NovelToon NovelToon

Ketika Benci Menemukan Rindu

Bab 1. Perjanjian Kesepakatan.

Arlen melemparkan sebuah dokumen yang dibalut dengan sampul map merah ke atas ranjang.

"Tandatangani surat perjanjian itu." katanya dingin kepada Kalila yang bahkan masih mengenakan kebaya pernikahan mereka yang baru selesai satu jam yang lalu.

"Perjanjian apa ini?" tanya Kalila, dia bingung dan tidak mengerti.

"Jangan pura-pura ga mengerti apa-apa, Lila." kata Arlen. Dia menatap tajam menusuk pada wanita yang baru saja sah menjadi istrinya melalui sebuah perjodohan. "Kamu pikir aku ga tau, kalo kamu terima perjodohan ini karena uang?"

Kalila diam.

Dari ekspresinya jelas dia ingin menjelaskan sesuatu, tapi saat ini tensi dari emosi Arlen yang sangat tinggi tidak mengijinkan wanita itu untuk menjelaskan apa-apa.

"Padahal kamu tau aku sangat mencintai Miranda. Tapi demi uang kamu tega menghalangi jalanku untuk bisa mendapatkan restu Mama kepada Miranda. Jadi, jangan salahkan aku, kalo mulai sekarang, bagiku kamu bukanlah sahabatku lagi."

Arlen tahu, kalimat yang dia ucapkan cukup kejam, tapi mengingat bagaimana Kalila tidak menolak perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka, padahal Arlen sudah memohon agar Kalila menolaknya membuat rasa iba pun menjadi beku di dalam hatinya.

Dulu, ia tidak akan pernah mengatakan hal-hal buruk pada Kalila, baginya Kalila adalah sahabatnya yang sangat tulus, seseorang yang bisa menjadinya tempat untuk berkeluh kesah, bahkan tentang Miranda. Karena itu dia sangat kecewa dengan Kalila. Uang telah mengubah segalanya.

Mengubah Kalila-nya.

"Baiklah," kata Kalila akhirnya. "Jadi, perjanjian apa yang harus aku tandatangani?"

"Pernikahan ini hanya akan berjalan selama satu tahun terhitung mulai hari ini. Kamu dan aku ga boleh mencampuri urusan pribadi, termasuk kamu ga boleh menghalangi aku yang akan tetap menjalin hubungan dengan Miranda. Dan, kita hanya akan terlihat harmonis di depan Mamaku."

"Baik. Ada lagi?" tanya Kalila. Ia terlihat tegar.

Arlen kemudian mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya lalu melemparkannya ke atas ranjang, tepat di atas map dokumen. "Kamu bisa gunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhan matrealistismu selama pernikahan ini. Tapi ingat, tetap tutup mulutmu tentang hubunganku dengan Miranda di depan Mama."

Terlihat sudut bibir Kalila bergerak membentuk senyuman miris yang diabaikan oleh Arlen. Matanya bergerak melihat map dan kartu debit yang ada di atas ranjang penuh dengan kelopak mawar putih.

Kalila hanya berdeham, kemudian dia menandatangani surat perjanjian itu tanpa membaca lagi isinya. Lalu diambilnya kartu debit yang sudah dilemparkan Arlen tadi.

Arlen tersenyum sinis melihatnya.

"Bagus, mulai sekarang, jangan berdekatan denganku jika kita hanya berdua. Paham?"

Kalila mengangguk. "Kalau begitu, aku juga punya syarat."

Arlen menaikkan sebelah alis matanya, "Kamu mengajukan syarat?"

"Ya." jawab Kalila dengan mengangkat dagunya.

"Baiklah, apa?" ujar Arlen dengan nada dinginnya.

"Kamu ga boleh melarangku dekat dengan orang lain dan tetap biarkan melakukan pekerjaanku."

Arlen mendengkus. Matanya menatap sinis pada Kalila. "Terserah. Aku ga peduli dengan apa yang mau kamu lakukan. Yang penting kamu ga mengganggu hubunganku dengan Miranda."

"Satu lagi." Mala menyahut. "Apa pun yang terjadi, kamu ga boleh menyentuhku."

"Cih, jangan telalu kelewat percaya diri. Kamu sekarang hanya orang asing yang kubenci."

Matanya menangkap bagaimana tangan Kalila meremas kain yang dikenakan sebagai bawahan kebayanya.

Arlen kemudian meninggalkan Kalila begitu saja, meninggalkan wanita yang baru saja dia ucapkan janji suci untuk dia bahagiakan. Dokumen yang sudah ditandatangani Kalila pun dibawa serta olehnya.

Kakinya melangkah cepat menelusuri lorong hotel yang menjadi tempat dimana dia dan Kalila seharusnya menikmati malam pertama mereka.

    *

Satu jam kemudian, Arlen baru saja tiba di apartemen seseorang yang telah menunggunya. Wanita itu merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Arlen dan memeluknya dengan erat. Piyama satin yang agak tipis itu membuat Arlen sedikit merasa risi.

"Kenapa berpakaian seperti ini?" tanya Arlen dengan nada letihnya. Dia melepaskan pelukan Miranda dengan lembut.

"Oh, aku belum sempat ganti baju, baru bangun. Semalam syuting sampai jam 2 malam. Tadi jam lima baru sampai sini." Miranda menjelaskan dengan nada suaranya yang selalu manja di depan Arlen.

"Bisa kamu ganti pakaianmu dulu?"

"Oke, tunggu sebentar, ya." Miranda langsung beranjak masuk ke dalam kamarnya. Sementara Arlen mengenyakkan dirinya di atas sofa. Jarinya memijat tulang hidungnya. Kepalanya terasa mumet dengan semua kejadian hari ini. Akad dan resepsi pernikahan yang tidak pernah dia inginkan. Terlebih pengantin dari pernikahan itu adalah Kalila, sahabat yang selalu bisa dia percaya.

"Jadi bagaimana? Apa Lila mau menandatangani surat perjanjian dan mau terima kartu debit yang kamu kasih?" Miranda kembali lagi dengan pakaiannya yang lebih normal. Rambutnya yang tebal dibiarkannya tergerai membingkai wajahnya yang cantik.

Miranda duduk tepat di samping Arlen, jemarinya yang lentik dengan kuku-kuku yang mengkilat memijat lembut pundak Arlen, pijatan yang memberikan sensasi berbahaya bagi Arlen. Bagaimana pun, Arlen adalah pria normal yang menganut prinsip no sex before marriage. Jadi, demi keamanan prinsipnya, dia memilih untuk melepaskan tangan Miranda dari tubuhnya dan memilih untuk menggenggam tangan kekasihnya itu.

"Kamu benar, ternyata selama ini Kalila hanya berpura-pura alim hanya untuk mendapatkan simpatik dari Mama." Arlen menggeleng, tak percaya dengan kebenaran yang baru dia lihat. "Selama ini Kalila selalu sederhana. Dia sangat sabar dan selalu tulus. Aku sama sekali ga nyangka kalau semua itu hanya topeng untuk mendapatkan uang."

"Sudah kukatakan, kan, dia itu penuh manipulatif." Miranda berdecak.

Arlen mendesah. Kekecewaan masih begitu kental terasa. Ia masih belum bisa percaya, persahabatannya bertahun-tahun dengan Kalila ternyata semuanya hanya kepalsuan. Kalila tidak setulus itu kepadanya.

Rasanya, dia bukan hanya kecewa, tapi juga terluka.

"Sejak awal kamu memperkenalkanku padanya, aku sudah punya firasat kalau dia punya niat lain padamu." Miranda menunjukkan eskpresi sebal. "Dan sekarang dia pasti merasa menang karena sudah mendapatkanmu."

"Tenang saja, aku ga akan tergoda olehnya." kata Arlen dengan tegas dan meyakinkan kekasihnya itu. "Aku janji, aku akan membongkar aslinya Lila kepada Mama. Setelah itu, aku yakin, ga akan ada lagi yang menghalangi kita untuk bersama."

Miranda tersenyum cantik lalu menyandarkan kepalanya di atas dada bidang Arlen.

"Pokoknya jangan biarkan dia menyentuhmu. Aku yakin dia akan berusaha untuk menggodamu."

"Aku ga akan tergoda." jawab Arlen dengan sangat tegas.

Bagiku, Kalila sahabatku sudah tidak ada.

.

.

.

Bersambung

Bab 2. Berusaha Untuk Normal.

Pagi ini Kalila terbangun dari tidurnya dengan statusnya yang baru, namun tidak ada yang spesial sama sekali, justru dia merasa sebaliknya. Ranjang yang bertabur kelopak mawar putih pun masih rapih, seperti saat ia baru memasuki kamar hotel yang seharusnya ditempati olehnya dan Arlen.

Kalila duduk di sofa, dengan kedua matanya yang sembab, kepalanya yang pusing karena menangis semalaman. Dan rasanya pagi ini hatinya lumayan lega setelah menumpahkan semua sesak di dadanya.

Dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melakukan upaya untuk membuat matanya kembali normal sebelum dia keluar dari kamar ini. Ibu mertuanya jangan sampai melihat betapa sembab matanya.

"Mau kemana?" Arlen sudah ada di dalam kamar itu, entah sejak kapan, lelaki itu bertanya begitu Kalila tepat keluar dari kamar mandi dengan masih mengenakan bathrobe dan rambutnya yang tergerai setengah basah.

"Kedai." jawab Kalila sambil menuju lemari untuk mengeluarkan baju yang masih ada di dalam koper.

"Kedai?" Suara Arlen terdengar jengkel. "Ga bisa!"

"Kenapa ga bisa? Bukannya kita udah sepakat." Kalila melihat Arlen dengan posisinya yang masih berjongkok di depan kopernya yang terbuka.

"Mama tau aku sudah ambil cuti satu minggu untuk acara bulan madu, jadi selama satu minggu ini, kamu dan aku harus berpura-pura menikmati bulan madu yang sudah disiapkan Mama ini."

Kalila mendengkus. Ia kemudian berdiri, menghadap Arlen dengan sebelah tangannya mencekal rapat bagian atas bathrobe yang dikenakannya.

"Mana bisa begitu?" protes Kalila. "Maksudmu, aku harus kehilangan pendapatan penjualanku selama satu minggu hanya untuk mengikuti keegoisanmu?"

"Keegoisan?" Arlen mengulang dengan nada yang gusar. "Siapa yang egois sejak awal? Siapa yang menerima perjodohan sialan ini demi uang?!" Arlen melotot kepadanya.

Ia ingin bicara, membela diri, tapi lagi-lagi dia menahan diri, dia hanya bisa menggigit bibirnya dan mengeratkan cekalan tangannya pada kain bathrobe yang dikenakannya.

"Lagi pula, uang puluhan juta yang ditransfer Mama memangnya masih kurang? Isi kartu debit yang aku berikan juga masih kurang? Apa segila itu kah kamu dengan uang?"

"Iya!" jawab Kalila dengan lantang. "Iya, aku memang segila itu dengan uang! Aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkan uang, uang dan uang! Puas?!"

Mereka sama-sama diam setelah Kalila melepaskan emosinya. Napasnya berburu karena luapan emosi yang tak terbendung sejak semalam.

"Karena itu... sesuai dengan perjanjian yang kamu lemparkan kepadaku, jangan ikut campur urusanku." ujar Kalila dengan nada sinis hendak berlalu dari hadapan Arlen, tapi tangan Arlen mencekal pergelangan tangan Kalila, menghalangi langkah Kalila untuk beranjak dari hadapannya.

"Seenggaknya tunggu sampai besok."

Kalila menepis tangan Arlen, ia mendengkus dan menatap Arlen dengan tatapan sinisnya.

"Apa kamu menunggu sampai besok untuk bertemu dengan Miranda tadi malam?"

Pertanyaan itu membungkam bibir Arlen, dia tidak bisa menyangkal ucapan sarkasme yang dilontarkan Kalila kepadanya, hanya ekspresinya yang gusar dan kedua tangannya yang terkepal erat.

"Enggak, kan? Jadi, kenapa aku harus menunggu besok?" Pertanyaan itu diucapkan bukan untuk mendapatkan jawaban dari Arlen, jadi Kalila langsung berlalu begitu saja dari hadapan Arlen dengan membawa serta pakaian yang sudah dia pilih dari dalam koper.

Ia masuk ke dalam kamar mandi, mengunci pintu lalu bersandar di sana. Ia mengatur napasnya, mencoba untuk menenangkan degupan jantungnya yang memburu.

"Tenang Lila...tenang...semua akan baik-baik saja." ucapnya dengan nada lirih kepada dirinya sendiri.

    *

Kalila benar-benar pergi ke kedai, rumah sederhana yang dia sewa untuk dia jadikan kedai tempatnya berupaya membuka usaha untuk bertahan hidup.

Asri, gadis berkaca mata satu-satunya pegawai yang dia miliki sudah menunggu Kalila di depan teras kedai, senyum gadis itu menyambut kedatangan Kalila seperti seorang adik yang menunggu kakaknya datang.

"Sudah lama, ya?" sapa Kalila sambil mengeluarkan kunci dari dalam tasnya.

"Aku pikir Mbak Lila ga datang. Tapi Mbak Lila ga kasih tau kalo memang kedai tutup." jawab Asri sambil mengikuti Kalila masuk ke dalam kedai.

"Iya, maaf ya, aku ada urusan mendadak."

Asri mengangguk mengerti. "Aku pasang papan open sekarang atau nanti?"

"Nanti saja, kita rapih-rapih dulu. Aku juga harus cek mesin kopinya, mudah-mudahan ga ngadat."

Asri kembali mengangguk dan tidak membantah apa pun.

Kalila cukup bersyukur karena menemukan Asri, gadis polos itu sangat membutuhkan pekerjaan, dan Kalila menerima sebagai satu-satunya karyawan di kedainya, padahal kalau dipikir-pikir, kedai Kalila tidak sebegitu ramainya. Masih bisa dia handle sendiri.

Kalila dan Asri mulai berkolaborasi merapihkan dan membersihkan kedai seperti hari-hari biasanya, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang besar di hari sebelumnya. Atau, Kalila berusaha menjalani harinya senormal mungkin meskipun dengan rasa kesal karena pagi ini mesin kopinya memilih untuk tidak menyala.

"Permisi, apa udah open order?" Suara laki-laki membuat Kalila dan Asri menengok ke arah pintu.

Lelaki itu nyengir lebar, memamerkan lesung pipi yang selalu menghiasi pipinya.

"Khusus untuk kamu, open order setelah kamu bantuin aku nyalain mesin kopi ini." Kalila mengatupkan kedua tangannya di depan dada, dengan tatapan memohon kepada lelaki itu untuk membantunya.

"Rusak lagi?" Rafa langsung memasuki area barista dan memeriksa mesin kopinya.

Kalila mengangguk frustasi.

"Sudah kubilang, beli mesin yang baru." ujar Rafa sambil mengotak-atik bagian mesin yang tidak Kalila pahami.

"Kan, ada kamu yang bisa benerin." Cengiran Kalila membuat Rafa hanya bisa geleng-geleng kepala.

Tidak sampai sepuluh menit, mesin kopi yang sudah lansia itu akhirnya bisa menyala dan bertugas kembali.

"Satu cappuccino dengan simple syrup tujuh setengah mili." Kalila mendahuli apa yang mau dipesan Rafa. Pasalnya, temannya yang satu itu memang selalu memesan menu kopi yang sama setiap pagi.

"Apa aku harus berikan tambahan tip untuk baristanya karena sudah ingat pesananku."

"Boleh, tapi seratus persen ya."

"Wah, pemerasan itu namanya."

Mereka kemudian terkekeh bersama, begitu pun dengan Asri yang sudah mengenal Rafa.

Obrolan ringan bersama Rafa membuat Kalila cukup terbantu dari pikirannya yang semerawut, hingga obrolan mereka sampai pada satu pertanyaan.

"Sejak kapan kamu pakai cincin nikah, La?"

.

.

.

bersambung

Bab 3. Hati Yang Carut Marut

Cincin pernikahan yang kemarin disematkan oleh Arlen dalam acara akad pernikahan yang tertutup itu rupanya lupa Kalila lepas dari jari manisnya.

Cincin itu masih melingkar dengan manis pada jari yang biasanya kosong. Tentu saja hal itu membuat Rafa bertanya.

"Cincin nikah? Kata siapa ini cincin nikah?" Kalila terkekeh rikuh sambil menyiapkan kopi untuk Rafa.

"Aku pernah melihat cincin itu di toko perhiasan waktu menemani sepupuku mencari cincin untuk pernikahannya. Dan cincin yang kamu pakai direkomen sebagai cincin couple pernikahan yang harganya lumayan nguras dompet." jawab Rafa, tanpa nada menghakimi.

Untuk sesaat Kalila menatap cincin yang masih dikenakannya itu. Ia merasa miris, untuk apa dia memakai cincin yang mahal jika pernikahannya hanya untuk jangka waktu satu tahun saja?

"Ini imitasi." sahut Kalila asal.

"Imitasi?"

Kalila mengangguk.

"Sejak kapan kamu pakai perhiasan sampai pakai yang imitasi segala?"

"Sejak hari ini."

Klik!

Kalila selesai dengan pesanan Rafa dengan menutup paper cupnya. "Ini kopi kamu."

Rafa menerima kopinya sembari matanya tak lepas dari Kalila.

Kalila meresponya dengan senyuman ringan, seolah ia tidak merasakan jantungnya yang mulai berdegup tak karuan karena gugup. Pernikahannya dengan Arlen memang setertutup itu, Kalila bahkan tidak memberitahu siapa pun, termasuk Rafa dan Miska, dua temannya. Begitu pun dengan Arlen, tidak ada rekan kerja atau teman dari masa kuliah atau sekolah yang diundang.

Pernikahan itu hanya dihadiri oleh keluarga saja.

"Terima kasih ya udah bantu aku membangunkan si tua ini." katanya seraya menepuk mesin kopinya.

Rafa mengangguk lalu menyeruput kopinya.

"Omong-omong, katakan pada Arlen, jika dia mampu memberikan yang sungguhan, jangan berikan yang imitasi."

Seketika itu juga, senyum pada wajah Kalila lenyap sempurna. Keterkejutan terpampang nyata pada wajahnya, sementara Rafa malah menyunggingkan senyum lalu mengangkat gelas kertasnya sebelum dia pamit pergi dari kedai kecil itu.

Rafa...tahu?

    *

Rafa tahu dari mana?

Pertanyaan itu terus mengulang di dalam kepala Kalila sepanjang hari ini, bahkan dalam keramaian gerbong KRL yang membawanya dari satu stasiun ke stasiun lainnya tidak mampu mengalihkan pikiran Kalila.

Apakah Arlen tahu kalau Rafa tahu tentang pernikahan mereka?

Bagaimana reaksi Arlen jika ternyata dia tidak tahu kalau Rafa tahu?

Bagaimana jika Arlen tahu bahwa Rafa tahu?

Akh! Rasanya Kalila ingin kabur saja, membawa serta uang puluhan juta yang ada di dalam rekeningnya juga dengan kartu debit milik Arlen. Baru dua hari, tapi batinnya sudah begitu tertekan.

Tapi dia harus bertahan, dia sudah berjuang sejauh ini, dia harus bertahan sampai apa yang dia usahakan terselesaikan.

Suara mesin operator pun kembali berbunyi, memberikan informasi stasiun berikutnya yang menjadi tempat pemberhentian Kalila.

Ia berjalan keluar bersama puluhan orang-orang yang mungkin sama letihnya seperti dia. Yang mungkin mempunyai tekanan emosional yang sama seperti dirinya. Tapi mereka bertahan. Pun dengan Kalila.

Kalila terus menggerakkan kakinya meski hatinya merasa enggan karena mulai kali ini dia akan 'pulang' ke tempat yang begitu asing untuk dia sebut sebagai rumah.

"Selamat malam, Nona." Lelaki dengan pakaian formal menyambutnya begitu dia keluar dari pintu stasiun.

Kalila mengenalnya, lelaki itu Noe, supir sekaligus asisten Arlen.

"Loh, Noe? Kenapa ada di sini?" tanya Kalila tanpa menyembunyikan keterkejutannya.

"Tuan Arlen meminta saya untuk menjemput Nona dari stasiun ini menuju ke apartemen."

"Apartemen Arlen?"

"Benar Nona."

"Jadi, sudah ga ke hotel lagi?"

Noe mengangguk. Ia kemudian mempersilakan Kalila untuk melaluinya. Kalila senang dengan sikap Noe yang tidak berubah kepadanya meski Arlen sudah berubah pesat.

Tidak ada obrolan sepanjang perjalanan menuju apartemen yang ada di bilangan kota pusat Jakarta. Noe memang tidak banyak bicara, tapi dia cukup ramah.

Satu jam perjalanan karena macet yang merayap, akhirnya mereka tiba di gedung apartemen kalangan elit itu.

"Apa Arlen ada di sini juga?" tanya Kalila sebelum keluar dari dalam mobil.

Tapi Noe hanya menjawab pertanyaan Kalila dengan seulas senyuman tipis. Dan itu sudah cukup menjawab.

Kalila keluar dari dalam mobil dengan perasaannya yang carut marut.

Dia masuk ke dalam unit apartemen itu dengan kode kunci yang sudah diberikan oleh Noe sebelumnya.

Kosong dan asing. Dua hal itu yang Kalila rasakan begitu kakinya melangkah masuk. Dia bukan tidak pernah masuk ke dalam unit itu. Dia, Rafa dan Miska pernah datang, bahkan sering berkunjung ke apartemen Arlen, karena pribadi Arlen yang sangat luar biasa manja dan tidak mandiri ketika sakit. Jadi, terkadang Kalila, Miska bahkan Rafa harus bergantian menjaga teman mereka itu.

Tapi kenangan hangat itu seolah tidak lagi memiliki makna. Arlen kini hanya melihatnya sebagai gold digger yang sudah menjebaknya dalam sebuah pernikahan demi uang.

Ah, jika saja....

Suara kode kunci pintu yang ditekan membuat Kalila kembali melihat pintu, menunggu sosok yang Kalila pikir tidak akan datang.

Mata mereka bersibobrok untuk sesaat, namun Arlen lah yang lebih dulu berpaling. Wajahnya lelah, ikatan dasinya sudah longgar. Melihat bagaimana Arlen yang begitu lelah, Kalila hampir saja ingin menghampirinya dan bertanya apa yang bisa Kalila lakukan untuk mengurangi lelah Arlen.

Namun begitu mata Arlen berpaling dan dia belalu begitu saja dari hadapan Kalila seolah Kalila hanya sebuah benda mati yang tidak penting yang tidak memiliki arti, Kalila pun mengurungi niatnya.

Dia harus kembali mengingatkan dirinya, Arlen-nya telah berubah.

"Kamarmu di sana." kata Arlen tanpa melihat Kalila, hanya tangannya yang bergerak menunjuk pintu kamar lain yang bersebelahan dengan pintu kamarnya.

"Ya." jawab Kalila singkat.

"Jangan pernah masuk ke dalam kamarku."

"Oke."

"Lakukan apa yang mau kamu lakukan, tapi jangan menghalangi aku."

"Baik. Aku harap kamu juga berlaku sama."

Arlen masuk ke dalam kamarnya tanpa menengok lagi ke belakang.

Kalila menyunggingkan senyuman miris. Hatinya terasa perih.

Tidak pernah sekali pun Kalila membayangkan bahwa suatu hari Arlen akan begitu dingin dan begitu membencinya. Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Apakah dia bisa membiasakan dan menerima kebencian yang diberikan Arlen?

.

.

.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!