*********
"Sssh...sssh...sssh...." Suara tebasan pedang tajam yang memecah keheningan malam, menghancurkan kesunyian malam berkabut di setiap ayunan pedangnya. "Aakh...."Teriakan setiap orang yang menggema terkena tebasan pedang yang semakin lama semakin kuat. Tetes demi tetes darah terus keluar dari luka bekas tebasan pedang. Setiap detik malam itu semakin mencekam diiringi teriakan yang semakin keras akibat tebasan pedang dari seorang tak dikenal dalam kabut. Satu persatu mulai tumbang karena tebasan pedang yang tertutup kabut.
Setiap tetes darah tercecer dimana-mana. Tengah malam pun tiba, bulan purnama menunjukkan sinar nya dan menghapus kabut. Terlihat seorang pria bertopeng dengan jubah hitam yang berkibar tertiup angin malam. Ia menggenggam sebilah pedang penuh darah dan berdiri dibawah sinar bulan purnama. Tatapan nya dingin seolah tak peduli dengan mayat-mayat berserakan di sekitarnya. Darah segar masih mengalir di pedangnya yang telah merenggut ratusan nyawa manusia.
Setiap pedangnya menebas pasti akan ada korban yang berjatuhan. Namun, di setiap pembantaian ia selalu menyisakan satu korban selamat. Dan setiap satu korban selamat akan mengantarkan pesannya "Jangan pernah mengusik kehidupanku atau hidupmu akan berakhir".
*********
**"Wii-uuw-wii-uuw\,Woo-woo-woo-woo"**Suara sirine ambulance dan mobil polisi menggema mendekati wilayah penuh dengan aroma darah dan mayat. Suaranya semakin mendekat memecah keheningan. Pria bertopeng itu lenyap dalam kabut yang mulai menyelimuti wilayah itu sekali lagi. Ia pergi tanpa meninggalkan jejak\, kecuali bercak darah yang menetes dari ujung pedangnya. Kabut pekat kembali menyelimuti wilayah itu.
Para polisi sampai ke wilayah itu setelah mendengar laporan ada penyerangan. Dibantu dengan tenaga medis, para polisi mulai menyelidiki apa yang terjadi. Lampu-lampu penerangan dinyalakan, perlahan mengusir kabut pekat yang menyelimuti tempat tersebut. Seiring bertambahnya cahaya, pemandangan mengerikan mulai terlihat mayat-mayat berserakan, tubuh mereka penuh bekas sayatan pedang. Para tenaga mulai mengecek kondisi mayat-mayat yang berserakan.
Terdengar rintihan kesakitan dari berbagai arah yang memecah keheningan malam yang mencekam di wilayah itu. Para polisi segera bergerak mencari asal rintihan itu. Mereka menemukan beberapa orang tertimbun mayat dengan darah yang masih mengalir di lukanya. Keterbatasan perlengkapan medis yang dibawa, hanya 1 orang saja yang bisa diselamatkan. Orang yang terselamatkan itu mulai dimintai keterangan. Namun,Ia hanya mengatakan "Jangan pernah mengusik kehidupannya atau hidupmu akan berakhir".
Polisi mulai kebingungan dengan keterangan yang diberikan orang yang selamat. Orang itu terus mengulangi kalimatnya.Saat yang ke 5 terdengar suara tembakan yang sangat keras bersamaan dengan tewasnya orang selamat dalam sekejap mata. Ketegangan mulai terasa, lampu demi lampu mulai mati diiringi dengan kabut yang mulai menyelimuti wilayah itu. Keheningan mulai terasa mencekam setelah semua lampu mati.
"Sssh... sssh... sssh..." Suara tebasan pedang kembali memecah keheningan. Satu persatu, anggota polisi gugur di tengah kabut pekat akibat tebasan yang tak terlihat. Setiap anggota polisi yang tersisa mulai merasakan ketakutan. Kabut yang semakin pekat mulai menyelimuti mereka. Tanpa sadar, anggota polisi yang tersisa berkumpul di satu tempat bersama tenaga medis. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Para anggota polisi yang tersisa segera bersiaga ke berbagai arah. Dari dalam kabut, Terlihat sesosok bertopeng dengan mata merah, semakin mendekat, seolah menatap setiap gerakan dengan tajam
Anggota polisi bersiap menembak ke arah sosok dalam kabut itu. Dalam hitungan detik, tembakan dimulai. Dentuman peluru memecah kesunyian malam, tetapi tak ada satu pun yang mengenai target. Sosok itu tetap berdiri tegak, nyaris tak terpengaruh, meskipun peluru-peluru melesat hanya beberapa inci dari tubuhnya. Kabut tebal di sekelilingnya seakan melindunginya, membuat setiap usaha untuk menjatuhkannya menjadi sia-sia. "Berhenti!" teriak salah satu anggota, suaranya penuh kepanikan. Semua senjata diturunkan, dan suasana menjadi hening. Detak jantung terdengar jelas di telinga masing-masing, mengalahkan bunyi angin malam yang dingin. Kabut semakin pekat, menyelimuti mereka seperti selimut abu-abu yang dingin. Semua mata tertuju pada sosok itu, berharap ia memberikan tanda akan menyerang atau mundur.
Namun, sosok itu tetap diam. Ia hanya berdiri di sana, tak bergerak, seperti patung yang terpahat dari bayang-bayang. Rasa takut merambat di antara mereka. Ada sesuatu yang tak wajar. Bukan hanya keberadaan sosok itu, tapi juga cara kabut seakan hidup, bergerak dengan pola yang aneh di sekitar mereka. Salah satu anggota mencoba melangkah maju, mengacungkan senter untuk memperjelas pandangan. Cahaya senter menembus kabut, tetapi seolah-olah ditelan sebelum mencapai sosok itu. Ia bergeming sejenak, mencoba memahami apa yang dilihatnya. "Apa ini?" gumam salah satu anggota pelan, nyaris seperti bisikan.
Seketika, suara bergema di udara. Suara manusia, dengan suara rendah, serak, dan menggetarkan, seolah berasal dari kedalaman kabut itu sendiri. Para anggota saling bertukar pandang, mencoba memastikan bahwa mereka semua mendengarnya. Namun sebelum ada yang sempat berbicara, kabut mulai bergerak. Bukan tertiup angin, melainkan melingkar dan memutar di sekitar mereka, menciptakan dinding kabut yang tebal. "Bersiap!" suara dari salah satu anggota, tetapi kini terdengar lebih lemah, lebih ragu. Sosok itu mulai bergerak, perlahan melangkah maju. Setiap langkahnya menghasilkan bunyi samar, seperti gemerisik dedaunan kering di atas tanah basah. Ada aura dingin yang mengikutinya, membuat suhu sekitar turun beberapa derajat.
Mereka menatap, terpaku di tempat. Sosok itu tampak lebih jelas sekarang, meskipun hanya berupa siluet. Terlihat seorang pria bertopeng dengan jubah hitam yang berkibar tertiup angin malam. Ia menggenggam sebilah pedang penuh darah. Salah satu anggota tak tahan lagi. Ia menembakkan senjatanya sekali lagi, dan suara tembakan kembali memekakkan telinga. Peluru menghantam udara kosong. Sosok itu menghilang seketika, seolah kabut menelannya.
"Kemana dia pergi?" tanya salah satu dari mereka, suaranya nyaris bergetar. Jawaban datang bukan dari mulut rekan-rekannya, tetapi dari balik kabut, dari sisi yang tak terduga. Suara itu muncul lagi, lebih keras, lebih dekat. Kali ini, ada tawa yang terdengar di balik suaranya. Bukan tawa yang menyenangkan, melainkan tawa yang membuat bulu kuduk berdiri. Mereka berputar, mencoba mencari sumber suara, tetapi kabut tak memberi petunjuk. Seolah-olah semuanya adalah permainan bagi entitas itu, dan mereka adalah bidak-bidak yang terperangkap di dalam papan permainan.
Sosok dalam kabut itu mulai menunjukkan wujudnya. Seorang Pria Bertopeng mulai tampak setelah kabut mulai menyatu. Para Polisi itu hanya bisa terpaku ketakutan dan tak bisa bergerak membuat tenaga medis hanya bsa pasrah. Pria itu mendekati para polisi sambil menghunuskan pedang kearah mereka. **"Pergi dari sini dan jangan pernah mencoba ikut campur dalam urusanku atau hidup kalian akan berakhir" **ucap pria itu. Para polisi dan tenaga medis yang tersisa hanya bisa mengangguk mengiyakan. Setelah itu\, seketika sosok pria itu lenyap bersama dengan hilangnya kabut pekat.
Matahari mulai menunjukkan sinarnya, terlihat kondisi wilayah itu hanya penuh dengan mayat. Hari sudah pagi, para polisi mulai mengumpulkan jasad rekan mereka yang gugur untuk dibawa pulang. Para polisi yang tersisa hanya bisa pasrah dengan keadaan mereka dan membawa jasad rekan mereka untuk diberi penghormatan terakhir sebelum dimakamkan.
Mereka hanya bisa mengikuti keinginan pria misterius itu karena masih ingin hidup damai, beberapa dari polisi dan tenaga medis yang selamat mengundurkan diri dan melupakan apa yang sudah mereka alami. Namun, Itu tetap menjadi misteri bagi petinggi kepolisian dan tenaga medis.Saat para petinggi ingin mencari tau apa yang terjadi, mereka terbunuh tanpa jejak apapun. akhirnya kejadian itu menjadi misteri dikalangan kepolisian dan menyebar ke masyarakat.
*********
Sinar matahari pagi masuk melalui celah ventilasi sebuah kamar kecil yang berantakan. Ryan, seorang anak laki-laki berusia 13 tahun, membuka matanya perlahan. Pandangannya kosong, dan ia tidak menunjukkan tanda-tanda semangat. Jam di meja kecil di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 05.00 pagi.
Dengan gerakan malas, Ryan bangkit dari tempat tidur, menyeret langkah menuju kamar mandi. Setelah mencuci muka dan mengambil wudhu, ia melaksanakan sholat Subuh. Tidak ada doa panjang yang ia panjatkan, hanya rutinitas yang ia lakukan tanpa ekspresi. Ryan adalah anak yang dingin dan cenderung menutup diri.
Setelah selesai, ia berganti seragam putih biru, menyisir rambutnya seadanya, lalu menyandang tasnya. Tanpa sepatah kata, ia keluar dari kamar, melewati ibunya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. "Ryan, makan dulu," kata ibunya lembut.
"Tidak lapar," jawab Ryan singkat tanpa menoleh, lalu melangkah keluar rumah. Di depan rumah, ia bersandar di pagar, menunggu mobil antar jemput. Udara pagi terasa dingin, tapi Ryan hanya berdiri diam, tatapannya kosong menatap jalanan. Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar, dan mobil putih itu berhenti di depannya.
Ryan masuk ke mobil tanpa bicara, hanya mengangguk kecil kepada sopir. Di dalam mobil, beberapa temannya sudah mulai bercanda dan tertawa. Namun, ketika mereka melihat Ryan masuk, tawa mereka berubah menjadi bisikan dan ejekan yang jelas-jelas diarahkan padanya.
"Eh, si dingin masuk lagi. Pasti hari ini nggak ngomong apa-apa kayak biasa," ujar salah satu anak dengan suara keras, diikuti tawa teman-temannya.
Ryan hanya diam, menatap keluar jendela, membiarkan kata-kata itu lewat begitu saja. Ia sudah terbiasa dengan hal semacam ini.
Ketika sampai di sekolah, suasana di kelas pun tidak jauh berbeda. Selama pelajaran, Ryan mencoba fokus, tapi ia tahu ada tatapan-tatapan menghina yang terus mengarah padanya. Saat jam istirahat tiba, ia memilih tetap duduk di kelas, membuka buku di mejanya. Namun, keputusannya itu malah mengundang masalah.
Beberapa anak mendekati mejanya. "Hei, kenapa nggak ke kantin? Nggak punya uang, ya?" tanya seorang anak dengan nada mengejek sambil menepuk meja Ryan. Ryan tidak menjawab, hanya melirik mereka dengan pandangan dingin. Tapi itu justru memancing amarah. Salah satu dari mereka menarik buku dari tangan Ryan dan melemparkannya ke lantai.
"Ayo, ngomong dong! Atau kamu cuma bisa diam kayak patung?" ejek anak lain sambil mendorong bahu Ryan. Ryan tetap diam, tapi napasnya mulai memburu. Saat ia hendak mengambil bukunya yang terjatuh, salah satu anak menginjaknya. "Eh, buku ini mahal nggak sih? Atau jangan-jangan cuma pinjaman?" katanya sambil tertawa keras.
Ryan mengepalkan tangannya, menahan emosi yang sudah hampir meledak. Namun, sebelum ia sempat bereaksi, bel masuk berbunyi. Anak-anak itu pergi sambil tertawa, meninggalkan Ryan yang masih duduk di tempatnya.
Hari itu berlalu dengan penuh tekanan. Ketika akhirnya bel pulang berbunyi, Ryan segera keluar menuju mobil jemputannya, berusaha menghindari kontak dengan siapa pun.
Namun, saat ia berjalan di trotoar menuju mobil, sesuatu menarik perhatiannya. Di sudut jalan yang sepi, seorang pria berjubah hitam berdiri diam. Wajahnya hampir sepenuhnya tertutup, hanya menyisakan mulut dan hidungnya yang terlihat. Tatapannya terasa menusuk meski matanya tidak terlihat.
"Ryan,"panggil pria itu dengan suara serak namun dalam.
Ryan berhenti, alisnya berkerut. "Siapa kau?" tanyanya dingin. Pria itu tersenyum tipis. "Seseorang yang tahu apa yang kau alami. Aku melihat bagaimana mereka memperlakukanmu. Aku tahu betapa sakitnya dirimu."
Ryan terdiam\, tapi dalam hatinya\, ia merasa ngeri sekaligus penasaran. **"Apa maumu?". "****Bukan soal apa yang aku mau\, Ryan. Ini soal apa yang kau mau\," **jawab pria itu. "Aku bisa memberimu kekuatan untuk membuat mereka merasakan penderitaan yang sama. Yang perlu kau lakukan hanya menjawab ya."
Ryan tertegun. Tawaran itu terdengar menggoda, tetapi ada sesuatu yang gelap dan menakutkan dalam cara pria itu berbicara. "Aku tidak butuh bantuanmu," jawabnya dingin, meskipun suara dalam kepalanya berbisik lain.
Pria itu terkekeh pelan. "Kau pikir rasa sakit ini akan berhenti begitu saja? Pikirkan tawaranku, Ryan. Aku selalu ada di sini... menunggu jawaban darimu"
Sebelum Ryan sempat menjawab, suara klakson mobil mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh, melihat mobil jemputannya berhenti tak jauh dari sana. Ketika ia kembali menoleh ke arah pria berjubah hitam, pria itu sudah menghilang, seolah ditelan bayangan.
Dengan langkah ragu, Ryan masuk ke mobil. Selama perjalanan pulang, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok pria itu. Siapa dia? Bagaimana dia tahu namanya? Dan yang terpenting, apa maksud dari tawaran balas dendam itu?
Saat tiba di rumah, Ryan hanya melempar tasnya ke tempat tidur dan duduk di sudut kamar, pikirannya masih terguncang. Ia memutar kembali kejadian hari itu di kepalanya hanya ejekan, hinaan, dorongan, dan buku yang diinjak yang ia terima hari itu. Tawaran pria berjubah hitam itu terus bergema di pikirannya.
“Seandainya aku bisa menghentikan mereka…” gumam Ryan tanpa sadar. Ia memejamkan mata, mencoba mengabaikan pikiran-pikiran itu, tetapi perasaan marah dan rasa penasaran menguasainya. Entah sejak kapan, tubuhnya mulai terasa berat. Matanya semakin sulit dibuka, dan tanpa ia sadari, ia terlelap di sudut kamar. Namun, tidurnya tidak tenang. Dalam mimpi, bayangan pria berjubah hitam itu muncul lagi, berdiri di tengah kegelapan. "Ryan... waktumu hampir habis. Pilihannya tetap ada padamu," suara pria itu terdengar menggema, membuat Ryan merasa terjebak dalam pusaran bayangan.
Ryan terbangun dengan terengah-engah. Nafasnya tersengal, keringat membasahi dahinya. Ia memegang kepalanya yang terasa berat. Tawaran itu, mimpi itu... semuanya terasa nyata, seolah-olah pria itu benar-benar hadir."Siapa dia sebenarnya... dan kenapa aku merasa seperti ini?" gumam Ryan dengan nada frustrasi. Ia tidak tahu harus berbuat apa, tapi satu hal yang ia sadari kehadiran pria itu telah mengubah sesuatu dalam dirinya.
*********
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Ryan duduk di meja belajarnya dengan mata kosong, memandang tanpa fokus ke arah jendela. Hari-hari yang berlalu begitu suram, penuh penghinaan dan kekerasan yang terus menerus ia alami. Semakin lama, amarah itu terasa semakin sulit untuk ditahan, tetapi ia tidak tahu harus melampiaskannya ke mana.
Saat Ryan tiba di sekolah, ia sudah tahu apa yang akan menunggunya. Hery dan kelompoknya berdiri di lorong, menyeringai dengan rencana baru untuk mempermalukan dirinya. Langkah Ryan melambat, tetapi ia tidak memiliki tempat untuk melarikan diri. Tatapan penuh kebencian dari mereka terasa seperti jaring laba-laba, menjebaknya semakin dalam.
"Kau lambat sekali, Ryan," kata Hery sambil menepuk bahunya dengan kasar, tawa sinis terdengar dari teman-temannya. Ryan diam, memilih menunduk sambil mengepalkan tangannya dengan erat. Tapi diamnya itu malah membuat Hery semakin bersemangat untuk melancarkan aksinya. Dengan sekali gerakan, Hery menarik tas Ryan, membukanya, lalu membuang semua isinya ke lantai.
Buku-buku berhamburan di lantai, dan ponsel Ryan jatuh dengan suara keras yang memecah keheningan. Salah satu teman Hery mengambil ponsel itu, lalu melemparkannya ke tembok hingga pecah berkeping-keping. "Ups, maaf, tanganku licin," ejeknya sambil tertawa keras. Ryan hanya bisa menahan napas, rasa malu dan marahnya bercampur menjadi satu, tetapi ia tidak berani melawan.
Di tengah keributan itu, Ryan merasakan tatapan yang berbeda dari ujung lorong. Elma, seorang gadis dari kelas sebelah, berdiri diam memperhatikan dari jauh. Mata Elma tampak penuh empati, seolah-olah ingin menyampaikan bahwa ia mengerti penderitaan Ryan. Namun, ia tetap tidak bergerak, hanya berdiri di sana tanpa berkata sepatah kata pun.
Setelah puas mempermalukan Ryan, Hery dan teman-temannya meninggalkannya di lantai dengan barang-barang yang berserakan. Ryan berusaha mengumpulkan barang-barangnya sambil menahan air mata yang hampir tumpah. Saat itulah Elma akhirnya mendekat, menyodorkan selembar tisu tanpa berkata apa-apa. Ryan menerimanya dengan ragu, terkejut bahwa ada seseorang yang peduli di tengah kehancurannya.
"Terima kasih," gumam Ryan pelan, hampir tidak terdengar. Elma hanya tersenyum tipis dan membantunya mengumpulkan buku-buku yang berserakan. "Mereka tidak akan berhenti kalau kau diam saja," katanya lembut, tetapi nadanya penuh tekad. Ryan tidak menjawab, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tersentuh oleh kata-kata Elma.
Hari-hari berikutnya, Elma mulai mendekati Ryan lebih sering, mencoba membangun kepercayaan di antara mereka. Meski Hery dan kelompoknya terus melancarkan aksi bullying, Ryan merasa tidak sepenuhnya sendirian lagi. Namun, perlakuan Hery semakin menjadi-jadi mereka bahkan menempelkan catatan ancaman di mejanya setiap pagi. Pesan-pesan itu penuh ejekan, membuat Ryan semakin sulit untuk menemukan kedamaian di sekolah.
Suatu sore, Ryan duduk sendirian di taman belakang sekolah setelah olahraga. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya lebih lelah lagi menghadapi semua tekanan yang tidak pernah berakhir. Elma menemukan Ryan di sana, duduk dengan kepala tertunduk dalam diam. "Kau harus kuat," katanya, duduk di sebelah Ryan, mencoba menyemangatinya.
Ryan menatap Elma dengan mata yang penuh keraguan, tidak yakin ia bisa bertahan lebih lama. "Aku sudah mencoba, tapi rasanya tidak pernah cukup," balasnya lirih. Elma menggenggam bahu Ryan dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya. "Kau tidak harus melawan mereka sendirian," katanya, memberikan secercah harapan yang hampir pudar di hati Ryan.
Ketika Ryan pulang, bayangan pria berjubah hitam kembali muncul di benaknya, meski ia berusaha melupakannya. Suara samar seperti bisikan angin terdengar lagi, seolah mengikuti setiap langkahnya. "Mereka tidak akan berhenti, Ryan. Kau tahu itu," kata suara itu, terdengar sangat nyata meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya.
Ryan berhenti di tengah jalan, tubuhnya menegang, mencoba mencari sumber suara tersebut. Tiba-tiba, di bawah bayangan pohon besar, pria berjubah hitam itu muncul. Posturnya tegak, wajahnya tetap tertutup kecuali hidung dan mulut yang tampak tersenyum samar. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan," katanya dengan suara yang dalam dan menghantui.
Pria itu melangkah lebih dekat, tetapi Ryan tetap berdiri terpaku di tempatnya. "Aku bisa memberikanmu kekuatan untuk membalas mereka," lanjut pria itu, nadanya dingin namun penuh godaan. "Hery dan semua yang pernah menyakitimu akan mendapatkan balasannya. Kau hanya perlu berkata 'ya'."
Sebelum Ryan sempat menjawab, suara klakson mobil menghentikan percakapan mereka. Mobil antar jemput sekolah tiba dengan lampu depannya yang terang, menyinari tempat pria itu berdiri. Ketika Ryan menoleh kembali, pria berjubah itu telah menghilang, menyisakan udara dingin yang menusuk tulang.
Dalam perjalanan pulang, Ryan hanya terdiam, pikirannya terus dihantui oleh tawaran itu. Ada sesuatu yang mengerikan namun memikat dalam cara pria itu berbicara, seolah-olah ia tahu setiap luka di hati Ryan. Ketika Ryan tiba di rumah, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas biasa, tetapi bayangan pria itu tetap hidup di benaknya. Malam itu, saat Ryan akhirnya tertidur, mimpi aneh menyelimuti tidurnya.
Dalam mimpi itu, Ryan berdiri sendirian di tengah kegelapan tanpa ujung. Di kejauhan, suara pria berjubah hitam terdengar, menggema di sekelilingnya. "Aku akan menunggumu, Ryan," katanya, nadanya terdengar seperti janji sekaligus ancaman. Ryan terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi dahinya, dan ia mendapati dirinya dikelilingi oleh kegelapan yang terasa lebih menyesakkan dari biasanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!