NovelToon NovelToon

Misi Berdarah Di Akademi

Prolog

Malam itu, badai mengamuk dengan liar. Angin bertiup kencang, menghantam dan menghempaskan tetesan hujan ke dinding-dinding rumah, menciptakan irama gemericik yang riuh. Tak satu pun pintu rumah terbuka, semuanya terkunci rapat, seolah-olah membentengi diri dari ketakutan yang menyelimuti malam kelam.

Tiang-tiang lampu jalan bergoyang seolah menari bersama daun-daun yang berputar diterpa angin. Di depan sebuah rumah gelap dengan pintu yang terbuka lebar, beberapa mobil polisi terparkir sembarangan, sementara garis polisi membentang mengelilingi tempat itu, menambah kesan mencekam.

Beberapa pria bersenjata, tampak tegas dan waspada, memasuki rumah satu per satu. Kepala polisi menyusul mereka setelah memastikan anak buahnya sudah lebih dulu masuk. Sementara itu, dua petugas lainnya tetap berjaga di pintu masuk, menjaga situasi tetap terkendali.

Salah satu polisi mendekati kepala polisi dengan langkah tergesa-gesa. Napasnya terdengar berat saat ia melaporkan, "Lapor, Pak. Sandera dan pelaku masih berada di ruang bawah tanah."

Kepala polisi mengerutkan kening, merenungkan situasi yang semakin rumit. Laporan pembunuhan dan penyanderaan ini diterima beberapa jam yang lalu, saat ia masih berada di luar kota. Panggilan mendadak dan darurat dari markas memaksanya kembali dengan tergesa-gesa. Pembunuhan ini berlangsung dengan cepat dan tampak acak, namun ia mencium adanya pola yang menghubungkan kasus ini dengan penyelidikan lain di luar kota. Kecurigaannya semakin kuat ketika ia teringat bahwa pelapor kasus ini mengaku sebagai pelaku pembunuhan itu sendiri.

"Tetap waspada, kita tidak tahu apa yang bisa terjadi," ujar kepala polisi dengan nada tegas namun terukur. Matanya kemudian tertuju pada sebuah ruangan di dalam rumah yang telah dilingkari garis polisi, menciptakan aura misteri yang semakin pekat di tengah ketegangan.

"Uhm... di ruangan itu, ada putra pemilik rumah yang ditemukan tewas tergantung di tengah ruangan," lapor seorang polisi berkacamata dengan nada tegang, sambil membetulkan posisi kacamatanya. "Setiap inci ruangan itu penuh dengan jebakan mematikan, Pak."

Kepala polisi langsung mempercayai laporan itu begitu pandangannya jatuh pada tubuh seorang polisi yang tergeletak tak bernyawa. Sebuah tiang tajam menancap dan menembus tubuhnya, meninggalkan pemandangan yang mengerikan. Darah segar menggenang, hampir menutupi seluruh lantai ruangan itu, mempertegas betapa berbahayanya tempat tersebut.

"Eiden... Dia gugur saat mencoba menurunkan korban, Pak," ucap polisi itu dengan suara bergetar. Wajahnya terlihat tegang, matanya berkaca-kaca, berusaha keras menahan tangis yang nyaris pecah.

Kepala polisi hanya mengangguk, kemudian dengan lembut menepuk bahu polisi itu, memberi isyarat dukungan tanpa kata. Ketegangan di udara terasa semakin berat, namun dalam diam, ia berusaha memberikan kekuatan kepada anak buahnya yang tengah berduka.

"Pak, kurasa aku menemukan korban lain di sini," suara seorang polisi terdengar terputus-putus, hampir tenggelam oleh gemuruh badai. Kepala polisi itu segera bergerak cepat, diikuti oleh polisi berkacamata yang bernama Yopi, yang langkahnya mantap meski kecemasan menyelimuti setiap gerak mereka.

Setibanya di ruangan itu, kepala polisi langsung mengernyit ngeri. Di hadapannya, tergeletak jenazah seorang wanita yang dipaku dengan pasak-pasak besar di dinding. Setiap sendi tubuhnya tertusuk pasak yang kuat, membuatnya tampak terpasang seperti dekorasi natal yang mengerikan, menghiasi dinding dengan cara yang tak terbayangkan.

Kondisi jenazah itu sangat mengenaskan. Bola mata tercungkil keluar, sementara rahang dan pipinya hancur, membuat wajahnya terbuka lebar dengan lidah terjulur. Di seluruh tubuhnya, terdapat luka tikam yang begitu banyak hingga tak terhitung jumlahnya. Namun yang paling mengganggu adalah sebuah jahitan kawat yang menutup luka di perut jenazah itu, menambah kesan mengerikan pada pemandangan yang sudah sangat mencekam ini.

"Aku tidak mengerti bagaimana ada orang yang bisa begitu tak berperasaan, Pak... Entah apa yang ada dalam pikiran si pembunuh, tapi yang jelas, ia bukan siapa-siapa bagi korban-korban ini. Ia memilih mereka secara acak," jelas Yopi dengan suara yang bergetar, matanya penuh kebingungan dan ketakutan..

Dunia ini telah berubah sejak munculnya energi dari batu bernama Cyruphion. Batu itu memberi kekuatan super kepada manusia secara bertahap, mengubah cara hidup mereka. Namun, meskipun kemampuan fisik meningkat, tidak ada yang bisa menggantikan kenyataan bahwa manusia tetaplah makhluk yang bisa mati. Mental mereka yang rapuh tak ikut bertambah kuat, dan kekuatan luar biasa itu tak bisa menahan kelemahan batin yang ada dalam diri setiap orang.

Kepala polisi, yang juga memiliki kekuatan, mencoba melucuti pasak yang menancap di jenazah itu, namun tiba-tiba petir menyambar dengan dahsyat, membuat seluruh area gelap gulita ketika listrik padam. Hanya cahaya senter yang tersisa sebagai penerangan di kegelapan yang mencekam. Tanpa diduga, sambaran petir itu membuat kepala polisi terpental ke belakang, diikuti oleh kedua polisi yang bersamanya, yang juga terlempar oleh kekuatan tak terduga dari sambaran tersebut.

Telinga kepala polisi masih berdenging keras, kepalanya terasa pusing setelah sambaran petir. Dengan mata yang kabur, ia perlahan membuka mata dan melihat sesuatu yang tak terduga—korban itu bergerak. Terkejut, ia berusaha bangkit, menahan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Meringis, ia akhirnya berhasil berdiri kembali, berusaha tetap tegar meskipun ketegangan semakin mencekam.

"Pak, korban kembali hidup!"

Teriakan Yopi belum sepenuhnya diterima oleh kepala polisi itu. Ia melihat Yopi dan satu anak buah lainnya mengacungkan pistolnya kepada korban yang kini meronta-ronta.

Bola mata yang keluar dengan rahang yang hancur, jenazah itu dengan ajaib kembali hidup dan mengerang kesakitan.

"Pak, diruang bawah tanah menjadi sangat gelap, dibawah sini terlalu banyak tong yang membuatnya seperti labirin. Kami mendengar erangan seseorang, sepertinya itu adalah sandera." HT kepala polisi itu berbunyi, anak buahnya menemukan sesuatu.

"Tingkatkan kewaspadaan, ada sesuatu yang tidak beres." Kepala polisi itu mengingatkan dan dijawab, "dimengerti."

Yopi masih gemetaran, "apa yang harus kita lakukan kepadanya pak?" pria itu menunjuk dengan moncong pistolnya, jenazah itu mengerang dan menggeliat.

DOR! DOR! Terdengar suara tembakan dari ruang bawah tanah. Membuat kepala polisi berbalik dan mengejar ke arah sumber suara.

"Yopi ikut aku, kau tetap berjaga disini." Titah kepala polisi itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.

Kepala polisi mengambil HT nya, "Martinez, laporkan kejadian," ia menunggu beberapa detik sampai akhirnya ada jawaban.

"Ada sesuatu pak! Sosok mengerikan menyerangku, Hanson... Dia tidak selamat, aku terjebak di labirin ini, pak. Sebelumnya kami menemukan sandera telah tewas—sampai tiba-tiba ia bergerak mengambil golok yang ada di dekatnya dan menyerang Hanson. Lalu—"

"Baik, dimengerti, tunggulah kami akan kesana." kepala polisi itu semakin mempercepat langkahnya, ia juga memanggil salah satu anak buahnya yang berjaga di pintu masuk untuk ikut dengannya. Mereka bertiga menyusuri ke bawah tangga yang gelap dan dingin tidak menyadari bahwa garis polisi yang menutupi ruangan sudah terlepas seakan ada seseorang yang keluar dari sana.

Sesampainya di bawah tanah ada pintu kayu yang sudah terbuka, Yopi membukanya dan bergegas masuk dengan pistolnya. Cahaya senter dari Martinez bisa terlihat di ujung ruangan. "Hei!" Martinez berseru dari ujung sana. Ruangan bawah tanah ini cukup luas dengan perkiraan 250M²

Salah satu anak buahnya mencoba menggeser tong akan tetapi ternyata tong itu sangat berat. Kepala polisi langsung mencegahnya juga, karena posisi tong ini tidak berdiri melainkan ditidurkan dan ditumpuk. Satu kesalahan saja membuat tong-tong ini menggelinding dan membahayakan orang didalam labirin.

Kepala polisi itu memimpin di depan untuk diikuti anak buahnya. Setiap kelokan dan jalan buntu akan ia ingat. Sampai akhirnya ketika ia berbelok, sesosok yang bergerak kaku terlihat. Di lehernya terdapat tali, ia adalah korban yang digantung. Dengan mata kosong dan leher patah ia berlari dengan kekuatan tak masuk akal.

Yopi dan satu anak buahnya menodongkan pistol mulai menembak.

DOR! DOR! DOR! DOR!

Tembakan demi tembakan diletuskan tapi jenazah itu tidak berhenti dan berhasil menebas salah satu anak buahnya, membuat darah mengalir deras dari tubuhnya membasahi seragam polisi itu.

Kepala polisi mengatupkan rahang dan menendangnya, membuatnya terlempar. Yopi mengeksekusi dengan menembakan dua peluru ke kepala jenazah itu. Akhirnya kegilaan itu usai.

Kepala polisi itu membungkukan tubuhnya sebentar untuk mendengar kalimat yang akan ia ucapkan, akan tetapi polisi itu tak sempat dan menyisakan tatapan kosong pada kepala polisi itu.

Yopi menutup matanya, dia terlihat sangat depresi.

"Eiden, Hanson, dan kini Bogey... Ini tidak bisa dimaafkan, pak." Yopi mencengkram tangan kuat-kuat dan menggelengkan kepala bersimpuh. Ia menangis, "aku sudah tidak kuat, pak." nafasnya tak teratur dan mulai menodongkan pistol ke kepalanya sendiri.

Kepala polisi itu langsung meninjunya di wajah. "Kau boleh pulang, kau boleh kabur tapi jangan sampai membunuh diri mu sendiri. Aku tidak mau menanggung malu seumur hidupku atas tindakan yang kau lakukan. Pergilah kalau tak sanggup memikul beban dari teman-temanmu. Nyawamu adalah milikmu, kau berhak menyelamatkannya." Kepala polisi itu meninggalkan Yopi sendirian dan berjalan terus menyusuri labirin.

Setelah beberapa kali berbelok ia menemukan Martinez, anak buahnya itu langsung menghampirinya. "Syukurlah, tadi ada tembakan beruntun pak. Mereka sebenarnya ada berapa?" Martinez terlihat sama takutnya seperti Yopi.

"Kita belum tahu, banyak kejadian aneh terjadi dalam sekejap." Kepala polisi itu menyoroti senter ke belakang Martinez.

Alangkah terkejutnya ketika melihat sesosok yang tinggi dan besar di kegelapan lorong. Ia memiliki senyum yang sangat lebar, kulit yang sangat putih, pupil yang sangat kecil, dan ia terlihat sedang menodongkan pistol. Dia adalah sang pembunuh berantai.

Dor!

Satu tembakan, peluru menembus tengkorak Martinez membuat pria itu roboh dengan mata juling keluar. Kepala polisi langsung melompat ke balik tong terdekat untuk berlindung.

Suara tembakan masih terus terdengar, kepala polisi mengeluarkan senjata dari balik jubahnya. S&W 500 Magnum. Senjata cantik idaman para pria sejati, pikir kepala polisi.

Suara letusan tembakan berhenti setelah klip habis. Kepala polisi langsung menampakan dirinya, akan tetapi tak ada siapapun. Pria itu mendecak dan berlari mengejarnya. Ia melihat siluet berlari di balik tong dan langsung menembaknya.

Suara letusan yang menggelegar terjadi, tong tersebut meledak dan menyemburkan cairan wine yang ada di dalamnya, meski begitu ia yakin tembakannya mengenai target. Ia berlari lebih cepat dari sebelumnya hanya untuk sekedar tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Ia berkelok menemukan jejak darah dan wine yang berceceran di lantai beton polosan. Memudahkan ia untuk melacaknya.

Letusan tembakan kembali terdengar, hanya Yopi yang tersisa di labirin ini. Semoga orang itu baik-baik saja, batin kepala polisi itu sambil terus memacu langkahnya.

Tapi ucapan batinnya langsung terbantahkan melihat satu sosok yang sudah terkapar di lantai. Kepala polisi itu menyaksikan wajah hancur tak dikenalnya akan tetapi papan namanya sangat jelas bahwa itu Yopi. Pembunuh itu hanya menggunakan kakinya untuk menghancurkan tengkoraknya, terlihat dari Wine yang tertinggal disana. Wine dan darah hampir mirip dari segi warna tapi polisi itu bisa membedakannya.

Terdengar suara dari atas tong. Dengan sigap kepala polisi langsung menembakan peluru ke atas akan tetapi sepertinya meleset. Revolvernya terpental karena hantaman, si pembunuh melesatkan sepotong patahan kayu ke wajah kepala polisi dan berhasil menanamkannya dengan sekali ayun.

Teriakan histeris dari kepala polisi memenuhi ruangan bawah tanah.

Tapi si pembunuh tidak berhenti sampai disana, menancapkan patahan kayu ke kaki kepala polisi itu membuatnya bersimpuh dengan jeritan kesakitan. Si pembunuh mencoba menendang kepalanya akan tetapi masih sempat ditahan meski harus mengalami patah tulang. Lalu dihantam lagi tepat di perut sampai membuat kepala polisi terpental ke tong-tong berisi Wine.

sebelum kesadarannya habis, ia masih melihat sosok tinggi besar yang berjalan mendekatinya secara perlahan sebelum akhirnya hilang penuh kesadarannya.

...****************...

Tim Alpha ke markas, ditemukan tiga mayat warga sipil, tujuh mayat anggota polisi.

Diterima, masih ada yang tersisa?

Masih, kepala polisi yang memimpin misi, winston, ditemukan dengan keadaan kritis di ruang bawah tanah. Sudah dibawa anggota medis untuk perawatan lebih lanjut.

Ada tanda-tanda si pelaku?

Negatif, menurut kesaksian dan jejak yang ditinggalkan ia berlari menuju utara.

Dimengerti, tujuan selanjutnya berdasarkan dari petunjuk yang ada. Akademi Energi Tingkat Atas, Akademi Debocyle menjadi destinasi selanjutnya dengan tingkat persentase 98% benar.

Siap laksanakan. Menuju Akademi Debocyle.

Bab 1

Pagi itu datang dengan keagungan yang tenang, seolah-olah alam ingin menebus kegaduhan semalam. Matahari perlahan muncul dari balik ufuk, sinarnya menembus sisa-sisa kabut tipis yang masih menggantung di udara. Cahaya keemasan memantul di dedaunan yang basah, tetes-tetes embun berkilauan seperti permata kecil yang dijatuhkan dari langit.

Angin pagi berembus lembut, menyapu harum tanah basah dan membawa kesejukan yang menyegarkan jiwa. Di kejauhan, burung-burung mulai bernyanyi, suaranya menggema lembut di antara ranting pohon yang masih bergoyang ringan, sisa dari badai yang mengamuk semalaman.

Rumah-rumah tampak tenang, jendela-jendela yang tertutup kini mulai terbuka, membiarkan sinar hangat masuk dan menyapu gelap yang tertinggal. Semua terasa seperti awal baru—seperti pagi itu adalah hadiah setelah malam panjang penuh gemuruh, di mana dunia akhirnya menarik napas lega.

Di tengah pagi yang mulai beranjak cerah, Akademi Debocyle berdiri megah di atas dataran kokoh tersusun rapi, dikelilingi kabut tipis yang enggan menyerah pada sinar matahari. Bangunannya menjulang dengan arsitektur yang mencampurkan estetika klasik dan teknologi modern, memberikan kesan kuno namun sarat kekuatan.

Gerbang besi hitam yang dihiasi simbol-simbol misterius tertutup dengan kokoh menjadi palang utama di akademi, menjadi saksi bisu terhadap siswa-siswa dengan langkah tegas dan wajah penuh tujuan.

Lapangan luas di depan akademi sudah dipenuhi aktivitas, beberapa siswa dengan jubah khusus berlatih mengendalikan energi mereka, percikan cahaya, api, dan udara berputar di tangan mereka seperti karya seni yang hidup. Di sudut lain, sekelompok mentor berkeliling, mengamati dengan mata tajam dan sesekali memberi instruksi tegas. Suara dentingan logam terdengar dari area latihan fisik, di mana duel penuh strategi tengah berlangsung dengan tongkat, pedang, atau sekadar kekuatan tangan kosong.

Di puncak menara utama akademi, Kepala Akademi Debocyle, sosok misterius dengan jubah panjang hitam berlapis corak emas, berdiri memandang ke bawah, memperhatikan para calon pemegang kekuatan masa depan dengan mata penuh harapan dan kebanggaan.

Di dalam ruangan-ruangan kelas praktik berbentuk melingkar, siswa-siswa yang lebih muda duduk menghadap hologram besar yang menampilkan skema rumit tentang energi, teori pengendalian, dan batas kemampuan manusia. Akademi ini bukan sekadar tempat belajar, disini adalah pusat pembentukan kekuatan—tempat di mana legenda ditempa, dan hanya yang terkuat serta paling gigih yang akan bertahan untuk mengukir namanya di dinding kejayaan Debocyle.

Akademi Debocyle berdiri seperti istana megah di puncak bukit. Halaman luas, menara berlapis kristal, dan tembok-tembok menjulang yang nyaris menyentuh langit. Bagi kebanyakan orang, Debocyle adalah simbol harapan, tempat lahirnya para pahlawan berkekuatan super. Tapi bagi Alvaro, tempat ini tak lebih dari penjara berlapis emas.

Pagi itu, Alvaro duduk santai di ujung bangku kelas 1-A, jauh dari pandangan langsung sang guru. Umurnya tujuh belas, tapi wajahnya terlihat lebih matang dari anak sebayanya—sorot mata tajam, gerak tubuh tenang, dan suara yang tak pernah meninggi tanpa alasan. Rambut hitamnya dibiarkan jatuh tak beraturan, seragamnya lengkap namun sedikit berantakan dengan lengan tergulung.

Di depannya, Pak Bevan, guru Kode Etik, berdiri sambil menjelaskan panjang lebar tentang "peraturan Akademi Debocyle".

“Kekuatan adalah tanggung jawab besar. Di sini, kita belajar mengendalikan diri. Tidak boleh ada kekerasan, kesombongan, atau penggunaan kekuatan sembarangan. Apa pun alasannya.”

Alvaro mendengus kecil, tapi cukup keras untuk didengar satu kelas. Beberapa teman menoleh, penasaran.

Pak Bevan berhenti. “Ada masalah, Alvaro?”

Alvaro menatap guru itu dengan senyum tipis, wajahnya tenang seperti permukaan air. “Tidak ada, Pak. Cuma penasaran… kalau kami tidak boleh menggunakan kekuatan, lalu untuk apa kami punya kekuatan ini?”

Suasana kelas mendadak hening. Pak Bevan menarik napas dalam, matanya menatap tajam ke arah Alvaro. “Kekuatan yang tak terkendali hanya membawa kehancuran. Saya harap kamu paham itu.”

“Tentu, Pak. Saya paham.” Alvaro tersenyum lagi, lalu menunduk seolah patuh.

Tapi di bawah meja, tangannya bergerak pelan. Sebuah nyala kecil muncul di ujung jarinya—bola api seukuran kelereng, berputar-putar dalam genggaman. Dia tahu ini tindakan bodoh, tapi Alvaro tak peduli. Ada beberapa aturan yang, menurutnya, harus dilanggar.

Lima menit kemudian…

BAAAAAM!!

Sebuah ledakan kecil terdengar dari luar jendela. Beberapa siswa berteriak, dan Pak Bevan tersentak, berbalik dengan wajah panik. Di halaman depan, patung besar pendiri akademi kini diselimuti asap hitam dengan jejak api kecil di dasarnya. Tidak hancur, hanya sedikit gosong—cukup untuk menarik perhatian seluruh sekolah.

“SIAPA YANG MELAKUKANNYA?!” teriak Pak Bevan.

Di sudut kelas, Alvaro bersandar di kursinya, ekspresi wajahnya tenang. Tidak ada senyum nakal atau kepuasan berlebih—hanya tatapan datar, seolah semua ini bukan urusannya.

“Alvaro…,” bisik salah satu siswa di belakangnya. “Kamu yang—”

“Diam.” Suara Alvaro rendah, nyaris berbisik, tapi cukup membuat temannya mematung.

Ketika para guru sibuk berlarian ke halaman, Alvaro melirik keluar jendela. Tujuannya sudah tercapai. Dengan sedikit ‘gangguan kecil’, ia berhasil menunda pertemuan pagi ini—pertemuan yang katanya akan membahas "eksekusi murid yang gagal ujian kekuatan minggu lalu".

Alvaro tak pernah peduli dengan gelar atau reputasi akademi. Tapi dia peduli pada orang-orang yang tak mampu membela diri. Dan kadang… aturan harus dilanggar untuk melakukan hal yang benar.

“Apa pun alasannya,” gumamnya pelan, menirukan ucapan Pak Bevan tadi.

Tidak ada yang tahu kenapa Alvaro selalu bertindak di luar aturan. Mereka hanya melihat tindakan, bukan alasannya. Itu lebih baik, pikir Alvaro. Karena selama mereka sibuk memandangnya sebagai si "pembuat masalah", mereka tidak akan pernah menyadari siapa musuh sebenarnya di balik tembok Akademi Debocyle.

Lorong akademi masih dipenuhi kepanikan. Ledakan kecil tadi telah mengundang kerumunan guru dan siswa yang berlarian ke sana kemari. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Alvaro tetap bersandar di bangkunya, wajahnya setenang biasa.

“Kalau kau tak bergerak cepat, kau bisa dianggap pelakunya, Alvaro.”

Sebuah suara berat dan tenang terdengar dari belakang. Alvaro menoleh. Berdiri di sana, sosok dengan bahu lebar dan tubuh tegap—Gale.

Dari penampilan luarnya saja, Gale sudah mencuri perhatian. Rambutnya berwarna coklat gelap yang selalu dibiarkan sedikit berantakan, seperti pria yang tak peduli pada penampilan. Namun, sorot matanya tajam dan berwibawa. Ia mengenakan seragam Akademi Debocyle dengan rapi, dengan jubah tipis bergaris emas yang menandakan statusnya sebagai salah satu siswa unggulan.

Alvaro mendengus kecil. “Kau bicara seperti aku harus takut.”

Gale tersenyum tipis, tatapan matanya menusuk namun ramah. “Tak peduli seberapa keras kau bermain-main dengan api, kalau kau tertangkap basah, aku tak bisa membantumu kali ini.”

“Kau? Membantuku?” Alvaro menekuk bibirnya sinis. “Sejak kapan ksatria macam dirimu punya urusan dengan si ‘pembuat masalah’?”

“Sejak kau berhenti berlagak seperti satu-satunya orang yang memiliki dendam di dunia ini.” Suara Gale rendah namun tegas, seolah setiap kata adalah pedang yang menusuk langsung ke dada Alvaro.

Alvaro menatap Gale beberapa detik. Ada sesuatu yang selalu membuatnya diam ketika berhadapan dengan pria ini. Bukan karena Gale lebih kuat—meskipun Alvaro tahu kekuatan Gale ada di atas rata-rata siswa lainnya—tetapi karena Gale memiliki sesuatu yang jarang dimiliki orang lain: ketenangan seorang ksatria sejati.

Tiba-tiba suara langkah tergesa-gesa mendekat. Beberapa guru mulai mendatangi kelas, mata mereka mencari siapa pun yang mencurigakan. Alvaro siap berdiri dan berjalan pergi, tetapi sebuah tangan kokoh mendorong pundaknya kembali ke bangku.

“Duduk di situ,” bisik Gale. “Aku yang urus.”

Sebelum Alvaro bisa membantah, Gale sudah berdiri di hadapan para guru dengan tenang. Tatapannya lurus dan suaranya mantap, tidak bergetar sedikit pun.

“Pak, ada yang perlu saya bantu?” Gale bertanya sopan namun penuh wibawa.

Salah satu guru menatapnya curiga. “Apa kau tahu sesuatu soal ledakan itu, Gale?”

“Tidak, Pak.” Gale menggeleng singkat. “Saya baru saja kembali dari ruang latihan. Tapi saya bisa ikut membantu mencari pelakunya, kalau itu yang Bapak mau.”

Alvaro mengerutkan kening di tempat duduknya, menatap punggung Gale dengan campuran kagum dan kesal. Pria itu selalu tahu bagaimana berbicara dengan para guru, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran yang tak bisa diganggu gugat.

Guru itu akhirnya mendengus. “Baiklah. Pastikan tidak ada siswa yang berkeliaran. Kami akan menyelidiki lebih lanjut.”

“Dimengerti, Pak,” jawab Gale sambil membungkuk kecil.

Begitu para guru pergi, Gale berbalik, langkah kakinya berat namun mantap menuju Alvaro. Sesaat, mereka bertatapan—Gale dengan senyum kemenangannya, Alvaro dengan ekspresi sebal.

“Cukup berkesan, ya?” Gale berujar santai sambil menyandarkan dirinya di meja Alvaro. “Satu hari tanpa kekacauan darimu adalah hari yang aneh.”

“Aku tak minta diselamatkan, ksatria,” balas Alvaro datar.

Gale terkekeh kecil. “Aku tahu. Tapi seseorang harus menjaga punggungmu, Alvaro.”

Untuk pertama kalinya sejak pagi itu, Alvaro tersenyum tipis, meskipun ia buru-buru menyembunyikannya.

Bab 2

Setelah kepergian para guru, kelas kembali tenang—atau setenang yang bisa diharapkan setelah insiden kecil pagi itu. Beberapa siswa berbisik di sudut-sudut ruangan, menatap ke arah Alvaro dengan kecurigaan yang tak berani mereka utarakan. Alvaro hanya bersandar di kursinya, menatap kosong ke arah jendela.

“Kalau kau mau terus bertindak seperti ini, mungkin lebih baik aku bawakan buku panduan aturan Akademi, supaya kau bisa lebih kreatif dalam melanggarnya,” suara Gale tiba-tiba memecah keheningan, disertai langkah kakinya yang berat mendekati bangku Alvaro.

Alvaro meliriknya sekilas. “Panduan itu terlalu membosankan untuk dibaca. Kau tahu itu.”

Gale menjatuhkan diri di bangku kosong di sebelah Alvaro, posturnya yang kokoh terlihat kontras dengan sikap santainya saat duduk. Tangan Gale bersedekap di dada, sementara ia melirik sahabatnya dengan ekspresi yang setengah jengkel, setengah menghibur.

“Kau benar-benar belum berubah sejak SMP,” ujar Gale dengan nada datar namun penuh makna. “Masih suka cari masalah dan menganggap dunia ini hanya papan catur untuk permainanmu.”

Alvaro terkekeh kecil, sebuah reaksi langka dari dirinya. “Dan kau belum berubah sejak saat itu juga—selalu jadi penjaga moral dan kehormatan di sekitarku.”

Gale menatapnya sambil menaikkan alis. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau memastikan kau tetap hidup sampai akhir semester?”

Keduanya terdiam sejenak. Suasana kelas yang tadi tegang berubah lebih santai, meski tak sepenuhnya aman. Dari kejauhan, beberapa siswa masih mencuri pandang ke arah mereka berdua—Alvaro, si "pembuat masalah", dan Gale, si "ksatria akademi". Dua pribadi yang terasa bertolak belakang, tetapi entah bagaimana, justru saling melengkapi.

“Kau ingat, waktu kelas delapan, ketika kau membuat kepala sekolah SMP kita nyaris pingsan karena ular plastik itu?” Gale tiba-tiba membuka topik, nada suaranya berisi kenangan lama.

Alvaro mendengus kecil. “Aku cuma ingin melihat apakah pria tua itu bisa berteriak. Ternyata bisa.”

“Kau dipanggil ke ruang BK selama seminggu penuh,” lanjut Gale sambil tersenyum tipis. “Dan aku harus ikut menemanimu karena aku satu-satunya yang bisa membuatmu tutup mulut dan berhenti melawan guru.”

“Aku tidak meminta kau ikut waktu itu.” Alvaro melirik Gale dengan pandangan menyelidik.

Gale balas menatapnya dengan tenang. “Ya, tapi kau akan dipindahkan sekolah kalau aku tidak ikut. Seseorang harus jadi perisai untuk semua ledakan kecil yang kau buat.”

Suasana di antara mereka terasa lebih hangat, meskipun tak ada tawa berlebihan atau sentuhan dramatis. Gale tidak pernah mencoba mengubah Alvaro—ia tahu sahabatnya itu lebih keras kepala dari batu. Tapi, selama bertahun-tahun, ia selalu ada di sampingnya: sosok yang diam-diam memegangi tali layang-layang liar bernama Alvaro, memastikan ia tidak tersesat terlalu jauh.

Alvaro akhirnya menatap Gale lebih lama. Ekspresi wajahnya masih tenang, tapi di dalam matanya, tersirat penghargaan yang jarang ia tunjukkan.

“Kau tahu, Gale,” Alvaro berujar pelan, “kalau kau punya hobi lain selain mengurusi hidupku, mungkin kau sudah lebih bahagia.”

Gale terkekeh kecil. “Aku baik-baik saja. Seseorang harus menjagamu. Lagi pula, kau tak pernah bayar jasa keamanan yang sudah kuberikan sejak SMP.”

“Anggap saja itu ikhlas.”

“Percuma. Kau tetap berutang banyak padaku.”

Untuk pertama kalinya hari itu, Alvaro menghela napas kecil, nyaris seperti tawa yang tertahan. Suasana kaku di sekitarnya akhirnya mencair—Gale memang satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa seperti manusia biasa, meskipun hanya sesaat. Persahabatan mereka tidak memerlukan kata-kata manis atau janji berlebihan. Itu hanya ada—kokoh, seperti tembok batu yang tahan badai.

Suasana kelas mulai mereda. Alvaro masih bersandar di bangkunya, sementara Gale duduk di sebelahnya dengan sikap santai. Mereka berdua menikmati momen hening yang jarang terjadi di Akademi Debocyle—setidaknya hingga pintu kelas terbuka dengan suara berdecit pelan.

Semua kepala menoleh ke arah pintu, termasuk Alvaro dan Gale. Berdiri di sana, dengan tatapan tajam dan sikap tegap seperti seorang ratu, adalah Latania.

Latania dikenal bukan hanya karena wajahnya yang memukau, tapi juga auranya yang tegas dan dingin. Rambut hitam panjangnya diikat tinggi, membiarkan beberapa helai jatuh bebas membingkai wajahnya. Seragamnya rapi tanpa cela, dengan emblem Akademi bersinar di dada kirinya, tanda posisinya sebagai salah satu murid terbaik.

“Hei, Latania datang,” bisik beberapa siswa.

Tanpa mempedulikan lirikan kagum atau bisikan yang mengikutinya, Latania melangkah masuk. Langkah kakinya teratur, nyaris tanpa suara, tapi setiap gerakannya mengundang perhatian. Ia berhenti tepat di depan Alvaro dan Gale, menatap keduanya dengan pandangan penuh arti.

“Kalian berdua memang selalu jadi pusat keributan,” ucapnya, suaranya rendah namun tajam seperti pisau. “Aku bahkan bisa mendengar ledakan itu dari ruang perpustakaan.”

Gale menatap Latania dengan senyum kecil. “Selamat pagi juga, Latania.”

Latania melirik Gale sekilas, sebelum tatapannya kembali ke Alvaro yang hanya membalasnya dengan pandangan malas.

“Apa lagi, Alvaro?” Latania menyilangkan tangan di dada. “Berapa kali kau harus membuat Akademi ini berada di ujung tanduk sebelum kau puas?”

Alvaro mendengus kecil. “Aku tidak ingat punya kewajiban melapor padamu.”

Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibir Latania. Senyum itu bukan tanda kelembutan—lebih seperti tanda bahwa ia tahu sesuatu yang tak diketahui orang lain.

“Kau selalu menyebalkan,” gumamnya. “Tapi kau tahu? Semua orang masih menaruh harapan padamu—meskipun kau bertindak seperti ini.”

Gale terkekeh kecil. “Kau terlalu keras padanya, Latania. Biarkan Alvaro menikmati kebebasan sementaranya.”

Latania memutar bola matanya dengan elegan. “Kebebasan? Hanya jika kau pikir bermain api di Akademi adalah kebebasan.”

Alvaro menatap Latania cukup lama sebelum akhirnya membuka mulut, nadanya datar. “Kau datang jauh-jauh hanya untuk menguliahi kami, atau kau punya urusan lain?”

Latania mendekat, sedikit membungkuk hingga tatapan mereka sejajar. Ada kilatan tajam di matanya.

“Aku datang untuk memperingatkan kalian berdua,” katanya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Gale berhenti tersenyum. “Aku mendengar kabar… sesuatu yang buruk akan terjadi di Akademi.”

Hening mendadak menyelimuti mereka. Alvaro menatap Latania lekat-lekat, mencoba mencari kebohongan di balik matanya, tapi yang ia temukan hanya ketegasan dan kesungguhan.

“Buruk seperti apa?” tanya Gale akhirnya, suaranya lebih serius.

Latania menegakkan tubuhnya, melipat tangan di belakang punggung. “Aku belum tahu pasti, tapi kau bisa merasakannya, bukan? Ada yang tidak beres sejak pagi ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Latania berbalik dan berjalan menuju bangkunya di barisan depan. Langkahnya sama tegas seperti saat ia datang, menyisakan ketegangan samar di antara Alvaro dan Gale.

“Dia selalu seperti itu,” gumam Gale akhirnya.

Alvaro hanya diam. Di kepalanya, ucapan Latania berputar tanpa henti. Sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan entah kenapa, kali ini, Alvaro mempercayainya.

Suasana kelas kembali sibuk seperti biasa, meskipun gema kata-kata Latania masih terngiang di kepala Alvaro. Sesekali, matanya melirik ke luar jendela, memandang patung pendiri Akademi yang masih sedikit gosong akibat insiden pagi tadi.

“Alvaro.”

Sebuah suara lirih menarik perhatiannya. Alvaro menoleh, mendapati seorang siswa duduk di bangku yang tak jauh darinya—Dave. Wajah Dave tampak sedikit pucat, tapi senyumnya ramah, meskipun gugup. Tubuhnya kecil, jauh lebih mungil dibandingkan Gale, dan rambutnya yang berantakan memberi kesan ia sering melupakan sisir.

“Ada apa?” tanya Alvaro singkat.

Dave menegakkan punggungnya, lalu menatap Alvaro dengan ragu. “Aku cuma ingin bilang… terima kasih.”

Alvaro mengernyit. “Terima kasih? Untuk apa?”

Dave memainkan ujung pulpen di tangannya, menatap meja sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Alvaro. “Minggu lalu… kau tahu, di halaman belakang, waktu beberapa anak kelas dua menggangguku. Kalau kau tidak lewat waktu itu, mungkin—”

“Oh, itu,” potong Alvaro. “Bukan urusanku.”

“Tapi tetap saja… kau bilang sesuatu pada mereka, dan mereka pergi. Kau tidak harus melakukannya, tapi… kau melakukannya,” ucap Dave cepat, seolah takut ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. “Aku cuma mau bilang itu sangat berarti buatku.”

Alvaro diam. Ia bahkan hampir lupa kejadian itu—baginya, mengusir sekelompok anak usil hanyalah tindakan spontan, bukan sesuatu yang perlu diingat. Namun, bagi Dave, momen itu rupanya menyimpan arti yang lebih dalam.

“Kau berlebihan,” gumam Alvaro, memalingkan wajah. “Mereka hanya bocah-bocah berisik.”

Dave tersenyum kecil, tapi tatapan matanya tulus. “Tetap saja… Aku tahu kau tidak suka dilibatkan dalam urusan orang lain, tapi kau menyelamatkanku hari itu. Aku berhutang budi padamu.”

Alvaro menatap Dave sejenak. Ada sesuatu di balik sikap canggung siswa itu—sesuatu yang familiar baginya. Seperti melihat seseorang yang berusaha keras bertahan di dunia yang tak berpihak padanya.

“Jangan berhutang pada siapa pun,” ucap Alvaro akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Itu hanya akan menyulitkan hidupmu.”

Dave tertawa kecil, meskipun nadanya agak getir. “Kau terdengar seperti ayahku.”

Ucapan itu membuat Alvaro terdiam. Tidak banyak yang berani mengobrol dengannya, apalagi dengan cara seakrab ini. Namun, Dave berbeda—mungkin karena Dave tidak takut pada reputasi Alvaro, atau mungkin karena ia hanya seorang siswa biasa yang terlalu polos untuk menilai orang lain berdasarkan omongan.

“Kau aneh,” komentar Alvaro akhirnya.

Dave terkekeh. “Aku sudah sering mendengarnya.”

“Kalau begitu, berhentilah duduk di sini. Orang-orang akan mengira kau bagian dari masalahku.”

“Aku tidak peduli,” jawab Dave cepat, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lagipula, aku hanya ingin sedikit tenang. Duduk di dekatmu… entah kenapa membuatku merasa aman.”

Alvaro menoleh, keningnya berkerut samar. Tapi sebelum ia sempat membalas, Gale menyenggol lengannya dari samping.

“Teman barumu?” tanya Gale dengan senyum setengah mengejek.

“Bukan,” jawab Alvaro singkat.

Dave hanya tertawa pelan mendengar itu, lalu menatap Gale dengan ramah. “Halo, Gale. Aku sering melihatmu waktu latihan di lapangan.”

“Kau tahu namaku?” Gale menatap Dave dengan sedikit terkejut.

“Siapa yang tidak tahu namamu? Kau kan murid berbakat di Akademi ini,” jawab Dave dengan polos.

Gale tersenyum tipis. “Kau tahu caranya bicara yang menyenangkan, ya.”

Percakapan kecil itu berakhir ketika bel tanda istirahat berbunyi. Dave bangkit lebih dulu, merapikan bukunya dengan cepat.

“Aku duluan, ya. Terima kasih lagi, Alvaro,” ucapnya sebelum pergi.

Alvaro hanya menatap punggung Dave yang berlalu, tanpa menjawab. Ada sesuatu yang aneh dengan anak itu—bukan dalam arti buruk, tetapi… entah bagaimana, sosok Dave terasa rapuh, seperti kaca tipis yang siap pecah kapan saja.

“Kau menyelamatkan anak itu?” tanya Gale setelah beberapa saat.

“Aku tidak sengaja,” jawab Alvaro pelan.

Gale menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Kadang hal kecil bisa berarti besar untuk orang lain, Al. Jangan anggap itu remeh.”

Alvaro hanya diam, tapi pikirannya masih tertuju pada Dave. Sebuah firasat samar menyelinap di kepalanya—seakan ia tahu, entah bagaimana, anak itu akan menghadapi sesuatu yang lebih besar dari yang ia mampu tanggung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!