"ALIZA!!!"
Seseorang berdiri di depan pintu kamar seorang gadis yang masih terlelap, tak mendengarkan suara lantang abangnya yang terus membangunkannya. Dengan kesal, abangnya mulai menggedor pintu kamar adiknya yang masih malas bangun dari tidurnya.
"BUKA PINTUNYA ATAU GUE DOBRAK!!" ancamnya dengan nada tinggi, penuh emosi.
"APA SIH?!!"
Aliza akhirnya bangun dengan mata yang masih setengah tertutup. Kepalanya terasa berat, dan rasa kantuk belum sepenuhnya hilang. Melihat adiknya yang masih bermalas-malasan, Nathan—abangnya—tampak semakin geram.
"Bangun sekarang!!" bentaknya lagi.
"Iya, iya!!" balas Aliza dengan nada kesal.
Dengan langkah gontai, gadis itu bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Pintu ditutupnya dengan kasar, memperlihatkan rasa jengkel.
"Dasar ganggu banget, sumpah si Nathan!" gerutunya sambil meraih sikat gigi.
"Udah tahu gue lagi mimpi indah tentang Haechan, malah dibangunin. Jadi gagal deh gue ciuman sama Haechan di mimpi. Kesel banget!" tambah Aliza sambil menggosok gigi dengan ekspresi kesal.
---
Nathan duduk di meja makan bersama ibu dan ayahnya yang sedang menikmati sarapan. Wajahnya tampak kesal, masih jengkel dengan adiknya yang susah dibangunkan. Melihat ekspresi Nathan, ibunya hanya tertawa kecil.
"Kenapa, Nathan?" tanya ibunya dengan lembut.
Nathan hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa.
"Adikmu memang selalu begitu, kan? Susah dibangunin," ujar ayahnya sambil melipat koran dan menyesap kopi hangatnya.
"Kan ini hari Senin. Harusnya dia sadar waktu, dong," keluh Nathan, melirik ibu dan ayahnya yang hanya tersenyum kecil.
Tiba-tiba terdengar suara lantang dari arah tangga.
"HELLO, EOMMA! APPA! OPPA!!!"
Aliza muncul sambil berlari menuruni tangga, suaranya menggema hingga ke dapur. Nathan menatap adiknya dengan sinis, tapi Aliza tak peduli. Ia langsung mengambil segelas susu dan menyantap roti yang sudah disiapkan ibunya.
Melihat wajah masam Nathan, Aliza memiringkan kepala, penasaran.
"Kenapa, Bang?" tanyanya santai.
Nathan tetap diam, tak menggubris. Aliza semakin bingung, lalu menoleh ke ibunya.
"Ibu, kenapa Bang Nathan cemberut gitu?"
Ibunya hanya tersenyum tipis.
"Abangmu kesel karena kamu susah bangun pagi," jawabnya singkat.
Aliza menatap Nathan dengan sinis, lalu mengangkat bahu sambil melanjutkan makan.
"Yaelah, Bang. Baru gitu aja marah. PMS, ya?" ejek Aliza.
Nathan langsung mengetuk kepala Aliza cukup keras.
"Aduh! Sakit, Bang!" protes Aliza sambil mengusap kepalanya.
"Lo sadar ini hari Senin, kan?" tanya Nathan tegas.
"Tahu lah," jawab Aliza polos, menatap abangnya.
"Kalau tahu, kenapa kamu malah begadang? Sudah tahu besok harus bangun pagi, malah begadang nonton!" seru Nathan, semakin kesal.
Aliza tersenyum kecut sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
"Ya... kebablasan, Bang. Tanggung, mau lihat Sanha dulu," jawabnya dengan nada ceria.
Nathan langsung mengetuk kepala Aliza lagi, kali ini sedikit lebih keras.
"Sakit, Bang! APPA!!" keluh Aliza sambil mengadu.
Ayahnya hanya mengangguk, enggan ikut campur keributan anak-anaknya.
"Udah tau harus bangun pagi, malah begadang! Cepat siap-siap, kita udah telat!" bentak Nathan, lalu pergi meninggalkan meja makan.
"Iyaaa," jawab Aliza malas, menatap punggung abangnya dengan sinis.
"Hati-hati di jalan!" teriak ibunya mengingatkan.
"Iyaaa, Bu!" sahut Aliza sambil berlari
---
"Zia!!!"
Seorang gadis yang tengah tertidur di atas tumpukan buku langsung membuka matanya ketika mendengar namanya diteriakkan. Dengan tatapan setengah sadar, dia mencari asal suara itu. Ternyata, sahabatnya, Cesya, si cerewet, sedang berdiri di depannya dengan ekspresi kesal.
Namun, bukannya bangun, Zia malah kembali merebahkan kepala di meja. Cesya hanya bisa mendengus frustrasi sebelum duduk di depan Zia, bingung melihat kedua sahabatnya masih tertidur lelap.
"Bukannya ini hari Senin ya?" gumam Cesya sambil menggaruk kepalanya. Ia menatap sahabat-sahabatnya yang masih asyik dalam mimpi mereka.
"Dasar pemalas. Udah tahu ada upacara, masih aja tidur. Nggak kayak gue, rajin banget, kan?!" celotehnya sambil nyengir, meskipun dalam hati ia tahu sering juga dihukum guru BK.
Tiba-tiba, bunyi notifikasi ponsel memecah kesunyian.
"Wih, siapa nih pagi-pagi gini ngirim pesan? Oh, my baby Jack!" Cesya berkata dengan antusias saat membuka ponselnya. Namun, saat melihat isi pesan itu, senyumnya langsung menghilang.
Pesan dari Aliza:
"Gue udah duluan ke lapangan. Kalian di mana?"
"Dasar nggak solid!" gumam Cesya kesal sambil menutup ponselnya.
Lalu, dengan suara lantang, ia berteriak:
"Bangun! Upacara! Cepat siap-siap!"
Zia yang masih setengah sadar membuka matanya dan menatap tajam ke arah Cesya.
"Berisik banget sih, lo!" geram Zia sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
"Lagian, lo pada pemalas banget!" sahut Cesya, mulai mengenakan dasinya.
"Pemalas? Terus lo apa, yang sering dihukum guru BK?" cibir Velyn, yang baru saja bangun dari tidurnya.
Cesya hanya nyengir tanpa membalas, sementara Zia dan Velyn mulai bersiap dengan enggan.
---
Di lapangan, Aliza sudah berdiri sendirian di barisan paling belakang. Kakinya terasa pegal meski baru beberapa menit berdiri. Dia jongkok sebentar untuk mengistirahatkan kakinya, merasa bosan dan kesepian karena teman-temannya belum juga muncul.
Sambil menunggu, Aliza membuka ponselnya, menghabiskan waktu dengan scrolling tanpa tujuan. Namun, tiba-tiba, bayangan gelap menutupi wajahnya, menghalangi sinar matahari yang menyengat. Aliza mendongak dan terkejut.
Di depannya berdiri seorang laki-laki berkulit putih, berwajah datar, dan bertubuh tinggi. Tatapan dinginnya langsung membuat Aliza terdiam.
"Bangun. Upacara mau dimulai." suara laki-laki itu terdengar dingin namun tegas.
Aliza buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah. Jarak wajah mereka yang terlalu dekat membuat pipinya merona.
"K-kamu siapa?" tanyanya pelan, matanya terpaku pada ketampanan pria itu.
"Ketua OSIS," jawabnya singkat sebelum berbalik dan pergi.
Aliza hanya berdiri mematung, wajahnya terlihat seperti orang yang sedang ngebug.
"Kenapa lo bengong gitu?" suara Velyn tiba-tiba memecah lamunannya. Gadis itu langsung merangkul Aliza, yang masih terdiam.
"Dia siapa?" tanya Aliza, suaranya pelan sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki.
Namun, yang dia tunjuk malah seorang pria bertubuh gendut di barisan depan.
"Selera lo turun drastis, Aliza," ledek Zia sambil tertawa.
"Bukan dia, gila!" balas Aliza kesal.
"Terus siapa?" tanya Cesya penasaran.
Sebelum Aliza sempat menjawab, suara dari pengeras suara menggema:
"UPACARA DIMULAI!"
Dan begitulah, mereka semua buru-buru masuk ke barisan, meninggalkan pertanyaan Aliza yang belum terjawab.
---
Setelah upacara selesai, semua murid langsung menuju kelas masing-masing untuk memulai pelajaran. Namun, Aliza masih saja berdiri di lapangan, matanya sibuk mencari seseorang. Cesya, yang sejak tadi menggandeng tangan Aliza, mencoba menariknya masuk ke kelas.
"Lo nyari siapa sih, gila?" ujar Cesya kesal, memperhatikan Aliza yang terlihat gelisah.
"Gue nyari ketua OSIS," jawab Aliza santai sambil terus menoleh ke kanan dan kiri.
Cesya langsung menarik tangan Aliza dengan paksa. "Udah, masuk kelas aja!"
Namun, Aliza menahan langkahnya. "Jangan bilang kita mau ke kelasnya Samuel? Gue gak mau, Cesya!" seru Aliza sambil mencoba memberontak. Sayangnya, Cesya lebih kuat dan tetap menyeretnya.
Setelah beberapa saat, mereka malah berhenti di depan aula. Aliza mulai curiga. "Kita ke aula? Jangan bilang Lo dihukum lagi, terus bawa-bawa gue? Wah, ini gak bisa dibiarkan!" Aliza menggerutu sambil memegang pintu aula dengan erat, mencoba menghentikan langkah mereka.
"Kalau Lo dihukum, jangan ajak-ajak gue dong! Cesyaaa!" teriak Aliza.
Teriakan itu membuat semua orang di aula sontak menoleh ke arah mereka berdua. Cesya hanya tersenyum cuek, sementara Aliza langsung merasa malu dan ingin kabur. Namun, pandangannya tiba-tiba terhenti saat melihat seseorang yang sedari tadi ia cari.
"Halo, Kak. Kenalin, aku Cesya, dan ini temen aku, Aliza," ujar Cesya dengan santai. Aliza hanya bisa tersenyum kikuk sambil menunduk, berbeda dengan Cesya yang tampak santai dan percaya diri.
Cesya melanjutkan, "Tadi Aliza bilang sama saya kalau dia mau ketemu sama ketua OSIS."
Aliza melotot kaget dan segera menggelengkan kepalanya, mencoba membantah. Tapi saat itu, cowok dengan gaya dingin dan name tag bertuliskan Diva Arkatama melangkah mendekati mereka. Sikapnya yang tenang dan wajahnya yang tampan membuat Aliza terpana.
"Kenapa?" tanya Diva datar, suaranya terdengar tegas.
"Emmm… nggak, Kak," jawab Aliza gugup sambil menunduk. Melihat temannya yang biasanya ceria kini jadi pemalu, Cesya tak kuasa menahan tawa.
"Lo malu-malu, Bagong? Hahahahaha!" tawa Cesya pecah, membuat Aliza semakin kesal.
"Cesya!" bentak Aliza dengan nada marah, namun wajahnya masih terlihat merah karena malu.
Diva, yang tampak tidak peduli, berkata dengan nada dingin, "Kalau gak ada urusan, kenapa gak masuk kelas? Pelajaran udah mulai."
"Iya, Kak. Maaf," jawab Aliza lirih. Namun, tiba-tiba dia memberanikan diri. "Kak, boleh minta nomor WhatsApp atau apa gitu?" tanyanya ragu-ragu.
"Privasi," jawab Diva singkat, lalu pergi meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi.
Aliza hanya bisa diam mematung, sementara Cesya terbahak-bahak melihat wajah temannya. "Ces, gue ditolak?" tanya Aliza dengan ekspresi pasrah.
Cesya mengangguk sambil menahan tawa. "Iya, Lo ditolak, Liz."
"Malu... Huaaaaa!" Aliza langsung lari meninggalkan aula. Cesya yang masih tertawa hanya berjalan pelan mengejarnya.
"Hahahaha, perut gue sakit, Liz. Tapi ini lucu banget sumpah!" ujar Cesya, tertawa sampai menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
TRINGGGG
Bunyi bel istirahat yang nyaring membuat siswa-siswi berhamburan keluar kelas untuk mencari makan. Namun, Nathan tetap duduk di kelas, menunggu Aliza yang belum juga keluar meski pelajaran sudah selesai. Wajahnya mulai terlihat kesal.
Tiba-tiba...
DORRRR!
"Enggak kaget," ucap Nathan dingin, membuat Aliza mendelik kesal. Aliza langsung merebut bingkisan yang dipegang Nathan. Dengan pasrah, Nathan membiarkannya.
"Itu makanan buat lo dari Ibu. Katanya lo lagi enggak enak badan," ujar Nathan.
Mendengar itu, Aliza langsung memeluk Nathan erat. Namun, Nathan hanya diam.
"Thanks, Bang. Gue bukan enggak enak badan, gue cuma... lagi datang bulan," bisik Aliza dengan malu-malu.
Nathan mengangguk lalu melepaskan pelukan itu dengan santai.
"Oh iya, Bang, nanti gue bakal pulang telat ya. Tapi enggak telat-telat banget, suer!" ujar Aliza sambil mengangkat dua jarinya membentuk simbol peace.
"Awas kalau lo beneran telat. Gue susul lo!" balas Nathan tegas. Aliza hanya mengangguk sambil nyengir.
"Diva, tungguin gue!" Nathan tiba-tiba berteriak sambil berlari ke arah Diva, teman sekelasnya, yang sedang menuju kantin.
Aliza hanya memandang dari kejauhan sambil tersenyum. "Abang gue kenal sama Diva? Apa mereka sekelas? Wah, seru dong!" gumamnya senang. Aliza pun kembali ke kelas untuk makan bersama teman-temannya.
Di dalam kelas, Velyn, salah satu teman Aliza, membuka obrolan. "Abang lo, Nathan, itu ya tadi?"
Aliza mengangguk sambil membuka bekalnya.
"Eh, Cesya, lo tahu enggak ketua OSIS tadi?" tanya Velyn.
Cesya tertawa kecil, mengingat sesuatu. "Ketua OSIS? Diva Arkatama? Oh, dia tadi minta nomor WhatsApp dia?, tapi lo tolak?" katanya dengan nada menggoda.
Velyn dan Zia langsung tertawa terbahak-bahak. Tapi wajah Aliza berubah kesal mendengar nama Diva disebut-sebut dengan nada bercanda.
"Emang ganteng sih Diva itu. Tapi minusnya, dia dingin banget, introvert parah, terus kalau lihat cewek kayak haram aja," komentar Zia santai.
Aliza langsung menatap Zia tajam. "Zia! Jangan ngomong gitu, ya! Jahat banget lo ngejelekin dia!" serunya.
Zia hanya memutar matanya. "Ih, santai aja. Paling lo suka, ya, sama dia?"
Aliza terdiam, tak bisa menjawab. Wajahnya malah memerah.
Cesya tertawa kecil melihat reaksi Aliza. "Diva itu anak kelas 12 IPS 2, ketua OSIS, sering ikut turnamen sepak bola, dan temennya Abang lo, si Nathan. Dia emang pinter banget, apalagi soal agama. Jadi, wajar kalau dia enggak sembarangan sama cewek," jelas Cesya panjang lebar.
Mata Aliza berbinar-binar. "Ces, gue mau deketin dia!" serunya antusias.
Cesya mengangkat alis, berpikir sejenak. "Gue bisa bantu lo deketin dia. Tapi ada syaratnya."
"Apa? Gue bakal lakuin apa aja!" jawab Aliza penuh semangat.
"Lo harus pinjemin gue mobil lo. Bokap gue nyita mobil gue, padahal nanti gue ada balapan," jawab Cesya sambil tersenyum licik.
Tanpa berpikir panjang, Aliza mengangguk setuju. "Deal!"
Tiba-tiba, Aliza berdiri dan berjalan keluar kelas.
"Mau ke mana lo?" teriak Velyn kebingungan.
"Ke kantin! Siapa tahu ada mas tampan di sana!" jawab Aliza sambil berlari kecil.
"Gue ikut!" teriak Velyn sambil mengejar Aliza.
Saat Nathan dan teman-temannya sedang makan di meja paling ujung, ada seorang cewek bernama Dania bersama Carissa, temannya yang tampak sibuk mengunyah makanan. Dania duduk dengan gaya centil di dekat Diva, tetapi Diva tiba-tiba berdiri dan berpindah ke dekat Nathan di ujung meja. Gavin, si buaya darat, langsung mendekati Dania sambil menggoda.
"Kenapa yayang Dania ke sini? Mau ketemu Babang Gavin ya?" goda Gavin dengan senyum genit.
Dania menatapnya sinis, lalu menjawab, "Sorry ya, lo jangan geer!" Dia berdiri dan mendekat ke arah Diva.
Namun suasana mendadak berubah saat terdengar suara lantang, "Hello my sunshine!" Semua orang menoleh ke arah suara itu. Ternyata itu adalah Aliza yang datang bersama Velyn, sementara Cesya dan Zia mengikuti di belakang mereka.
Dania berdiri menghadang Aliza, sementara Carissa tetap sibuk makan. "Mau apa lo ke sini?" tanya Dania dengan nada tidak suka.
Aliza tersenyum sinis dan menjawab, "Mau gue ke mana pun, itu bukan urusan lo. Ini juga bukan kantin lo, kan?"
Aliza kemudian melangkah mendekati Diva yang masih asyik makan sambil bermain HP bersama Bagas yang sedang menonton pertandingan bola di layar kecil. Dania yang melihat itu langsung bereaksi.
"Yak, Aliza!" bentaknya.
Aliza berhenti dan menoleh, merasa kesal. "Apa lagi sih?" ujarnya malas.
"Jangan dekat-dekat sama pacar gue, ya!" kata Dania dengan nada menantang.
Aliza menatap heran. Diva pacar Dania? Bohong! pikirnya.
"Gak usah ngaku-ngaku lo, Jubaedah!" seru Cesya sambil menatap Dania dengan tatapan sinis.
Carissa yang duduk di sebelah Dania langsung menimpali, "Diem lo, jangan ikut campur!"
Di tengah ketegangan itu, Aliza meremas ujung seragam Nathan yang duduk di dekatnya. Nathan yang menyadari itu langsung bertanya, "Mau apa?"
Bagas ikut menimpali sambil melirik Aliza, "Ada apa Aliza?"
Namun Aliza hanya menggeleng, "Gak jadi." Dia pun pergi meninggalkan mereka.
"Loh, katanya lo mau ngomong sama ketua OSIS!" teriak Zia dari belakang.
Aliza berhenti, berbalik, lalu menjawab dengan kesal, "Bacot ya lo!"
Zia dan Cesya tertawa sambil mengikuti Aliza keluar. Namun Nathan menahan tangan Zia sebelum dia pergi.
"Tanya ke Aliza, dia mau apa. Kalau dia mau ngomong sama gue, habis pulsek gue ke kelas," ucap Nathan dingin.
Zia mengangguk lalu mengejar Aliza. Sebelum pergi, Nathan menatap tajam ke arah Dania. "Jangan ganggu adik gue," katanya dengan nada dingin, kemudian pergi diikuti Diva dan yang lain.
Dania menatap kepergian mereka dengan kesal, lalu berujar pelan, "Awas lo, Aliza!"
Semoga suka sama cerita aku yaaa,thanks all
Aliza masih duduk di kelas, sementara teman-temannya sudah pulang. Ada yang dijemput, ada juga yang memilih pulang sendiri. Namun entah kenapa, Aliza merasa malas untuk pulang. Dia hanya duduk sendirian sambil bermain ponsel.
"Kenapa belum pulang?"
Suara itu membuat Aliza menoleh. Ternyata yang berbicara adalah Nathan, abangnya, yang datang bersama teman-temannya, termasuk Diva—ketua OSIS yang sempat dia kagumi tadi pagi.
"Kenapa Abang ke sini?" tanya Aliza, buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Nyembunyiin apa, Dek Aliza?" goda Gavin, ikut memperhatikan gerak-geriknya.
Aliza menatap Gavin sinis. "Gak nyembunyiin apa-apa, cuman masukin aja," jawabnya setengah ragu sambil melirik Nathan.
"Masih kangen sama Ikbal, ya?" sindir Gavin sambil tertawa kecil.
Aliza hanya diam, sementara Bagas dan Gavin langsung menggoda serempak, "Ciee, gamon!"
"Apa sih?!" balas Aliza kesal. Dia berusaha menyangkal. "Aliza cuman... males buat pulang." Namun, nadanya terdengar seperti berbohong. Nathan hanya mengangguk, tidak banyak komentar.
"Ya udah, ayo pulang," ajak Nathan.
Aliza mengangguk setuju.
"Jadi futsal?" tanya Diva sambil menggendong tasnya.
"Jadi, nanti gue nyusul," jawab Nathan. Diva mengangguk kecil.
"Emang lo gak ada urusan lagi di sini?" tanya Bagas kepada Diva.
Diva menggeleng. "Udah selesai."
Semua mengangguk tanda paham, kecuali Aliza yang terus menatap Diva.
"Tadi gak papa?" tanya Nathan sambil merangkul bahu Aliza saat mereka berjalan keluar kelas.
"Enggak, cuman kesel aja. Tadinya Aliza ke sana mau minta duit buat makan malam di kafe bareng teman-teman," jelas Aliza.
Nathan mengangguk. "Terus?"
"Gak jadi, soalnya Aliza dituduh mau caper ke Kak Diva," jawabnya dengan nada kesal.
Nathan tertawa kecil lalu mencubit pipi Aliza pelan. "Ya udah, jangan diambil hati. Lagian gak penting juga."
Aliza mengangguk pelan.
"Dia emang udah lama suka sama Diva, tapi Divanya gak suka sama Dania," kata Nathan santai.
Mendengar itu, Aliza refleks menoleh ke arah Diva yang tampak sedang berjalan di depan mereka. Saat mata mereka bertemu, Aliza buru-buru mengalihkan pandangan ke depan lagi.
Banyak juga yang suka... jadi insecure, pikir Aliza, merasa kecil hati. Dia mendesah pelan, ragu-ragu untuk bisa mendekati Diva, sang ketua OSIS yang karismatik dan dikenal paham agama.
---
"Woyyy!!" seru Cesya tiba-tiba muncul bersama Jack, pacarnya. Gavin, yang terkenal suka julid, langsung menatap sinis melihat kemesraan mereka.
"Hilih, tau tempat lo kalau pacaran!" sindir Bagas sambil merangkul Gavin. Gavin mengangguk setuju dengan ucapan Bagas.
"Iri bilang, bos!" Cesya meledek Gavin,membuat Cesya ingin sekali menggampar mulutnya, tapi Jack buru-buru menahan tangannya.
"Jadi nggak, Za?" tanya Cesya sambil melirik Aliza yang sedang masuk ke mobilnya. Aliza menengok keluar jendela mobil dan menjawab santai, "Jadi. Tapi awas lo kalau lelet, gue denda lo!"
Cesya mengangguk dan mengacungkan jempol.
"Jadi apaan tuh?" tanya Gavin penasaran sambil menatap Aliza.
"Biasa, nongki," jawab Aliza singkat sembari menyalakan mesin mobilnya.
"Gue duluan!" teriak Diva yang sudah melaju dengan motornya, mengenakan helm full-face.
"Gue duluan, Bang!" tambah Nathan sambil menyalakan motornya.
"Jemput gue, Za!!" teriak Cesya dengan nada kesal.
Brmmmmmm!
"Babi!" maki Cesya melihat Aliza malah mengebut tanpa menjawab permintaannya.
"Diva! Besok gue bakal kasih sarapan buat lo! Tunggu di kelas atau aula! Byeee!" seru Aliza sambil menyetir, setengah badan terlihat keluar dari jendela mobilnya.
Brmmmmmm!
Diva, yang dari tadi melaju pelan sambil bengong, hanya bisa melihat mobil Aliza melaju cepat sambil mendengar teriakannya. Ia menghela napas pelan.
"Nggak jelas banget, adiknya si Nathan," gumam Diva sambil menggeleng pelan, malas menanggapi.
Saat mendengar azan berkumandang, Diva langsung mengarahkan motornya ke masjid terdekat. Ia memutuskan mampir untuk menunaikan salat sebelum melanjutkan kegiatan futsalnya.
---
Aliza dan Nathan baru saja tiba di rumah. Begitu masuk, Aliza langsung berlari ke arah Nathan dan memeluk lengannya dengan manja. Nathan yang melihat tingkahnya merasa ada sesuatu yang aneh. Ia yakin Aliza pasti punya maksud tertentu.
Aliza tersenyum penuh semangat, tapi Nathan hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba menghindari tatapan itu.
"Mau apa?" tanya Nathan tanpa basa-basi.
"Abang mau futsal? Aliza ikut yaaa," jawab Aliza sambil tersenyum manis.
Nathan mengernyitkan dahinya, bingung dengan permintaan itu. Tidak biasanya Aliza ingin ikut.
"Tumben banget. Bukannya biasanya nongkrong?" Nathan duduk di sofa, masih curiga.
"Kan nongkrong bisa nanti, jam delapan. Ini baru jam lima, masa futsal malam-malam?" sahut Aliza sambil mengambilkan minuman dingin untuk dirinya dan Nathan.
Nathan mendesah pelan. "Futsalnya juga mulai jam tujuh, selesai jam sembilan. Habis itu baru nongkrong di kantin BI Asri sampe jam sepuluh, terus pulang," jelasnya santai.
Mendengar itu, Aliza langsung memasang wajah kecewa. "Yah, masa futsalnya jam tujuh, Bang?" keluhnya sambil melempar tasnya sembarangan ke lantai.
Nathan mengangkat bahu. "Diva masih ngaji dulu, jadi kurang orang kalau dia gak datang," jawabnya.
Aliza terdiam sejenak, lalu tatapannya berubah cerah. "Ngaji? Astaga, suami idaman banget! Yaudah, Aliza ikut, tapi cuma sampai jam delapan ya! Deal? Thanks, Bang!" Aliza langsung berlalu pergi dengan riang, meninggalkan Nathan yang masih terpaku melihat kelakuannya.
Nathan menggelengkan kepala sambil menghela napas. "Kayaknya anak ini lahir di ujung hidung deh, tingkahnya aneh banget, ada aja gebrakan nya" gumamnya. Ia pun naik ke atas untuk membersihkan diri sebelum bersiap-siap futsal.
---
"GOAL!!!"
Bagas baru saja mencetak gol ke gawang tim lawannya, membuat Gavin bersorak kegirangan. Bagas hanya mendengus kesal melihat kegembiraan Gavin yang berlebihan. Di sisi lain, Nathan dan Aliza baru tiba di lapangan futsal. Namun, Diva belum juga terlihat.
Aliza duduk di bangku pemain cadangan sambil memegang jaket Nathan. Tingkahnya sudah seperti pacar Nathan saja, meski mereka sebenarnya hanya saudara. Tak lama, Diva akhirnya datang dan duduk di dekat Aliza.
Saat melihat wajah tampan Diva dari dekat, Aliza tiba-tiba merasa grogi. Ia pun mencoba membuka percakapan.
"Kak Diva tadi ngaji dulu, ya?" tanya Aliza. Diva hanya mengangguk tanpa sedikit pun menoleh ke arah Aliza.
"Kak Diva suka banget main bola, ya?" tanya Aliza lagi, masih penasaran. Diva kembali mengangguk singkat.
"Oh, kalau nanti Persib main, Kak Diva nobar di mana?" Aliza terus mencoba memancing respons lebih panjang dari Diva.
"Di rumah," jawab Diva datar.
"Kenapa gak di rumah Kak Nathan aja? Seru, lho! Biasanya ada Kak Gavin sama Kak Bagas juga," usul Aliza dengan semangat.
"Kalau ada waktu," sahut Diva sambil berdiri dan mulai melakukan pemanasan.
Aliza mengernyitkan dahi. Emang sesibuk itu, ya? pikirnya dalam hati.
"Kalau ada waktu? Kan tayangnya pas weekend," tanya Aliza lagi, berusaha mencairkan suasana.
"Iya, tapi kadang mager. Malas keluar rumah," jawab Diva santai sambil tetap fokus pada pemanasannya.
Merasa penasaran, Aliza melontarkan pertanyaan lain. "Berarti Kak Diva gak punya pacar, ya?"
Diva berhenti sejenak, mengerutkan dahi sambil melirik ke arah Aliza. "Gak penting," jawabnya tegas.
Aliza terdiam, sedikit kaget dengan jawaban itu. "Kenapa gak penting? Kan kalau ada pacar, jadi ada penyemangat," serunya, mencoba membela pendapatnya.
Diva menghela napas. "Masih bocil, gak usah mikirin pacar-pacaran. Fokus aja dulu raih cita-cita."
Setelah mengatakan itu, Diva beranjak pergi menuju lapangan. Tapi Aliza belum menyerah.
"Kalau ada yang ngejar Kakak, gimana?!" seru Aliza sedikit berteriak saat Diva hampir masuk ke lapangan.
Diva menoleh sebentar. "Ya gak kenapa-kenapa," jawabnya santai.
"Kalau suka, Kakak bakal terima gak?" Aliza bertanya lagi sambil mendekati Diva.
Diva menatapnya sebentar sebelum menjawab. "Kalau suka, terima. Kalau gak suka, tolak."
Jawaban sederhana itu sukses membuat Aliza tertegun. Sekarang, ia bingung sendiri. Haruskah ia mencoba membuat Diva jatuh cinta dulu? Tapi di sisi lain, ia takut Diva justru akan menolaknya.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!