NovelToon NovelToon

When The Heavy Rain Comes To You

Chapter 01: A Man With Black Umbrella

Kala baskara tak lagi menampakkan sinar kehidupannya, dan lampu-lampu mulai menyala menggantikan lembayung yang mulai luruh dengan kegelapan. Angin berhembus pelan, perlahan-lahan menembus tubuhku yang berjalan tanpa arah tujuan. Di bawah naungan bulan bintang aku berjalan, menyusuri jalanan yang berhiaskan lampu temaram.

"Ibu, kemana aku harus pergi?" ku tatap langit malam itu, tak seperti biasanya, rembulan tak menampakkan dirinya yang bersinar. Ia memilih untuk bersembunyi di balik lembutnya awan yang kian menebal. Sepertinya ini pertanda akan hujan.

Awan-awan itu semakin tebal, berjalan kesana-kemari menutupi setiap inci langit malam yang penuh dengan bulan bintang. Angin mulai berhembus kencang, menerpa ragaku yang mulai gontai. Gemuruh petir turut andil tuk memeriahkan malam, namun aku tetap merasa kesepian.

Aku mendongakkan kepalaku dan melihat rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, semakin lama semakin cepat dan terasa menyakitkan. Mereka mulai menjarah tubuhku, tubuhku mulai dingin dan menggigil. Sial, ini dingin sekali. Aku tetap berjalan sembari memeluk tubuh mungilku. Andai saja Ayah tak mengusirku, mungkin sekarang aku bisa menikmati segelas coklat panas sembari mencium aroma hujan yang menceruat melalui balkon kamarku. Kakiku mulai terasa perih karena berjalan tanpa alas kaki, aku benar-benar terlihat menyedihkan.

Kubiarkan tubuh ini dihujam oleh jutaan air hujan, ku gerai surai hitam ku yang panjang agar air hujan tak kesulitan menjarahnya. Aku memeluk diriku sendiri, netraku mulai kehilangan cahayanya. Tubuhku bergetar dan air mataku mulai luruh bersamaan dengan derasnya air hujan. Aku meraung-raung bersama gemuruh petir yang tak mau kalah. Suaraku terdengar begitu parau dan menyakitkan, rasanya ada ribuan duri yang menghujam tubuh mungil ini.

Pandangan ku mulai buram karena air mataku yang terus berjatuhan, namun aku masih dapat melihat secara samar seseorang datang ke arahku. Apakah dia adalah malaikat penolong yang dikirim Tuhan untukku? Ah, tidak mungkin. Siapa tahu dia hanya kebetulan lewat.

Orang itu semakin dekat, aku dapat melihatnya dengan jelas. Seorang pria dengan setelan jas dan sebuah payung hitam besar yang menaunginya. Wajahnya terlihat begitu kokoh dengan sorot mata tajam yang menghanyutkan. Ia datang menghampiriku dan membawa tubuh mungilku bernaung di payung miliknya. Aku mendongak dan melihatnya. Sorot matanya yang mengintimidasi meluruhkan segala keberanian ku.

"Kau tampak menyedihkan," pria itu membuka suara. Aku sedikit kesal, namun aku tak bisa membantah perkataannya.

Aku tersenyum getir sembari memeluk tubuhku yang menggigil, pria itu kemudian jas miliknya kepadaku. Memintaku untuk memakainya. Aku mengiyakan dan mulai mengenakan jas miliknya.

Kemudian, pria itu membawaku ke sebuah minimarket yang tak jauh dari tempatku berada. Ia memberikan ku sebuah roti dan satu gelas berisikan kopi hangat.

"Terimakasih," ucapku sembari menerima roti dan kopi pemberiannya. Tak ada alasan bagiku untuk menolaknya, aku benar-benar lapar.

Tak ada percakapan diantara kami sampai roti dan kopi hangat itu habis ku teguk. Aku tak berani bertanya ataupun menoleh ke arahnya. Ia terlihat begitu dingin, hujan benar-benar cocok dengannya. Pria itu menolah ke arahku, ia melihat diriku dari atas hingga ke bawah. Aku tak mau kalah dan menatapnya, pandangan kami bertemu ... aku hanya tersenyum kaku.

"Selatan," pria itu mengulurkan tangannya dengan ekspresi yang tak dapat ku artikan, aku pun membalas uluran tangannya dan memperkenalkan diriku.

"Lunar," balasku dengan terbata-bata.

Kemudian tak ada lagi percakapan diantara kami hingga hujan malam ini perlahan-lahan mereda, menyisakan aromanya yang khas dan menenangkan. Aku menundukkan kepalaku, menggumpulkan seluruh keberanian yang ada dalam diriku dan mulai berbicara kepadanya.

"Hey, bisakah aku ikut denganmu? Aku tak punya tempat tujuan untuk pulang, aku bisa mengerjakan apa saja. Mencuci baju, memasak, melipat pakaian, membersihkan rumah, dan apapun itu!" seruku, itu terdengar memalukan tapi aku benar-benar putus asa. Aku tak mau terus berkeliaran dan menjadi gelandangan.

"Sure," pria bernama Selatan itu menimpali ucapanku tanpa sedikitpun rasa ragu.

Aku terkejut bukan main, semudah itu? Dia benar-benar akan membawaku bersamanya, aku mulai membayangkan tinggal bersamanya dan banyak adegan romantis yang terlintas di kepalaku. Wajahku memerah seperti udang rebus. Ah, sial! Aku terlalu banyak mengkhayal karena terlalu sering melihat serial drama romantis.

Aku beranjak dari kursiku dan berdiri di hadapannya. Ia tampak heran dengan apa yang kulakukan. Aku hanya tersenyum dan mulai membungkukkan tubuhku sebagai rasa terimakasih kepadanya. Ia tampak terkejut dan memalingkan wajahnya, namun aku dapat melihat wajahnya yang bersemu merah atau itu hanya perasaanku saja? Ah, sudahlah, yang terpenting sekarang aku sudah mendapatkan tempat tinggal dan bisa menyusun pembalasan dendam untuk Ayah dan wanita brengsek itu.

Pria itu menyuruhku untuk kembali duduk dan menunggu selama beberapa saat. Ia mengambil ponsel genggam dari dalam sakunya, menekan sebuah nomor dan mulai berbicara dengan seseorang diseberang sana. Aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan karena suaranya terdengar sangat pelan. Toh, itu bukan urusanku.

Ia menyelesaikan pembicaraannya dengan seseorang diseberang sana, kemudian menoleh ke arahku yang tengah mengamati keadaan di sekitar minimarket. Hujan sudah benar-benar reda, menyisakan hawa dingin yang membelenggu tubuhku. Aku memegang jas miliknya dengan erat, berharap itu dapat meredakan rasa dingin yang menikam tubuhku.

"Mari kita pulang," ia beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan dengan langkah besarnya menuju sebuah mobil yang terparkir di depan minimarket dengan aku di belakangnya.

Aku memasuki mobil berwarna hitam itu dengan hati-hati. Kulihat interior mobil itu dengan seksama, tampak elegan dan menakjubkan. Sementara aku terus mengamati, ia mulai menyalakan mesin mobilnya dan menyuruhku untuk memakai sabuk pengaman.

Mobil itu mulai berjalan, membelah gelapnya jalanan Kota setelah hujan. aku terus menatap jalanan yang kosong selama perjalanan, lagi-lagi tak ada percakapan diantara kami. Menyisakan keheningan sepanjang perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, kami berhenti disebuah rumah bernuansa klasik dengan warna putih yang mendominasi bangunannya. Kamipun turun dari mobil dan ia membawaku untuk memasuki rumah tersebut. Aku mengamati sekeliling, tampak sepi dan tak ada tanda-tanda manusia lain di rumah ini. Kurasa dia tinggal seorang diri.

"Apa kau tinggal seorang diri disini?" aku memberikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Tidak, ada dua pembantu yang tinggal disini," jawabnya singkat.

"Aku akan menunjukkan kamarmu," imbuhnya.

Aku mengangguk tanda setuju, ia membawaku ke sebuah kamar kosong yang tak jauh dari kamarnya. Kamar itu tampak sederhana namun terasa begitu nyaman.

"Terimakasih," aku tersenyum kepadanya.

Ia hanya menganggukkan kepalanya, kemudian menyuruhku untuk membersihkan diri dan beristirahat. Ia akan memberikan pekerjaan untukku esok pagi. Aku mengiyakan lalu menghilang dibalik pintu kamar mandi.

Chapter 02: Being His Personal Assistant

Cahaya hangat mentari pagi berhasil masuk perlahan-lahan melalui celah-celah jendela kamarku. Hangatnya tepat mengenai wajahku yang belum sepenuhnya terbangun, diiringi dengan kicauan burung yang menari-nari di atas awan pagi.

Aku beranjak dari tempat tidurku dan mulai merapikannya. Sembari bersenandung kecil ku buka tirai yang menutupi jendela kamarku, kubiarkan hangatnya cahaya mentari menyapa wajahku. Ku pandang hamparan luas langit pagi melalui jendela.

"Ibu, mengapa dunia ini begitu jahat pada putri kecilmu ini," aku bergumam.

Seorang Lunar Paramitha Yudhistia, putri dari seorang pengacara ternama kini tampak begitu menyedihkan. Ia bahkan tak punya tempat tinggal dan berakhir menumpang di rumah seseorang yang baru saja dikenalinya. Sungguh miris? Aku tak mengerti mengapa Ayah begitu mempercayai wanita sialan itu, apa yang istimewa darinya?

Ini bukanlah hidup yang ku dambakan setelah menyelesaikan strata satu ku dibidang Sastra Indonesia, aku ingin hidup bahagia bersama Ayah dan menjadi seorang penulis dengan karya-karya spektakuler di usiaku yang baru menginjak dua puluh tiga ini. Namun semua itu hanyalah angan semata.

Aku tersenyum getir, Ayah sudah membuangku tapi aku tak bisa berhenti untuk memikirkan. Ku harap ia hidup dengan baik dan bahagia, walaupun tanpa aku di dalamnya.

Tok ... Tok ... Tok

Seseorang mengetuk pintu kamarku, aku pun membukanya dan mendapati seorang wanita paruh baya yang membawa sebuah paperbag ditangannya.

"Selamat pagi, Dek Lunar. Ini baju ganti yang sudah disiapkan Tuan untuk Dek Lunar. Tuan sudah menunggu di ruang kerjanya," ia tersenyum ke arahku dan menyerahkan paperbag itu kepadaku.

"Terimakasih," balasku singkat.

Akupun kembali masuk ke dalam dan mulai membersihkan diri. Kemudian aku mulai mengenakan pakaian yang diberikan oleh Selatan. Sebuah kemeja berwarna putih dan rok berwarna biru muda dengan sebuah pita di belakangnya.

"Cantik," gumamku di depan cermin.

Aku berjalan keluar dari kamarku dan menuju ke ruang kerja Selatan yang berada di lantai satu.

...─────────── ✦ ──────────...

"Jadilah asisten pribadiku, aku akan memberimu gaji dan tempat tinggal." Ucap Selatan.

Aku sedikit terkejut dengan perkataannya, asisten pribadi? Hey, ini benar-benar gila. Aku tak pernah membayangkan hal ini sebelumnya.

"Baik," jawabku dengan sedikit ragu.

"Aku akan menjelaskan apa saja yang harus kau kerjakan. Kau harus selalu siap sedia kapan pun aku memanggilmu, menemaniku kemanapun aku pergi, menyiapkan segala perlengkapan ku untuk bekerja..."

"Baiklah, kau tak perlu menjelaskan sepanjang itu," potongku sembari menutup mulutnya. Ia tampak terkejut dengan sikapku, hahahah itu sangat lucu.

"Jangan sentuh aku," ucapnya dengan datar.

"Maaf," aku buru-buru menarik tanganku. Dia adalah bosku sekarang, aku harus bersikap sopan. Wajahku merah sempurna seperi tomat, ini memalukan sekali.

Selatan mengeluarkan sesuatu dari laci meja kerjanya, kemudian menyerahkan benda itu kepadaku.

Sebuah ponsel.

"Aku sudah memasukkan nomorku dan penghuni rumah ini dalam ponselmu," tuturnya sambil menyerahkan ponsel itu padaku.

Woah! Dia benar-benar dermawan, memberikan ponsel edisi terbaru kepadaku secara cuma-cuma. Bahkan Ayahku tak pernah memberikan barang semahal ini padaku. Rasanya aku ingin melompat saking bahagianya.

"Terimakasih! Terimakasih!" aku membungkukkan badanku berkali-kali sebagai tanda terimakasih kepadanya. Aku dapat melihatnya dia tersenyum kecil melihatku, bahkan hampir tak terlihat.

"Siapkan mobil untuk meeting nanti sore," ia langsung memberiku perintah.

Aku mengangguk. Kemudian turun menuju lantai bawah dan mempersiapkan segala hal yang diperintahkan. Ku pikir, menjadi asisten pribadinya tidak buruk. Pekerjaannya tidak terlalu sulit.

Disinilah aku berada sekarang, sebuah restoran mewah bernuansa Eropa yang tampak begitu elegan. Aku dan Selatan memasuki ruangan rapat yang sudah dipesan sebelumnya. Tampak banyak orang sudah menunggu disana. Mereka tampak begitu serius.

Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan selama rapat berlangsung, aku hanya duduk disamping Selatan. Ah maksudku, Tuan Selatan. Melihat-lihat laptopnya seolah-olah aku mengerti dengan apa yang mereka bicarakan.

Rasa kantuk mulai menyerangku namun rapat ini belum usai. Huh, menyebalkan sekali! Aku bahkan sudah tak dapat melihat cahaya mentari ... aku berusaha untuk menahan rasa kantukku namun semuanya sia-sia. Akhirnya aku tertidur dan menjatuhkan kepalaku di bahu Tuan Selatan.

...─────────── ✦ ──────────...

Aku merasakan hangatnya selimut di tubuhku, aku mengenali bau ini ... bau lilin aroma terapi yang berada di kamarku- lavender. Aku terbangun, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku menepuk-nepuk pipiku, apakah ini mimpi? Dan sialnya itu terasa sakit.

Kepalaku sedikit pusing, mungkin karena aku tidur terlalu lama. Aku beranjak dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Berniat untuk membersihkan diri.

"Benar-benar bodoh, bisa-bisanya aku tidur disaat rapat penting!" omelku di depan cermin sambil menyikat gigi.

Setelah membersihkan diri aku terjaga sepanjang malam, aku duduk termenung di tepi ranjangku. Aku teringat bahwa kemarin Tuan Selatan memberiku sebuah ponsel.

Aku segera mengambilnya dan menambahkan kontak sahabatku- Arunika. Aku mengirimkan sebuah pesan kepadanya, aku menceritakan segala hal yang kualami padanya walaupun aku tahu ia pasti sudah tertidur lelap saat ini.

Aku menghabiskan waktuku dengan membuka sosial media hingga pagi menjelang, itu benar-benar menyenangkan ... sudah lama aku tak melakukannya semenjak lulus dari perguruan tinggi. Aku terlalu sibuk pada saat itu.

Kini, mentari sudah benar-benar bersinar ... hari ini akan cukup terik kurasa. Aku bergegas dari ranjang dan mengganti pakaianku dengan pakaian kerja yang sudah diberikan padaku. Sebuah kemeja dengan blazer hitam serta rok hitam selutut, lengkap dengan heels berwana hitam yang terlihat sangat pas dengan proporsi tubuhku.

Sebelum aku melaksanakan pekerjaanku, seorang maid datang kepadaku membawa nampan yang berisi sarapan, ia adalah orang yang mengantar pakaian untukku kemarin.

"Terimakasih, Bibi," ucapku sambil menerima nampan tersebut.

"Itu sudah menjadi tugas saya."

Aku tersenyum, "bolehkah aku tahu nama Bibi?" tanyaku dengan sopan.

"Panggil saja Bibi Chen."

Aku mengangguk pada Bibi Chen, "Bibi sudah lama bekerja disini?" tanyaku basa-basi.

"Saya adalah kepala pelayan disini, saya bekerja disini sejak Tuan berusia lima tahun dan sekarang usianya tiga puluh."

"Lama sekali, apakah Bibi tidak pernah merasa bosan pekerja disini?"

"Tidak, karena keluarga ini sangat baik kepadaku."

Aku dapat melihat senyum tulus yang terukir dari wajahnya saat mengatakan hal tersebut.

Aku menyuruh Bibi Chen untuk tetap tinggal, kami pun membicarakan banyak hal ... termasuk bagaimana sikap sang tuan rumah. Ia mendeskripsikan Tuan Selatan sebagai orang yang sangat baik dan menyenangkan. Bibi Chen menceritakan banyak hal tentangnya padaku. Yah, itu tak terlalu penting sebenarnya tapi aku tetap mendengarkan dengan seksama.

"Tuan bener-bener baik, bahkan semalam ia menggendongmu yang tertidur."

"APA!?"

Chapter 03: A Gift For His Mother

Aku berjalan dengan gusar menuju ruangan Tuan Selatan. Ia menyuruhku datang lebih awal pagi ini namun aku malah menghabiskan waktuku dengan mengobrol bersama Bibi Chen. Kuharap ia belum tiba di ruangannya.

Aku melihatnya menuruni tangga saat hendak berjalan ke ruangannya. Ia menenteng sebuah tas besar dan telepon genggam menempel di telinganya. Sepertinya ia mendapatkan panggilan darurat.

"Hey, turunlah!" ia mendongakkan kepalanya dan menyuruhku untuk turun.

Aku mengangguk dan bergegas turun untuk menemuinya, " Ada apa? Apa kau memerlukan bantuan?" tanyaku basa-basi.

"Besok adalah ulang tahun ibuku, aku sudah memesan kado untuknya. Ambillah kado itu. Ada urusan penting yang harus kulakukan sekarang." ucapnya sambil menyerahkan sebuah nota dan alamat kepadaku.

Aku mengiyakan dan menerima nota serta alamat tersebut.

Aku melangkahkan kaki jenjang ku ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Kota. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku datang kesini bersama Ayah dan Ibuku. Sebuah potret bahagia keluarga kecil sebelum Ibu tiada.

Aku memasuki sebuah toko perhiasan di lantai tiga, toko itu cukup besar dengan perhiasan-perhiasan mewah di dalamnya. Pelanggan-pelanggan di sini pastinya adalah konglomerat dan pejabat.

Seorang pelayan toko menghampiriku, "Permisi Nona, adakah yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan ramah.

Aku mengiyakan lalu menyerahkan nota pemesanan itu kepadanya, "Aku ingin mengambil pesanan ini," sebuah senyuman terukir di wajahku.

Pelayan itu kemudian menyuruhku untuk menunggu selama beberapa saat. Lalu, ia datang dengan sebuah kotak perhiasan di tangannya. Tampak sebuah cincin berlian yang begitu cantik dan anggun. Ternyata selera pria itu bagus juga.

"i want this! Ini sangat cocok diberikan kepada Nyonya Anne sebagai hadiah ulang tahunnya," ucap seseorang sambil sembari menunjuk cincin yang tengah dipegang oleh pelayan itu.

Aku menatapnya dari atas hingga ke bawah, gaya berpakaiannya sangat glamor. Barang-barang branded menempel di tubuhnya. Kurasa ia adalah putri konglomerat.

"Maaf Nona, barang ini sudah dipesan oleh atasanku." aku mencoba menegurnya namun ia malah menatapku dengan sinis. Menjengkelkan!

"Benar Nona, saya akan mengajak anda untuk melihat-lihat perhiasan yang lain," ucap pelayan itu dengan sopan.

"Aku tidak peduli, aku tetap menginginkan barang ini! Apa kau tau siapa aku?" Nada bicaranya terdengar mengancam.

"Panggil manager kalian kemari!"

Sang manager toko yang mendengar keributan tersebut segera datang menghampiri kami.

"Ada apa ini? Apakah ada masalah dengan pelayanan toko kami?" tanyanya.

"Tidak, Nona ini datang secara tiba-tiba dan ingin mengambil cincin yang sudah dipesan oleh atasanku. Aku sudah menegurnya tapi ia tak mau mendengar," jelasku dengan panjang lebar.

"Ini adalah nota pembeliannya," aku menyerahkan nota itu pada manager toko.

Sebelum manager toko sempat membaca nota itu, gadis angkuh itu merebut paksa nota tersebut dan merobeknya hingga tak berbentuk.

"Apa kau gila?" aku meninggikan suaraku.

Gadis angkuh itu melipat kedua tangannya dan menatapku dengan sombong, "see, aku sudah merobek notanya, jika tak ada nota artinya kau tidak memiliki barang ini, bukan begitu pak manager?" ia melihat ke arah manager toko dengan senyuman licik di wajahnya.

Aku mengepalkan tanganku dan berusaha untuk menahan diri agar tidak memukulnya. Aku menoleh ke arah manager toko, mengisyaratkannya untuk melakukan sesuatu.

"Nona, kau sudah melampaui batas," tutur manager toko.

"Memangnya kenapa? Ayahku adalah konglomerat ternama di kota ini, Sebastian Vettel, dan aku adalah putrinya Barbara Vettel!" ucapnya dengan menggebu-gebu.

Setelah mendengar ucapan Barbara wajah sang manager toko tampak pucat pasi, keringat mengucur deras dari wajahnya. Gelagatnya menjadi aneh.

"E-eh Nona, maafkan pelayanan toko kami yang buruk ini," ucapnya dengan gugup kemudian ia menyambar cincin yang dipegang oleh pelayan.

Ia kemudian membuka kotak cincin itu dan menunjukkan pada Barbara dengan senyum canggung di wajahnya.

"Anda bisa memiliki cincin ini nona," ucapnya tanpa menghiraukanku.

"Yang benar saja! Atasanku membayar mahal untuk cincin ini dan kau malah menyerahnya cincin ini pada orang lain?" protesku.

Wajah managerku itu kini tampak merendahkan diriku, "lagipula kau tidak memiliki notanya," ucapnya dengan acuh.

"Hanya karena ia adalah putri konglomerat kau memperlakukan pelanggan lain dengan buruk, kau benar-benar tidak waras!"

"Nona, tampaknya ada banyak hal di dunia ini yang belum kau ketahui," terkekeh pelan.

"Nona Barbara ini adalah putri Sebastian Vettel, pemilik hotel bintang lima di kota ini. Kenapa aku harus membelamu di depannya? Keuntungan apa yang akan kudapatkan? Hahaha."

Sial!

Putri keluarga Vettel itupun berjalan mendekatiku, tatapannya meremehkan. Kemudian ia mendorongku hingga aku jatuh dan tersungkur.

"Pesuruh rendahan seperti itu tak sebanding denganku!" Ia hendak menendangku namun ditahan oleh pelayan toko.

Barbara menoleh ke arah pelayan toko tersebut, kemudian menamparnya.

"Beraninya kau menghalangiku!" makinya.

Pelayan itu hanya tertunduk dan memegangi wajahnya yang memerah, akupun segera bangkit dan menenangkan pelayan tersebut. Dia benar-benar gila!

Sang manager toko pun segera membujuk Barbara.

"Sudahlah Nona, jangan ladeni orang-orang rendahan seperti mereka. Aku akan mengantarmu untuk memproses pembayaran cincin ini." bujuknya.

Kemudian keduanya berjalan beriringan menuju sebuah ruangan untuk melakukan transaksi pembayaran. Tampak senyum kemenangan tersungging di wajah Barbara sebelum punggungnya benar-benar menghilang dari pandanganku.

Aku tak akan tinggal diam, aku mengambil ponselku dan segera menghubungi Tuan Selatan. Aku menceritakan semua yang terjadi hari ini kepadanya dengan menggebu-gebu. Aku meluapkan kekesalanku padanya.

"Biarkan saja, cincin itu akan tetap kembali pada pemiliknya." ucapnya dengan santai dari seberang sana. Kemudian ia menutup teleponnya.

Aku tak mengerti apa maksudnya, tapi aku tak ambil pusing. Yang penting ia tak memarahi ku karena cincin yang seharusnya menjadi kado ulang tahun ibunya direbut oleh Barbara.

Saat aku hendak keluar dari toko tersebut, aku melihat Barbara yang baru saja keluar dari ruangan itu setelah melakukan transaksi. Sepertinya ia menyadari keberadaan ku. Ia pun datang menghampiri dengan keangkuhannya.

"See, i win and u lose, hahahaha!" ucapnya padaku dengan nada meremehkan.

Aku menatapnya dengan tatapan penuh amarah, "awas saja kau!" gumamku pelan.

"Bye, loser!" ejeknya.

Barbara melambaikan tangannya padaku, kemudian menyenggol bahuku dengan keras sebelum ia meninggalkan toko perhiasan ini.

Tubuhnya melenggang pergi begitu saja.

"Benar-benar menjengkelkan!" aku mengepalkan kedua tanganku dan menghentak-hentakkan kakiku ke lantai saking kesalnya.

"Semoga kesialan selalu menimpamu, dasar orang gila! Karma menanti mu!" ucapku dalam hati.

Dosa apa yang ku perbuat hingga harus bertemu dengan manusia aneh dan menyebalkan seperti dirinya? Tuhan, ampuni aku.

Aku pun meninggalkan toko perhiasan itu dengan perasaan kesal dan amarah yang menggebu-gebu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!