"Liora, maju ke depan! Garap soal nomorr 2 !" perintah Bu Firna dengan nada tegas.
Liora menghela napas dan berjalan penuh percaya diri menuju papan tulis. Dia yakin, kali ini ia akan mampu mengerjakan soal yang diberikan Bu Firna. Namun, begitu melihat soal di papan tulis, tiba-tiba wajahnya memucat dan kepalanya terasa berputar-putar.
Waduh, kenapa susah banget? Yang gue pelajari bukan yang ini? pekik gadis itu dalam hati.
Duh, gimana nih? gadis itu mengigit bibirnya sendiri.
"Lho, kenapa diem kayak patung? Ibu bilang kerjain soal itu! Kalau cuma dipandangi, mana bisa soal itu selesai!"
"Duh, susah, Bu. Liora belum belajar sampai sini!" jujur gadis cantik itu sambil tersenyum.
BRAKK ...
Astaga, ngagetin aja sih!
Tangan Bu Firna bergerak cepat menghantam meja dengan rotan kayu panjang dan besar yang selalu ia bawa. Dentuman keras itu seakan menembus telinga para siswa yang terlonjak kaget. Ekspresi wajah Bu Firna begitu mengintimidasi, terkenal sebagai guru paling galak. Beberapa murid menggumam, katanya karena ditinggal suaminya ke Papua, nafkah batin Bu Firna menjadi kurang terpenuhi.
"Liora, apa kamu benar-benar berniat belajar atau tidak?!" suara parau dan ketus itu terdengar jelas.
"Bagaimana kamu akan menjadi pintar kalau hanya bermalas-malasan? Bahkan soal mudah saja tidak bisa diselesaikan!" tegasnya sambil memandang tajam ke arah gadis itu.
Liora mengerutkan dahinya, berusaha menahan rasa kesal akan teguran gurunya.
"Bu, sebenarnya saya juga ingin menjadi pintar. Tapi soal yang diberikan memang susah," jawabnya dengan nada membela diri. "Padahal saya sudah bela-belain begadang untuk belajar. Tapi hasilnya tidak sebanding. Mungkin kesalahannya bukan hanya pada saya, Bu, tapi juga pada soal itu sendiri," ungkap Liora tanpa mengindahkan ekspresi muka Bu Firna yang semakin garang.
"Kamu sampai begadang?" tanyanya mengernyit heran.
"Iya!" jawab gadis itu menganggukan kepala.
"Kenapa bisa nggak masuk pelajarannya?" Bu Firna menautkan kedua alisnya.
"Lah bukunya buat bantal saya tidur! Hahahaha....!" katanya terbahak-bahak.
Sontak temen-temen kelasnya terbahak-bahak mendengar ucapan Liora yang sangat konyol. Gadis itu memang selalu konyol di manapun berada. Bukan hanya konyol, gadis itu juga terkenal karena kebadungannya.
Suasana kelas menjadi riuh, menyoraki gadis cantik itu. Membuat Bu Firna semakin mengeratkan gerahamnya, marah.
"Huuuuuu!" sorak mereka.
"LIORA. KELUAR KAMU! KAMU NGGAK USAH IKUT PELAJARAN IBU SAMPAI PULANG!"
"Eh, beneran, Bu? Asyiiik!" senang gadis sableng itu. Bukannya sedih, malah senangnya bukan main.
BRAKK ...
Bu Firna marah, nampak membanting pintu dengan keras. Hampir saja jantung Liora copot dari tempatnya.
Ya Ampun, kayaknya tuh tensi Bu Firna lagi tinggi. Gitu aja marah! sungut gadis itu.
Sinta menatap Dora dengan tajam, "Ini gara-gara lo ngajarin Liora macem-macem, liat tuh dia jadi dihukum!" tegurnya, meletakkan tangannya di pinggang.
Dora mengangkat kedua tangannya ke udara, "Gua cuma bercanda, suer!" bela dirinya sambil terkikik, "Liora juga sih, kenapa ia malah nurut sama omongan gue yang ngaco gitu!"
Dua hari yang lalu, Dora memang sambil bercanda menyarankan Liora untuk tidur di atas buku, dengan maksud si gadis badung itu bisa jadi pintar. Namun, Dora sama sekali tak menyangka Liora akan menuruti candaannya.
Sementara itu, Liora yang merasa jenuh karena harus berdiri terus di depan kelas sebagai hukuman, memainkan jarinya di kaca jendela, lalu melambaikan tangan ke arah Sinta dan Dora, memanggil nama mereka dengan suara berbisik yang riang. Wajahnya menunjukkan rasa iseng, seolah mengajak dua sahabatnya ikut dalam kenakalannya.
"Hey, Dora! Doraemon!" panggilnya.
"Dor. Doraemon!"
"Sin. Sinchan....!"
Sinta dan Dora yang melihat sahabatnya diluar, mereka nampak saling melempar pandang, kemudian beralih lagi ke luar jendela. Namun pada saat tatapan Bu Firna ke arah mereka, mereka langsung menunduk, begitu juga dengan Liora.
Gadis itu mendengus kesal, saat kedua kalinya dia melambaikan tangan kepada dua sahabatnya, mereka mengabaikan. Bukan tidak ada alasan mereka melakukan itu, mereka takut kena hukuman yang sama seperti yang Liora sekarang dapatkan. Pasalnya daftar merah mereka sudah terlalu banyak dicatatan guru BK. Nggak lucu dong, orang tua dipanggil gara-gara dihukum nggak mengikuti pelajaran.
Daripada jenuh bingung sendiri di depan kelas, Liora pun melangkahkan kakinya menuju kantin. Namun saat akan menuju kantin dia bertemu dengan Pak Agam, guru baru di sekolahnya. Masih muda dan sangat tampan. Sayangnya Agam bukanlah tipenya.
Liora yang ceria dan humoris, dia tidak suka dengan pria kaku dan datar macam Agam.
Hahahaha, Siapa juga yang mau memilih Lo, Liora? Kayak Agam mau aja! Pedenya kebangetan.....
"Selamat pagi, Pak Agam!" sapa Liora dengan ramah.
"Pagi!" balas Agam. Lalu memincingkan satu alisnya, "Sepagi ini kamu sudah dihukum?"
Gadis itu malah tersenyum.
"Bapak bisa saja! Terimakasih ya, Pak!"
"Saya sedang bertanya. Bukan sedang memuji kamu. Kenapa berterima kasih?"
"Oh, bapak bertanya tah. Saya kira, bapak sedang memuji saya!" ujarnya sambil garuk-garuk kepala.
Agam hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan absurd gadis itu.
*****
Nggak terlalu lama berbicara dengan Agam. Karena tiba-tiba guru tampan berwajah datar tanpa ekspresi itu mendapat telepon dari kepala sekolah. Buru-buru Agam pergi meninggalkan Liora yang masih berdiri mematung. Gadis itu seperti menghembuskan nafasnya lega, karena bisa lolos di situasi sulit tersebut.
Brukk ...
"Auw," pekik Liora, tubuhnya terjerembab ke lantai.
"Ih, Lo punya mata nggak sih?" sewot gadis itu. Namun matanya langsung mengerjap begitu tahu siapa yang ia tabrak.
Dia adalah Sandy. Ketua OSIS di sekolahnya, yang terkenal karena prestasinya. Dia juga bintang basket. Kebanggaan sekolah dan orang tua. Tidak seperti dirinya.
"Eh, Kamu...!" Mendadak wajah Liora bersemu merah.
"Dihukum lagi?" ucap Sandy tersenyum sambil mengulurkan tangannya, ingin membantu gadis itu berdiri.
"Nggak," jawab gadis itu sambil tersenyum.
"Lalu, kenapa di luar kelas di saat jam pelajaran?" tanya pemuda gagah itu.
"Ih, kepo! Diam-diam Lo merhatiin gue?"
"Ck, kepedean!" Sandy berdecak, lalu ia langsung berlalu pergi meninggalkan Liora.
"Yeay, bilang aja kepo!" seru gadis itu.
Saat bel istirahat berdentang, Doraemon dan Sinchan segera menyusul sahabat mereka, Liora ke kantin. Begitu sampai di sana, mereka melihat Liora ternyata tidur pulas dengan kepalanya bersandar di meja. Posisinya terlihat seperti sedang tidur duduk, bahkan air liur yang menetes dari mulutnya dengan leluasa membuat bercak-bercak seolah membentuk Peta Indonesia di atas meja. Ekspresi Doraemon terlihat sangat jijik dan bulu kuduknya merinding menyaksikan pemandangan itu, sedangkan Sinchan alias Sinta hanya menggelengkan kepala dengan raut wajah yang tidak percaya.
"Woi, bangun, Liora!" teriak mereka berdua serentak.
"Ih, kebo amat nih bocah!" kesal Dora.
Liora merasa terkejut mendengar sayup-sayup kantin riuh dengan suara manusia. Dia pun mengerjapkan matanya, sedikit mengucek.
"Iiiiih, Lo ngiler, Liora!" Dora merasa jijik.
"Eh, mana?" Liora langsung menyeka ilernya.
"Ih, jijay! Lap tuh bekasnya!"
"Alah, kayak Lo nggak pernah ngiler aja!" Liora mengelapnya dengan tangan, kemudian ia lapkan ke baju dua sohibnya tanpa merasa dosa.
"Lioraaaaaa!" teriak mereka barengan, "Dasar jorok! Kampret! Sialan!" teriak mereka.
"Sin, gue laper! Pesenin makanan dong!" suruh gadis itu.
"Jijik gue sama Lo!" sungut Sinta.
"Huek!" Dora pura-pura akan muntah, "Sana gih ke toilet. Cuci tuh muka, lecek mirip serbet gerobak!"
"Ah, Kampret kalian berdua!"
Akhirnya Liora beranjak dari tempat duduknya menuju toilet. Dia membasuh mukanya, dan kumur-kumur. Takut ilernya masih tertinggal di sudut bibirnya yang manis. Nggak lama, gadis itu kembali ke kantin. Bakso favoritnya sudah tersaji di meja, dia langsung mengembat habis makanan tersebut.
Kalau urusan perut, selalu nomor satu. Liora sangat semangat empat lima kalau urusan makanan.
Setelah menghabiskan bakso beranaknya, Liora duduk sambil menyangga dagu, dan tangan satunya sibuk mengetuk-ngetuk meja. Sementara Dora hanya melipat tangannya di atas meja dan memandang acuh sekitar.
Liora yang tidak sengaja melihat Sandy masuk ke kantin, langsung tersenyum manis menampilkan deretan gigi putihnya, senyum ala Pepsodent. Hal yang tidak pernah dibayangkan, Sandy siswa tertampan di sekolah, membalasnya dengan senyuman juga. Tentu saja hati Liora berbunga-bunga. Dan semuanya tidak luput dari perhatian sohib-sohibnya.
Sandy mendekat ke arah meja gadis cantik itu, hati Liora semakin berdebar kencang, seolah-olah akan loncat dari tempatnya, melihat senyum manis dari ketua OSIS untuk dirinya.
Namun saat semakin mendekat, Sandy justru melewati dirinya begitu saja. Ternyata pemuda tampan itu mendekati meja yang ada di belakang Liora, ke arah meja Ratu Gorden ( Goyang Sarden ). Dan mereka nampak sangat akrab.
Kenapa dipanggil Ratu Gorden?!?
Karena gadis yang bernama Ratu, terkenal dengan goyangan sardennya. Meliuk-liuk mirip ikan sarden. Kalau denger lagu dangdut, refleks tubuhnya meliuk-liuk mirip ikan sarden.
"Ck, norak!" sungut Liora.
Sontak Sinta dan Dora tergelak melihatnya.
"Duh, kacian!" ledek mereka.
"Udah nggak usah ngeledek!" berengut gadis itu.
"Udah, Say. Kalau mimpi jangan terlalu tinggi. Mana mau babang Sandy sama Lo. Bagai bumi dan langit kalian tuh. Dia pintar, nah Lo..... !" ledek Sinta.
"Eh, awas Lo ya, ngeledek gue lagi! Gue pecat Lo jadi sahabat gue!"
"Hahaha, tapi fakta kan, Cin!" kekeh Sinta.
"Huh, dasar sahabat kamvret!' sungutnya. Sontak mereka terdiam.
"Hhhhh, heran. Bintang sekolah kok mau sama cewek model Ratu Gorden? Mending sama gue....!"
Eh....
to be continued ...
Aku revisi sedikit ya....
Happy readings.....
Jam pelajaran berakhir, hukuman yang menimpa Liora pun selesai. Senyuman merekah di wajahnya saat ia bersiap kembali ke kelas. Langkah kakinya ringan menapaki koridor sekolah, semangat kembali membara. Namun tiba-tiba, suara Pak Agam memanggilnya keras, membuat detak jantung gadis cantik itu berhenti sejenak. Mau tak mau, ia harus menghadap guru galak itu.
Perasaan lega Liora terpotong, ia menghela napas panjang sebelum menghampiri Pak Agam. Dalam hatinya, ia mencoba mengumpulkan mental dan keberanian menghadapi segala kemungkinan omelan yang akan diarahkan kepadanya. Wajah Pak Agam terlihat serius, membuat Liora semakin bertanya-tanya apa kesalahannya kali ini.
Liora Putri Mega namanya. Anak kedua dari pasangan Muhammad Arian Wisesa dan Mirnawati. Cantik, tapi sayang kecantikannya dan kebadungannya berselisihan. Bukannya karena IQ -nya nol, ia hanya malas belajar saja.
Hidupnya yang selalu dimanja oleh keluarga, membuatnya menjadi gadis yang sedikit nakal, bandel, dan bar-bar. Padahal seluruh anggota keluarga sudah mengerahkan segala kemampuannya untuk merubah sikap gadis itu. Sayangnya tidak berhasil.
Mungkin hanya kuasa Tuhan yang bisa merubah sikap gadis itu.
"Ada apa, Pak?" tanya Liora memasang mimik waspada.
"Ikut saya!" ajak Agam pada siswinya tersebut.
"Iya," dengan patuh, gadis itu pun berjalan dibelakang guru tampan itu.
Agam Abdillah Muhammad, baru seminggu bergabung sebagai guru agama di Sekolah Taruna Bangsa. Wajah tampan dan status lajangnya membuat para siswi-siswi jatuh hati padanya. Namun, siapa sangka, di balik wajah tampan tersebut, Agam memiliki sifat keras yang amat mengejutkan. Setiap mengajar, ia mewajibkan para siswa dan siswi membawa Al-Qur'an. Pasalnya, sebelum pelajaran dimulai, seluruh murid yang beragama Muslim di sekolah itu diwajibkan untuk membaca Alquran. Siapa yang tidak membawa, maka akan mendapatkan hukuman menghafal surat-surat pendek.
Sesampainya di ruangan Pak Agam, Liora nampak menghembuskan nafasnya berat. Mendadak perasaannya tidak enak. Apalagi melihat aura Pak Agam sama sekali tidak bersahabat. Semakin menciut lah nyalinya.
"Liat ini!" Agam memberikan kertas hasil ulangan kemarin.
Liora menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil cengar-cengir, mirip kuda Nil.
"Lihat baik-baik. Nilai kamu 30. Jauh dari KKM. Sebenarnya kamu belajar nggak sih?"
"Alhamdulillah!" ujarnya.
Mata Agam langsung melotot, "Kok Alhamdulillah?"
"Hehe. Iya nih, Pak. Biasanya cuma dapat 20 atau 25. Saya malah bersyukur kalau ulangan kemarin dapat 30. Berarti ada peningkatan kan, Pak?" ujarnya sambil terkikik.
"Astaghfirullah. Naik 0,5 poin kamu bersyukur?"
"Ya harus dong, Pak. Ih, bapak ini gimana? Bapak kan guru agama. Masa soal kayak gini aja nggak tau!" ucap Liora, nyengir, "Dapat rezeki nomplok harus bersyukur. Orang bisa buang angin juga harus bersyukur. Nah, ini saya juga harus bersyukur walaupun cuma dapat nilai 0,5 poin!'
Ya Allah. Tolong hamba-mu ini! gumam Agam dalam hati.
"Huft," Agam menghela nafasnya panjang, dia sudah tidak berselera ngobrol dengan siswi di depannya itu. Memang sepertinya gadis itu susah dikasih tau. Ngomel-ngomel pun percuma karena akan membuang waktu dan tenaga. Agam mengambil nafas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dengan pelan.
Sabar, Gam! Sabar! Inget, kamu tuh guru! Kamu harus lebih sabar menghadapi murid modelan kayak gini!
Satu jam kemudian.
"Buset dah! Gara-gara guru galak itu, gue jadi telat pulang. Doraemon dan Sinchan sudah pada pulang. Mana jari gue sakit banget lagi!" gerutu Liora sambil mengibas-ngibaskan jarinya yang pegel gara-gara dihukum nulis kalimat 'saya janji akan belajar sungguh-sungguh'. Satu buku penuh. Bisa bayangkan capeknya.
******
"Assalamualaikum, Liora pulang! Yuhuuuuu. Is anybody home?" teriak Liora menggema di ruangan tamu.
"Walaikumsalam. Jangan teriak-teriak napa sih? Kayak di hutan kamu!" tegur Mirna, mamahnya Liora.
"I'M sorry, Mimi!'
"Ya, Aurel! Please. Untuk hari ini, jangan bikin Mimi pusing!"
Drama ibu dan anak sudah dimulai.
"Ish, Mimi kok gitu? Bisa nggak sih bunda Ashanty aja yang jadi Mimi aku," rengeknya penuh drama.
"Kualat kamu...!" umpat sang mama.
"Hehehehe. Becanda mama ku yang cantik!"
Meski agak laen ya pemirsa, kalau di rumah Liora tetep anak yang selalu nurut sama orang tua. Baik. Sopan. Dan ramah. Buktinya sepulang sekolah, dia langsung cium tangan mamanya, meski tangan mamanya masih bau bawang dan bumbu dapur.
"Jangan tidur dulu, makan siang dulu, Sayang!" seru ibu dua anak itu sambil mengusap kepala anak perempuannya.
"Bentar ah, Mah. Liora capek banget. Jari-jari aku sakit nih!" keluh Liora sambil menunjukkan tangannya yang merah.
"Lah, kenapa jarimu sakit? Abis ngapain?" tanya sang ibu dengan ekspresi khawatir.
"Habis dihukum sama guru galak dan nyebelin!" cebik Liora sambil memasang wajah malas.
"Hush, sembarangan. Gitu-gitu guru kamu. Kok ngomongnya gitu!"
"Abisnya, ngasi hukuman nggak nanggung-nanggung! Masa Liora harus nulis kalimat 'saya janji akan belajar sungguh-sungguh' satu buku penuh, rese banget kan!" sungut Liora lagi sambil mengacak rambutnya dan bibirnya maju lima sentimeter.
"Emang kamu dihukum kenapa?" Mirna mengernyitkan alisnya, tangan di pinggang.
"Hehehehe, biasa, Mah. Gara-gara nilai aku jelek," kekeh anak itu tanpa dosa, kedua tangan di belakang kepala. "Tapi hasil ulangan kemarin lumayan kok, Mah. Aku dapat 30. Biasanya juga cuma 20 atau 25 doang!"
" 25, Kamu bilang cuma! Ih, Kamu tuh malu-maluin aja sih!" geram Mirna, kepalanya nyut-nyutan, tangannya mencengkram kepalanya. "Mau di taruh mana muka mama? Kalau temen-temen mama sampai tau, bisa malu mama!" teriak Mirna sambil mengangkat dagu dan melotot.
"Ya Ampun, Mah! Aku sudah berusaha. Tapi soalnya tuh memang susah banget. Lagian aku juga nggak bisa nyambung-nyambung huruf Hijaiyah."
"Bener-bener malu-maluin kamu tuh. Makanya kalau mama suruh ngaji tuh ngaji. Ini disuruh ngaji, malah kabur, main gundu sama anak TK. Mau kamu apa sih? Pusing mama ngurusin kamu! Kalau kamu kayak gitu terus, lama-lama mama pondokin kamu di Cirebon. Mau? Mau?" omel sang mama, "Nggak ada yang susah kalau kamu mau belajar. Di dunia ini tuh nggak ada yang namanya anak bodoh. Adanya anak pemalas kayak kamu. Emang kamu nggak mau jadi anak pinter, banggain orang tua!" lanjutnya, mengomel seperti biasa.
"Iya, Mah. Maulah, Mah!"
"Ya Ampun! Kamu tuh selalu bikin tensi mama naik!"
"Makanya jangan marah-marah, Mah." Jawabnya enteng, nggak ada beban.
Sebelum dapet omelan lebih lanjut lagi dari sang mama, Liora pun buru-buru kabur ke kamar.
"LIORA! MAMA BELUM SELESAI!" Teriak Mirna sampai dinding di rumahnya bergetar.
Jangan heran dari mana Liora bisa teriak kenceng. Tentu saja dari gen sang mama.
******
Sementara disebuah restoran, tanpa disengaja Arian bertemu dengan Kyai Ahmad, guru spiritualnya waktu dia masih muda dulu. Arian begitu menghormati kiyai satu itu, yang selalu menjadi panutannya selama ini.
"Berapa anakmu sekarang, Rian?" tanya Kyai Ahmad. Pria sepuh itu memang sangat suka memanggilnya Rian, bukan Arian.
"Anak saya dua, Pak Yai. Anak pertama sudah kerja, sudah menikah dan punya satu anak. Sementara anak kedua saya, perempuan. Masih SMA." Jawab Arian dengan nada merendah.
"Wah, nggak nyangka ya. Kamu sudah punya dua anak." Kekeh sesepuh itu, "Waktu berlalu begitu cepat. Dulu, kamu tuh segini. Pemalu. Pendiam. Tapi sekarang....! Hahahaha! Hebat kamu!" puji pria sepuh itu.
"Alhamdulillah, Pak Yai!" Jawab Arian tersenyum ramah, "Disini Pak Yai sama siapa? Apa sama Hidayat?" tanya Arian menelisik sekelilingnya.
"Tidak. Saya sama sopir kesini. Kebetulan saya lagi ada kajian disini!" jelasnya.
"Oh, jadi Pak Yai menginap di hotel?"
"Ah, nggak. Saya menginap di rumah Hidayat. Mereka baru pindah ke kota dua Minggu yang lalu," jawab pria sepuh itu.
"Benarkah?" Arian sedikit terjengit kaget mendengar berita itu.
"Iya. Hidayat dan keluarganya memutuskan untuk menetap disini. Maklum mereka kan memiliki beberapa butik baju muslim dan toko oleh-oleh Haji di Jakarta. Tidak ada yang mengurus. Yah jadi mereka memutuskan tinggal disini!"
"Oh, begitu." Sahut Arian manggut-manggut, "Maaf, Saya nggak tahu, Pak Yai!"
"Hehehehe, ya nggak tau. Lah kamunya aja super sibuk kok. Sudah lama nggak mampir ke Cirebon, ya nggak tau jadinya!" kekeh pria sepuh itu. Arian pun langsung terkekeh kecil.
"Oya. Begini, Rian. Mumpung kita ketemu disini. Saya ingin sekalian mengundang kamu dan keluarga untuk datang ke acara pernikahan cucu saya!"
"Wah, anaknya Hidayat mau nikah, Pak Yai?"
"Iya. Anak pertama Hidayat mau nikah. Perkenalannya singkat, hanya dengan ta'aruf. Alhamdulillah, cucu saya bersedia. Padahal dia paling susah loh disuruh nikah. Usianya padahal sudah 27 tahun. Seusai mungkin sama anak pertama kamu!"
"Kayaknya iya, Pak Yai!"
"Nah, nanti kamu dan keluarga datang ya. Insyaallah akan dilaksanakan disini. Nanti saya kirim undangannya ke rumah kamu!"
"Ah, iya, Pak Yai. Sebentar!" Arian mengeluarkan kartu nama di dalam dompetnya, lalu menyerahkan pada pria sepuh itu.
"Itu kartu nama dan alamat rumah saya. Pak Yai bisa kirim undangannya ke alamat tersebut!"
"Oh, Ya, Ya. Nanti Insyaallah saya kirim undangannya ke alamat rumahmu!"
"Iya, Pak Yai dengan senang hati. Saya dan keluarga pasti datang!"
"Ya sudah. Saya permisi dulu. Sudah sore. Kalau ada waktu saya mampir ke rumahmu!"
"Ah, tentu saja, Pak Yai. Saya senang sekali bisa menyambut kedatangan Pak Yai dan keluarga ke rumah saya. Salam buat Bu Nyai, Pak Yai!"
"Ya. Ya. Nanti saya sampaikan! Assalamualaikum!"
"Walaikumsalam."
Bersambung....
Tinggalkan komentar ya....
See You Again....
Muuuuuuuuaaaaaaaccccchhhhhh....
"Li," panggil seorang anak laki-laki pada Liora yang tengah bercanda dengan Dora dan Sinta.
Gadis yang dipanggil itu pun langsung menoleh ke sumber suara. Matanya nampak berbinar-binar melihat sahabatnya Tito, berdiri dengan teman-temannya sambil melambaikan tangan. Tito adalah sahabat kecil Liora, teman seperbolosan. Dan tetangga di perumahan kompleknya.
Saking senangnya ngeliat Tito, Liora langsung berlari ke arah sahabatnya itu. Sementara dua cewek cantik yang tadinya sedang mengajak bersenda gurau, langsung cemberut. Karena pasti mereka akan dicueki begitu saja.
"Eh, Tito. Lo kemana aja? Gue cariin juga....!"
"Alah, gue sakit, Lo nggak jenguk. Giliran Lo yang sakit, mintanya seabrek. Minta dibawain buah, martabak, kue cucur, empek-empek. Ini dan itu, buanyak banget....!"
"Oh, Lo sakit tah. Pantesan nggak keliatan," ujarnya sambil nyengir, "Lo sakit lagi gih! Nanti gue jenguk....!"
"Lo doain gue sakit?" mata Tito langsung melotot.
"Hehehehe, ya nggak lah. Tapi seneng bisa liat Tito sehat kembali, nggak kekurangan apapun! Eh, tapi rambut kriwilnya kayaknya nambah....!" kekeh Liora. Di susul tawa Sinta dan Dora.
"Aish, Sialan, Lo....!" pria bernama Tito langsung cemberut.
"Tito katanya sakit. Tapi kok nggak kurusan?" tanya Dora ikut nimbrung dengan para laki-laki dan Liora juga. Lalu kemudian disusul Sinta mengekor di belakangnya.
"Iya," timpal Sinta.
"Kurusan kok. Nih jari gue kurusan!" jawab Tito memperlihatkan jarinya.
Mereka semua pun terbahak, sementara Dora dan Sinta menjep, sebel dikerjain.
"Titooooo! Liora! Mau ikut nggak?" teriak salah satu teman mereka.
"Kemana?" tanya keduanya barengan.
"Tawuran. Itu anak Bangsa Sehati nantangin sekolah kita!" serunya.
"Oh, nggak bisa dibiarin nih!" Tito berapi-api, "Li, Ayo ikut tawuran!" ajaknya pada Liora.
"Duh, gue nanti dimarahi bokap dan nyokap!"
"Alah, itu urusan belakangan. Yang terpenting kita harus satu hati, satu jiwa, dan satu perbolosan. Mereka nantangin, gue gak bisa diemin!"
Liora nampak berpikir.
"Ya udah, gue duluan. Takut gerbangnya ditutup sama pak satpam!" Tito buru-buru pergi dari sana, disusul oleh ke empat best friend-nya.
"Sin, Dor, Kalian mau ikut?" tanya Liora pada dua sahabatnya.
"Ogah. Nanti gue dapat masalah kalau ikut-ikutan tawuran!" jawab keduanya.
"Idih, nggak setia kawan, Lo! Ya udah gue pergi dulu, mau nyusulin Tito!"
"Titoooooo, Tunggu......!"
"Eh, Liora. Nanti kamu dapat hukuman lagi loh!" seru Sinta dan Dora serempak.
*****
"Buset dah. Berani sekali bikin pipi gue penyok gini!" teriak Liora pada seorang pemuda, salah satu anak Bangsa Sehati.
"Kenapa nggak berani? Lo salah satu dari mereka!" balasnya.
"Oh, beraninya sama cewek, Lo! Dasar banci!"
"Sialan Lo ngatain gue banci!" marah pemuda itu karena dikatai banci.
"Napa? Lo nggak suka? Sini maju....!" teriak Liora sudah menggenggam balok kayu, yang ia temukan di sampingnya.
Nyali pemuda itu rada menciut, apalagi melihat Liora yang lebih galak dan serem dari dugaannya. Bahkan gadis itu tak berhenti berteriak dan mengumpat sambil mengacung-acungkan balok kayu, siapa yang tidak ngeri.
Si pemuda sampai terbengong-bengong melihat gadis itu mengangkat kayu balok yang lumayan berat. Padahal tubuhnya kecil, lengannya juga tidak berotot, tapi bagaimana bisa seorang gadis bisa mengangkat balok berat itu.
"POLISI.....!" teriak salah satu anggota.
Tito berteriak keras, menyuruh teman-temannya untuk segera lari dari sana. Tentu saja dia tidak mau sampai tertangkap polisi, bisa-bisa dia kembali dihajar oleh bokapnya gara-gara ikut tawuran. Lebam-lebam kemarin saja belum sembuh dan kering, masa iya lukanya tambah dua kali lipat.
Melihat Tito berteriak agar segera lari, Liora pun pasang ancang-ancang ikut lari juga. Tito menstater motornya, dan menyuruh Liora untuk segera naik ke boncengan.
Gadis itu tidak meninggalkan kesempatan, ia lekas naik ke boncengan motor Tito. Begitu Liora sudah naik, Tito pun langsung melajukan motor sport nya dengan kecepatan tinggi.
Seperti Valentino Rossi, Tito melajukan motor tersebut hingga masuk ke gang gang sempit untuk menghindari mobil polisi.
"Lo mau bikin gue mati muda?" omel Liora begitu motor Tito berhenti mendadak. Kepala Liora sampai membentur helm yang Tito kenakan, sampai bunyi bugh terdengar keras sekali.
"Hehehehe, sorry." Kekeh Tito, "Ya Ampun!" pekik pemuda itu melihat jidat Liora benjol.
"Hahahaha....!" Tito terbahak-bahak ngeliat jidat sahabatnya benjol sebesar bola pingpong.
"Ah, kampret, Lo! Liat nih, gue benjol. Kira-kira dong, Kamvret sialan!"
"Sorry. Sorry. Gue nggak sengaja, Li!" ujarnya masih terpingkal-pingkal.
"Bisa berhenti ngetawain gue nggak sih?" sewot gadis itu karena terus ditertawakan.
"Oke. Oke. Gue minta maap!"
"Ih, mending gue naik ojol tadi....!"
"Li jangan ngambek dong!" bujuk Tito merasa bersalah.
"Ah, bodo....! Lo itu benar-benar sahabat kampret."
"Gue terpaksa berhenti ndadak. Gue cuma pengen tau, polisi-polisi itu masih ngejar nggak!"
"Ck, alasan! Liat sekarang, jidat gue benjol. Gue jadi nggak cantik lagi. Semua gara-gara lo!"
"Iya, sorry. Gue kan udah minta maaf," ucap pemuda itu, "Sebagai permintaan maaf, gue traktir deh!"
Denger kata-kata traktir, alis Liora langsung terangkat. Matanya langsung berbinar-binar senang. Hatinya berbunga-bunga mendengar kata gratis.
"Beneran?"
"Idih, denger kata traktir langsung senengnya minta ampun!"
"Iyalah. Liora gitu loh....!" senang Liora sambil menutupi jidatnya yang benjol dengan poninya.
"Hiii, dasar, jiwa traktiran, Lo!"
"Hehehehe, biarin. Bomat. Bodo amat. Ngomong-ngomong mau traktir makan dimana?" tanya Liora antusias.
"Tuh cilung sama es Boba kayaknya enak....!" kekeh Tito.
"Heh....!" leher gadis itu memutar 90° menghadap pemuda itu.
"Gue pikir mau ditraktir di cafe atau makan baksonya Bang Kimung yang besarnya kayak melon. Eh, ternyata cuma di traktir cilung sama es boba. Gue sih bisa beli sendiri! Paling mah nggak sampe 10 rebu!" dumel gadis itu. Tito cuma nyengir sambil garuk-garuk pantatnya yang gatal tadi sempet di gigit semut.
"Gue belum ditransfer nyokap, Li. Lo sebagai bini, harus terima dengan ikhlas pemberian suami!" ucap pemuda itu menjiwai.
Liora nggak kaget Tito bersikap demikian. Karena ia tahu, itu hanya guyonannya saja. Mereka sudah seperti adek dan kakak. Terkadang bisa juga berubah menjadi anjing dan kucing. Besoknya lagi berubah lagi menjadi lem dan perangko. Selalu bersama, selalu kompak di manapun berada. Kecuali kalau sudah berada di lingkungan rumah masing-masing.
"Ah, kismin banget, Lo! Gue yang traktir deh....!"
"Asyik....! Dimana....!"
"Warung seblaknya Teh Naya...!"
Wajah Tito langsung merengut. Pasalnya dia paling nggak doyan makanan itu. Makanan yang terlihat mirip dengan ingusnya kalau lagi pilek, membuatnya langsung mual-mual. Liora sengaja mengajak sahabatnya itu ke warung seblak, dengan begitu Tito nggak pesan seblak, sahabatnya itu lebih memilih memesan minuman dan gorengan. Ah, lebih ngirit, pikir Liora sambil tergelak sendiri.
"Ish, dasar pelit. Dasar medit. Kiwit!" umpat Tito dengan cemberut. Gadis itu sambil nyengir berlalu begitu saja, tanpa beban dan dosa.
Bersambung.....
Nantikan kelanjutannya..... Aku revisi sedikit.
Vote ya say.....😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!