Genius High School, sebuah lembaga pendidikan bergengsi yang dikenal luas sebagai tempat berkumpulnya para elite sosial dan anak-anak berprestasi. Dalam lingkungan sekolah yang gemerlap ini, tidak ada ruang bagi kehadiran anak-anak dari kalangan ekonomi rendah.
Setiap siswa yang bersekolah di Genius High School dipastikan berasal dari keluarga berkecukupan dan memiliki prestasi gemilang.
Sekolah ini menjadi simbol kemewahan dan keunggulan, tempat di mana para siswa tidak hanya dipersiapkan untuk meraih kesuksesan akademis, tetapi juga untuk menjalani kehidupan di tengah kemapanan finansial.
Dibawah kepemimpinan seorang tokoh ulung yang penuh kejeniusan, Genius High School telah meraih predikat sebagai sekolah paling bergengsi di seluruh Indonesia.
"Dengan ini saya resmi membuka Genius High School," ucap seorang pria dewasa sembari memotong sebuah pita yang melintang di depan bangunan sekolahnya.
Dengan fasilitas modern yang lengkap dan kurikulum yang inovatif, sekolah ini berhasil mencetak generasi penerus yang siap bersaing di kancah global.
Prestasi gemilang yang diraih oleh siswa-siswanya menjadi bukti nyata akan keunggulan pendidikan yang diberikan oleh Genius High School. Dengan reputasi yang tak tertandingi, sekolah ini layak disebut sebagai raja di antara sekolah-sekolah bergengsi lainnya.
Tak ...
Tak ...
Tak ...
Astaga. Semua siswi di sekolah itu dengan cepat mendekat ke arah asal suara ketika mendengar langkah kaki mendekat.
"Kae, haii,"
"Kaesang,"
"Kae, ih ganteng bangett. Papi aku aja kalah. Kae,"
"Kaee,"
"Hai, Kae, hari ini kamu tambah ganteng, kayak dewa Yunani,"
"Jadi artis aja apa Kae, kamu cocok hehe."
"Kaesang,"
Semua wanita mengerumuni pria itu. Pria tampan dengan seragam sekolahnya, menampilkan wajah yang dingin namun tetap begitu tampan. Dialah Kaesang Abi Permana, sosok yang menjadi idola di lingkungan sekolah.
"Basi, nggak guna. Konyol banget!" gumam Kaesang dalam hati sambil melempar pandangan tajam ke arah para wanita di sekitarnya.
Sebagai anak dari pemilik sekolah, Kaesang dikenal sebagai siswa yang pintar dan selalu meraih nilai tinggi. Tidak hanya itu, ia juga menjadi incaran para wanita karena pesonanya yang tak tertahankan, serta keberadaannya yang kaya raya.
Papanya, selaku pemilik sekolah, merupakan seorang pengusaha terkenal dan tersukses nomor satu se-asia tenggara.
Sejak papanya, Indra jaya Permana, mendirikan sekolah itu banyak dari anak-anak yang berusaha untuk sekolah di sana. Dari yang kalangan bawah hingga orang-orang terkenal dan pejabat pemerintah.
Semua orang sangat menghormati Indra dan tahu siapa dia. Perusahaannya ada di mana-mana, sukses, dan tentu saja telah meraih prestasi gemilang dalam dunia bisnis.
Putranya yakni Kaesang adalah pria dingin dengan julukan pria kutub atau kulkas seribu pintu, memiliki pesona yang memikat baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Banyak perempuan yang suka kepadanya. Ketika dia datang di sekolah banyak perempuan yang menyambutnya layaknya Dia adalah seorang artis dan memberinya banyak hadiah.
Bunga, coklat, bahkan juga perhiasan mahal pernah beberapa perempuan berikan kepada Kaesang di sekolah itu. Kaesang tentu menerimanya tapi setelahnya dia membuang semua barang itu di tempat sampah.
"Pengen muntah! nggak jelas banget!" kata Kaesang.
Seperti hari ini, ketika dia tiba di sekolah dan mulai memasuki koridor, banyak sudah perempuan yang mengerumuninya dan mengikuti langkahnya hingga akhirnya sampai di kelasnya.
"Kae, aku ada hadiah buat kamuu, ini biskuit dari Jerman, Kae, aku kasih khusus buat kamu,"
"Ini coklat buat kamu, Kae,"
"Kaesang, Kae,"
"Kae, aku suka sama kamu, terima bunga dariku,"
Kaesang sama sekali tidak memperdulikan para perempuan cantik itu. Hanya saja ketika dia tiba di depan kelasnya dan akan masuk, tiba-tiba ada tiga orang gadis menyebalkan yang mencegatnya di tengah jalan.
Salah satu dari gadis itu berdiri di depan pintu kelas Kaesang dan merentangkan kedua tangannya. Gadis itu tersenyum dan menghampiri Kaesang.
Dengan penampilannya yang bagi Kaesang sangat norak, perempuan itu sedikit mengibaskan rambutnya ke belakang, dia melirik kearah kedua temannya yang berdiri di belakangnya, lalu memalingkan wajahnya kembali ke arah Kaesang.
"Kae, aku ada hadiah nih buat kamu, coklat sama jam tangan. Kemarin papa aku udah beliin aku coklat ini dari Italia, tapi aku nggak suka. Kamu mau ya coklat dari aku, rasanya enak loh. Kamu pasti suka," perempuan itu memberikan coklat dan sebuah jam tangan kepada Kaesang.
"Nih, Kae," imbuh perempuan itu.
Tapi Kaesang yang sama sekali tidak menyukai perempuan itu segera menepis pemberian darinya dengan kuat, hingga semua barang itu jatuh ke lantai.
"Gue nggak butuh hadiah dari Lo! minggir, gue mau masuk!" Dengan sedikit judes dan dingin Kaesang mendorong perempuan itu, hingga perempuan itu sedikit bergeser ke samping dan Kaesang masuk ke dalam kelasnya.
Setelah Kaesang pergi, perempuan itu dengan geram menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Dia memungut kembali barang-barang yang sebelumnya telah diberikannya kepada Kaesang. Semua barang mahal itu dia ambil dan dia berikan kepada kedua temannya.
"Nih buat kalian aja, gue nggak butuh lagi barang sisa!" kata perempuan itu.
Salah satu dari temannya menjawab. "Ehm, beneran Zef? ini masih utuh loh, Lo beneran nggak mau? belum Kaesang sentuh tadi."
Zefanya Felicia Natalie, atau kerap dipanggil Zefa itu segera menatap tajam kearah temannya, Lina.
"Udah Lo nggak usah banyak ngomong. Tinggal terima apa susahnya sih?! gue mau ke kantin, kalian nggak usah ikut gue, gue mau sendiri." Dengan tanpa balasan dari kedua temannya, Zefa bergegas pergi dari sana, menuju ke kantin.
Kedua teman Zefa, Lina dan Zelyn segera pergi ke kelasnya yakni kelas yang sama dengan kelas Kaesang berada. Setelah keduanya masuk, mereka melihat Kaesang sedang duduk di bangkunya dan membaca buku.
Mereka tidak memperdulikan Kaesang, mereka segera duduk di bangku mereka. Beberapa saat kemudian Zefa masuk kedalam kelas, dia ingin kembali menggoda Kaesang seperti sebelumnya, tapi sesaat dia akan berjalan kearah meja Kaesang, tiba-tiba, seorang Guru masuk.
Guru muda, cantik dan manis itu menatap kearah semua muridnya sembari tersenyum. Senyum yang sangat manis.
"Selamat pagi semuanya, perkenalkan nama saya adalah Zarina Tyas Ayushita, saya adalah Guru baru di Genius high school dan mengajar dalam bidang bahasa Inggris. Kalian bisa memanggil saya Bu Tyas, atau Miss Tyas," ucap guru itu memperkenalkan diri.
Salah satu dari murid di kelas itu mengangkat tangannya. "Iya?" sahut Tyas.
"Kalau saya manggil ibu Bu cantik bisa nggak Bu?" tanya murid itu.
Tyas mengerutkan keningnya. "Kenapa begitu?" tanya Tyas tak mengerti. Bingung juga kenapa muridnya akan memanggilnya seperti itu.
Murid yang tadi bertanya segera membalas sembari tersenyum dan menoleh kearah temannya. "Karena ibu itu cantik banget. Masih muda lagi, jadi bisa kan saya panggil ibu guru itu Bu cantik?" goda murid itu.
Dengan senyum malu-malu, Tyas sedikit menggelengkan kepalanya. "Bisa aja kamu. Yaudah kamu boleh panggil saya itu. Kalian bisa panggil saya apapun, saya tidak melarang. Ehm, ada pertanyaan lain?"
Tyas memalingkan wajahnya ke arah seluruh muridnya. Tak seorang pun dari mereka yang bersuara atau bertanya lagi. Suasana menjadi hening, dengan semua mata tertuju pada Tyas.
"Baiklah kalau tidak ada bisa kita mulai ya pelajarannya," kata Tyas.
Pelajaran pun dimulai. Tyas menjelaskan setiap materi yang akan dipelajari hari itu, memberikan contoh yang jelas, dan merangkumnya dengan ringkas agar mudah dipahami oleh seluruh muridnya.
Setelah pemaparan materi selesai, Tyas memberikan tugas-tugas yang menantang kepada setiap muridnya. Ia memberikan arahan yang detail dan memberikan kesempatan bagi murid-muridnya untuk bertanya jika ada yang kurang jelas.
Setelah tugas-tugas diserahkan, Tyas duduk di mejanya sambil memberikan waktu bagi muridnya untuk mengerjakan tugasnya.
Tidak berselang lama, Kaesang bangkit dari duduknya, berjalan ke depan sambil membawa bukunya. Setibanya di depan dia memberikan buku itu kepada Tyas.
"Saya sudah selesai," ujar Kaesang dengan sikap cool dan cuek, hampir tanpa ekspresi yang terlihat di wajahnya.
Tyas tersenyum dan menerima buku Kaesang. "Wah kamu cepat sekali. Hebat," puji Tyas.
Kaesang tak menghiraukan sama sekali. Dengan tenang, ia berbalik dan kembali ke kursinya untuk duduk.
Semua murid disana saling berbisik-bisik setelah melihat Kaesang menyelesaikan tugasnya dengan mudah dan cepat. Semua dari mereka tahu jika Kaesang adalah murid paling pintar di sekolah, tak heran jika Kaesang dapat menyelesaikan tugas itu dengan cepat.
Dulu saja dia pernah mengikuti sebuah olimpiade besar di Eropa dan mendapatkan juara satu. Sungguh prestasi yang mengagumkan, anak yang jenius, tapi kurang dalam hal cinta.
Sejak lahir hingga sekarang Kaesang tidak pernah memiliki satupun pacar, meskipun banyak sudah perempuan yang menyatakan cinta padanya. Bahkan mengemis-ngemis layaknya orang gil4.
Beberapa jam kemudian jam istirahat pun berbunyi, Kaesang keluar dari kelas, menuju ke perpustakaan. Seperti biasa, di sepanjang lorong ke perpustakaan banyak perempuan yang mengerumuninya, mereka tidak lelah mengejar Kaesang, bahkan setelah Kaesang memasuki perpustakaan pun tetap saja ada yang mengikutinya.
"Gue artis apa ya disini kok banyak banget yang ngerumunin gue, heran." batin Kaesang ketika menyadari banyak siswi mengikutinya masuk kedalam perpustakaan, tapi begitu tiba di area perbukuan sebagian dari mereka keluar, pergi dari perpustakaan.
Kaesang mengambil sebuah buku dan duduk di pojok perpustakaan yang berdekatan dengan jendela. Tak lama setelah itu seorang Guru datang. Tyas, dia pergi mengambil buku dan duduk tak jauh dari kursi tempat Kaesang duduk.
Keduanya saling cuek dan fokus pada buku masing-masing. Hingga tiba-tiba pulpen yang ada di tangan Tyas terjatuh dan menggelinding kearah Kaesang. Kaesang yang melihat pulpen itu segera mengambilnya dan memberikannya kepada Tyas.
"Pulpen ibu jatuh," celetuk Kaesang sambil mengulurkan pulpen milik Tyas ke arahnya.
Tyas menoleh dan menerima pulpen itu. "Ah, makasih ya." jawab Tyas sembari menyunggingkan senyumnya, lalu memasukkan pulpen miliknya kedalam saku seragam gurunya.
Kaesang mengangguk dan kembali kepada buku bacaannya.
Setelah lama menghabiskan waktu di perpustakaan, jam masuk pun berbunyi. Kaesang berdiri dari duduknya, mengembalikan buku yang di pegangnya ke tempatnya lalu pergi ke kelasnya.
Di kelas, Kaesang duduk di bangkunya dan mulai memperhatikan pelajaran yang diajarkan oleh Bu Siska, Guru matematika. Hari itu adalah jamnya matematika, pelajaran yang dibenci oleh kebanyakan siswa, tapi tidak dengan Kaesang. Dia pandai dalam pelajaran itu.
Mungkin tingkat kepandaiannya hampir setara dengan Jerome Polin. Atau mungkin melebihinya. Entahlah. Dia sangat pandai.
Setelah beberapa jam yang membosankan dengan menghitung puluhan rumus matematika, pelajaran pun berakhir, Kaesang segera meninggalkan kelas dan pergi ke lapangan basket.
Dia suka bermain basket untuk melepaskan stres dan melupakan semua drama di sekolah. Namun, kali ini dia tidak sendirian. Zefa, Lina, dan Zelyn mengikuti Kaesang ke lapangan basket dan mencoba mendekatinya.
"Maaf ya, Kae. Tadi pagi aku udah bikin kamu marah. Aku cuma pengen ngasih kamu hadiah aja," ucap Zefa dengan suara lembut.
Kaesang menatap Zefa dengan tatapan dingin. "Gue nggak butuh hadiah dari Lo!" jawab Kaesang tanpa ekspresi.
Zefa merasa sedih dan kecewa. Dia tidak mengerti mengapa Kaesang begitu dingin padanya. Dia mencoba untuk mendekati Kaesang, tapi Kaesang terus menjaga jarak dan tidak memberikan kesempatan padanya.
Sementara itu, Lina dan Zelyn mencoba untuk mengalihkan perhatian Kaesang dari Zefa. Mereka yang notabenenya adalah anak basket dan jago bermain basket mencoba untuk mengajak Kaesang bermain basket bersama, tapi Kaesang menolak dengan sopan.
"Sorry, gue pengen bermain sendiri. Mending Lo berdua bawa temen Lo itu pergi dari sini!" ucap Kaesang sambil meninggalkan lapangan basket.
Zefa, Lina, dan Zelyn merasa frustasi dan lelah. Mereka tidak tahu bagaimana cara mendekatkan Kaesang dengan Zefa tanpa membuat Kaesang marah. Mereka, terutama Zefa merasa tertekan dengan sikap dingin Kaesang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Si4lan!!!" gerutu Zefa dengan ekspresi kesal. Tanpa banyak bicara, merekapun meninggalkan tempat tersebut dan melangkah menuju parkiran untuk pulang. Waktu pulang sudah tiba, dan mereka pun bersiap-siap untuk kembali ke rumah.
Bersambung ...
Kaesang sampai di rumahnya saat senja mulai terlihat di ufuk Barat. Dengan mobil Lamborghini putihnya yang berkilau, dia berhenti di depan rumah dan memarkirkan mobilnya di samping mobil ayahnya, Ferrari. Kaesang turun dari mobil dan melangkah menuju pintu. Setelah sampai di depan pintu, Kaesang menekan kunci pin yang terletak di sana, lalu masuk ke dalam rumah.
Setelah di dalam, dia melihat mamanya dan papanya sedang duduk di ruang tamu. Kaesang berjalan melewati mereka menuju ke kamarnya. Tapi ketika dia akan menaiki tangga, mamanya memanggilnya.
"Kae, tunggu. Sini dulu," panggil mamanya, Zora.
Dengan langkah malas Kaesang membalikkan badannya dan pergi menuju ke tempat kedua orang tuanya duduk. Setibanya di sana, ia duduk di sofa di depan mereka, di antara meja kecil yang memisahkan.
"Ada apa?" tanya Kaesang, dari wajahnya Kaesang sangat tidak senang dengan mamanya yang memanggilnya. Dia merasa jika kedua orang tuanya memanggilnya ini pasti ada pesan penting yang ingin disampaikan kepada dirinya. Hal tersebut kemungkinan besar akan berdampak pada dirinya.
Tanpa berbelit-belit, Indra berkata. "Papa mau jodohin kamu sama anak temen papa, Kae." kata Indra.
Kaesang yang notabene nya dingin dan tidak suka dijodoh-jodohkan segera terkejut. "Maksudnya?"
Kini Zora yang menjawab. "Ehm, Kae, kita mau jodohin --" belum juga Zora menyelesaikan ucapannya tiba-tiba Kaesang menyela.
"Kenapa kalian mau jodohin aku?!" Kaesang terlihat marah dan tidak menerimanya. Dia sangat benci dengan kata perjodohan.
Indra menghela nafas kasar, menoleh ke arah Zora, istrinya. Indra menoleh kembali ke arah Kaesang. "Kae, dengerin papa dulu. Papa mau jodohin kamu dengan anak teman Papa--"
Lagi-lagi Kaesang menyela. Dia terlihat marah. "Papa selama ini jarang ada di rumah, Papa hampir nggak ada waktu buat aku, tapi sekarang tiba-tiba mau jodohin aku?! papa gil4 ya?!" marah Kaesang.
Zora yang mendengar Kaesang mengatakan kata gil4 yang itu ditujukan kepada papanya segera menatap tajam ke arah Kaesang.
"Kae, nggak baik ngomong gitu ke papamu!" tegur Zora.
Kaesang tidak peduli dan acuh. "Kalian kenapa sih mau jodoh-jodohin aku segala?! Aku bisa cari pacar sendiri!" kata Kaesang.
Indra menyahut. "Kae, teman Papa ini bukan orang biasa. Dia itu menteri di negara kita, istrinya itu seorang pengusaha terkenal. Dia ingin menjodohkan anaknya dengan kamu ...
Nama anaknya Reina, dia sekarang sedang sekolah di Amerika. Katanya pas liburan sekolah nanti dia mau pulang ke sini dan ketemu sama kamu buat bahas perjodohan itu." Indra sangat berharap Kaesang bersedia memenuhi permintaannya.
Meski sebenarnya dia sudah menduga jika Kaesang pasti takkan mau untuk menuruti keinginannya.
"Aku nggak mau. Sekalipun Papa mau jodohin aku sama anak presiden sekalipun aku nggak mau!" Kaesang berdiri dari duduknya dan melangkah menuju kamarnya.
Setelah Kaesang pergi, Indra kembali menghela napas kasar. Dia sangat lelah dengan pekerjaannya. Perusahaannya ada di mana-mana, bahkan juga ada di luar Indonesia.
Indra kadangkala ditemani oleh istrinya untuk melakukan tour bisnis dan pertemuan di luar negeri. Tapi akhir-akhir ini Zora mengatakan untuk akan di rumah saja. Dia ingin menemani Kaesang, dan mengurus butiknya.
"Gimana caranya bikin Kaesang mau buat dijodohin sama Reina ya? Temanku itu sudah sangat berharap buat anaknya nikah sama Kaesang," kata Indra.
Zora menyentuh tangan Indra, menyunggingkan senyuman manis dan meneduhkan miliknya. "Mas, sekarang Ini zaman sudah sangat maju. Biarin Kaesang cari pacarnya sendiri lah Mas. Jangan jodoh-jodohin dia, kasihan. Dia sangat tertekan itu," Zora berusaha membantu Kaesang untuk agar Indra membatalkan perjodohan itu.
Tapi Indra yang sudah sangat yakin dengan perjodohan itu, menolak kata-kata Zora.
Dengan pandangan tajam, seperti tidak sreg dengan perkataan Zora, Indra menoleh kearah Zora.
"Kaesang itu anaknya introvert, Ma. Dia nggak punya temen, nggak punya pacar, dari dulu selalu sendirian, rumah dan perpustakaan selalu jadi tempat yang dia kunjungi. Aku kasihan sama dia, Aku mau dia kayak anak-anak yang lain ...
Aku jodohin dia ini ya agar dia bisa punya temen. Selain itu Reina itu juga gadis yang cantik, dia bisa jadi pacar yang baik buat Kaesang dan istrinya nanti ...
Sayang, kamu nanti tolong bujuk Kaesang ya, buat dia untuk menerima perjodohan ini. Aku sudah janji sama temanku itu, aku nggak enak." Indra malah meminta Zora untuk agar Zora membujuk Kaesang.
Sebenarnya mau-mau saja Zora untuk membujuk Kaesang, tapi sebagai seorang ibu Zora bisa merasakan jika Kaesang sangat tidak nyaman dengan perjodohan ini.
Memang sejak dulu dia dan Indra jarang ada waktu untuk Kaesang dan adiknya. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka dan jarang pulang ke rumah.
Zora merasa bersalah karena jarang ada waktu untuk kedua putranya. Kaesang menjadi pribadi yang dingin, tertutup, sedangkan putranya yang satunya yakni adik Kaesang, sekarang sedang sekolah di London.
"Tapi kalau Kaesang nolak lagi gimana Mas? Dia itu nggak mudah untuk dibujuk loh," Zora semakin ragu.
Karena jarang ada di rumah, Zora dan Kaesang terlihat jauh. Tidak seperti ibu dan anak pada umumnya. Kaesang tidak pernah mengakrabkan diri dengan Zora, begitupun sebaliknya. Karena kesibukannya, Zora melupakan buah hatinya.
"Ya kamu bujuk terus dong. Kamu kan mamanya, masa kamu nggak bisa sih bujuk anakmu sendiri? Tolong ya sayang, tolong bujuk dia. Buat dia buat menerima perjodohan ini," Indra terus memaksa, hingga akhirnya Zora yang menyerah segera menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, nanti aku bujuk dia." Zora sangat berharap agar Kaesang mau menerima perjodohan ini, meskipun sebenarnya tidak mungkin.
Di dalam kamarnya yang luasnya seperti lapangan bola voli, Kaesang tengah berada di gym pribadinya yang terletak di dalam kamar. Kaesang terus berolahraga di sana, tidak memedulikan mamanya yang sedari tadi terus mengetuk pintu kamarnya.
Dia memasang headphone dan mengatur volumenya hingga mencapai level tertinggi.
Malam harinya, Indra izin kepada Kaesang dan Zora untuk pergi ke Singapura guna meninjau perusahaannya yang berada di sana.
"Aku pergi dulu ya, Sayang. Kamu sama Kaesang hati-hati di rumah," Indra men-ci-um kening Zora. Lalu menoleh kearah Kaesang yang hanya diam mematung, tanpa ekspresi.
"Iya mas, hati-hati ya," balas Zora.
Indra pun beranjak dari tempat itu, meninggalkan rumahnya, naik ke mobil Ferrari pribadinya, dan meluncur ke bandara untuk pergi ke Singapura.
Setelah Indra pergi, Zora menoleh kearah Kaesang. Senyuman manis terukir di bibirnya. "Kae, tadi mama udah minta pelayan buat masakin makanan kesukaan kamu. Ayo makan," ajak Zora.
Tapi Kaesang menolak dan malah pergi ke kamarnya. "Aku nggak laper."
Sesampainya di dalam kamar, Kaesang melangkah menuju perpustakaan pribadinya. Di sana, dengan langkah ringan, Kaesang berjalan ke bilik buku paling belakang. Setelah tiba di pojok, dengan perlahan Kaesang mengambil sebuah buku tua berbalut sampul coklat yang agak terangkat. Dengan sedikit jinjit, Kaesang meraih buku itu.
Setelah buku itu ada di tangannya, dia berjalan menuju kursi yang tersedia di sana. Kaesang membuka halaman yang sudah dia tandai. Di sana terpampang sebuah foto usang yang menampilkan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun dengan rambut terkuncir dua, sedang memegang balon, dan mengenakan baju bergambar kupu-kupu.
Kaesang mengambil foto itu dan menatapnya lekat, dalam. "Kamu dimana sekarang? aku pengen ketemu kamu. Aku kangen sama kamu," ucap Kaesang dengan raut sedih, air mata pun mulai berlinang, dan hidungnya sedikit tersumbat oleh ingus.
Perempuan kecil itu, perempuan dari masa lalunya ... hmm, membuatnya tidak tenang akhir-akhir ini. Atau bahkan dari dulu. Kaesang sangat ingin bertemu dengannya lagi, tapi takdir seakan tidak membiarkan mereka bertemu.
Keesokan paginya, Zora mencoba untuk membujuk Kaesang lagi. Dia memasak makanan kesukaan Kaesang dan menatanya di meja makan. "Kae, ayo makan dulu. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu," ajak Zora dengan senyum manisnya.
Kaesang yang sedang menata rambut dan merapikan buku-bukunya sebelum berangkat ke sekolah, akhirnya menghentikan aktivitasnya dan turun ke ruang makan. Dia duduk di kursi dan mulai menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh Zora dan beberapa pelayan lainnya.
"Ma, aku nggak mau dijodohin. Aku pengen nyari pacar sendiri," ucap Kaesang sambil menatap mamanya.
Zora menghela nafas. "Kae, Papa dan Mama cuma pengen yang terbaik buat kamu. Reina adalah gadis yang baik dan cantik. Dia bisa jadi teman hidup yang baik buat kamu," ucap Zora dengan penuh harapan.
Kaesang menggelengkan kepala. "Ma, aku nggak mau. Aku pengen nentuin nasibku sendiri. Aku nggak mau diatur-atur kayak gini," ucap Kaesang dengan tegas.
Zora merasa sedih melihat penolakan Kaesang. Dia tahu bahwa Kaesang tidak akan mudah untuk dibujuk. Tapi sebagai seorang ibu, Zora tidak bisa menyerah begitu saja.
"Mama mengerti, Sayang. Tapi tolonglah pertimbangkan baik-baik. Reina adalah gadis yang baik dan Papa sangat berharap kamu bisa menerima perjodohan ini," ucap Zora sambil mengusap tangan Kaesang dengan lembut.
Tanpa sepatah kata pun, Kaesang segera meninggalkan meja setelah sarapannya usai. Dengan langkah tergesa-gesa, ia keluar dari rumah, naik Lamborghini putih kesayangannya, dan meluncur ke sekolah.
Bersambung ...
Kaesang tiba di sekolah, lalu meluncur ke parkiran. Begitu turun dari mobil, Kaesang segera melangkah memasuki gedung sekolah. Kali ini terlihat aneh, tidak ada satupun perempuan yang mengejarnya. Memberinya barang-barang atau makanan. Apa yang terjadi?
Kaesang terus berjalan melewati koridor sekolah, lalu tiba-tiba bertemu dengan gurunya, Tyas, di depan loker.
Keduanya tidak saling menyapa, sampai tiba-tiba buku yang Tyas pegang terjatuh. Tyas segera berjongkok dan mengambil buku-bukunya. Kaesang yang melihat kejadian itu segera membantu mengambil buku Tyas.
Kaesang menyerahkan buku Tyas kepadanya. "Ini buku anda," kata Kaesang formal.
Tyas menerima buku itu dan tersenyum manis. "Terima kasih ya," balas Tyas.
Tanpa sengaja, mata Kaesang melirik ke arah tangan Tyas yang memakai gelang yang terasa familiar baginya. Gelang itu terdiri dari bola-bola kecil berwarna hitam, dihiasi mutiara putih di tengahnya, serta tali kecil yang menjuntai.
Kaesang terus menatap gelang itu, sementara Tyas bangkit dari duduknya dan perlahan melangkah pergi. Kaesang kemudian berdiri dan menuju ke kelasnya. Tapi di sepanjang jalan, pikirannya masih tertuju pada gelang Tyas. Gelang itu mengingatkannya pada gadis kecil yang ada di masa lalunya. Gadis berkuncir dua dengan baju bergambar kupu-kupu.
Entah kenapa Kaesang terus memikirkannya, hingga akhirnya dia tiba di kelasnya. Setelah masuk ke dalam kelas, dia mendapati seisi kelas kosong. Tidak ada seorangpun.
Kaesang akan berjalan keluar, tapi tiba-tiba Zefa berdiri di ambang pintu. Zefa berjalan mendekati Kaesang, di tangannya ada sebuah kotak kecil dan sekuntum bunga merah. Hmm, perasaan Kaesang menjadi tidak enak. Apa gadis ini akan menemb4knya lagi? untuk yang kesekian kalinya?
Sepertinya dia tidak bosan. Penolakan dari Kaesang tidak membuatnya menyerah. Dia terus mengejar Kaesang, sampai hari ini.
Zefa berdiri di depan Kaesang, wajahnya tertunduk. Dia terlihat takut dan gugup. Tubuhnya sedikit bergetar, tapi Kaesang tidak peduli. Dia ingin segera pergi dari sana. Kehadiran Zefa membuat moodnya berubah burvk.
"K-Kae, kamu udah tau kan kalau aku itu suka sama kamu. Aku nggak akan pernah nyerah Kae buat dapetin kamu. Aku akan terus berjuang dan berusaha buat dapetin cinta kamu. Kae, hari ini aku bawain kue buat kamu, kue dan bunga ini aku kasih ke kamu sebagai lambang cinta aku ...
Ehm, kamu mau kan jadi pacarku? aku mohon Kae, jangan tolak aku lagi. Aku sudah cukup lelah. Aku mohon terima aku," Zefa mengemis-ngemis cinta kepada Kaesang. Dia memohon-mohon pada Kaesang agar Kaesang menerima cintanya.
Zefa memberikan kotak dan bunga yang di pegangnya pada Kaesang, tapi Kaesang yang tidak menyukai itu segera menepisnya dan membuatnya jatuh berserakan di lantai.
Bunga mawar merah itu Kaesang injak hingga hancvr, sementara kotak yang berisi kue dia geser dengan kakinya sedikit menjauh.
Kaesang mendekati Zefa dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan, seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya.
"Lo nyadar nggak sih, kalau semua kelakuan dan omongan lo itu murah4n?!" kata Kaesang tajam, penuh amarah.
Zefa yang terkejut segera membalas. Matanya berkaca-kaca, tidak percaya jika Kaesang akan mengatakan hal itu kepadanya. Sangat sakit mendengarnya, dia ingin menangis. Tubuhnya bergetar, air matanya perlahan mengalir.
"Kok kamu ngomongnya gitu?" tanya Zefa, pipinya menjadi basah oleh air mata. Dia tidak mengusap air matanya yang mengalir, dia tetap membiarkan air matanya mengalir deras membasahi pipinya.
Kaesang semakin geram. "Ya emang kenyataannya begitu, gue udah nolak Lo berkali-kali tapi Lo tetep ngejar gue. Itu artinya Lo mur4h. Punya harga diri nggak?! Sebagai cewek Lo tuh nggak tau malu, nggak ada cowok yang menghargai Lo!" kata Kaesang dengan maksud menegaskan kepada Zefa bahwa dia tidak mencintainya dan agar Zefa tidak mengejarnya lagi.
Tapi tanpa sadar Kaesang justru menghin4 Zefa, membuat hatinya hancvr berkeping-keping.
Tiba-tiba kedua teman Zefa, Lina dan Zelyn masuk kedalam kelas, mendekati Zefa. Mereka menenangkan Zefa yang tengah menangis.
Lina menoleh kearah Kaesang, tatapan matanya tajam, seperti elang.
"Hey, cowok kutub, Lo tuh nyadar nggak sih kalau omongan lo tadi cuma nyakitin Zefa aja. Sebagai cowok Lo tuh nggak pantes ngehin4 Zefa kayak gini ...
Kaesang, gue tau Lo nggak suka sama Zefa dan ngerasa risih saat dia ngejar-ngejar Lo kayak gini, tapi Lo inget satu hal, Lo bakalan nyesel udah pernah sia-siain orang setulus Zefa kayak gini!" kata Lina sembari berteriak.
Zefa membalikkan badannya dan pergi dari sana, Zelyn mengejar Zefa, sementara Lina masih tetap berada di tempatnya.
"Gue nggak akan pernah nyesel. Lo tau, temen Lo itu mur4han. Cewek nggak jelas yang tiap hari nggak ada kerjaan dan cuma ngejar-ngejar gue. Lo kasih tau temen Lo ya, jangan pernah ganggu gue atau dia bakalan nyesel seumur hidup!" Kaesang segera pergi dari sana, keluar kelas.
Kaesang melangkah menuju ke aula, baru saja dia teringat jika hari ini akan ada sosialisasi dari sebuah kampus ternama di Jakarta. Kaesang yang malas tidak pergi kesana, dia pergi ke kantin dan menuju ke kios yang berada di ujung utara.
Ketika dia sampai disana, di dalam kios dia melihat Tyas sedang duduk sendirian sambil menikmati makanannya. Tanpa ragu, Kaesang memasuki kios dan duduk sedikit jauh dari Tyas.
"Tolong satu porsi bakso dan satu gelas es teh," pesan Kaesang sembari mengangkat tangannya.
"Oh baik mas, Kae. Ada lagi yang mau dipesan?" tanya si penjual.
Kaesang menggeleng. "Nggak, itu aja." sahut Kaesang.
Si penjual pun pergi membuatkan pesanan Kaesang. Tyas menoleh kearah Kaesang, sejenak dia menatap Kaesang lama, tanpa berkedip. Hingga akhirnya dia berucap. "Kamu kok nggak di aula? semua siswa siswi ada disana loh sekarang," kata Tyas.
Kaesang menoleh kearah Tyas. "Nggak, males." hanya itu yang Kaesang ucapkan, setelahnya dia memalingkan wajahnya kearah lain.
Tyas menghela napas panjang, menggelengkan kepalanya. "Harusnya kamu kesana. Siapa tau penting kan? semua murid disuruh kesana loh," lagi Tyas.
Kaesang kembali menoleh kearah Tyas. Kali ini dari tatapan matanya terlihat bahwa Kaesang merasa kurang nyaman dengan ucapan yang diucapkan oleh Tyas. Meskipun tidak mengatakannya secara langsung, dari tatapan matanya sudah terlihat jelas.
"Itu cuma sosialisasi kampus Bu, anda tidak perlu khawatir. Saya juga nggak berminat kuliah disana. Kampusnya jel3k, dosennya tua-tua, saya nggak suka!" ucap Kaesang blak-blakan. Tanpa sensor atau rasa tidak enak.
Tyas menyahut. "Hey, jangan gitu, nggak baik. Dengan kamu ngomong gitu sama aja kamu udah ngehina kampus itu. Bisa jadi masalah loh kalo sampe ada yang tau," Tyas berusaha mengingatkan Kaesang, tapi Kaesang tetaplah Kaesang.
Dia tidak bisa menerima nasehat semudah itu. Apalagi jika nasehat itu datang dari orang lain. Dia tidak menyukainya.
Kaesang mendekatkan dirinya pada Tyas, menatapnya dengan sangat dekat. Tyas terkejut Kaesang mendekatkan tubuhnya seperti ini. Dia deg degan, wajah tampan Kaesang terpampang jelas di hadapannya.
"Kalo makan yang rapi dong Bu, di bibir ibu ada nasinya tuh," Kaesang mengusap bibir Tyas yang terdapat beberapa butir nasi dengan tangannya.
Tyas terkejut, ia terdiam seperti patung, sampai akhirnya pesanan Kaesang selesai dibuat dan Kaesang menikmati makanannya itu.
Setelah makanannya habis, Tyas keluar dari kios, kembali ke ruang guru. Tak lama setelah itu Kaesang juga keluar, dia menuju ke kelasnya, tapi di tengah jalan, dia dicegat oleh beberapa wanita yang menyerupai ondel-ondel, yang wajahnya seperti campuran tepung terigu dan tapioka.
Ketiga wanita itu mendekati Kaesang, salah satu dari mereka dengan manja memainkan rambutnya.
"Kaesang, jadi pacarku yuk," ucap salah satu dari wanita itu. Mungkin bosnya.
Kaesang tidak menjawab. Wanita itu kembali berkata. "Kalau kamu jadi pacarku nanti kamu aku ajak liburan keliling dunia. Kita pergi ke Italia, London, US, dan banyak yang lainnya. Aku bakal beliin kamu banyak jam mewah dan kemeja bagus. Kamu jadi pacarku ya, aku mohon,"
"Dasar sari roti expired, nggak punya malu apa ya, bisa-bisanya dia nemb4k gue kayak gini. Dasar stupid!" ucap Kaesang di dalam hati, menatap tidak suka ke arah ketiga wanita di depannya.
Wanita itu yang dari name tag-nya bernama Ricewhite Diana Nasution terus memohon-mohon kepada Kaesang. Kaesang tidak mempedulikannya. Dia segera pergi dari sana, menuju ke kelasnya.
Setibanya di dalam kelas, suasana yang tadinya sepi mulai ramai. Di sana terlihat banyak siswa dan siswi, terkecuali Zefa dan kedua temannya.
Kaesang tidak melihat mereka disana. Hingga tiba-tiba ada seorang guru masuk.
Setelah sang guru memasuki ruangan, semua murid duduk di bangkunya masing-masing.
"Kaesang, pak Indra ingin bicara dengan kamu di ruangannya." ucap guru itu. Rupanya guru matang dengan mengenakan jilbab itu datang ke kelasnya karena ingin memanggilnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Kaesang bangkit dari duduknya dan mengikuti guru itu ke ruangan kepala sekolah. Selain sebagai pendiri sekolah ini, ayahnya juga menjabat sebagai kepala sekolah.
Setibanya di depan ruangan papanya, guru tadi pun pergi. Kaesang mengetuk pintu dan masuk.
Begitu di dalam, dia menemukan papanya sedang duduk di kursinya dan menatapnya tajam. Seperti akan marah saja.
Kaesang menghampiri meja papanya dan duduk di kursi di depannya yang tersekat sebuah meja.
Tanpa banyak kata, papanya segera berucap. "Maksud kamu apa Kae dengan ngehin4 Zefa kayak tadi? dia nangis-nangis loh, tadi seorang guru lapor ke papa dan ngasih tau ini ...
Kamu apa-apaan sih Kae? maksud kamu apa? kenapa kamu lakuin itu?" cecar papanya.
Kaesang melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap kearah papanya malas. "Cuma mau menegaskan aja sama dia agar dia nggak gangguin aku terus. Aku capek pa, dia nggak mau berhenti ngejar aku."
Kaesang akan berdiri dari kursinya sampai Indra menghentikan langkah Kaesang. "Tunggu Kae. Ehm, kamu minta maaf ya sama dia, dia nggak mau masuk kelas loh, sekarang dia lagi ada di perpustakaan ...
Kamu tolong datengin dia ya dan minta maaf. Papa nggak enak Kae sama dia. Papanya itu adalah penyumbang dana terbesar di sekolah ini," beritahu Indra.
"Nggak mau dan nggak peduli! sampai kapanpun aku nggak akan pernah minta maaf sama dia. Aku mau keluar, pelajaran sebentar lagi akan dimulai." Kaesang membalikkan badannya, keluar dari ruangan papanya dan kembali ke kelasnya.
Di perpustakaan sekolah, Zefa terus menangis. Dia membuka buku tapi tidak membacanya. Dia hanya menggunakannya sebagai tisu hingga semua halamannya basah.
"Kenapa dia tega banget sih sama gue?! apa kurangnya coba gue? Gue udah cantik, kaya, ratunya para siswi lagi di sekolah ini. Kenapa sih susah banget buat Kaesang nerima gue? apa gue kurang s3ksi ya? bibir gue kurang monyong?
Arrghh, nggak!! Kaesang harus jadi milik gue. Apapun yang terjadi dia harus jadi milik gue!!" Zefa mulai berteriak-teriak tidak jelas disana. Beruntung saat itu sepi, tanpa seorang pun di sekitarnya, sehingga dia bisa meluapkan perasaannya, tanpa takut ada yang memarahinya.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!