NovelToon NovelToon

Demi-God: Fʀoм Zᴇʀo To Hᴇʀo

「Pʀoʟoԍ」

...•...

...•...

...•...

...•...

Apakah kalian pernah terpikirkan?

Bahwa kita di dunia ini, tidak sendirian?

Ya, tidak hanya manusia yang hidup di muka bumi ini.

...•...

...•...

...•...

Aku akan menceritakanmu sebuah kisah, yang mungkin cukup rumit namun menarik.

Tentang pemikiran gila, tetapi, itu ada benarnya. Kita di bumi tercinta ini, tidak sendirian.

Ada beberapa ras lain seperti Dewa.

Dewa adalah makhluk dengan kekuatan super, tak terkalahkan. Mereka adalah penguasa dari dunia ini.

Kedua, Elf.

Ya, Elf. Makhluk rupawan dengan telinga runcing. Tepat seperti yang kalian bayangkan sekarang.

Terkenal dengan kecepatan, kelenturan, kepintaran. Dan keabadian. Mereka ternyata hidup lebih dulu daripada kita.

Kemudian, Demon.

Makhluk menyeramkan, haus akan kekuasaan. Penuh dengan pikiran jahat.

Tapi minoritas dari mereka tidak seperti yang kalian bayangkan. Mereka tetap ada yang merupakan rakyat biasa seperti kita.

Hanya saja, bentuk mereka percampuran manusia dan hewan atau bentuk menyeramkan lainnya yang tidak akan pernah kalian bayangkan.

Penyihir.

Ya, mantra, ramuan, tongkat ajaib, dan sapu terbang. Mirip yang kalian pikirkan.

Apa? Nenek Sihir?

Tidak, bukan. Mereka tidak semuanya berupa nenek-nenek lansia. Yang memiliki hidung besar penuh jerawat, tidak.

Mereka sebenarnya seperti kita, hanya saja, diberi anugerah dapat mengontrol sihir.

Penyihir tidak semuanya jahat seperti dalam cerita dongeng.

Mereka ada yang baik kepada manusia dan sering menolong kita. Biasa disebut Wizard.

Namun bukan berarti mereka semua baik kepada manusia.

Yang baik adalah mereka yang berpola pikir mereka sama dengan manusia, sehingga mereka harus menghargai manusia biasa.

Witch, adalah mereka yang menggunakan sihirnya untuk mencelakai manusia.

Melakukan perbuatan kotor dan lainnya.

Mereka membenci dan menganggap rendah manusia.

Terakhir adalah kita, manusia. Makhluk lemah dan malang.

Makhluk paling rendah di antara yang lain.

Selama beribu-ribu tahun, manusia dijadikan budak semua ras.

Suatu hari, beberapa dewa-dewi merasa iba. Mereka membuat perjanjian dengan manusia.

Mereka akan menikahi salah satu dari mereka untuk melahirkan anak.

Dari situ lah, masa kekelaman manusia hangus seketika.

Karena dewa-dewi yang menikah dengan manusia.

Sehingga kekuatan mereka menurun ke anak mereka dan sering disebut, Demi-God. Atau setengah dewa.

Demi-God memiliki kekuatan sesuai dengan orang tua dewa mereka.

Kekuatan mereka akan muncul saat menginjak umur 17 tahun.

Karena terikat perjanjian, para Demi-God akan diberikan sumpah untuk menjaga kedamaian antar ras.

Itulah tugas sekaligus kutukan yang harus mereka emban.

Sejak saat itu manusia dapat memulai hidup baru mereka dengan damai.

Mereka hanya memiliki pulau. Pulau itu bernama Halfen Island.

Karena banyaknya yang mati akibat perang, sistem mereka dulu yang negara dan kerajaan menjadi kota.

Semua dijadikan lingkup yang kecil.

Lalu dibagi lagi wilayah mereka.

Dahulu yang berasal dari bumi belahan Utara akan tinggal di Beryl District.

Yang di bumi bagian tengah akan di Emerald District, dan di bumi bagian Selatan akan berada di Diamond District.

Lalu kisah apa yang akan kuceritakan pada kalian tadi?

Inilah kisah tentang seorang anak laki-laki.

Yang hidupnya sudah ditentukan sebuah ramalan akan dirinya.

...•...

...•...

...•...

Buakh!

"Guahahahahahaha!"

"Lihat dia! Seperti pengecut!"

"Hey, cowok cantik!"

"Bukan cowok cantik! Tapi kakek!"

"Hahahahahaha!!"

Sang Pembully, Axel. Lelaki kekar dengan rambut merah. Terkenal dirinya yang jago berkelahi. Selain itu, ia juga terkenal sebagai preman di Kota Indonesia. Tepatnya di daerah Jateng.

Axel selalu membully siswa-siswi di SMA Diamond 2. Dan sasaran terlaris baginya adalah Rendy. Perlakuan geng Axel tak segan-segan.

Mereka membully secara brutal. Namun hanya pada Rendy mereka melakukan hal brutal. Jika ke siswa lainnya, hanya pembullyan kecil saja. Entah apa alasannya.

Secara tiba-tiba, Axel menarik tangan kanan Rendy ke belakang. Ia dorong punggung Rendy menggunakan kakinya. Lalu tangan kirinya menjambak rambut Rendy sehingga mendongak ke atas.

Perlahan jambakan Axel diarahkannya ke kiri. Ia menengok wajah Rendy yang masih tenang-tenang saja. Mungkin inilah salah satu mengapa Axel suka berbuat brutal ke Rendy.

"Kakek Rendy, apa kakek tidak lelah belajar? Kakek kan banyak pikiran makanya beruban," ejek Axel lalu tertawa keras.

Krak!

"Makanya karena kita kasihan. Kita patahkan tangan kanannya agar tidak bisa menulis!"

"Ugh...." hanya pekikan pelan yang keluar dari Rendy. Ia sendiri juga heran mengapa dia tahan. Tapi tetap saja tangan yang patah adalah sakit!

Axel melepas semua genggamannya. Rendy langsung terkapar di lantai. Ia hanya bisa diam menahan rasa sakit di sendi lengannya. Tangan kanannya mati rasa. Ingin digerakkan pun percuma.

"Hey, Axel? Gimana kalau dia mati?" tanya salah seorang teman geng Axel.

"Tidak apa, lihat saja nanti."

Klak! Klek!

Seakan keajaiban, jari-jemari Rendy bisa bergerak dan ditekannya kuat-kuat hingga ada suara. Rendy bangkit dengan tangan kanan masih sedikit loyo. Juga nyeri.

"Apa kubilang! Dia itu tahan banting! Makanya seru!"

Axel kembali melayangkan tinju ke dagu Rendy sekuat tenaga. Rendy ikut melayang dan mendarat ke lantai. Sebentar pandangan Rendy agak melambat.

Ada tamparan yang melayang ke arahnya secara lambat. Dan begitu pandangannya normal. Rasa panas di pipinya yang memerah. Belum sempat Rendy hendak memegang pipinya yang panas.

Tamparan bertubi-tubi ke kedua pipinya. Pipi Rendy menjadi merah dan bengkak. Bibir Rendy juga berdarah karena lecet.

Axel yang belum puas menekan jarinya sampai terdengar suara. Seolah agar persendiannya tidak kaku. Tangannya siap melayangkan tinju lagi ke wajah Rendy.

"Memuakkan!"

Dengan cepat, kepala Rendy menyingkir ke kiri. Kepalan besar Axel justru meremukkan lantai dari keramik itu. Asap berkelebatan di area tangan Axel mendarat.

"Woahh! Dia menghindar dari pukulan mematikan si preman!" sorak semua siswa yang menonton.

Bukannya senang seperti yang lain, Axel mengerang kesal. Dia yang posisi menindih Rendy, siap meluncurkan kepalan tangan lagi ke wajah tampan Rendy. Tapi semua berhasil Rendy hindari.

"Kau mulai berani ya, bocah tengik!" teriak Axel mulai menambah kecepatan pukulan bertubi-tubi miliknya.

Rendy agak kewalahan menghindar. Rendy dengan sekuat tenaga bangun mendorong tubuh seberat hampir tiga digit itu.

"Di-dia!?" Geng Axel tercengang atas kejadian tadi.

Rendy ke posisi jongkok. Axel duduk di lantai seusai digusur dari atas Rendy.

"Kenapa? Penasaran kenapa aku melawan, hah?" Rendy memiringkan kepalanya dan menautkan alisnya.

"Grrr.... Brengsek!" Axel secepat mungkin memukul Rendy.

Bugh!

Tinjuan maut itu berhasil ditahan Rendy hanya dengan satu tangan. Semua mata yang menonton melebar seketika. Rendy yang kurus kering berhasil menahan Axel yang besar dan kekar!?

"Kau ... " Urat di pelipis Axel seperti hendak keluar dari kulit. Mukanya merah padam.

"Sudah ya? Lanjut besok saja," tutup Rendy sebelum memelintir tangan Axel hingga raksasa itu berputar lalu ambruk ke lantai.

Semua memandangi tubuh Axel yang roboh hanya dengan satu tangan. Rendy berjalan pelan ke bangkunya.

"Ba-bagaimana kau bisa melakukannya?" tanya siswa di sebelah bangku Rendy, Paul.

"Aku juga tidak tahu. Aku jadi merasa pukulannya melambat. Kau pikir aku tahu sebabnya?" jawab Rendy.

"He?"

...---------->[Rendy POV]<---------...

Ya, yang mengalahkan Axel adalah aku. Aku seorang. Aku sendiri juga tidak tahu.

Setelah merasa pukulannya melambat aku membayangkan beberapa aksi di komik lalu mencobanya. Tak kusangka ternyata semudah itu.

Aku juga tidak menyangka bahwa bobotku yang hanya 48 kilogram itu bisa mendorong Axel yang berat saat di atas perutku.

...***...

"Rendy?"

Suara seorang wanita terdengar dari kegelapan. Lalu kegelapan itu mulai sirna berganti menjadi ruang yang serba putih dengan ujung tak terlihat.

Wajah wanita itu tertutup oleh cahaya putih. Ia mengenakan baju serba biru. Tapi jika dilihat postur tubuhnya ramping dan sungguh ideal. Aku yakin jika wajahnya juga sama bagusnya dengan badannya.

Aku agak terpesona dengan tubuh idealnya. Selain itu, ia juga memiliki rambut coklat yang terurai sepinggang. Ia mengenakan semacam hiasan rambut yang indah.

Di pergelangan tangannya juga mengenakan gelang berwarna hijau tosca. Mengagumkannya adalah gelang itu agak transparan.

"Rendy? Apa kau mendengarku?" Lamunanku seketika buyar.

"E-e, si-siapa kau?" tanyaku ragu.

"Hihihi, kau akan segera tahu kalau sudah saatnya, Rendy!" Suaranya ringan dan lembut bagai sutra.

"Yang pasti, sekarang dengarkan gurumu dulu ya!"

...•...

...•...

"RENDY!!!"

Teriakan lain yang terdengar familiar membuyarkan mimpiku. Ternyata memang hanya mimpi belaka.

"Sudah berapa kali Ibu bilang! Jangan tidur di kelas!!" omel guru mata pelajaran kimia, Bu Maya.

"Dasar, pintar tapi pemalas!" cuap Bu Maya.

Selepas hilangnya kantukku. Aku memilih diam menengok jendela daripada mendengarkan guru cerewet itu. Aku mengingat kembali mimpiku. Semua terjadi layaknya kenyataan.

Tak terasa pengumuman dari sentral terdengar tanda akan pulang.

"Besok adalah hari ibu, silakan mengajak ibu kalian masing-masing untuk mengikuti festival Hari Ibu. Sekian."

Ibu? Tidak ada ibu di hidupku. Aku tidak tahu kedua orang tuaku sejak kecil. Aku dibesarkan di panti asuhan. Walau suatu saat ada pria misterius yang memintaku tinggal di sebuah rumah kecil. Dan aku tinggal sendirian. Sesekali aku berkunjung ke panti asuhanku.

Soal kebutuhan makanan aku tidak perlu khawatir. Ada 2 orang baik yang setiap hari memberikan makanan ke rumah. Mereka adalah Bibi Angel dan Nenek Durma.

Selain kebutuhan dari mereka berdua, aku juga pekerja kecil-kecilan di beberapa rumah makan. Kau tahu, hanya untuk uang jajan.

Pria misterius tadi juga memintaku untuk bersekolah di SD Diamond 4, lalu SMP Diamond 1, dan sekarang di SMA Diamond 2. Di saat ia membelikanku rumah kecil itu.

Jika ada kesempatan bertemu beliau, aku ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau.

Benar saja, di lapangan sudah terpasang tiang-tiang tenda yang digunakan untuk di hari festival esok hari. Aku agak sedih sih ...

Apa aku akan mengajak Bibi Angel saja ya?

Tapi hanya akan merepotkan beliau.

...***...

Langit mulai memancarkan cahaya jingga yang menandakan bahwa hari sudah sore. Aku segera bergegas pulang agar tidak membuat kedua orang berhargaku menunggu lama.

Duk!

"Ah, maaf-maaf aku buru-buru!" Tiba-tiba seorang wanita menyenggol bahuku.

"Tidak, justru aku yang tidak.... melihat... jalan..." Belum sempat kubalas, wanita itu sudah pergi.

Ia menjatuhkan kartu namanya. Aku memungutnya berencana mengembalikan. Tapi saat aku menengok ke arah wanita itu. Ia sudah tenggelam di kerumunan orang-orang.

"Nama, Astrid Putri Nastral. Asisten walikota Indonesia, umur 22 tahun," gumamku membaca kartu nama tersebut. Aku akan mengembalikan besok di balaikota. Aku kembali bergegas ke rumah.

「Fᴇsтιvᴀʟ」

"Rendy, ayo cepat! Sebelum makanannya dingin!" seru Bi Angel.

Sudah ada Bibi Angel dan Nenek Durma di meja makan. Rendy segera melepaskan sepatu dan jaketnya. Ia taruh jaketnya ke gantungan atas rak sepatunya.

"Nek, bagaimana keadaanmu?" Rendy berhenti di dekat meja makan.

"Sehat, sudah ayo makan! Keburu dingin masakannya, nanti tidak enak lho!" jawab Nek Durma tersenyum hangat.

Senyuman hangat Nenek Durma dapat membuat hati menjadi tenang. Selain itu juga membuat lawan bicara ikut tersenyum. Senyuman yang menular, tepatnya.

"Iya, Nek. Rendy ke kamar dulu, menaruh tas. Nenek dan Bibi makan saja dahulu," sahut Rendy lalu menaiki tangga. Di sebelah kanan tangga terdapat lorong ke dapur kanan tepat ada pintu untuk ke toilet (kurang lebih seperti rumahnya Nobita hanya saja tidak ada ruang keluarganya).

"Anak itu sudah besar ya," celetuk Nenek Durma. Bibi Angel hanya tersenyum simpul.

Di kamar, Rendy merebahkan tubuhnya ke kasur dengan kasar. Ia menghela napas lalu teringat dengan kartu nama yang dipungutnya tadi. Langsung bergegaslah ia untuk ke bawah.

Rendy langsung mengambil kartu nama di saku jaketnya. Bi Angel dan Nek Durma melihat Rendy keheranan.

"Ada apa?" tanya Bi Angel.

"Saya tadi perjalanan pulang memungut kartu nama. Ada seorang wanita menjatuhkannya saat tidak sengaja bersenggolan dengan saya. Lalu saat saya ingin mengembalikannya ia sudah pergi. Jadi saya berencana mengembalikannya esok," jelas Rendy.

"Dasar ceroboh! Besok lagi kalau jalan lihat-lihat!" tegur Bi Angel. Rendy menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Mereka bertiga pun makan malam bersama. Seusai makan, Bi Angel dan Nek Durma pamit untuk pulang. Rendy mengantar mereka sampai gerbang. Lalu masuk ke kamar untuk tidur.

Di kamarnya ia melamun, memandang langit-langit kamarnya. Tak terasa ia pun terlelap juga.

...***...

"Rendy?" Suara wanita yang pernah Rendy dengar membangunkannya. Rendy terbangun di ruang serba putih tanpa ujung. Segera ia menoleh ke bawah, di mana arah suara berasal.

Seorang wanita cantik jelita tersenyum ke arahnya. Pakaian yang dikenakannya sama persis yang dikenakan wanita saat siang tadi. Hanya saja, sekarang wajah wanita itu tidak terhalang cahaya lagi.

"Kau!? Wanita tadi!" teriak Rendy terkejut. Wanita itu tertawa kecil. Wajah putih susu yang cantik nan lembut bak dewi, berhasil membuat Rendy merona.

"Hihihi, tak kusangka kau masih mengingatku." Suaranya ringan dan indah.

"Apa yang ingin kau lakukan, hah?" tanya Rendy. Wanita itu tersenyum hangat.

"Selamat hari ibu, Rendy!"

Rendy terbangun kembali di kamarnya karena suara alarm yang memekakkan telinga. Segeralah ia mematikan alarm digital itu. Begitu menengok waktu, Rendy langsung berlari ke kamar mandi.

Ia kenakan sweaternya dan berlari ke stasiun secepat mungkin. Untung saja ia tidak ketinggalan kereta, justru ia yang menunggu kereta. Rendy berdiri bersandar pada tembok stasiun. Ia keluarkan handphonenya seraya menunggu kereta.

Selang waktu 5 menit, kereta tiba di stasiun. Cepat-cepat Rendy masuk ke stasiun dan mencari tempat duduk yang nyaman. Ia memasukkan handphonenya dan berganti ke buku yang adalah hobinya.

Kereta ekspress itu hanya butuh waktu 5 menit untuk sampai ke tujuan Rendy. Lalu 250 meter dari stasiun ke sekolah. Hanya butuh maksimal 15 menit dan Rendy tiba tanpa terlambat.

Kemarin memang Rendy tidak naik kereta. Karena ia lupa membawa kartu untuk akses masuk stasiun dan kereta. Jadi terpaksa jalan kaki sejauh 15 km. Dari Emerald District ke Diamond District.

Rendy berjalan sambil membaca bukunya. Saat sampai di depan sekolah ia masukkan buku itu ke tasnya. Ia tengok sekolahnya yang sudah ramai dengan siswa dan ibu mereka masing-masing.

Rendy berusaha menahan perasaannya. Ia merasa iri dan sedih akan nasibnya yang tidak punya ibu dan ayah. Tapi ia berusaha keras membunuh perasaan itu.

Alih-alih membeli makanan di festival, Rendy memilih tidak membawa uang jajan sama sekali. Dengan tujuan penghematan, tepatnya. Bersarang perpustakaan lebih baik menurutnya. Segeralah ia ke perpustakaan sekolah.

Perpustakaan adalah satu-satunya tempat yang kamu butuhkan untuk mencari ketenangan dari ramainya dunia. Tempat kamu bisa mencari informasi-informasi. Tempat kamu bisa bersantai dengan kedamaian.

Tiba-tiba saja, wanita dalam mimpi Rendy muncul duduk di depan Rendy. Rendy yang sedang fokus merasa ada seseorang di depannya melirik.

"Waaa!!" Rendy berteriak terkejut. Antara percaya tidak percaya bahwa wanita dalam mimpinya muncuk di depannya.

Pak!

Rendy menampar pipinya. Mengetes apakah dia masih bermimpi. Yang ada adalah pipinya merah.

"Bu-bukan mimpi!?" jerit Rendy lagi.

"Hey! Anak di sana! Jangan berisik! Tahu kamu satu-satunya orang di sini, tapi jangan membuat keributan!" tegur penjaga perpustakaan.

Rendy membelalak, sadar bahwa hanya ia yang dapat melihat wanita itu.

"Ba-bagaimana!?" tanya Rendy lirih.

"Aku hanya bisa dilihat olehmu, karena kamu istimewa!" tukas wanita itu.

"Siapa namamu?" tanya Rendy.

"Anemoi Skeiron," jawab wanita bernama Anemoi.

"Aku memanggilmu apa? Namamu sepertinya berasal dari bahasa Yunani."

"Aku biasa dipanggil Ane (En) atau Nemo bisa juga Moi," jawab Ane.

"Tapi, Moi itu nama kecilku. Aku agak tidak suka," ujar Ane terkekeh malu.

"Aku–"

"Sudah tahu! Namamu Rendy," sergah Ane.

"Darimana kau tahu?"

"Ra-ha-si-a!"

"Baiklah, jika itu maumu. Lalu apa yang mau kau lakukan sekarang?" tanya Rendy.

"Hanya memberitahu saja, segeralah ke balaikota." Seketika Ane menghilang dari sana. Rendy terkejut. Lalu ia meraba-raba kantong jaketnya dan menemukan kartu nama yang ia pungut kemarin.

Ia pandangi dalam-dalam kartu itu. Kartu itu pasti penting, karena kartu nama itu ada semacam chip di sebaliknya. Jika hilang, maka sesuatu di dalam chip tersebut akan hilang juga.

Rendy menutup bukunya, ia beranjak keluar perpustakaan. Sudah ia putuskan untuk ke balaikota. Ia agak ragu sih. Tapi rencananya adalah, ke sana. Mengembalikan di lobby lalu pergi. Selesai.

Tapi ternyata tak semudah itu. Semuanya jauh lebih berat dari yang Rendy kira. Bahkan hal-hal yang membuat ia hampir syok.

「Bᴀʟᴀικoтᴀ」

...---------->[ Balaikota ]<----------...

...----------> [Rendy's POV] <----------...

Aku segera masuk ke dalam balaikota dan menuju ke meja layanan, atau biasa disebut customer service. Rencanaku adalah segera memberikan kartu ini ke customer lalu pulang. Selesai.

“Selamat pagi, ada yang bisa kubantu?” sambut customer ramah. Aku pun merogoh saku jaketku, di mana kartu itu kusimpan. Lalu kuletakkan di meja depan customer.

Customer itu memandangi kartu dari plastik tersebut dengan serius lalu kembali tersenyum ramah sambil keluar dari tempatnya.

“Saya sudah menunggu anda cukup lama, Tuan Rendy…” ucap customer itu.

Bagaimana dia bisa tahu namaku? Kenapa tiba-tiba semua orang tahu namaku?

“Mari, ikut saya!” ajaknya.

Aku bingung kenapa malah begini? Aku kan hanya ingin mengembalikan. Dan aku memilih tuk diam mencerna kejadian.

“Ayo Tuan, saya tunjukkan pemilik kartu itu.”

Akhirnya aku hanya bisa mengikuti wanita customer itu. Sebelum melangkah aku segera berbalik mengambil kartu yang malangnya nyaris tertinggal.

Customer itu berjalan menuntun. Di persimpangan pertama ia berbelok ke kiri. Aku hanya mengikuti di belakangnya.

Di belokan itu terlihat pada ujung jalan ada lift. Yaitu lift barang dan lift umum. Balaikota apa ini, yang ada lift barangnya?

Di dalam lift, kami hanya diam seribu diam. Tak ada topik, toh sebenarnya tujuanku hanya mengembalikan kartu ini kan?

“Tuan Locius sudah menunggu anda lama. Beliau sudah merencanakan pertemuan ini,” ujarnya menekan tombol lift entah berapa apa peduliku. Aku lebih penasaran dengan perkataannya.

Kenapa ia mengatakan ‘merencanakan’? Apakah yang bernama Locius yang dia maksudkan adalah walikota? Tapi kenapa ia merencanakan semua ini? Apa tujuannya mengundangku dengan cara ‘itu’?

Ting!

Suara lift menandakan kami sudah sampai di lantai tujuan. Ia keluar terlebih dahulu dan berbelok kanan. Seperti tadi, aku hanya membuntut di belakangnya

Tak lama, kami sampai di depan pintu kayu. Ruangan itu jelas ruangan yang penting. Karena corak pintu kayu itu cukup megah.

Customer itu mengetuk pintu, dan tak butuh waktu yang lama. Ada jawaban suara pria dari dalam mengizinkan masuk. Langsung saja customer itu membuka pintu itu ke kanan dan kiri.

“Saya mengantar tamu Anda, Tuan.”

“Baik, terima kasih. Silakan lanjutkan pekerjaan Anda, Bella.” Segeralah customer yang bernama Bella itu mengundurkan diri.

Saat aku menengok wajah pria di meja kerja itu. Aku membelalak sempurna. Bagaimana aku bisa lupa dengan orang itu, walau sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu lagi.

“Kau?! Pria misterius!?” kagetku spontan.

Aku sendiri saja, terkejut karena aku berteriak begitu. Di depan orang penting lagi. Bodoh! Rendy bodoh! Aku ingin mengutuk diriku sendiri!

“Ah, maaf. Maaf atas kelancangan saya, Pak Walikota.”

“Tak apa, jadi kau memanggilku selama ini dengan sebutan itu? Tak apa … tapi yang pasti sekarang kamu sudah tahu namaku kan?” jawabnya tersenyum riang.

“Ya ... Pak Locius.”

“Hm… Sebenarnya aku kenal dengan ayah dan ibumu. Bisa dibilang aku adalah pamanmu, tapi aku tak suka dengan sebutan itu. Jadi bagaimana kalau kau panggil aku ‘ayah’?” tawarnya.

Bagai petir di siang bolong. Aku sungguh tak menyangka ia akan mengatakan hal itu. Selain ia mengetahui ayah-ibuku, lalu ia ingin memintaku memanggilnya ayah?

“Maaf Pak Locius, tapi setelah semua yang telah Anda perbuat. Saya rasa itu berlebihan,” jawabku menolak.

“Hm begitu ya … baiklah … silakan duduk dulu, Rendy.”

Pak Locius menunjuk sofa di dekat meja kerjanya itu. Yang sepertinya juga ia gunakan sebagai tempat istirahat dan menjamu tamu.

Raut wajah beliau langsung berubah serius begitu aku duduk.

"Jadi apa yang ingin kau lakukan kemari?” tanyanya.

Aku meletakkan kartu nama tadi di atas meja kerjanya dengan sedikit berdiri dari sofa. Beliau memandanginya cukup lama. Lalu berteriak ke ruang sebelah. Ruangan tanpa pintu itu sepertinya ruang asistennya.

Tak selang waktu yang lama, asisten wanita bernama Astrid itu keluar dari sana. Ia berulang kali hormat sambil berterimakasih. Aku hanya tertawa canggung karena tak tahu harus menanggapi apa.

“Jadi Rendy, sebenarnya Nona Astrid bukan tidak sengaja menjatuhkan kartu namanya. Karena yang merencanakan semua ini adalah Bapak,” ucapnya dengan nada datar.

“Hm, jadi benar yang dikatakan customer tadi. Anda sengaja mengundang saya dengan cara ‘itu’. Lalu apa tujuan Anda mengundang saya dengan cara rumit?” Aku tersenyum masam begitu tahu kenyataan itu.

“Baiklah. Anda adalah Demi-God.”

“Apa? Bisa ulangi?”

“Anda seorang Demi-God. Rendy, kamu tidak salah dengar, atau Bapak tidak sedang bercanda. Ibumu adalah seorang dewi Angin, Anemoi Skeiron.” Bahkan kenyataan ini melebihi ekspetasi dari kehidupanku. Pantas saja, aku bisa mengalahkan monster sekolah, bisa regenerasi dengan tingkatan di luar nalar manusia biasa.

“Haha … Pantas saja, ia memberiku selamat. Lalu namanya seperti nama dalam sejarah …”

“Apakah beliau menemui anda?’

“Ya! Selalu mengganggu tidurku!’

“Tenangkan diri Anda …” Aku menghela napas kasar.

“Lalu tujuan utamaku kemari juga bukan hanya pemberitahuan itu kan?” Raut wajah pria di depanku lagi-lagi berubah menjadi seperti puas dan lega.

“Syukurlah aku tak keliru. Anda benar anak beliau, pandai. Tentu saja, Rendy– tujuanmu kemari adalah mengikuti latihan untuk para Demi-God agar menjadi Demi-God dewasa.”

“Apakah hanya aku yang akan lati—”

Tiba-tiba saja buka ruangan dibuka kasar hingga terantuk ke tembok. Tentu saja itu membuat semuanya terkejut, termasuk aku.

“Hai Paman~~” salamnya yang tidak normal. Seorang lelaki remaja berambut merah panjang, sampai dikuncir kecil seperti ekor ikan. Dan untuk tambahan, dia gila.

Saat sampai di depan meja kerja Pak Locius. Ia melirikku heran.

“Hey Paman, siapa bocah itu?” tanyanya dengan perasaan tak bersalah.

Kurang ajar! Aku sudah SMA masih dibilang bocah?! Lalu kau apa, hah!?

“Dia juga sama denganmu, Jack …” Pak Locius memijat keningnya.

“Hah?! Jadi … dia … Demi-God?” Ia memerhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Eh!! Kau!! Kau pasti anak dalam ramalan!?” serunya. Aku segera berdiri dan mendekat.

“Hai, aku Jackson Fireson! Putra Dewa Api, Hephaestus!” salamnya menjulurkan tangan. Aku balas jabat tangannya.

“Kau pasti Rendy Winter Frost!” lanjutnya.

“Ya, kau sepertinya lebih tahu-menahu tentang diriku daripada aku sendiri.”

“Bagaimana bisa begitu? Aku saja sudah tahu sejak kecil …”

“Jack, dia baru saja hari ini Paman beritahu ...” Pak Locius kembali memijat keningnya.

“Oh … baiklah! Ayo kita ke taman!”

Tanpa meminta pendapat, ia langsung menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikuti ritme larinya agar tidak terjungkal atau tersandung.

Taman itu cukup jauh dari ruang kerja walikota. Harus ke lantai dasar, lalu ke belakang balaikota. Dan perjalanan dilakukan dengan berlari. Aku sempat berpikir bahwa anak merah ini hyperaktif.

Saat sampai di taman, ia berhenti dan terdiam. Aku menengok ke depannya, karena ia terlihat seperti melamunkan sesuatu. Benar saja, ada seorang gadis berambut pirang sedang berjongkok di rerumputan.

“Rendy, siapa dia?” bisik Jack.

Aku menggeleng pelan. Gadis itu menoleh ke arah kami. Jack langsung berlari mendekatinya, dan menarikku juga tentunya.

“Siapa kamu?” tanya gadis itu seraya berdiri.

“Aku Jackson Fireson, putra Dewa Hephaestus. Dan kamu?”

“Lilyanne Zeus, putri Zeus.”

“Woah! Putri Dewa Langit!” seru Jack terkagum-kagum.

“Dan kakak tampan?”

“Ekh! Kok kamu panggil dia tampan sedangkan aku?”

“Diam, jelek!”

“Ahaha … aku Rendy Winter Frost … putra Dewi Anemoi…”

“Dan …” imbuh Lily. Aku memiringkan kepala bingung.

“Cucu Poseidon!” serunya.

”Oh.. Jadi ayahku adalah anak Poseidon?”

“Ya! Dan kamu Alpha Demi-God. Alpha Demi-God adalah Demi-God yang memiliki dua atau lebih keturunan dewa!” jelasnya semangat.

“Oh … Kurasa kalian memang benar-benar tahu-menahu tentangku …”

“He? Kan kau anak dalam ramalan kenapa bisa tidak tahu bahkan pernah dengar?” tanya Lily. Jack mengangguk setuju dengan Lily.

“Sebenarnya aku baru beberapa menit yang lalu tahu tentang kebenaran diriku.”

“Oh …”

“Yasudah, ayo kita berkumpul dengan lainnya!” ajak Lily menarik Jack, dan aku ikut ditarik.

“Ekh! Lainnya?!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!