"Biraaa....!! Apa lagi yang kamu lakukan haa...." Bentak Kaifan Kakak pertama Sabira.
"Aku nggak melakukan apa apa. " sahut Sabira tenang.
Dia tau pasti Aura kembali membuat drama, agar semua keluarganya membencinya, sudah biasa hal seperti ini di Terima oleh Sabira.
Plak....
"Dasar anak sia lan.... Selalu saja membuat kekacauan, apa hidup loe, nggak bisa membuat orang tenang sebentar saja, setiap hari ada aja kelakuan loe." Kaifan menampar pipi putih mulus itu, dan meninggalkan cap telapak tangan di pipi Sabira.
Sabira memegang pipinya yang terasa perih, ulah tamparan abang pertamanya itu.
"Ada apa lagi sih, ribut ribut mulu." kesal Daren.
"Noh... Anak bodoh itu, selalu membuat masalah, tadi dia merusak kado yang gue kasih buat adik kita." sinis Kaifan menatap Sabira.
"Loe itu kenapa sih, selalu bikin masalah Ra, bisa nggak sih, loe tenang, loe mau cari perhatian dari kita, nggak kaya gini caranya, bukan kita sayang ke loe, yang ada kita kita semakin benci sama loe" ucap Daren frustasi melihat tingkah adik bungsunya itu.
Bukan Daren benci kepada adiknya itu, namun kelakuan Sabira yang nakal membuat dia sangat kesal kepada sang adik.
"Kalian kenapa sih, selalu nyalahin gue, kenapa kalian nggak cari tau terlebih dahulu, sebelum menuduh gue." kesal Sabira, sesak sungguh sesak dadanya, karena seluruh keluarganya selalu menuduh dirinya yang selalu membuat ulah.
Padahal Sabira tidak pernah melakukan kejahatan apa pun itu, itu kelakuan Aura si anak angkat, yang selalu memfitnah Sabira, karena dari kecil pun Aura selalu iri kepada Sabira.
Apa lagi semenjak Aura tau, klau dirinya bukan anak kandung di keluarga Rajendra, membuat dia semakin benci kepada Sabira, segala cara dia lakukan agar keluarga Rajendra membenci Sabira.
"Halah..... Maling mana mau ngaku." sinis Kaifan.
Sementara Aura tersenyum puas melihat Sabira di pukul dan di benci oleh ke dua abangnya.
[Gue bakal bikin loe di tendang dari rumah ini, Sabira. Gue benci sama loe, gue harus menjadi anak satu satunya di keluarga ini.]" gumam Aura si anak pungut.
"Abang, sudah lah. Mungkin Bira nggak sengaja melakukannya." lerai Aura dengan wajah polosnya.
"Kamu memang adik yang baik hati, nggak marah karena hadiah kamu di rusak sama anak sia lan itu." ucap Kaifan menatap penuh kasih sayang kepada Aura, sementara kepada Sabira, Kaifan selalu bersifat sinis.
Sabira hanya bisa tersenyum perih melihat ke dua abangnya yang selalu membela dan memperlakukan Aura dengan begitu lebut, sementara kepada dirinya, ke dua sifat abangnya sangat berbeda.
Sabira menjauh dari sana, dan menaiki tangga menuju ke kamarnya.
"Lihat tuh, nggak ada sopan sopannya, pergi begitu saja, meninggalkan orang yang lebih tua dari dia." sinis Kaifan menatap kesal kepada Sabira.
Sabira tidak perduli, dia menjauhkan langkahnya kedalam kamarnya.
Sabira menutup pintu kamarnya, lalu menguncinya dari dalam, dia tau Aura akan datang ke kamarnya, dan akan men drama, ahhh... Sudah lah, Sabira sudah muak dengan semua itu.
Sabira menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk dan menatap langit langit kamarnya dengan pandangan menerawang jauh ke masa lalu.
Dulu abangnya tidak terlalu membencinya, walau Aura sering ingin merebut kasih sayang abangnya kepadanya, namun abangnya tetap memperhatikan Sabira.
Begitu pun ke dua orang tuanya, yang selalu membagi kasih sayang kepada seluruh anak anak, namun makin ke sini, keluarganya semakin jauh dari jangkauan Sabira, semua membenci Sabira, entah apa sebabnya, Sabira tidak tau.
Hanya mendiang nenek dan kakeknya lah yang selalu menyanyanginya sampai ajal menjemput.
Kini Sabira benar benar mengandalkan diri sendiri, tanpa kasih sayang orang tua dan abang abannya.
Sabira bertahan di rumah itu, hingga dia bisa lulus dengan baik, dan mendapat beasiswa ke luar negeri, dia akan pergi jauh dari keluarganya.
"Sabar sedikit lagi, Bira. Setelah ini kita pergi jauh dari neraka ini." gumam Sabira berkaca kaca.
"Nenek, kakek. Bira rindu." bisik Sabira dalam hati, tidak terasa air mata Sabira mengalir tanpa permisi.
Tak ingin bersedih terlalu lama, Sabira bangkit ke arah lemari usang, yang jarang di buka, dan mengeluarkan sebuah kotak dari dalam lemari itu.
Sabira membawa kotak itu ke atas kasur dan membuka isi kotak itu.
Kotak pemberian dari kakek dan neneknya sebelum beliu meninggal.
Ternyata di dalam kota itu, berisi beberapa kartu ATM dan buku tabungan yang sudah di persiapkan oleh kakek dan nenek Sabira.
Ada sebuah surat yang belum sempat Sabira buka, kini baru lah Sabira ingin membuka surat dari kakek neneknya itu.
* Haiii.... Cucu kesayangan nenek dan kakek, pasti sekarang kamu sudah besar ya nak.
Maaf, nenek dan kakek tidak bisa menemani kamu sampai besar.
Bira, sayang. Entah kenapa, firasat nenek dan kakek tidak baik, setelah mama dan papa mu membawa bayi perempuan yang kini menjadi kakak kamu itu, nenek merasa akan ada hal besar akan terjadi sama kamu.
Oleh karena itu, kami sudah menyiapkan tabungan untuk kamu untuk bertahan hidup, tanpa sepengetahuan orang tua dan abang abang kamu.
Gunakan lah tabungan ini saat kamu sudah tidak di rumah ini, berjanjilah akan hidup baik baik saja, dan selalu menjadi cucu kakek dan nenek yang tangguh dan pantang menyerah.
Kejar lah cita citamu, dan perlihatkan pada mereka, tanpa mereka, kamu bisa berdiri di kaki kamu sendiri.
Sudah dulu ya sayang, nenek dan kakek pamit.
salam sayang dari nenek dan kakek.
Sabira terisak setelah membaca surat dari kakek dan neneknya.
Ternyata, kakek dan neneknya, sudah mempunyai firasat buruk, dan sebelum berpulang, kakek dan neneknya sudah mempersiapkan tabungan untuknya.
"Nenek, kakek. Terimakasih, telah sayang sama Bira. Bira akan selalu merindukan Nenek sama kakek, hanya kalian yang perduli sama Bira, yang lain tidak, hiks."
"Nenek kakek, Bira janji akan hidup lebih baik lagi, dan Bira akan membuktikan, klau bira bisa berhasil tanpa mereka."
Bira kembali merapikan semua barang barang itu kedalam kotak dan menyimpannya kedalam lemari usang, biar tidak ada yang tau.
"Baiklah Bira, sekarang loe harus fokus sama sekolah loe, jangan perdulikan orang lain, orang yang tidak pernah perduli sama loe, loe harus perduli sama diri loe sendiri, semangat Bira! " Sabira menyemangati dirinya sendiri, setelah membaca surat dari neneknya, kini dia semakin bersemangat dan tidak akan perduli lagi dengan keluarganya yang jahat itu.
Sabira hanya ingin fokus menyelesaikan sekolahnya, lalu pergi dari rumah yang seperti neraka ini.
Bersambung....
Haiii.... Mamak hadir lagi dengan cerita baru, semoga kalian suka ya....😁😁
"Jangan lupa like komen dan votenya... 😘😘😘
Mamak sarankan, klau mau kasih bintang, tolong kasih bintang lima ya, jangan bintang 1 2 atau 3, itu membuat nilai novel mamak buruk😌 padahal mamak sudah capek capek buat cerita, tapi nilainya jadi buruk.
Klau kasih bintang 1 2 atau 3, lebih baik jangan di kasih bintang ya, abaikan saja🙏🙏🙏
Terimakasih...... 😘😘😘
Pagi hari, Sabira sudah rapi dengan seragam sekolahnya, dan dia berdandan seperti biasa, hanya memakai bedak bayi, handbody, lip balm untuk melembabkan bibirnya, rambut di kuncir kuda.
Berdandan sesederhana itu saja, sudah membuat kecantikan Sabira terpancar indah, apa lagi wajah Sabira yang baby face, dan mempunyai kulit yang memang sudah putih bersih dari orok, di tambah dengan tinggi badan Sabira yang sedikit melebihi tinggi rata rata wanita indinesia, membuat gadis remaja itu sudah seperti model, dan banyak di kagumi oleh para pria, membuat kakak angkat Sabira semakin iri kepada Sabira.
Sabira keluar dari kamarnya dengan menyandang tas ransel dan menjinjing tas laptop di tangannya.
"Pagi non Bira." sapa bi Tuti, yang keluar dari kamar Aura.
"Pagi bi." sahut Sabira lembut.
"Hati hati ya non." ucap Bi Tuti, pembantu yang sangat baik kepada Sabira, tidak seperti yang lain, yang di bawah kendali Aura.
"Makasih bi." ucap Sabira tulus, Sabira sangat sayang kepada bi Tuti, orang pertama yang akan datang saat dia terjadi sesuatu.
"Bekal non, sudah bibi letakan di jok motor non." bisik bi Tuti, yang selalu menyiapkan bekal untuk Sabira secara diam diam, takut ketahuan oleh Aura.
"Terimakasih bi, lain kali tidak usah, Bira bisa jajan di luar, aku nggak mau bibi di marahin oleh nenek lampir itu." lirih Sabira.
"Non, tenang saja, bibi bikin bekal diam diam, sebelum para pelayan lain masuk ke dalam rumah." sahut bibi pelan.
"Ya sudah, terimakasih ya, bi." ucap Sabira tulus.
"Sama sama, non." sahut bibi tersenyum senang.
"Oh, ya bi. Lusa ada pertemuan wali murid, apa bibi bisa datang ke sekolah? " tanya Sabira penuh harap.
Semenjak Sabira masuk SMA, orang tuanya tidak pernah lagi datang ke sekolah Sabira, dengan berbagai alasan, tentu saja alasan mereka adalah Aura yang tidak bisa di tinggal, karena tiba tiba sakit.
Dan abang abangnya juga khawatir dengan Aura, pernah beberapa kali Sabira berharap orang tua atau abangnya yang datang ke sekolah, namun harapan Sabira tinggal harapan, akhirnya Sabira tidak pernah lagi meminta bantuan kepada orang tua mau pun abang abangnya, sedapat mungkin Sabira akan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Klau harus di hadiri oleh wali murid, maka Sabira minta tolong sama bi Tuti, seperti saat ini, klau bi Tuti tidak bisa, maka orang tua sahabatnya lah yang menjadi wali Sabira.
"Siap non, bibi bisa datang ke sekolah, non. Karena lusa jatah bibi libur, jadi bibi tidak harus mencari alasan untuk pergi ke sekolah, non." sahut Bi Tuti semangat.
"Terimakasih bi." ucap Sabira berkaca kaca.
"Jangan berterimakasih mulu, ah... Bibi Bosan." kekeh Bi Tuti yang tidak mau nona mudanya bersedih.
Sabira jadi terkekeh mendengar ucapan bi Tuti itu.
"Sudah, non cepat turun, nanti di marahi lagi." usir bi Tuti.
"Baik lah." pasrah Sabira, berlaku dengan mengecup sayang pipi bi Tuti.
"Haiiiss... Anak itu." ucap bi Tuti lirih memegang bekas kecupan Sabira.
"Kasian sekali kamu, non." gumam bi Siti berkaca kaca.
Sementara di meja makan, tampak kehangatan di sana, Bira hanya bisa tersenyum kecut melihat itu semua.
Keluarganya bisa bahagia, tanpa ada dirinya, mereka sudah memulai sarapan bersama tanpa menunggu Sabira, klau Aura yang terlambat, pasti mereka akan menunggu gadis itu, tanpa mengambil makanan terlebih dahulu, sungguh menyesakkan dada.
*Jangan sedih Bira, bukan kah ini sudah biasa kamu lihat, anggap saja kamu anak yatim piatu, yang sedang menumpang di rumah saudara.* gumam Sabira dalam hati.
"Pagi semua." sapa Sabira.
Namun tidak ada yang menyahut, mereka sibuk dengan makanannya, dan orang tua Sabira hanya berdeham, tanpa melihat kearah sang putri.
Aura tersenyum puas dalam hati, melihat Sabira yang di abaikan orang tuanya.
Sabira hanya bisa menahan sesak di dadanya, begitu tidak berartinya dirinya di mata keluarganya itu, mungkin keputusannya untuk pergi jauh dari keluarganya adalah pilihan yang tepat.
Sabira menarik kursi yang biasa dia duduki, sebelah kursi Daren terpisah satu kursi kosong dari sisi kirinya dan di sebelah kanan juga ada kursi kosong dan sebelahnya duduk Aura, sungguh terlihat Sabira anak yang tersisihkan di meja makan itu.
Keluarganya seperti jijik berdekatan dengan Sabira.
Tanpa membuang waktu Sabira lansung mengambil makan, dia duduk dengan diam, memakan sarapannya, sementara keluarganya sedang bersenda gurau tanpa memperdulikan Sabira.
"Aku sudah selesai, aku berangkat duluan." ucap Sabira.
"Dasar anak nggak sopan, kau lihat kami belum selesai kau sudah mau pergi saja! " pekik sang Mama.
"Sekolah ku jauh, ma. Kalau aku menunggu kalian, aku akan terlambat kesekolah." sahut Sabira memberi alasan, yang memang itu adanya.
"Halah, sok sibuk dan sok pintar kau! " sentak sang Mama.
*Memang aku pintar, kalian saja yang nggak tau siapa aku. * gumam Sabira dalam hati.
"Sudah lah, ma. Biarkan saja dia pergi, merusak pandangan saja klau dia ada di sini." sinis Kaifan.
Pak Rusdi mengibaskan tangannya, menandakan Sahira boleh pergi dari hadapan mereka.
Tanpa menunggu waktu lagi, Sabira pergi dari ruang makan itu, dan berjalan cepat keluar rumah, dengan mata yang berkaca kaca.
"Tahan sebentar lagi, kamu pasti kuat, Bira." bisik Sabira kepada dirinya sendiri.
Sabira menunggangi motor metik sejuta umatnya, berbeda dengan ke tiga kakak kakaknya, yang memakai mobil mewah, Sabira memilih memakai motor metik sejuta umat itu, karena motor itu adalah kado ulang tahun dari ayahnya setahun yang lalu.
Ayahnya berniat membelikan mobil untuk Sabira, namun Aura melarangnya, takut Sabira akan kebut kebutan di jalanan, padahal dia saja yang iri, namun papanya membenarkan ucapan Aura, dan memberikan Sabira motor metik sejuta umat itu pada akhirnya.
Sabira menerima dengan senang hati, walau hadiahnya jauh berbeda dari kakak kakaknya, namun ini adalah kado pertama yang papanya berikan, semenjak Sabira duduk di bangku kls 2 SMP.
"Bira." panggil seseorang, saat Sabira di lampu merah.
"Ehh... Rud." sapa Sabira tersenyum tipis, kepada teman sekolahnya.
"Nanti kamu jadi ikut lomba, kan Bir? " tanya Rudi.
"In Syaa Allah, jadi." sahut Sabira.
"Haa.... Syukur lah." lega Rudi.
Tidak lama setelah itu, lampu jalan berubah menjadi hijau.
"Rud, aku duluan." ucap Sabira.
Rudi hanya menganggukan kepala, dan menyusul Sabira dari belakang.
Bersambung....
Haiii... Jangan lupa like komen dan vote ya.... 😘😘😘
"Bira..." panggil Tari sahabat Sabira.
Sabira tersenyum lembut menatap sahabat baiknya itu, dari dulu hanya Tari yang tidak terhasut dengan Aura.
"Kamu baik baik aja, Bir? " tanya Tari.
"Aku selalu baik Ri, kamu tenang aja." kekeh Sabira, sahabatnya itu sudah tau bagaimana perlakuan keluarganya kepada Sabira, bahkan dia tau Aura lah yang suka menghasut orang orang untuk membenci Sabira.
"Kamu wanita kuat Bir, kamu hebat." ucap Tari mengacungkan dua ibu jarinya.
"Harus dong, aku nggak mau lemah karena mereka, apa lagi setelah membaca surat dari nenek, semakin membuat aku semangat." kekeh Sabira.
"Bagus! tunjukan kepada para pembenci mu itu, kamu bisa tanpa mereka." ucap Tari memberi semangat kepada Sabira.
Sabira hanya mengangguk kecil, walau di dalam hatinya selalu menyimpan rasa sakit, tapi Sabira tidak ingin orang lain mengetahuinya, dia selalu terlihat baik baik saja.
"Bir, kamu jadi ikut tanding?!" tanya Tari.
"Jadi." angguk Sabira tanpa ragu.
"Tapi pulangnya malam, Bir. Nanti kamu kena marah lagi." khawatir Tari.
"Kamu tenang aja, aku nggak akan ketahuan pulang malam, teman mu ini punya ilmu penghilang." kekeh Sabira.
"Ck, kamu ini." cibir Tari.
Sabira terkekeh melihat wajah kesal Tari.
"Ayo ah.... kenapa kita jadi ngobrol di parkiran, sih." kekeh Sabira menarik tangan Tari.
ke dua cewek cantik itu berjalan di Koridor sekolah, sesekali tertawa kecil, dengan candaan candaan random mereka.
Siapa pun yang melihat tawa riang Sabira pasti terpesona.
"Ya ampun, Gue klau jalan bareng Sabira sama Tari lansung insecure." keluh seorang siswa.
"Hooh, padahal Bira sama Tari nggak pernah dandan mencolok loh, dia cuma berdandan apa adanya, nggak kaya kita, sudah segala endah skincare di coba, tetap aja buluk." keluh siswi lainnya.
"Halah, pasti mereka pakai susuk pemikat." cibir salah satu siswi yang iri melihat Sabira dan Tari.
"Ck, iri bilang bos..." cibir siswi lain.
"Apaan yang di iri in dari mereka, cantikan juga gue, liat noh, banyak mata yang memandang gue." pongah siswi itu.
"Haha... orang ngeliat loe bukan karena iri, tapi ngeliat loe seperti ngeliat boneka mampang." ledek siswi satunya lagi.
Hahaha....
Pecah sudah tawa para siswa dan siswi di sana, karena memang murid satu itu dandanannya, sedikit berlebihan, mana muka sana leher belang.
"Agggkkkk... Sialan kalian! " pekik siswi itu nggak terima.
"Yeee.... Marah, makanya jangan suka julid sama orang kak, di julid in balik nggak terima kan loe." cibir teman temannya.
siswi itu pergi dengan bersungut sungut kesal.
"Bir, Bira..." panggil seorang siswa.
"Iya, ada apa? " tanya Sabira heran.
"Loe di suruh ke ruang kepala sekolah." ucap siswa itu.
"Oh... Iya, makasih ya." sahut Sabira tersenyum lembut.
"Sama sama." sahut siswa yang memanggil Sabira itu dengan wajah salah tingkah, karena dapat senyum manis dari Sabira.
"Tar, aku nitip tas, laptop ya." ucap Sabira, klau ke kelasnya dulu, pasti lama, karena ruang kepala sekolah dan kelas Sabira berlawanan arah.
"Dengan senang hati, nona cantik." kekeh Tari.
Sabira melangkah kan kaki panjangnya tanpa keraguan sedikit pun, menuju ruang kepala sekolah.
Tok...
Tok....
Tok...
Sabira mengetuk ruang kepala sekolah.
"Masuk." sahut suara dari dalam.
Cek lek...
Sabira membuka pintu ruangan kepala sekolah, dan melangkahkan kakinya ke dalam ruangan itu.
"Permisi pak." ucap Sabira hormat.
"Ehhh... Bira, sudah sampai, nak. Silahkan duduk." titah kepala sekolah, melihat kedatangan Sabira.
Terimakasih, pak." ucap Sabira dan duduk di kursi tamu.
Kepala sekolah, yang tadinya duduk di meja kerjanya, kini beranjak pindah duduk di hadapan Sabira, dan di batasi oleh meja tamu.
"Bira, bapak punya kabar baik untuk kamu." ucap kepala sekolah itu tersenyum lembut ke arah Sabira.
"Kabar apa pak? " ucap Sabira mulai kepo.
Bapak kepala sekolah, menarik nafas, lalu sesaat abis itu membuangnya secara perlahan.
"Kamu mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah, di salah satu Perguruan tinggi di luar negeri."
"Serius pak." ucap Sabira tersenyum lebar, karena itu lah keinginannya.
Bapak kepala sekolah menganggukan kepalanya, dan tersenyum melihat wajah bahagia Sabira.
Sedikit banyak kepala sekolah, sudah tau keadaan Sabira, dia menyayangkan sikap keluarga Sabira itu.
"Apa kamu siap untuk pergi keluar negeri? " tanya Bapak kepala sekolah.
"Siap, pak." sahut Sabira tanpa keraguan.
"Bagus lah klau begitu, nanti bapak bantu kamu mengurus semua keperluan untuk kampus tersebut, dan semoga keluarga kamu juga senang mendengar kabar ini." lirih bapak kepala sekolah.
Wajah Sabira lansung berubah sendu.
"Itu tidak mungkin pak." lirih Sabira.
"Sabar ya nak." seketika bapak kepala sekolah menyesal telah mengucapkan kata kata yang membuat Sabira bersedih.
Sabira menganggukan kepalanya dan tersenyum tulus kepada kepala sekolah.
"Kalau gitu saya pamit dulu ya pak, terimakasih sudah membantu Bira, pak." ucap Sabira tulus.
"Sama sama nak, kamu pantas mendapatkan itu semua, kamu pintar, dan banyak prestasi, jadi bapak dan guru guru lain juga ingin melihat kamu maju." ucap kepala sekolah.
Sabira mengangguk dan tersenyum tulus, dia bersyukur memilih sekolah di sekolah harapan bangsa ini, seperti nama sekolahnya, dia punya harapan tinggi menjadi orang sukses dan membanggakan bangsanya di luar sana, dan ingin melihat penyesalan keluarganya yang telah menyia nyiakan dirinya.
Sabira keluar dari ruang kepala sekolah dengan wajah yang berseri seri, dan kembali melangkahkan kakinya menuju kelasnya.
Di tengah jalan, dia bertemu dengan mantan sabahat baiknya, Mahesa. Dulu mereka sangat akrab, tapi karena fitnah yang di buat Aura Mahesa sangat membenci Sabira.
Sabira melewati Mahesa begitu saja, dia tidak dendam dan tidak benci kepada Mahesa, karena bukan salah Mahesa sendiri, cuma laki laki itu yang terlalu percaya dengan fitnah Aura, Sabira bisa apa, dia menjauh di saat di suruh menjauh oleh Mahesa.
Mahesa yang melihat Sabira yang melewatinya begitu saja, membuat dia mengeram kesal, karena sejujurnya dia ingin melihat senyum manis Sabira, dan Sabira kembali menjadi sahabat baik yang selalu membuat dia tertawa riang sepanjang hari.
Tapi semua kini terasa sulit, semenjak dia mengatakan kata kata kasar di depan banyak orang, dan mengaku jijik dekat dengan dirinya, dan dia menyuruh Sabira menjauh dari hidupnya.
Tanpa banyak kata, dan tanpa membela diri, gadis cantik itu memang benar benar menjauh darinya, semua akses sosial media dia di blokir oleh Sabira, dan kini gadis cantik itu tidak pernah mau bertegur sapa dengannya.
"Bira, sampai kapan kita akan seperti ini, gue rindu sama Bira gue yang dulu." lirih Mahesa menatap punggung Sabira yang sudah menjauh darinya.
"Hahaha.... Nyesel ya bro, sudah membuang sahabat sebaik Sabira, percaya sama ular keket." ejek teman Mahesa.
"Diam loe, brengsek." maki Mahesa.
"Dari awal gue kan udah bilang, cari tau dulu yang sebenarnya, loe yang kepancing emosi lansung ngata ngatain Sabira di depan umum dan menyuruh dia menjauh dari loe, padahal gue udah bilang, perempuan itu playing victim, loe nggak percaya, loe tertipu dengan tampang polosnya, ternyata perempuan itu licik, mampus loe kehilangan sahabat baik dan secantik Sabira." ejek teman Mahesa sebelum dia pergi meninggalkan Mahesa yang sedang menyesali perbuatannya itu.
"Gue bodoh ya Ra, begitu saja percaya sama kakak loe, kini gue kehilangan loe Ra, gue nyesal." gumam Mahesa dalam hati.
Bersambung....
Haiii.... Jangan lupa like komen dan vote... 😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!