasukkan boneka milik anaknya itu ke kotak mainan yang kini dipegang asisten rumah tangganya.
"Ibu mana, Bik?" tanya Toni.
"Lagi beres-beres di kamar, Pak." Toni langsung pergi ke kamarnya, menghampiri sang istri yang tengah menenangkan Ashila yang merengek, tak mau ditinggal.
Bagi Lisa, ia lebih mudah pergi ketika Ashila masih tidur. Kali ini Ashila tahu kalau ia libur bekerja, anak Lisa itu menolak ditinggal ibunya. "Nggak mau, nggak mau." Shila menangis hebat. Toni menghampiri Ashila dan menggendong putrinya itu.
"Hati-hati, ya," ucap Toni tanpa bersuara sambil menggendong putrinya untuk menjauh dari Lisa yang tengah mengepak alat make-up miliknya.
"Shila ikut Ayah, ya. Kita jalan-jalan, nanti beli es krim juga." Toni begitu perhatian pada anak dan istrinya. Ashila akhirnya berhenti menangis setelah digendong ayahnya.
Lisa langsung pergi ke studio milik Arif yang jaraknya sekitar 20 menit jika ditempuh dengan menggunakan mobil dari rumahnya. Lisa menelepon Tutik-asistennya itu sambil menyetir mobilnya. Ia ingin asistennya itu datang membantunya, sekaligus meminta penjelasan bagaimana bisa Tutik bisa dekat dengan Rio.
Rio menyambut kedatangan Lisa dengan senyum lebar saat melihat mobil milik Lisa memasuki pekarangan studio milik bosnya. Rio senang karena memiliki kesempatan untuk bisa mendekati Lisa kali ini. Pemuda single itu semakin bersemangat mendekati istri Toni itu setelah usahanya yang mengirim foto seksinya diabaikan begitu saja oleh Lisa.
"Makannya apa sih, Mbak? Makin hari makin cantik aja." Lisa mengernyitkan keningnya. Baru saja ia masuk ke studio milik Arif itu, ia sudah disambut dengan rayuan Rio yang tak terduga.
Arif yang juga sudah menunggu kedatangan Lisa dari tadi, langsung menghampiri ibu satu anak itu. "Maaf, ya. Aku ganggu hari libur kamu. Tapi mau gimana lagi, anaknya Pak Lurah loh itu. Nggak enak aku mau nolak."
Lisa menoleh pada seorang wanita muda yang tengah sibuk dengan ponselnya. Wanita muda itu tak sendirian, ia bersama seorang pria muda yang tak lain adalah kekasihnya. "Mereka mau foto prewed, aku udah contact MUA lain. Nggak tahunya dia ngotot minta kamu yang make-up-in. Aku juga heran kok dia nggak hubungin kamu dulu." Arif mencoba menjelaskan pada Lisa tentang apa yang terjadi, Lisa hanya mengangguk saja.
Tanpa menunggu lama, Lisa mengangkat kotak kosmetiknya dan membawanya masuk ke ruang khusus yang biasa dipakai untuk merias. Ya, ini bukan kali pertama Lisa bekerja sama dengan Arif. Oleh sebab itu Lisa tahu di mana ia akan merias client.
Namun, Lisa merasa heran, kenapa bukan Arif yang menghubinginya kali ini. Kenapa harus Rio? Lali bagaimana bisa Rio dekat dengan Tutik? Lisa mulai berpikir kalau kemarin malam, Rio bukannya salah mengirim foto, melainkan dengan sengaja melakukannya. Untuk apa? Kenapa? Saat ini Lisa memiliki banyak pertanyaan untuk Rio.
Bersambung...
Lisa akhirnya menyapa wanita muda yang diketahui sebagai anak lurah itu. "Mbak, kita mulai sekarang, ya?"
Tanpa menunggu kedatangan Tutik, Lisa langsung merias wanita itu karena ia tak ingin mengulur waktu. Semakin lama ia bekerja, semakin lama ia harus berpisah dari anaknya.
Lisa membuka kotak make-up dan mengambil termos yang memang ia bawa dari rumah. Termos itu berisi es batu yang memang biasa ia gunakan sebelum mengaplikasikan make-up agar hasil riasannya maksimal.
"Merem dulu, ya, Mbak." Lisa mengoleskan es batu kecil di tangannya pada wajah wanita muda itu. Saat itu, Rio mengintip dari balik tirai. Pria itu hanya ingin melihat Lisa karena ia begitu mengidam-idamkan wanita itu.
Ketika Lisa tengah mengipasi wajah wanita di depannya dengan kipas portabel, Tutik masuk dengan tergesa. "Maaf, Mbak. Tadi bannya bocor," ucap Tutik dengan napas tersengal.
Lisa sama sekali tak menoleh pada Tutik, ia fokus pada apa yang ia kerjakan saat ini. "Minum dulu, aku nggak mau ngurus kamu kalau kamu pingsan." Walaupun tampak dingin, Lisa memang beberapa kali melempar candaan pada asistennya itu.
"Nggak akan, Mbak. Aku udah sarapan, habis 2 piring tadi," sahut Tutik sambil meletakkan tasnya. Wanita itu lalu membantu sang bos seperti yang biasa ia lakukan.
Butuh waktu sekitar kurang lebih 1 jam sampai Lisa selesai merias calon pengantin itu.
"Gimana? Cocok sama warna lipstick-nya?" tanya Lisa ketika ia selesai memoles perona bibir berwarna merah hati pada wanita di depannya. Wanita itu memiringkan wajahnya ke kanan dan ke kiri untuk melihat bayangan wajahnya di cermin.
"Suka, Mbak. Bagus, kok."
"Ya udah, Tut, bilangin Arif kalo udah siap."
Tutik menuruti perintah bosnya.
"Mbak mau ganti baju dengan gaun dari saya?" tanya Lisa.
"Boleh."
"Mbak mau ganti baju berapa kali?" tanya Lisa pada wanita itu.
"Kalo 2 kali, tarifnya berapa, Mbak?"
Lisa akhirnya menjelaskan secara rinci biaya yang harus ditanggung sesuai dengan jumlah pakaian yang akan digunakan.
"Ya udah, Mbak, 2 aja. Bajunya warna apa aja? Itu ada pasangannya, kan? Maksud aku buat pacar aku juga ada, kan? Kan nggak lucu kalo aku aja yang ganti-ganti, tapi pacar aku pake itu-itu aja."
Lisa tersenyum. "Aku nggak bawa banyak, sih, Mbak. Tapi semuanya emang pasangan, kok. Ada warna merah, putih, pink sama marun."
Tutik kembali masuk ke ruangan di mana Lisa berada. Istri Toni itu lalu menatap wanita yang sudah cukup lama bekerja dengannya itu. "Tut, buka kopernya, Mbaknya mau milih gaun."
Setelah semuanya siap, sesi pemotretan pun dimulai. Lisa akhirnya bisa bersantai sambil minum es teh yang disediakan oleh Arif.
"Sibuk banget, ya, sekarang?" tanya Arif basa-basi. Ia duduk di samping Lisa sambil mengamati Rio yang sibuk memotret pasangan muda-mudi yang akan menikah itu. Tutik sibuk membantu Rio dalam menyiapkan segala pose.
"Nggak juga, sih. Aku nggak pernah ambil job lebih dari 1 dalam sehari. Nggak sanggup aku, Rif." Lisa menjawab santai.
"Hei, kamu kan bisa cari orang lain lagi, biar tambah gede usaha kamu itu. Nama kamu tuh udah besar, pasti banyak orang yang cari."
"Iya, aku sering nolak job kalo hari itu emang udah ada yang isi. Bukannya aku nolak rejeki, Rif, tapi aku kerja begini karena aku seneng. Aku nggak mau ngoyo banget, yang ada aku nggak ada waktu buat anak dan suami. Ini tadi aja aku males mau ambil, nggak enak sama kamu." Lisa mengaku jujur.
Arif mengangguk. "Iya, sih. Suami kamu udah banyak duit, kalo soal duit kamu nggak akan kekurangan."
Lisa tersenyum. "Itu tauk!" celetuknya menyombongkan diri.
Arif tertawa.
Lisa ikut tertawa sesaat lalu kembali memperhatikan Arif dan Tutik.
"Rif, Rio itu masih single?" tanya Lisa yang begitu penasaran pada pria yang kini sibuk dengan kameranya.
"Single. Dia mah playboy, nggak ada seriusnya sama cewek, gimana mau nikah kalo nggak serius-serius."
Lisa terkejut mendengar penjelasan Arif. "Dia playboy?"
Arif mengangguk. "Gonta-ganti aja sukanya. Seminggu bisa ganti 10 kali."
Lisa mengembuskan napas panjang. "Jadi emang dia playboy? Apa dia sengaja kirim foto dia buat mancing aku? Emang dia nggak tahu kalo aku punya suami dan bahkan anak? Atau emang dia nggak peduli?" Lisa sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sesi pemotretan akhirnya selesai. Lisa merapikan grown-grown dan memasukkannya ke dalam koper, dibantu dengan Tutik.
"Kamu deket sama Rio?" tanya Lisa yang sedari tadi sudah penasaran.
Tutik menggeleng. "Enggak, emangnya kenapa, Mbak?"
"Dia tahu aku libur dari kamu, kan?"
"Iya, tadi aku kan posting status di WA kalo aku lagi di rumah, rebahan. Aku buat caption kalo enak bisa rebahan pas libur. Nah, Mas Rio chat aku, tanya apa Mbak nggak ada job hari ini. Ya aku jujur, dong, Mbak." Tutik bercerita dengan jujur.
"Kalian saling simpen nomor?" tanya Lisa lagi.
"Ya kan emang dari awal Mas Rio kerja sama Mas Arif aku udah simpen nomornya Mas Rio. Kan kita suka minta foto dari Mas Rio," sahut Tutik lirih.
Lisa mengangguk.
"Kenapa emangnya, Mbak?" Tutik merasa penasaran.
"Nggak apa-apa, aku tanya aja. Aku kira kamu sama Rio deket, soalnya dia bilang tadi kamu yang kasih tahu kalo aku libur hari ini."
Tutik mengangguk. "Ya biasa aja, sih, Mbak. Deket juga karena pekerjaan, kan?"
.
Lisa dan Tutik pamit pulang.
"Aku pulang dulu, Rif, Yo."
Arif dan Rio yang masih merapikan kabel-kabel, berdiri dan menatap Lisa dan Tutik. "Kok buru-buru? Eh, udah dibayar kan? Tadi bilangnya sama aku mau sendiri-sendiri aja bayarnya," tanya Arif.
Lisa mengangguk. "Udah, kok. Aman, thanks ya udah ngerepotin aku hari ini, udah ganggu hari libur aku," ucap Lisa meledek.
Arif tertawa terbahak-bahak, Rio malah tersenyum sambil mencuri-curi pandang pada Lisa. Wanita itu pun sesekali menatap Rio demi memperhatikan pria itu.
"Terima kasih, Mbak," ucap Rio sambil tersenyum manis. Lisa mengangguk.
"Ayo, Tut, kita pulang."
Lisa membawa kotak kosmetik dan Tutik membawa koper. Rio tak tinggal diam, ia merebut kotak yang Lisa pegang, termasuk koper yang dibawa Tutik. "Biar aku bantu."
Lisa menatap aneh pada Rio. "Ya udah, Rif, aku pulang. Da...."
Tutik membantu Rio memasukkan kotak kosmetik dan koper ke dalam mobil.
"Terima kasih, Mas," ucap Tutik yang lalu masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati, Mbak." Rio menyapa Lisa lagi, wanita itu mengangguk pelan.
Ketika Lisa hendak membuka pintu mobilnya, Rio memanggil nama wanita itu.
"Mbak Lisa, lain kali aku boleh telepon Mbak, ya? Aku pengen ngobrol sama Mbak." Pria itu melancarkan aksinya untuk mendekati Lisa.
Lisa mengerutkan keningnya. Ia semakin yakin kalau Rio memang sengaja mendekatinya karena ingin menggodanya. "Aku udah punya suami, Yo." Lisa berusaha bersikap tegas.
"Aku tahu, Mbak." Rio pantang menyerah.
Lusi tersenyum kecut. "Jadi kamu nggak masalah dengan status aku sebagai istri orang?" tanya Lisa dengan seringainya.
"Aku nggak masalah, asal bisa deket sama wanita secantik Mbak."
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!