“Keparat kamu !” umpat Duan. Dia baru saja pulang bekerja dan bergegas menuju meja makan tanpa mengganti pakaiannya. Ia mendapati hidangan di atas meja makan berupa nasi dan telur rebus. Dipanggilnya sang istri dan tanpa banyak bertanya sebuah tamparan melayang cukup keras ia layangkan ke wajah istrinya. Selain itu pemicu amarahnya, ia menyesal pulang cepat. Alangkah baiknya ia tadi mampir di resto atau cafe langganannya.
Renata meringis perih merasakan sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya yang kini mulai keriput. Wanita 47 tahun itu lalu terisak. Sudah lama ia menahan rasa kesalnya dan meluapkan saat itu juga biar Duan tahu.
“Kamu bekerja, tapi hanya memberiku seratus ribu!” Renata meninggikan suaranya yang terdengar serak.
Duan mendelik dan berkacak pinggang. Tidak terima dengan balasan sang istri lantas ia bergegas berjalan ke arah Renata lalu menarik kuat rambutnya yang sudah beruban.
“Maka pergunakan uang itu dengan baik. Jangan boros!” menatap dengan penuh kebencian.
Re cukup sabar menghadapi sikap kasar suaminya bahkan sejak 22 tahun bersama.
Meski rambutnya tertarik dan sakit Re tak menurunkan sorotan matanya yang kuat. “Kamu pikir seratus ribu itu aku pergunakan untuk apa ? Sudah 2 hari yang lalu uang yang kamu berikan itu habis. Sabun, gula, minyak semua pada naik dan kamu hanya memberiku 100 ribu,”
Duan melepaskan tangannya dengan kasar. “Dasar istri tidak berguna. Percuma aku menikahimu!” lalu mengeluarkan lima lembar seratus ribuan dan melemparkan ke wajah Renata. Duan pergi keluar lagi mumpung hari masih sore.
“ Menyesal? Mengapa baru sekarang kamu berkata demikian!” Duan tak mengindahkan ucapan Re. Re segera menghapus air matanya dan segera memunguti uang tersebut. Ia bisa menggunakan uang itu untuk tambahan membeli obat putrinya.
Terlihat Mika memarkirkan motornya, ia baru pulang kuliah dan berpapasan dengan ayahnya di ambang pintu.
“Ayah, mau kemana lagi ?” tanyanya ramah sembari mengamati penampilan ayahnya yang masih sama dengan yang dikenakan pagi tadi.
“Bukan urusanmu, sana urus ibumu yang tidak becus itu!” Duan mengendarai mobil dan pergi untuk mencari kesenangan sendiri.
Sebagai kepala Divisi di bagian perhubungan, Duan kerap kali teledor dalam menjalankan amanah pekerjaannya. Suka menghabiskan waktu di jam kerja hanya untuk bersenang – senang. Anak buahnya tidak berani menegur secara langsung. Mereka takut dipecat karena sekarang sangat sulit untuk mencari pekerjaan. Jadi, mereka lebih memilih aman saja.
Mika bergegas memasuki rumah dan tak mendapati ibunya di sana.
Setelah mencari di dalam dapur, Mika melihat ibunya sedang memegangi wajahnya.
“Ibu ? Apa yang telah ayah lakukan pada Ibu, hm ?” mengamati wajah ayu ibunya. Meski sudah berusia hampir kepala lima, Renata tetap cantik dan awet muda. Detik berikutnya, kedua mata Mika membola mengetahui bibir bawah ibunya pecah dan ada darah yang mengering.
“Bibir Ibu !” memegang dagu untuk bisa melihat dengan jelas. Meniup pelan dan lembut. “Apa ini sakit ?” bertanya dengan cemas. Mika tahu jika ayahnya telah menampar ibunya. Ini pasti masalah keuangan yang kerap ia dengar.
“Sekarang sudah tidak lagi.” Karena tidak ingin putrinya larut dalam kesedihan ia mengalihkan obrolan. “Bagaimana kuliahmu hari ini ?”
Mika menatap ibunya, wanita itu sangat pandai bermain peran. Lantas Mika memeluk sang ibu. “Aku tahu Ibu sangat tidak bahagia tinggal bersama ayah. Kalau tidak ditampar pasti ayah akan mengolok Ibu. Mengapa kita tidak pergi saja dari rumah yang seperti neraka ini ?” Mika sangat mendukung jika ibunya berpisah saja dengan monster itu.
“Kamu bicara apa, Mika ?” mengangkat tangannya untuk menangkup wajah putrinya.
“Sekasar apapun sikap ayahmu, bagaimana pun juga dia adalah orang yang berjasa dalam kehidupan kita terutama untukmu.”
Wajah Mika menjadi masam. “Ini semua salahku. Jika aku tidak penyakit an, tentu Ibu tidak serepot ini untuk mengurusku.”
“Mika, tidak ada anak di dunia ini yang merepotkan orang tuanya. Sebentar lagi ibu gajian, kita bisa periksakan keadaanmu ke dokter.”
Mika memeluk kembali ibunya. “Aku baik – baik saja Ibu.”
“Ayahmu baru saja memberi ibu uang. Kamu pasti lapar, istirahatlah, ibu akan menyiapkan makan malam.”
Mika yang penurut itu meninggalkan ibunya menuju kamar. Setelah mandi dan berganti pakaian ia berniat untuk menemani ibunya menyiapkan makan malam. Nampaknya niatnya itu harus ia urungkan, mendadak ia mengalami pusing yang hebat dan tiba – tiba mimisan. Buru – buru ia mengambil tisu di dalam tas dan mengelap hidungnya sebelum ketahuan ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya terlalu mencemaskan dirinya. Sudah seminggu ini ia tidak mengkonsumsi obat yang biasa ia minum lantaran sudah habis dan ibunya belum punya uang membeli obat.
Duan sudah banyak mengeluarkan uang untuk pengobatan Mika dan terakhir bulan lalu ia sudah enggan mengantar Mika berobat. Duan sudah muak dengan kehidupannya yang sekarang yang terasa membosankan. Pulang kerja selalu disuguhi pemandangan yang pilu.
Mika menyadari hal itu dan tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya. Ia selalu menampilkan diri seolah ia baik – baik saja dan tak pernah sakit. Hanya mengikuti saran dokter dengan menjalani pola hidup sehat yang dapat memanjangkan umurnya. Ia berharap bisa memiliki umur panjang untuk membalas kebaikan ibunya.
.
Renata kehabisan garam dan bahan dapur lainnya, ia segera membeli bahan tersebut dan tak ingin membuat Mika menunggu terlalu lama.
Selesai melakukan pembayaran di sebuah toko kecil tak jauh dari komplek rumahnya, Re bergegas pulang.
Karena tak memperhatikan jalan, ia hampir saja menabrak anak kecil yang sedang bermain bola.
Re menegur mereka agar bermain di tempat yang lapang. “Bermain lah di lapangan, kalau tidak bolamu bisa mencelakai orang lewat !”
“Renata Thomson ?” panggil seorang pria.
Suara yang tak asing dan bahkan sangat lama sekali tak pernah ia dengar tiba – tiba memanggil jelas namanya. Nama belakangnya sekarang sudah tidak ia gunakan lagi.
Re menoleh, alangkah terkejutnya ia dengan sosok pria bertubuh tinggi dan atletis itu. Ia tergugu dalam diam. Detik berikutnya ia setengah berlari seolah baru saja melihat hantu.
Prima yang tadinya ingin membeli buah di tepi jalan ia urungkan dan pandangannya teralihkan pada seorang wanita yang berteriak ke arah anak – anak. Prima masih sangat hafal dengan suara dan wajah wanita itu.
“Tuan, sebentar lagi akan turun hujan.” Ujar Mike mengingatkan bosnya untuk segera masuk ke dalam mobil.
Prima menoleh sekilas ke arah langit lalu kembali lurus memandang ke arah Renata yang sudah menghilang dari pandangannya.
“Aku tidak salah lihat. Itu Renata.” Hati Prima kembali bergetar seketika menyebut namanya.
“Anda masih mengingat nama dan wajah itu, Tuan ?” Mike membukakan pintu berharap bosnya segera masuk.
“Ya. Bagaimana bisa aku melupakan wanita yang menghilang saat acara pertunangan 22 tahun lalu .”
Prima memasuki mobil.
Ingatannya berputar mengenang masa dulu. Masa disaat mereka berpacaran dan berjanji akan menikah, hidup bersama.
Prima tampak berpikir dengan keadaan wanita yang amat ia cintai barusan tadi. Lusuh, berkeriput dan tampak tak terurus. “Apakah ia hidup dalam kesusahan? Lalu, dimana ia tinggal?” Prima baru kepikiran mengapa tadi tidak ia kejar saja dia.
Renata sampai di rumah sebelum hujan turun. Nafasnya yang memburu membuat busung dadanya naik turun.
“Ibu, dari mana ?” tegur Mika yang baru saja membukakan pintu.
“Ibu kehabisan bahan dapur.” Menunjuk kantong kresek yang ia bawa. "Ayo masuk, cuaca di luar sangat dingin. Kamu pasti sudah sangat lapar, ya. Sebentar lagi makan malam siap.”
“Aku mau membantu. Sini, biar Mika yang bawa belanjaan Ibu.”
“Ah, baiklah.” menyerahkan barang belanjaan. Re menepis ingatan barusan bertemu Prima. Ia tidak ingin terjebak masalah yang sudah ia kubur.
Bersama Mika adakah tujuan utama ia hidup.
.
Entah mengapa Renata tiba – tiba menjadi senang hari ini, atau mungkin setelah pertemuannya yang tanpa sengaja dengan Prima atau hal lain.
Sepulang kerja di butik milik nyonya Yasmin, Renata membeli bahan – bahan untuk ia isi kan ke dalam kulkas yang beberapa hari lalu terlihat melompong. Hari ini ia sudah gajian meski tidak seberapa besar nominalnya, namun cukup untuk membawa Mika periksa ke klinik seorang dokter langganannya.
Re hendak menyalakan mesin motornya, sesaat ia melihat Duan keluar dari Mall. Duan tidak sendiri tapi bersama wanita yang amat belia terlihat seusia putrinya. Dada Renata menjadi sesak seketika itu juga. Teramat sakit. Sudah tidak berhargakah ia sekarang hingga pria yang masih berstatus suami itu menduakan dirinya. Gadis berambut pirang dengan penampilan yang seksi itu terlihat menenteng paper bag di kedua tangannya. Itu artinya Duan telah membelikan gadis itu barang – barang mewah.
Lihat dirinya, sudah hampir setengah tahun Duan tak pernah memperlakukan dirinya seperti yang dialami gadis itu.
Renata memanas di kedua matanya, detik berikutnya kedua mata itu telah basah oleh air mata. “Duan, kamu tega padaku.” Re mengangkat tangannya dan menghapus air mata dengan cepat. Meski hati itu teramat sakit, ia tidak boleh cengeng dan lemah. Ada Mika di kehidupannya yang harus ia perjuangkan dari pada membahas masalah hati.
Re segera menyalahkan mesin motor begitu Duan dan selingkuhannya pergi.
Mika sudah berada di rumah sejam yang lalu. Ia menyambut kepulangan sang ibu dan membawakan barang belanjaan. Menyimpan semua belanjaan ke dalam kulkas kecuali sabun dan minyak.
“Mika, ibu sudah gajian hari ini. Kalau kamu tidak sibuk, ayo kita periksa ke dokter Sulung. Sudah lama kamu tidak mengkonsumsi obat.” Terlihat cemas. Dan sebisa mungkin ia menyimpan rahasia yang ia lihat barusan.
“Mika sudah agak baikan, Ibu. Uang gajian Ibu simpan saja untuk kebutuhan yang mendesak.” Mika mengusap lengan Renata, mencoba memberi pengertian agar ibunya tidak terlalu mencemaskan dirinya.
“Tidak, Mika. Kesembuhan kamu yang paling utama. Setengah jam lagi. Ibu akan menunggumu di luar. Bersiaplah!” Re tetap memaksa dan Mika tidak bisa menolak jika ibunya punya mau.
Mika kembali ke kamar dan berdandan rapi, selesai itu ia menyusul ibunya yang sudah berada di halaman luar.
.
“Dokter Sulung, bagaimana kondisi putriku?” tanya Renata dengan wajah penuh kecemasan.
Dokter itu mendorong kacamatanya lalu menyimpan tangannya di dalam saku jas putih. “Seperti sebelumnya. Tubuhnya semakin melemah jika tidak segera dilakukan operasi pencangkokan sum - sum tulang belakang, aku tidak bisa melakukan pertolongan lebih lanjut.”
“Apakah tidak ada cara lain selain itu, Dokter?” Re terbebani biaya yang pernah dokter Sulung katakan
“Sudah sekian kali aku mengatakan hal ini padamu Nyonya Re,”
“A-aku belum siap. Operasi membutuhkan biaya yang besar, lagi pula pendonor juga belum ada.”
“Bukankah kamu memiliki kartu jaminan kesehatan?”
“I-iya, tapi sudah lama tidak aku gunakan. Itu semua juga belum cukup.”
Dokter mendesah kasar. Ia sudah tahu bagaimana jawaban Re jika membahas masalah operasi. Seperti biasa, Dokter Sulung memberikan resep obat.
Mika mendengar semua obrolan ibu dan dokter, ia menyalahkan dirinya dan mengapa ia tidak mati saja sejak kecil agar dewasa ini tidak merepotkan ibunya.
Renata menghampiri Mika, lalu mengajaknya pulang.
“Ibu, maafkan aku. Aku terlahir sudah merepotkan Ibu. Mengapa aku tidak mati saja.” Celetuk Mika yang membuat hati Renata tercubit.
“Semua orang pasti akan mengalami kematian. Tapi, ibu tidak akan membiarkan kematian itu cepat datang padamu. Kamu harus tetap hidup demi ibu. Jika kamu tidak ada di dunia ini, lalu untuk apa lagi ibu hidup juga.”
Mika terdiam seribu bahasa. Renata memeluknya erat. Mengapa cobaan tak kunjung usai menimpa dirinya. Apakah ini karma yang pantas ia dapatkan karena sebuah kesalahan 22 tahun yang lalu ?
.
Sepulang dari klinik, Renata kembali berkutat di dapur. Setelah hidangan tersaji Re meminta Mika untuk segera makan.
“Sebentar Ibu, ini masih kurang sedikit lagi !” sahut Mika setengah berteriak, ia masih mengerjakan tugas kuliahnya.
Re menunggu di meja makan. Berselang kemudian, Duan pulang dan langsung duduk di meja makan. Dilihatnya makanan itu menggugah selera, Duan langsung makan.
Selesai makan dan sebelum beranjak pergi, Renata menegurnya. “Duan, siapa gadis tadi ?”
Duan sedikit gugup, tapi untuk apa ia menutupi semua ini. Sudah seharusnya Renata tahu dan bisa memberinya kebebasan.
“Oh, gadis itu. Kamu sudah tahu rupanya. Jadi, aku tidak perlu menutupinya lagi. Dia pacarku.” Jelas Duan dengan gamblang.
“Kamu gila, dia masih teramat belia ?” protes Renata yang tidak terima.
“Kamu iri ? Mendingan dia kan ketimbang kamu. Sudah tua, keriputan, tak bisa berdandan pula. Apa yang mau dibanggakan darimu?” Duan memperolok.
“Pikirkan Mika juga, bagaimana jika dia berada di posisi seperti gadis itu.”
“Maka itu tugasmu sebagai ibunya untuk menjaganya.”
“Lalu, apa tugasmu?” Re balik bertanya.
“Aku sudah lelah dengan kehidupan kita. Banyak uang yang sudah aku keluarkan untuk pengobatannya dan apa yang aku dapatkan dari kalian berdua, hanya sebuah kesengsaraan.”
Duan lalu beranjak tanpa memikirkan perasaan wanita yang sudah lama hidup bersamanya.
Mika yang tadinya ingin bergabung makan malam mendengar semua yang mereka bicarakan. Pipinya pun basah oleh air mata.
Renata tak bisa memungkiri perasaannya yang teramat sakit. Ia menghapus cepat air matanya lalu berteriak memanggil Mika untuk segera makan karena ini sudah lewat jam makan malam.
Mika berjalan lesu menuju meja makan. Renata sampai kaget, Mika rupanya sudah ada sejak tadi.
“Apa aku ini bukan anak kandung ayah, mengapa ayah tak begitu perduli pada hidupku? Mungkin jika aku mati, beban ayah akan terasa ringan dan tidak perlu lagi memikirkan tentang aku.”
“Mika ?” Renata menuntun Mika untuk segera duduk.
“Anggap saja apa yang kamu dengar barusan adalah angin berlalu. Jika ayahmu tak menganggapmu ada, itu tidak akan mengubah hidupmu. Jangan pikirkan orang berkata apa, tapi pikirkan masa depanmu nanti mau jadi apa. Sudah, makan dan segera minum obatmu.”
Mika masih terisak, menimba apa yang dikatakan ibunya tadi ada benarnya. Tidak perlu memikirkan apa yang dikatakan orang.
Mika tengah berada di perpustakaan. Ia sedang mencari buku referensi lain untuk tugas mata kuliahnya.
“Oh, maaf ! Aku tidak sengaja.” seru Mika tatkala sepatunya menginjak sepatu salah satu mahasiswa pria yang berada di perpustakaan juga.
“Tidak masalah.” Sahut santai pria bernama Lyon.
Usai meminta maaf, Mika menemukan buku yang ia cari lalu membawanya ke meja baca. Sesekali Lyon mencuri pandang ke arah gadis yang baru saja meminta maaf padanya. Rasanya aneh, tidak ada gadis yang tak kenal padanya dan selalu mencuri perhatian untuk dekat dengannya. Tapi berbeda dengan gadis ramping itu. Dia terlihat cuek dengan keberadaannya. Tentu hal ini membuat Lyon resah dan ingin lebih tahu siapa gadis yang tidak tertarik padanya itu.
“Lyon, kamu sudah menemukan buku itu ? Buruan, aku sudah lapar.” Desak Timmy yang sejak pagi tadi mengikutinya.
“Sudah. Timmy, kamu kenal gadis itu ?” tunjuk Lyon ke arah Mika yang sedang membaca buku.
“Mana?” Timmy menajamkan penglihatannya. Lalu membulatkan bibirnya membentuk huruf O. “Itu, Mika. Mahasiswi jurusan akutansi.
“Gadis yang unik. Aku tidak pernah melihatnya.”
“Kamu gaulnya sama kelas kakap sih jadi, mana tahu kelas teri. Jangan bilang kamu tergoda olehnya ! Kabarnya dia gadis penyakitan."
"Penyakitan? Aku tidak perduli dia dari kalangan mana. Aku merasa tertantang untuk mendapatkan dia.”
“Coba saja. Kalau begitu aku ke kantin duluan. Percuma menunggumu sejak tadi.” Timmy bergegas pergi.
Jangan panggil Lyon jika tak berhasil mendekati cewek. Lyon membawa buku dan ikut membaca di samping Mika.
“Hai, boleh kita berkenalan?” ujar Lyon to the point.
Mika hanya melemparkan senyum.
Lyon mengulurkan tangannya, “Aku Lyon, kamu siapa ?”
Mika menatap tangan itu sesaat, karena sangat tidak etis jika ia mengabaikan orang itu. Ia pun menerima uluran tangan itu dan menjawab singkat, “Mika.”
Lyon jadi geregetan, karena gadis itu begitu cuek. Lyon ingin membuka obrolan dan langsung saja Mika menunjuk stiker bertuliskan ‘ dilarang bicara ketika membaca.’ Lyon jadi mati kutu, ia pun bergegas keluar menemui Timmy.
.
“Renata!” panggil Duan dengan suara membentak.
Duan datang dengan pacarnya, Jeny. “Siapkan hidangan ! Aku mau makan di rumah.”
“Duan, kamu berani membawa gadis ini masuk ke rumah ?” tanya Renata geram.
“Dia pacarku, jadi aku bebas membawanya.”
“Siapa wanita tua ini?” tanya Jeny sambil bergelanyut manja.
“Dia pembantu di rumah ini.”
Jedar!
“Pembantu !” Renata memekik.
Sudah tak bernilai kah dirinya sebagai seorang istri.
“ Kita puluhan tahun sudah menikah, meski aku sering kamu sakiti aku masih bisa memaafkan sikapmu. Tapi, ini ? Kamu memperkenalkan gadis ini sebagai pacar kamu ? Kamu gila, Duan.”
Duan tersenyum kecut, lalu melepaskan tangannya dari pinggang ramping milik Jeny.
“PEMBANTU! Cepat siapkan makanan ?” Lalu tertawa lebar.
Renata seperti tidak punya muka, hancur sudah mahligai rumah tangga yang sudah lama ia karungi. Hatinya sangat sakit, perih bagai disayat sembilu.
Mika mengenal Jeny sebagai teman kampusnya, ia tak terima dengan keadaan ini. “Jeny, dasar gadis nakal kamu ! Kamu rela jadi sugar baby ayahku.” Menarik kasar rambutnya yang membuat gadis berambut pirang itu memekik.
“Aw, Beb, anakmu menarik rambutku!” Jeny memegangi kepalanya yang sedikit nyeri akibat tarikan yang begitu kuat dari Mika.
Duan menjadi geram. Ia menepis tangan putrinya, menampar lalu mendorongnya hingga terjerembab ke lantai.
Renata menjerit, “Mika!” berhambur memeluknya. Mika meringis menahan sakit di pantatnya yang bergesekan keras dengan lantai.
Renata lalu bangkit dan mengacungkan jari, “ Duan! Aku terima kamu memperlakukan ku dengan kasar tapi tidak dengan putriku.”
“Anak penyakit an saja kamu banggakan.” Mengusap kepala Jeny.
“Aku tidak mau makan disini.” Rengek Jeny dengan manja.
“Iya, Sayang. Kita pergi dari sini.” Mengajak pergi dan mengabaikan Renata yang tak henti menatapnya.
Setelah kepergian Duan dan Jeny, Renata dan Mika berada di ruang makan. Suasana menjadi hening dan hanya terdengar hewan malam yang bernyanyi.
Renata menahan sesaknya hati dan berperan epik seolah dirinya sedang baik – baik saja. Mika tahu jika ibunya sangat terluka.
“Makan yang banyak, setelah ini minum obatmu.”
“Aku tahu Ibu sangat terluka. Ibu cerai saja dengan pria monster itu.”
“Mika, jaga bicaramu. Dari pada mengeluarkan uang untuk biaya gugatan cerai mending kita gunakan untuk kebutuhan lain.”
Mika berjanji setelah ini tidak akan merepotkan ibunya lagi. Ia akan rajin belajar hingga menjadi seorang sarjana yang berguna.
.
3 hari kemudian.
Duan kembali kerumah bersama Jeny. Duan meninggalkan Jeny sendirian di ruang tamu sementara dirinya sedang pergi ke kamar.
“Puas kamu membuat hati ibuku menjadi hancur.” Mika memergoki Jeny yang sendirian.
Jeny menoleh ke sumber suara, “Itu pilihan ayahmu. Salah sendiri menjadi wanita tua.”
“Berani kamu menghina ibuku!” Mika kalap dan langsung menyerang Jeny.
Mereka saling menarik rambut.
Duan datang bergegas dan melerai mereka.
“Dasar anak kurang ajar, pergi kamu dari rumahku!” Duan menamparnya lalu memasuki kamar Mika mengemasi semua pakaian dan membawanya keluar. Mika diusirnya.
“Ayah, biarkan aku masuk!” teriaknya sambil menggedor pintu.
Renata yang mendengar keributan itu pun datang tergopoh. “Mika!” mencari keberadaan putrinya.
“Renata, aku sudah berjanji akan menikahi Jeny. Dan sekarang aku menceraikan kamu. Ini !” Ternyata Duan sudah mempersiapkan berkas perceraian jauh hari sebelumya.
“Aku juga sudah muak dengan pernikahan ini!” ucap Renata dengan hati teramat sesak. Ia menerima berkas itu dan menandatanganinya.
“Sekarang, kamu aku usir juga dari rumahku!”
“Baik. Aku juga tidak sudi tinggal di rumah bak neraka ini.”
Renata mengemasi bajunya dan menyusul Mika yang sudah lebih dulu keluar.
Duan menutup rapat pintu.
“Ibu, kita akan tinggal dimana?”
“Kita berpikir setelah pergi dari neraka ini, ayo !” mengajak Mika meninggalkan rumah Duan.
Beruntungnya ia masih memilki sisa tabungan dari gajinya dua bulan yang lalu. Jadi, bisa mencari rumah kontrakan.
Hari semakin gelap dan mereka belum juga menemukan rumah kontrakan.
“Ibu, aku lelah.” Rengek Mika yang kedua lututnya terasa loyo.
“Sabar Sayang, lihat di sana ada rumah kontrakan ! Kita coba ke sana.” Berjalan tertatih menuju rumah bertuliskan ‘ rumah disewakan'.
Setelah bernegosiasi dengan pemilik rumah, akhirnya Renata bisa menempati rumah kontrakan itu meski ukurannya tak sebanding dengan rumah yang dulu.
“Ibu, kita akan tinggal di sini ?”
“Iya, Sayang. Tidak apa-apa kan ? Untuk sementara.”
“Aku tidak masalah tinggal dimana, asal tetap bersama ibu.” Mika memeluk ibunya.
“Ibu, aku tidak masalah jika tidak kuliah. Lebih baik bekerja membantu perekonomian kita.” Usul Mika yang langsung mendapatkan pelototan dari ibunya.
“Jangan berpikir dangkal seperti itu. Zaman sekarang sudah berubah. Semua instansi pekerjaan akan menerima orang yang bergelar sarjana saja. Jika kamu ingin mapan di masa depan, maka jangan mudah menyerah.”
“Tapi, uang darimana?”
“Ibu masih kuat, ibu yang bekerja.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!