NovelToon NovelToon

A BIG MISTAKE

Bab 1

Aku Chalisa Aqilah seorang ibu berusia 36 tahun. Memiliki seorang putra yang bernama Angga Dwi Pratama. Tanggal 10 bulan depan ia genap berusia 18 Tahun. Tanpa terasa, ia tumbuh begitu cepat, menjelma menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.

Teman-temanku sering memujinya. “Cha, anak lo ganteng banget ya .... “ Berbagai pujian mereka lontarkan padaku. Perawakannya yang sederhana dan mudah bergaul dengan sesama, menambah daya tariknya tersendiri. Tubuhnya cukup atletik dengan tinggi badan yang juga ideal untuk anak seusianya.

Wajah tampannya ia wariskan dari papanya Roberto Pratama. Sebenarnya aku benci menyebutkan nama itu. Pria yang sudah aku lupakan bertahun-tahun lamanya, aku enggan menceritakan semua tentangnya. Bahkan, hanya sekedar menyebut namanya saja, seakan-akan aku tak ingin.

Aku ingat betul, saat itu Angga masih duduk di sekolah dasar, setiap kali aku ambil rapornya, ia selalu menangis menanyakan tentang papanya. “Mami kan banyak uang, kenapa Mami enggak beli saja satu papi baru buatku, aku mau kayak teman-temanku Mi,” gerutu Angga kecilku.

Aku selalu mengalihkan suasana setiap kali ia menanyakan perihal pria brengsek yang tidak kusukai itu. Rasanya dadaku sesak, nafasku seolah-olah terhenti, menahan perihnya hatiku, setiap kali berbagai pertanyaan perihal papanya yang dilontarkan Angga.

Tahun demi tahun kami lalui bersama, semuanya terasa baik-baik saja Angga tidak pernah lagi menanyakan papanya. Hingga suatu sore saat ia pulang sekolah. Ketika itu ia sedang menduduki bangku SMP, wajahnya yang putih tampak aura mukanya merah padam, apa gerangan yang terjadi padanya saat itu, aku pun tak tahu.

Ku beranikan diri untuk mendekatinya. “Ada apa, Nak?” tanyaku padanya, ku belai lembut rambutnya, Angga diam seribu bahasa, ku perhatikan saksama wajahnya, ku belai pipinya, ia memelukku erat tampak amarah hilang dari wajahnya.

“Aku hanya ingin tahu di mana keberadaan papi Mi, apa dia masih hidup atau sudah mati, jika memang ia sudah tiada, di mana letak makamnya,” ucapnya padaku, air mata menetes di pipinya.

Aku terdiam, di usianya yang muda ia mampu menahan emosi terhadapku. Aku tahu betul ketika ia pulang tadi, tampak api kemarahan di wajahnya.

“Apa aku anak haram Mi, seperti yang teman-teman ku bilang?” tanya Angga kemudian.

Deg.

Pertanyaannya membuat air mataku bercucur deras. Rasanya seperti petir di siang hari, hatiku hancur berkeping-keping, jantungku berdetak kencang aku menangisi kesalahan masa laluku, aku benci pada diriku sendiri. Tuhan... andai saja bisa ku putar kembali waktu itu. Hatiku menjerit pilu.

Jika saja masa laluku tidak seburuk itu, mungkin anakku akan merasakan kasih sayang seorang ayah. Ku usap kepalanya kucium keningnya.

“Beri waktu sayang, Mami belum siap menceritakannya, belum waktunya kau mengetahui semuanya.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Angga memelukku erat ia mengusap air mata di pipiku, permohonan maaf ia tutur berulang kali. Itulah terakhir kali ia menanyakan perihal papanya.

Kini usianya sudah dewasa, tanggal 10 bulan depan tepat hari ulang tahunnya. Aku berjanji pada diriku sendiri akan ku ceritakan semua padanya di hari itu.

Aku wanita pekerja keras, aku mempunyai beberapa cabang toko kue yang tersebar di kotaku, aku juga menerima pesanan online. Namun beberapa toko aku percayakan karyawanku yang menjaganya. Sementara toko induknya ada di rumah ku sendiri. Tepat di sebelahnya, aku menjual bunga-bunga.

Awalnya tak terbesit di pikiranku untuk menjual bunga-bunga itu, aku hanya menyukainya saja. Berbagai jenis bunga ada di taman rumahku. Temanku Zoya yang menyarankan agar aku menjual bunga-bunga indah itu, hingga akhirnya aku terima ide cemerlangnya itu.

Aku tinggal bersama Angga di rumah yang cukup nyaman untuk dihuni menurutku. Rumah yang ku bangun dengan hasil keringatku sendiri yang berukuran lahan 13m x17m yang aku desain sendiri pula sesuai seleraku itu, rasanya cukup nyaman untuk kami diami.

Aku dan Angga ditemani Bu Aini. Beliau adalah orang yang paling menyayangiku lebih dari orang tuaku sendiri, aku enggan menyebutnya pembantu. Bahkan aku sengaja mencarikan seorang pembantu rumah tangga yang lain agar Bu Aini tidak kelelahan, aku tahu sampai mulutku berbuih melarangnya untuk tidak bekerja, beliau pun tidak akan menurutinya. Namun tetap saja beliau menolaknya.

Hari-hari kulalui terasa indah, aku menjalani aktivitas seperti biasanya setiap hari. Sampai detik ini aku masih betah sendiri, meskipun banyak pria yang mendekatiku, tapi tidak ada satu pun yang membuatku merasa luluh.

Selama ini, ada satu pria yang menarik perhatianku. Pria itu selalu membeli bunga mawar merah di tokoku setiap hari Minggu. Jika diperhatikan sekilas, wajahnya mirip dengan Robert. Aku sedikit tertarik padanya, aku menyukai sikapnya yang elegan. Dia pasti tipikal pria yang romantis pikirku, pasalnya, ia selalu membeli mawar merah di tokoku.

Tapi belakangan ini Angga selalu menanyakan padaku, “Mami kapan nikah lagi?” Sudah beberapa kali ia menanyakannya pertanyaan yang sama, tapi selalu aku acuhkan.

Baru saja kemarin Angga mengenali paman teman dekatnya padaku, aku menolaknya mentah-mentah. Bukan karena fisik maupun harta, tapi hatiku belum siap. Rasanya telah tertutup pintu hatiku untuk yang namanya pria, entah sampai kapan aku pun tak tahu.

Mengenai Angga, ia sudah beberapa kali membawa teman perempuannya ke rumah, aku dan Bu Aini selalu menggodanya. Tapi ia selalu menyangkal bahwa itu bukan pacarnya. “Teman dekat saja Mi,” begitu ujarnya padaku.

Pernah sekali aku pergoki ia sedang merangkai bunga mawar merah dan ia masukkan ke dalam tasnya, Romantis sekali anakku, aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya.

Aku tidak pernah mengeluh dengan kondisiku saat ini, Angga dan Bu Aini begitu menyayangiku. Aku tidak ingin kebahagiaan ini hilang dari sisiku, aku selalu bermunajat kepada-Nya aku hanya ingin bahagia, hanya itu.

Aku tidak tahu kapan waktunya, bila tiba masa nanti, akan aku akhiri masa kesendirianku ini. Aku hanya berharap Tuhan mempertemukan aku dengan seorang pria yang lebih baik dan bertanggung jawab.

"Belajarlah melupakan, Cha. Buka hatimu, banyak pria yang lebih baik di luar sana." Bu Aini selalu menasehatiku, ia tidak suka setiap kali ada tetangga yang selalu mengomentari hidupku. Wajar saja bila mereka begitu, aku seorang janda. Walau bagaimanapun aku menjaga nama baikku, tetap saja mereka berpikiran negatif.

Jangan lupa like ya...

Bab 2

Aku ingin menceritakan sedikit tentang orang tuaku. Ya, aku masih memiliki kedua orang tua lengkap. Namun, aku telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal, yang membuat mereka benar-benar kecewa.

Aku diusir dari rumahku sendiri karena tingkahku yang kelewatan. Akibat pergaulan bebas yang kujalani sehari-hari, hingga menyebabkan aku hamil diluar nikah.

Ayahku bernama Hamdani, beliau pengusaha hebat di kotaku. Seluruh kota mengenal siapa beliau. Sikapnya ramah dan santun terhadap siapa saja, membuat pengusaha-pengusaha muda mengaguminya. Beliau tidak pernah membedakan si miskin atau si kaya. Itu yang membuat aku bangga pada beliau. Aku memanggilnya dengan sebutan 'Papa'.

Sementara ibuku, beliau sekretaris pribadi papaku sendiri. Nama mamaku Hana Ayuni. Beliau sedikit lebih tegas dari papaku. Tidak heran, kenapa dulu aku lebih manja dengan papa dari pada mama. Mamaku, selalu menemani kemanapun papaku pergi.

Karena terlalu sibuk, aku kurang mendapat perhatian dari keduanya. Awalnya aku tidak mengeluhkan kondisiku saat itu. Toh, juga mereka berkerja untukku. Pikirku saat itu.

Namun tahun demi tahun berganti. Ada rasa jenuh di hatiku. Aku mulai merasakan kesepian, aku mulai mengerti apa itu kasih sayang. Uang yang banyak dan harta bergelimang bukan satu-satunya yang bisa membuat aku bahagia.

Terlebih aku satu-satunya anak mereka. Terkadang aku ingin memiliki seorang adik, biar aku memiliki teman mengobrol. Namun, lama kelamaan, aku mulai menikmati kesendirianku itu.

Sikapku yang biasa diperlakukan baik dan dipenuhi semua keinginan, mulai tak terkendali kala itu. Aku memperlakukan pembantuku seperti layaknya di sinetron-sinetron. Kecuali Bu Aini.

Sedikit flashback ke masa laluku. Semua kejadian berawal saat aku masih menempuh pendidikan tingkat atas. Saat itu aku baru menduduki kelas sebelas.

Aku jadi primadona di sekolahku sendiri. Tak ayal, banyak yang mengagumi kecantikan yang aku wariskan dari kedua orangtuaku. Awalnya, aku tidak pernah tertarik dengan yang namanya pria. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Aku sibuk mencari dimana kebahagiaanku. Kebahagiaan yang tak ku temui dirumah.

Aku suka menghamburkan uang bersama teman-temanku. Aku sering bolos sekolah dan nilai ujian selalu anjlok. Kepala sekolah tidak pernah mengirim surat panggilan untuk orangtuaku. Mengingat ayahku orang terpandang, mungkin ada rasa segan. Entah, aku pun tak tahu.

Hingga perkenalanku dengan seorang pria yang bernama Roberto Pratama membuat semua berubah.

Robert adalah pria tampan dan kaya anak pengusaha hebat. Awalnya aku tidak tau identitasnya, aku hanya mengangumi ketampanannya saja, tapi teman-temanku yang memberitahu siapa pria yang menggodaku kala itu di sebuah Mall.

Sikap dewasanya yang membuatku tertarik ingin mengenalinya lebih dalam. Hingga perkenalanku dengannya kala itu jadi duri dalam hidupku hingga kini.

Setelah perkenalan itu di Mall. Aku mulai berkencan dengannya beberapa kali, sebelum kami resmi berpacaran.

Awalnya tidak ada yang aneh, layaknya pasangan muda-mudi lainnya. Kami menghabiskan waktu pacaran sekedar jalan dan makan bersama. Saling antar jemput, dan menghabiskan weekend bersama. Hanya itu.

Namun tiba suatu sore, kala itu. Sepulang sekolah ia mengajakku ke rumahnya. Katanya, ada temannya yang berulang tahun. Mereka ingin menyusun sebuah acara yang mewah untuk temannya itu.

Namun acaranya gagal, karena teman mereka yang berulang tahun telah pergi berlibur dengan kedua orangtuanya keluar negri.

Akhirnya, Robert ingin mengantarku pulang. Tiba-tiba hujan sangat deras mengguyur kotaku. Disertai dengan petir menggelegar yang bersahut-sahutan.

Robert mengurungkan niatnya mengantarku pulang. Sembari menunggu hujannya reda, aku menonton film terbaru bersamanya.

Hujan sangat deras, petir terus bersahut-sahutan, aku merasakan hawa dingin ruangan itu. Suasana dingin hujan ditambah dengan dinginnya AC membuat buluku merinding.

Robert memelukku. Aku mendekap tubuhnya erat, kubenamkan wajahku di pelukannya. Nafasnya terasa hangat di keningku ketika ia hembuskan perlahan. Aku merasakan tangannya bergerilya di tubuhku. Aku membiarkannya, telapak tangannya hangat ketika bersentuhan dengan kulit mulus ku.

Aku terlena dengan setiap belaiannya di tubuhku, nafas kami sama-sama memburu. Aku tidak sadarkan diri dengan semua yang telah ku lakukan sore itu.

Aku menangis sesenggukan di sofa rumahnya. Hujan telah reda, semuanya telah terjadi begitu saja. Aku baru tersadar, mahkotaku telah di renggut Robert.

Dia membujukku, mencoba membuatku tenang, ia berjanji jika terjadi sesuatu denganku ia akan bertanggungjawab sepenuhnya. Roberto juga berulangkali minta maaf padaku.

Setelah kejadian itu, pikiranku berkecamuk. Resah gelisah ku rasa, bagaimana jika orang tuaku tau. Bagaimana jika aku hamil, semuanya bersatu menjadi penyakit mematikan yang ku pendam sendiri.

Salah satu sahabat terbaikku, mengetahui gerak-gerik ku. Dialah Zoya, aku menceritakan semua beban yang ku pikul. Dia membantuku testpack, aku bahkan tidak tau caranya.

Aku cemas sembari menunggu hasil tesnya. Aku sudah 2 Minggu terlambat datang bulan. Meski hubunganku dengan Robert baik-baik saja, aku tetap khawatir bagaimana jika ia tidak mau bertanggungjawab nantinya.

Aku hampir saja mati berdiri kala itu, saat aku mengetahui aku positif hamil. Dunia seakan runtuh, tulang ku serasa remuk, lutut pun tak bisa menyangga lemahnya tubuhku kala itu.

Aku terjerembab jatuh dilantai kamar mandi. Aku menangisi semuanya. Semua bercampur aduk di pikiranku. Aku tidak bisa berpikir jernih, aku hanya menangisi semua kebodohan yang telah ku perbuat.

Zoya menyarankan agar aku memberitahu kedua orangtuaku. Dia akan mencoba bicara dengan Robert.

Keesokan harinya, aku menemui Robert, aku rasa harus aku sendiri yang bicara dengannya. Tepat hari itu merupakan hari wisudanya. Aku sangat terkejut, bahkan ia tidak mengundangku. Aku pun bercerita tentang kehamilan dan kekhawatiran yang kurasa setelah ia menghampiriku. Aku tidak mau menanggung beban itu sendiri. Namun diluar dugaan ku, Robert mengelak bahwa ia bukan ayah dari janin yang ku kandung.

Aku mundur lemah, ketika mendengar semua sumpah serapahnya yang mengatakan bayi yang ku kandung itu bukan satu pria. Aku menangis mendengar makiannya yang membuatku ingin mengakhiri hidupku saat itu juga.

Aku rapuh, aku hilang arah dan tujuan. Aku berlari sekencang mungkin, bahkan untuk menoleh sebentar saja aku tak ingin. Aku menyesal pernah berkenalan dan mempercayai dia seutuhnya.

Malam harinya, saat kedua orangtuaku sedang makan malam bersama. Kuberanikan diri dengan segala sesuatu yang akan terjadi kedepannya. Aku siap menanggung semua resikonya.

Aku mengatakan yang sebenarnya, berharap mereka akan percaya dan memberikan kekuatan untuk aku menghadapi semuanya.

Namun aku salah, ayah menggebrak meja makan dengan keras, ia lemparkan semua piring-piring hingga berhamburan di lantai. Seisi rumah dibuat terkejut dengan sikap kasarnya.

Semua makian dan kekecewaan ia lemparkan semua ke wajahku, mukanya merah padam, aku tidak berani menatapnya walau hanya sekejap. Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipiku. Aku merasa pipiku panas dan air mataku perlahan jatuh.

Aku tak menyangka akan seperti itu akhir kisah cinta pertamaku. Tak pernah terbayangkan, hidupku hancur hanya karena cinta palsu yang kujalani.

Bahkan, orangtuaku saja tidak mampu menerima aib yang ku lakukan. Aku putus asa, aku hilang arah, bahkan saat mereka mengusirku aku tidak tau ingin kemana.

Hingga terbesit setan jahat kala itu, aku ingin bunuh diri saja. Hingga suara Bu Aini memanggil namaku ia berlari mengejar ku. Merubah semuanya hingga kini. Aku berterimakasih sebesar-besarnya pada Bu Aini. Berkat beliau aku bisa sampai seperti ini, detik ini, semua yang ku punya, milikku tentunya milik beliau juga.

Bab 3

Hari ini rumahku tampak sepi, toko kue juga tutup. Karena ada salah satu karyawanku yang pulang kampung ada acara pernikahan, aku liburkan saja semua. Akhirnya aku putuskan untuk menjaga toko bunga saja, aku bosan sendirian, jika hanya berdiam diri tanpa aktivitas.

Sementara Angga sudah dijemput teman-temannya pagi tadi. Hari ini Minggu, pasti pria itu akan datang membeli bunga. Gumam ku dalam hati. Entah kenapa tiba-tiba aku merindukan sosok pria itu.

Aku melayani setiap pembeli yang datang, tapi mataku terus mencari pria itu, berharap ia datang membeli bungaku. Sebenarnya bukan itu, tapi aku hanya ingin melihat wajah tampannya saja. Bukan karena ia beli bunga di toko ku.

Sepertinya aku benar-benar merindukannya. Sampai sore pria itu tak kunjung datang, suara Angga yang baru pulang mengagetkanku.

“Mi kenapa belum tutup?” tanya Angga mendekatiku.

“Bentar lagi sayang.” Aku melangkah keluar. Angga mengikuti di belakang.

“Mami lagi tungguin seseorang?” ia kembali bertanya padaku, aku rasa mungkin ia penasaran melihat tingkahku yang aneh.

Akhirnya aku menutup toko bungaku ditemani Angga. Sekali lagi mataku masih saja mencari pria itu, berharap ia datang, mungkin saja tadi ia sibuk. Aduh Chalisa, apa yang terjadi padamu ...

Lagi-lagi suara Angga mengagetkanku, ia menyentuh keningku. “Mami sakit?” tanyanya penuh khawatir.

“Gak sayang, ayo kita masuk udah mau magrib, nih.” Aku menggandeng mesra tangannya.

Pagi ku terasa berbeda, hari ini badanku tidak fit seperti biasanya. Aku uring-uringan bangun pagi ini, beberapa kali Bu Aini memanggil, aku tidak menyahutinya.

Angga masuk membangunkan ku, ia telah siap dengan seragam sekolahnya.

“Mi, Mami sakit?” ia menyentuh keningku dengan tangannya. “Tapi gak panas,” ujarnya lagi, setelah memeriksa kondisiku.

Aku bangun dari tidurku seraya berkata, “Sayang, Mami enggak kenapa-kenapa, mending sekolah gih, nanti kau terlambat, belajar yang benar, ya?” ujar ku agar ia tidak khawatir.

“Tapi Mami benar baik-baik saja, kan?" tanya Angga lagi.

“Kemarin aku perhatikan Mami juga begini,” lanjutnya.

Aku tersenyum, ku belai rambutnya. “Iya, Mami baik-baik saja.”

Angga berangkat sekolah, setelah ia memastikan bahwa aku baik-baik saja, ia ke sekolah menggunakan motor sendiri. Angga menolak aku belikan mobil untuknya, ia lebih suka motor.

Setelah mandi dan sarapan pagi, aku melihat-lihat dapur, karyawanku sedang sibuk membuatkan pesanan kue. Hari ini mereka membuat pesanan untuk panti asuhan Kasih Bunda, setiap bulannya mereka selalu memesan jasa kue kami.

Bu Aini dengan tergesa-gesa mendekatiku, “Cha gawat," ujarnya padaku.

Aku mengerutkan keningku. “Apanya yang gawat Bu?” tanyaku bingung. Berita apa yang akan ia bawa pagi ini.

Bu Aini menarik tanganku ke depan. “Ada pelanggan yang ingin kau buatkan buket mawar merah, sudah saya buat katanya salah, kan saya jadi pusing,” ujar Bu Aini memegang kepalanya yang aku rasa tidak sakit.

Aku tersenyum. “Ya ampun Bu, hampir saja aku jantungan, aku pikir ada masalah apa tadi,” Aku segera menuju toko bunga. Tiba di sana hatiku rasanya sangat gembira. Bagaimana tidak, orang yang ku tunggu kedatangannya dari kemarin, kini ia baru muncul di hadapan ku.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya ku setelah berada di depannya.

Tatapannya tajam, tak ada senyum yang menghiasi bibirnya, ia sangat kaku hari ini.

“Buatkan buket bunga seperti biasa untuk saya,” pinta pria yang tidak ku ketahui namanya itu.

Aku langsung melakukan apa yang ia minta seperti biasa yang aku lakukan sebelumnya. Sekilas, aku perhatikan buket yang Bu Aini buat, terlihat persis dengan apa yang aku rangkai sekarang, tidak ada perbedaan.

Setelah selesai aku memberikan padanya, saat aku berbalik ia sedang menerima panggilan. Sembari menunggu, aku perhatikan pria tampan itu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambutnya, di mataku ia sangat sempurna. Pria idaman wanita-wanita, aku rasa ia juga mapan, mobil yang ia tumpangi selalu beda-beda setiap kali mampir di toko bungaku.

“Berapa?” tanyanya padaku, membuat lamunanku buyar seketika.

“Seperti biasa Pak,” sahutku malu-malu.

Pria itu mengeluarkan uang dari dompet mewahnya. “Jangan panggil saya pak, saya bukan bapakmu,” ujarnya padaku.

Aku tersenyum geli mendengar jawabannya. Padahal selama ini aku juga memanggilnya 'Pak' tapi kenapa hari ini ia permasalahkan.

Saat ia melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir di tepi jalan, ia berpaling dan berkata, “Nama saya Hendri.”

Aku ingin memberitahu namaku padanya, tapi rasanya percuma. Bahkan ia tidak mau tahu pikirku.

Ternyata sepasang mata sedari tadi memperhatikan tingkahku. Bu Aini menghampiri ku. “Kamu merasakan ada yang aneh enggak Cha?” tanya Bu Aini. Aku bingung apa yang ia maksud aneh, belum sempat aku tanyakan maksudnya ia telah menjawabnya sendiri.

“Sepertinya pria itu menyukaimu Cha.”

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar asumsi Bu Aini.

“Kamu ini, diajak mengobrol malah ketawa-ketawa gak jelas,” ujar Bu Aini seraya berlalu meninggalkan ku sendiri di toko bunga.

Handphone ku berdering, aku menerima panggilan dari nomor tanpa nama, aku segera mengangkatnya siapa tahu ada yang pesan kue. “Halo...” sapa ku.

“Bu, tolong pesanan kami segera tiba ya, acara akan dimulai satu jam lagi,” ujar seorang wanita dibalik telepon.

Aku mengiyakan panggilan tersebut, itu pasti dari panti asuhan, karena hari ini kami cuma menerima satu pesanan saja.

Aku menyuruh Bu Aini melihat apa sudah siap semua pesanannya. Hari ini Askia tidak masuk karena adiknya sakit, terpaksa aku sendiri yang harus mengantarnya ke panti asuhan, biasanya ini tugasnya. Setelah berdandan dan ganti pakaian aku segera meluncurkan mobil ku menuju panti asuhan tersebut.

Setiba di sana, aku melihat anak-anak sedang bermain ria di halaman panti. Hati terasa begitu tenang melihat anak-anak tak berdosa itu bergembira, meski hidup mereka tanpa ayah dan ibu, bahkan mereka tidak mengetahui di mana posisi orang tua mereka.

Tanpa terasa air mata meleleh di pipiku, aku menyekanya dengan tanganku.

Seorang wanita paruh baya mendekatiku, “Mbak Chalisa?” tanya wanita itu padaku, aku rasa ia penjaga panti asuhan tersebut. Aku mengangguk dan membuka pintu mobilku memperlihatkan tumpukan kue pesanannya. Wanita itu memanggil seorang pria, dan mengangkut kue itu ke dalam panti.

“Mbak, mari masuk,” ajaknya padaku, tanpa pikir panjang aku menurut saja, ku ikuti langkahnya masuk ke dalam pekarangan panti asuhan itu.

“Anak-anak mari kumpul semua,” panggil wanita itu, semua anak-anak kecil itu mengerumuninya. Aku perhatikan dari kejauhan.

“Bu Maryam aku mau kue coklat itu,” ujar salah satu anak kecil itu. Aku baru tahu ternyata nama wanita itu adalah ibu Maryam.

“Semua dapat, tapi harus rajin belajar, enggak boleh nakal ya,” ujar Bu Maryam pelan, hati terasa sejuk mendengar ucapannya yang lembut.

Mataku terhenti di sebuah makam, letaknya persis di depan panti, Sebuah buket bunga mawar merah di atasnya, aku dekati makam itu, ‘Diana Mardiani' begitu tertera nama pada nisan tersebut.

“Ini makam pemilik panti asuhan ini,” ujar Bu Maryam mengagetkanku. Aku hanya tersenyum.

“Beliau perempuan baik, tapi Tuhan merenggut nyawanya terlalu cepat.” Bu Maryam meneteskan air matanya.

Aku mengelus-elus bahunya. “Semoga beliau tenang di alam sana,” ujar ku mencoba menenangkan Bu Maryam.

“Iya, Non Diana udah gak sakit lagi sekarang,” ujar Bu Maryam lagi, aku enggan menanyakan hal tersebut, meskipun aku penasaran tapi aku tidak ingin menambah pilu di hatinya.

Setelah puas berkeliling di panti asuhan tersebut, aku pamit pada Bu Maryam. Beliau mengurus panti ini penuh kasih, ini panti asuhan terbersih yang pernah ku lihat tidak ada panti asuhan sebagus ini.

Aku memutuskan untuk menjadi salah satu donatur di panti asuhan Kasih Bunda, Bu Maryam dengan senang hati menerimanya.

Aku segera meluncur dengan mobilku meninggalkan tempat tersebut.

Jangan lupa like ya...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!