NovelToon NovelToon

Cintamu Membalut Lukaku

Bab 1 Kehidupan Yang Memilukan

Pagi ini, seorang gadis berkulit putih, wajah cantik natural dengan rambut panjang sepinggang baru saja selesai mencuci setumpuk pakaian yang sebelumnya memenuhi baskom di kamar mandi. Ia terlihat sangat kelelahan. Badannya sudah lunglai berdiri di tempat tali penjemuran kain dan ia mulai menjemur semua baju yang sudah ia cuci bersih.

Setelah selesai menjemur pakaian, badannya langsung luluh lantah ketanah yang dihiasi rumput hijau lembut di sekitar nya. Ia rehat sejenak untuk melepas letih yang ia rasakan.

Saat itu ia menatap langit yang biru cerah menghadangnya, matanya berkaca kaca.

"Pa aku capek" ucapnya pilu. Gadis itu adalah Aqila Safira Wijaya yang biasa dipanggil Qila. Ia tinggal bersama ibu tirinya dan kakak tirinya.

Hidup Aqila benar benar hancur setelah ditinggal pergi papanya. Sejak umur 10 tahun, Aqila sudah ditinggal ibu kandungnya karna ibunya yang menderita sakit jantung. Ayah Aqila yang awalnya merasa kasian dengan Aqila karna gadis itu sudah tidak memiliki ibu memilih menikah dengan Miranda Velora, ibu tiri Aqila sekarang yang sebenarnya bertujuan untuk mengurus putrinya itu. Ia berharap Aqila terus dapat merasakan peran seorang ibu dalam hidupnya.Ia ingin Aqila selalu bahagia dan tumbuh menjadi anak yang ceria. Namun ternyata keputusan yang diambil oleh papanya Aqila adalah keputusan yang salah.

Semenjak papa Aqila meninggal karna kecelakan mobil, membuat Aqila menjalani penderitaan sepanjang hidupnya. Ibu tiri dan saudara tiri Aqila yang dulunya sangat sayang dengan Aqila sifatnya berubah drastis setelah ayah Aqila meninggal. ibu dan kakak tirinya itu selalu menyiksanya dan memarahinya. Bahkan Aqila juga disuruh bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ia juga di paksa untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan tidak boleh beristirahat sedikitpun. Uang hasil kerja keras Aqila juga diambil ibu tirinya. Ia sama sekali tak dapat merasakan hasil kerja kerasnya.

"Qila!!!" terdengar suara teriakan keras di kupingnya, dan beberapa detik setelah itu juga terdengar suara bunyi sepatu melangkah ke arahnya.

"Kamu ini benar benar ya Aqila, ngapain kamu disitu? kenapa kamu santai santai? aku ini sudah capek pulang kuliah dan kamarku belum kamu bereskan juga? " Ucap kakak Aqila Yang biasa dipanggil Areta dengan nada marah.

Aqila langsung berdiri dari duduknya dan menunduk. "Ma.. maaf kk, aku belum sempat beresin kamar kakak.Tadi habis pulang kerja, aku langsung nyuci semua pakaian mama dan kakak yang sudah menumpuk di kamar mandi "

"Halah jangan banyak alasan Qila, kamu tau nggak sih, aku tu udah capek seharian kuliah dan ketika aku pulang, aku harus disambut dengan kamar yang berantakan seperti itu? kamu ini benar benar nggak bertanggung jawab ya Qila! " bentak Areta.

Aqila menatap tanah, berusaha menahan air matanya yang hampir tumpah. Ia tahu kakak tirinya itu tidak pernah peduli dengan apa yang dia lakukan. Selama ini, hidupnya selalu terfokus pada pekerjaan rumah dan mencari uang untuk keluarga yang tidak pernah menghargainya.

Namun, belum selesai rasa sesak itu, suara langkah berat lainnya terdengar. Miranda, ibu tiri Aqila, muncul dengan wajah datar. Ia baru saja selesai menonton acara kesukaannya di televisi, tampak santai tanpa sedikit pun merasa bersalah melihat keadaan rumah yang berantakan. Melihat keributan di luar, Miranda hanya mengangkat alis.

“Qila!” suara Miranda datar namun mematikan. “Kenapa kamar Kak Areta belum dibersihin? Kenapa kamu nggak bisa bekerja dengan benar?”

Qila menundukkan kepalanya lebih dalam, menyeka keringat yang mengalir di dahi. “Aku baru pulang kerja, ma. Aku belum sempat beristirahat. Bahkan saat aku sampai dirumah, aku juga harus mencuci semua pakaian kotor mama dan kak Areta.Aku cuma manusia, ma. Aku butuh waktu.”

Namun, Miranda tidak bisa menahan amarahnya. “Jangan banyak alasan! Semua yang kamu lakukan itu cuma tugas rumah! Kamu kerja itu karena kamu harus bantu kami, tahu? Kalau nggak, kamu harus cari tempat tinggal lain!” Miranda mendekat dengan wajah yang semakin marah, membuat qila semakin merinding.

Qila hanya bisa menahan napas, merasa hatinya semakin hancur. Air matanya hampir tumpah, tapi ia berusaha untuk tetap tegar. Ia ingin berteriak, ingin membela diri, namun suara Miranda dan Areta terus mengalahkan suaranya. Tak ada yang peduli, tak ada yang melihat semua yang dia lakukan.

Tiba-tiba, Miranda melangkah maju, tangannya yang kasar menjambak rambut aqila dengan keras. “Aku nggak ingin dengar alasan lagi, Aqila! Bersihkan kamar Kak Areta sekarang juga, atau aku yang akan bereskan dirimu!”

Rasa sakit yang menghantam kulit kepalanya semakin memuncak. Qila ingin menjerit, ingin berlari, namun tubuhnya tak mampu bergerak. Ia terjatuh, merasakan sakitnya bukan hanya di fisik, tetapi juga di hatinya. Setiap kata-kata kejam itu bagaikan pisau yang menancap di sanubari. Semua pengorbanannya, semua jerih payahnya, seolah tak berarti sama sekali.

“Aku nggak butuh alasan, kamu cuma harus kerja dan bikin kami senang!” Miranda melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Aqila yang hanya bisa menangis diam-diam.

Areta, yang berdiri di samping, memandangnya dengan sinis. “Jangan harap bisa hidup tenang di sini. Kamu cuma pengganggu. Aku nggak peduli seberapa keras kamu bekerja, itu bukan urusanku!”

Qila menatap kedua sosok yang seharusnya menjadi keluarga terdekatnya. Keduanya tak pernah peduli dengan hidupnya, tak pernah memahami perjuangannya. Ia hanya merasa dirinya semakin terperangkap dalam hidup yang penuh ketidakadilan. Tak ada ruang untuk bahagia, tak ada ruang untuk impian. Hanya ada tugas, kerja, dan beban yang tak pernah selesai.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸

 Hari ini Aqila akan memiliki kesibukan yang luar biasa. ia hari ini masuk kerja dan harus bangun pagi pagi sekali untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Bangun tidur, Qila segera mencuci mukanya kekamar mandi lalu melangkah keluar kamar menuju dapur.

la harus memasak sarapan pagi, karna sebentar lagi kakak tirinya akan bangun dan pergi kuliah. Semua makanan harus tersedia di atas meja makan sebelum kakaknya itu bangun dan turun ke meja makan.

Dengan cepat dan sigap Aqila berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia segera mandi dan berkemas karna ia akan pergi kerja sekarang. Saat telah selesai berkemas ia segera turun tangga. Ia melihat Areta dan mamanya sedang enak-enak sarapan pagi di meja makan.

"Ma, kak, aku pamit kerja dulu ya" ucap Qila hendak menyalami tangan mama dan kakaknya secara bergantian namun mamanya malah menepis tangan Aqila.

"Udah nggak usah salam salam segala, sekarang cepat kamu pergi kerja, sebelum nanti kamu terlambat. Saya nggak mau kamu dipecat dan kita nggak bisa makan enak lagi kayak gini" ucap Miranda acuh dan terus saja mengunyah makanannya.

"Iya benar tuh, nanti kalau kamu dipecat, siapa lagi yang bisa bayarin biaya kuliah aku. Ingat ya Qila, aku kuliah gini juga untuk mengubah nasib keluarga kita. Kan sejak papa kamu meninggal, kita jadi bangkrut dan harus hidup susah seperti ini" ucap Areta yang semakin memojokkan Aqila.

Aqila hanya bisa menghembuskan nafas berat mendengar omongan mama dan kakak tirinya itu. jujur perkataan itu sangat menyakiti hati Aqila, namun ia hanya bisa menahan sesak didadanya.

"Yaudah kalau gitu, aku pergi dulu ya ma, kak... assalamualaikum" pamitnya berlalu pergi. Namun Areta dan mamanya hanya acuh tak peduli.

Aqila berjalan lunglai menuju tempat kerjanya, jujur ia merasa sangat lelah dan letih. Namun mau gimana lagi? kalau Aqila tak bekerja, siapa lagi yang bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Mama tirinya itu tidak mau tau, ia hanya sibuk bersantai santai dirumah menikmati hasil kerja keras Aqila tampa mau membantu sedikit pun. Jujur Aqila sangat iri melihat Areta yang bisa kuliah mengejar mimpinya, sedangkan ia harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup mereka dan membiayai biaya kuliah Areta. Aqila bahkan pernah berpikir dosa apa yang ia lakukan hingga memiliki hidup penuh tekanan dan tuntutan seperti ini.

"Qila cepat qila, jangan berjalan lambat seperti itu! nanti kamu bisa terlambat dan dimarahi bu bos" ucap Mila teman kerja qila saat melihat Aqila berjalan lambat menuju restoran tempat ia bekerja.

Hari ini pengunjung lumayan ramai di tempat kerja Aqila. ia sangat kewalahan harus mencuci piring kotor yang sudah seperti tumpukan gunung di wastafel.

"Akhirnya selesai juga" ucapnya saat menyelesaikan semua tumpukan piring kotor tersebut. Qila menyeka keringat yang membasahi keningnya.

Setelah seharian bekerja, Aqila mendapat upah Lima Puluh Ribu sehari. Namun jika sudah mencapai sebulan bekerja baru ia akan mendapatkan uang gaji sebesar Satu Juta Rupiah. Walaupun begitu, Aqila merasa bersyukur setidaknya dengan pekerjaan ini ia masih bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Malam itu, udara terasa dingin saat Aqila melangkah pulang dari tempat kerjanya. Ia memilih berjalan kaki seperti biasa karena jarak rumah dan tempatnya bekerja tidak terlalu jauh. Suara langkah kecilnya terdengar berirama di trotoar yang sepi, diiringi pikiran-pikiran yang bercampur aduk.

Tiba-tiba, ponsel di tasnya berdering, memecah keheningan. Dengan cepat Aqila merogoh tasnya dan melihat nama yang tertera di layar, Sayangku Daniel. Hatinya berdebar sejenak sebelum ia menggeser ikon hijau.

“Halo, sayang,” sapanya lembut.

“Aqila, kamu di mana sekarang?” suara di seberang terdengar dingin, hampir tanpa emosi.

“Aku di jalan pulang, sayang. Baru selesai kerja,” jawab Aqila sambil melanjutkan langkahnya.

“Ketemu aku sekarang. Di taman biasa,” perintah Daniel tanpa memberi ruang untuk diskusi.

Aqila terdiam sesaat, merasa lelah setelah seharian bekerja. Namun, ia tahu bahwa menolak permintaan Daniel hanya akan membuat keadaan semakin buruk. “Baik, sayang. Aku segera ke sana.”

Langkahnya berbelok menuju taman tempat mereka biasa bertemu. Meskipun tubuhnya terasa letih, Aqila terus berjalan, berharap bisa meredakan amarah Daniel seperti biasanya.

Saat tiba di taman, ia melihat Daniel berdiri di bawah lampu taman, bersandar dengan tangan disilangkan di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal. Aqila mendekat dengan hati-hati.

“Kenapa kamu selalu sibuk, Qila? Apa kamu nggak pernah punya waktu buat aku?” tanyanya langsung dengan nada dingin.

Aqila mencoba tersenyum, meski dalam hati ia merasa bersalah. “Aku kerja, sayang. Aku harus bantu keluargaku. Kalau nggak aku, siapa lagi?”

“Tapi aku ini pacarmu, Qila! Apa kamu nggak peduli sama aku? Aku capek harus selalu nunggu kamu yang sibuk nggak karuan!” seru Daniel dengan nada tinggi.

Aqila mencoba meraih tangan Daniel, tapi ia menghindar. “Maaf, Dan. Aku tahu kamu kecewa, tapi aku nggak bermaksud mengabaikanmu. Aku sayang sama kamu. Kamu adalah satu-satunya orang yang selalu ada buat aku.”

Daniel menatap Aqila dengan tajam. “Kalau gitu, kenapa kamu nggak pernah kasih waktu buat aku? Atau kita sudahi saja semuanya?”

Mendengar itu, hati Aqila terasa seperti dihantam batu besar. Air matanya mulai menggenang. “Jangan, Dan. Aku mohon. Aku nggak mau kehilangan kamu. Kalau aku kehilangan kamu, aku nggak punya siapa-siapa lagi. Kamu satu-satunya yang selalu bikin aku semangat.”

Kemarahan Daniel sedikit mereda melihat Aqila yang hampir menangis. Ia menghela napas panjang dan berkata, “Oke, aku nggak akan putus sama kamu. Tapi kamu harus bantu aku.”

“Bantu apa?” tanya Aqila cepat.

“Aku ada tugas kuliah yang harus selesai malam ini, tapi aku harus jenguk teman yang sakit. Jadi kamu kerjakan tugasnya untuk aku.”

Aqila tertegun. Tubuhnya sudah begitu lelah, tapi ia tak ingin Daniel kembali marah. “Baik, aku akan kerjakan,” jawabnya dengan suara yang lirih namun tegas.

Daniel tersenyum kecil. “Itu baru pacarku.”

Aqila tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa ini bukanlah cinta yang sehat. Tapi rasa takut kehilangan Daniel selalu menutup matanya dari kenyataan. Ia memutuskan untuk terus berjuang, meski mungkin itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.

*********

Hai readersss, nggak nyangka kita ketemu lagi, aku senang kalian mampir ke cerita baru aku, makasih ya... 😊 sebelum mampir kesini kalian udah baca cerita aku yang lama belum? judulnya Kekasih Halalku, ceritanya bagus juga kok. buruan mampir dulu, dijamin kalian suka hehe😄

Jangan lupa kasih Like, vote and komennya ya.. man.. teman... 😉

Bab 2 Pengkhianatan

Aqila baru sampai dirumahnya pukul 9 malam. Ia benar benar merasa sangat lelah. sesampai nya dirumah ia langsung mandi untuk membersihkan badannya yang sudah terasa sangat lengket setelah seharian bekerja. Setelah selesai mandi. Qila segera mengerjakan tugas pacarnya Daniel.Walaupun tidak kuliah, bisa dibilang Aqila adalah anak yang sangat pintar. Cuman terhalang ekonomi aja. Jika papanya masih hidup, ia yakin pasti bisa merasakan kuliah seperti teman teman seusianya pada umumnya.

"Qila!" terdengar suara teriakan Areta di balik pintu kamar aqila.

"Iya kk"

"Buka pintunya! Aku mau ngomong sama kamu" Ucapnya, dan Aqila langsung berjalan menuju pintu kamarnya lalu membukanya. Areta langsung masuk ke kamar aqila dan memberikan Aqila 1 buah buku kosong dan 1 buku materi yang bisa dibilang cukup tebal.

"I.. ini apa kk? Kenapa kakak ngasih aku buku? "

"Itu tugas, aku! Aku disuruh rangkum tu isi buku sama dosen aku dari bab 1 dan bab 2, besok aku juga ujian. Jadi kamu kerjain ya.. aku mau keluar" Ucapnya santai.

"Ta.. tapi kk, aku.. aku nggak bisa"

"Maksud kamu apa Qila? kamu nggak mau bantuin aku? aku ini kakak kamu lo Qila? masa kamu malas sih nolongin kakak sendiri" Ucap areta sedikit emosi.

"Bukan gitu kk, tapi sekarang aku juga lagi ngerjain tugasnya Daniel. Tadi dia sempat minta tolong sama aku buat ngerjain tugasnya. Katanya, dia ada urusan ngejenguk temannya yang sakit. Jadi nggak sempat ngerjain.Dia nyuruh aku" Ucap Qila lembut.

"Ha? Daniel nyuruh kamu ngerjain tugasnya? dan dia bilang dia mau ngejenguk temannya? " tanya areta dengan kening berkerut. Namun detik berikutnya ia malah tersenyum.

Qila mengangguk. "iya kk, kakak kenapa senyum senyum gitu? " Aqila menatap aneh Areta karna wanita itu senyum senyum sendiri.

"Aku nggak papa, tapi walaupun kamu ngerjain tugas Daniel, kamu juga harus ngerjain tugas aku Qila. Aku nggak mau tau pokok nya, kamu harus bisa selesain tugas ini, besok dikumpul! " Ucap Areta penuh penekanan.

"Ta.. tapi kk? "

"Nggak ada tapi tapian Qila! udah aku mau pergi dulu bay" Ucapnya berlalu pergi meninggalkan Aqila yang menatapnya dengan tatapan tak percaya.

Setelah kepergian kakaknya, Qila segera menutup pintu kamar dan meremas wajahnya gusar.

"Aku capekkk! ini bener semua orang nggak ada yang ngertiin aku? " Ucapnya marah sekaligus kesal. Bagaimana tidak? Aqila baru saja pulang kerja seharian. Bahkan saat tiba dirumah ia juga tidak bisa istirahat karna harus mengerjakan tugas Daniel. Belum kelar tugas Daniel sekarang malah ditambah lagi tugas Areta yang juga lumayan banyak. Qila rasa ia benar benar tidak akan tidur malam ini.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Areta melangkah masuk ke klub malam yang penuh gemerlap lampu-lampu neon, dengan musik menghentak yang mengisi ruangan. Ia mencari sosok pria yang sudah membuat janji dengannya. Di sudut ruangan, Daniel terlihat gelisah, mengetuk meja dengan ujung jarinya sambil sesekali memeriksa jam tangan.

"Hy, sayang," sapa Areta dengan suara lembut, menghampirinya.

Daniel mendongak dengan tatapan tajam. "Kamu kok lama banget sih? Aku udah hampir setengah jam nunggu di sini. Tau nggak, capek!"

Areta hanya tersenyum tipis dan mengecup pipinya sekilas. "Maaf, sayang. Tadi macet banget di jalan. Tapi sekarang aku di sini, kan?" katanya sambil duduk di sebelahnya.

Daniel mendengus, tapi kemudian menghela napas. "Ya udahlah. Untung aku nggak pulang."

Areta terkikik kecil. "Kamu marah beneran?" godanya, sambil memainkan rambutnya.

Daniel menggeleng, lalu memesan minuman untuk mereka berdua. Namun, sorot matanya berubah serius saat bertanya, "Ngomong-ngomong, Aqila nggak tau kan kalau kita ketemuan?"

Areta tersenyum penuh percaya diri. "Tenang aja, dia nggak akan pernah tau. Lagi pula, sekarang dia sibuk di rumah."

Daniel mengernyit heran. "Sibuk? Kamu yakin?"

"Tentu. Kamu kan nyuruh dia ngerjain tugas kuliah kamu, kan?" jawab Areta santai.

Daniel tertawa kecil. "Kok kamu tau?"

Areta mendekat, tatapannya tajam tapi penuh dengan godaan. "Ya iyalah, aku juga nyuruh dia ngerjain tugas aku. Jadi sekarang, aku yakin dia lagi lembur ngerjain tugas dua orang. Kasian ya?"

Daniel terdiam sejenak sebelum tertawa keras. "Serius kamu? Aduh, Areta, kamu kejam banget. Tapi aku suka caramu."

Areta tersenyum licik. "Sayang, kalau aku nggak kejam, aku nggak bakal cocok sama kamu."

Daniel tertawa keras.Tapi aku jujur, aku nggak pernah bosen manfaatin Aqila. Dia itu gampang banget disuruh ini-itu."

Areta mengangkat alis. "Tapi kenapa kamu nggak putus aja sama dia? Bukannya lebih gampang kalau nggak ada drama?"

Daniel menatap Areta dengan senyuman penuh rencana. "Kamu nggak ngerti ya? Aqila itu aset, sayang. Dia nggak bakal nolak apa pun yang aku suruh. Mau tugas kuliah, mau bantu kerjaan, semuanya dia kerjain tanpa nanya-nanya."

Areta tertawa kecil sambil mengaduk minumannya. "Berarti dia cuma pacar di atas kertas, ya? Sementara aku yang kamu datengin buat bersenang-senang?"

"Kurang lebih begitu," jawab Daniel, menyesap birnya dengan puas. "Aqila itu backup plan. Kamu yang utama."

Areta mengangguk setuju, lalu menatap Daniel dengan tatapan tajam. "Kalau dia tau semua ini, kamu pikir dia bakal gimana?"

Daniel tertawa sinis. "Dia? Paling cuma nangis. Udah gitu, selesai. Dia nggak punya nyali buat ninggalin aku. Aku tahu dia terlalu lemah buat itu."

Areta tersenyum penuh arti, lalu mengangkat gelasnya. "Kalau begitu, untuk malam ini dan rahasia kita yang manis."

Daniel menyambut gelasnya. "Dan untuk Aqila, wanita bodoh yang bikin hidup kita jadi mudah."

Detik itu mereka langsung tertawa terbahak- bahak sambil menikmati bir yang terus dipesan Daniel.

Pukul dua dini hari, Aqila akhirnya menyelesaikan semua tugas milik Daniel dan Areta. Puluhan lembar kertas penuh dengan tulisan tangannya tergeletak di atas meja belajarnya. Jemarinya terasa pegal karena menulis tanpa henti selama berjam-jam.

Ia menghela napas panjang, merasa lega. "Akhirnya selesai juga," gumamnya sambil merapikan kertas-kertas tersebut.

Meski tubuhnya lelah, Aqila tersenyum kecil. Setidaknya tugas-tugas itu bisa segera diberikan kepada pemiliknya esok hari. Dengan gerakan pelan, ia menumpuk semua kertas, menyusunnya dengan rapi di atas meja, lalu bangkit dari kursinya.

Saat hendak merebahkan diri di kasur, suara bising tiba-tiba terdengar dari luar kamar. Aqila mengerutkan kening, berjalan pelan menuju pintu, dan mendengar jelas suara Miranda memarahi Areta.

"Areta! Jam segini kamu baru pulang? Kamu kira ini rumah kos apa?" suara Miranda terdengar lantang, penuh amarah.

"Ya ampun, Ma, bisa nggak sih nggak ribut? Aku capek banget, mau tidur," balas Areta santai, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada tinggi ibunya.

Aqila terdiam di balik pintu, mendengar percakapan itu dengan cermat. Miranda masih melanjutkan omelannya. "Kamu itu perempuan, Areta! Pulang larut malam begini, apa kamu nggak mikir?"

Areta hanya mengangkat bahu, melepas sepatunya dengan malas. "Mikir? Ma, aku udah gede. Terserah aku dong mau pulang jam berapa."

"Areta! Kamu nggak bisa seenaknya!" Miranda semakin geram, tapi Areta tak memedulikan.

"Udahlah, Ma. Aku ngantuk," jawab Areta, menaiki tangga menuju kamarnya tanpa sedikit pun menoleh. "Mau marah-marah lagi, besok aja ya."

Miranda mendesah frustrasi, membiarkan putrinya berlalu.

Dari balik pintu, Aqila tertegun. Jam dua pagi? Kak Areta ada urusan apa sampai pulang selarut ini? pikirnya, tak habis pikir.

Namun, detik berikutnya ia menggelengkan kepala, menepis rasa ingin tahunya. Toh, itu bukan urusannya. Jika ia mencoba menegur Areta, ia tahu persis apa yang akan terjadi. Areta pasti akan memarahi, bahkan membentaknya habis-habisan.

"Aku nggak mau cari masalah," gumam Aqila pelan. Ia menutup pintu kembali, berjalan menuju kasurnya, dan merebahkan tubuhnya yang lelah.

Meski pikirannya masih dihantui rasa penasaran, rasa kantuk segera mengambil alih. Dalam hitungan menit, Aqila pun terlelap.

🌸🌸🌸🌸🌸

Pagi itu, seperti biasa, Aqila bangun lebih awal dari siapa pun di rumah. Meski tubuhnya masih lelah setelah begadang menyelesaikan tugas Areta dan Daniel, ia tetap melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di meja makan, ia menata piring dan sendok dengan rapi, memastikan semuanya siap sebelum kakaknya dan Miranda bangun.

Setelah selesai makan sendiri, Aqila membawa tumpukan kertas tugas milik Areta ke ruang tengah. Saat ia hendak keluar rumah, suara langkah kaki Areta terdengar menuruni tangga.

"Kak, ini tugas Kakak yang sudah selesai," kata Aqila, menyodorkan kertas itu dengan hati-hati.

Areta meraih tugas itu dengan ekspresi malas, menatap sekilas lalu meletakkannya di meja tanpa sepatah kata. "Kak aku pamit ya. Aku mau ke tempat kerja," tambah Aqila, mencoba tersenyum meski hatinya terasa perih.

Namun sebelum Aqila sempat melangkah pergi, Areta memanggilnya. "Eh, tunggu dulu."

Aqila menghentikan langkahnya dan berbalik. "Iya, Kak?"

"Tugasnya Daniel mana?" tanya Areta sambil menatap Aqila tajam.

"Udah selesai, Kak. Aku rencananya bawa ke tempat kerja aja, nanti biar Daniel jemput di sana," jawab Aqila dengan tenang.

Mendengar itu, Areta mengerutkan dahi. "Jangan, kamu kasih tugas itu ke aku aja. Nanti aku yang kasih ke dia."

Aqila menatap Areta bingung. "Kenapa Kakak repot-repot? Biasanya Kakak nggak peduli soal kayak gini."

Areta menghela napas panjang, menatap Aqila dengan wajah datar. "Aku sekampus sama dia, jadi lebih gampang buat aku kasih tugasnya. Lagi pula aku nggak mau nanti Daniel ke tempat kerja kamu, bikin kamu nggak fokus. Kalau kamu sampai bikin masalah di sana, Mama pasti bakal marah besar."

Aqila sempat tertegun, mencoba mencerna ucapan kakaknya. Tumben sekali Areta bersikap seperti ini. Namun, ia memilih mengangguk saja. "Baiklah, Kak. Terima kasih."

Areta mendengus kecil. "Aku cuma nggak mau ribet aja. Udah sana berangkat."

Saat itu, Miranda muncul dari ruang tengah, duduk di meja makan sambil menunggu Areta menyusul. Tanpa sedikit pun menoleh ke Aqila, Miranda berkata, "Hari ini kamu pulang lebih cepat, kan? Kerjaan rumah numpuk, cepetan selesaikan semuanya."

"Iya, Ma," jawab Aqila pelan, menunduk dalam.

Saat Aqila berbalik untuk pergi, Miranda menambahkan dengan nada dingin, "Dan jangan bikin masalah di tempat kerja. Kalau sampai kamu dipecat, aku nggak tahu lagi siapa yang bisa kami andalkan di rumah ini."

Aqila menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, bagi Miranda dan Areta, dirinya hanya dianggap alat untuk menyelesaikan pekerjaan dan mencari uang. Namun, ia memilih tetap diam.

"Baik, Ma," balasnya dengan suara hampir tak terdengar.

Setelah berpamitan, Aqila melangkah keluar rumah. Hatinya terasa berat, tapi ia mencoba tersenyum, meski senyum itu hanya untuk menutupi luka yang semakin dalam. Ia melangkah menuju tempat kerjanya dengan doa di hati, berharap hari ini tidak membawa beban lebih berat lagi.

*********

Tetap dukung cerita ini dengan vote, like, and komennya ya... jangan lupa follow juga akun ini..☺

Bab 3 Diusir dari Rumah

Pagi itu, Aqila tiba di tempat kerjanya seperti biasa. Hari Jumat adalah hari yang berbeda di tempat ia bekerja. Restoran tempatnya mencari nafkah selalu tutup lebih awal setiap Jumat karena pemiliknya mengadakan pertemuan mingguan dengan seluruh staf.

"Qila, jangan lupa ya, kita tutup lebih cepat hari ini," ujar supervisornya saat melihat Aqila sedang menata meja pelanggan.

"Iya, Pak. Saya ingat," jawab Aqila sambil tersenyum.

Setelah beberapa jam bekerja, seperti yang direncanakan, restoran mulai tutup lebih awal. Aqila merasa hari ini ia punya sedikit waktu luang. Sebuah ide melintas di pikirannya. "Mungkin aku bisa menemui Daniel. Aku jarang ada waktu untuknya belakangan ini. Dia pasti senang kalau aku datang"

Dengan langkah cepat, Aqila memutuskan untuk pergi ke kampus tempat Daniel kuliah, yaitu Mahendra Luminary University. Kampus itu adalah salah satu universitas terbaik di Indonesia. terkenal dengan lingkungannya yang megah dan fasilitasnya yang luar biasa.

Saat tiba di gerbang kampus, Aqila merasa sedikit gugup. "Kampus ini besar sekali. Semoga aku bisa menemukannya tanpa mengganggu kegiatannya"

Ia mencoba menghubungi Daniel, tapi panggilannya tak diangkat. Mungkin dia sedang sibuk di kelas, pikir Aqila sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.

Setelah beberapa menit mencari, Aqila akhirnya tiba di taman kampus yang tenang dan asri. Di sanalah ia melihat dua sosok yang sangat dikenalnya. Langkah Aqila terhenti saat matanya tertuju pada salah satu dari mereka.

"Itu Kak Areta!"

Namun, perhatian Aqila segera tertuju pada pria di sebelah Areta. Hatinya mencelos saat mengenali pria itu, Daniel.

Awalnya, Aqila mencoba berpikir positif. Mungkin mereka sedang membicarakan tugas. Kak Areta memang bilang tadi pagi kalau dia akan menyerahkan tugas Daniel. Namun, tubuhnya membeku ketika melihat Daniel merangkul pinggang Areta dengan mesra. Tak hanya itu, Daniel menatap Areta penuh kasih sayang sebelum mengecup keningnya.

Aqila merasa seluruh dunianya runtuh. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Ia mencoba menyangkal kenyataan pahit itu, tapi pemandangan di depan matanya terlalu jelas untuk disalah artikan.

Dengan tangan gemetar, Aqila berjalan mendekati mereka. "Daniel!" serunya dengan suara bergetar.

Daniel dan Areta sama-sama menoleh ke arah suara itu. Wajah Daniel langsung berubah panik, sementara Areta terlihat santai, bahkan tersenyum kecil.

"Apa-apaan ini?" Aqila bertanya dengan suara pecah, menatap Daniel dengan mata penuh air mata. "Kenapa kamu melakukan ini? Dengan kakakku sendiri?"

Daniel tampak bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Namun, Areta langsung melangkah maju, ekspresinya santai seperti tidak ada yang salah.

"Oh, jadi kamu akhirnya tahu juga?" katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

Aqila menatap Areta dengan tatapan penuh luka. "Kak, kamu tahu dia pacarku! Kenapa… kenapa Kakak tega?"

Areta tertawa kecil, suaranya terdengar sinis. "Pacar? Dia nggak pernah anggap kamu pacar, Qila. Kamu itu cuma alat buat dia. Tugas kuliah, urusan kecil lainnya.itu aja fungsi kamu."

Aqila menoleh ke Daniel, berharap ada pembelaan darinya. "Daniel, katakan kalau ini nggak benar!"

Namun, Daniel hanya menunduk tanpa berkata apa-apa, seperti seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan.

Areta menatap Aqila dengan dingin. "Kamu tuh nggak pantes buat dia, Qila. Daniel butuh wanita yang bisa bikin dia bahagia, bukan cewek miskin yang cuma bisa kerja jadi pelayan."

Ucapan itu menusuk hati Aqila. Tangannya terkepal kuat, tubuhnya bergetar hebat. "Kak, aku ini adikmu! Kenapa Kakak tega ngomong kayak gitu?"

Areta mendengus. "Karena aku nggak peduli! Kamu tuh cuma beban di rumah, nggak ada gunanya sama sekali. Kalau aku jadi Mama, aku udah buang kamu sejak lama."

Pernyataan itu meledakkan emosi Aqila. "KAKAK KETERLALUAN! ASAL KAKAK TAU, KALAU BUKAN KARNA AKU, MUNGKIN KAKAK JUGA NGGAK AKAN BISA KULIAH DISINI! "teriaknya, air mata mengalir deras di pipinya.

Areta mendekat dengan tatapan penuh kebencian. "BERANI BANGET KAMU NGOMONG GITU SAMA AKU!" katanya sambil menjambak rambut Aqila dengan kasar.

Aqila meringis kesakitan, tapi kali ini ia tidak diam saja. Dengan sekuat tenaga, ia melawan, mendorong Areta hingga kakaknya hampir terjatuh. "AKU NGGAK TAKUT SAMA KAKAK LAGI! KAMU JAHAT! KAMU MENGHANCURKAN HIDUPKU!"

Areta tidak menyangka Aqila akan melawan. Wajahnya memerah karena marah. "DASAR ANAK KURANG AJAR!" teriaknya sambil kembali maju, mencoba mencengkeram Aqila.

Melihat keributan itu, Daniel akhirnya bergerak untuk melerai. "SUDAH, BERHENTI KALIAN!" katanya sambil memisahkan mereka berdua.

Namun, alih-alih membela Aqila, Daniel justru menatap Areta dengan penuh kekhawatiran. "Areta, kamu nggak apa-apa?"

Aqila tertegun. "Daniel, aku yang diserang, tapi kamu malah membelanya? Kamu pacarku, bukan dia!"

Daniel menghela napas berat, ekspresinya datar. "Qila, kamu ini ribet banget. Kamu pikir aku serius sama kamu? Kamu nggak pernah selevel sama aku."

Kata-kata itu membuat Aqila merasa seperti ditampar berkali-kali. Air matanya mengalir semakin deras. Dengan suara serak, ia berkata, "Kalau begitu, hubungan kita selesai. Aku nggak mau lagi ada urusan dengan kalian berdua!"

Daniel dan Areta sama-sama terkejut mendengar pernyataan itu. "APA?" tanya Areta, tidak percaya Aqila berani mengambil keputusan itu.

Aqila menatap mereka dengan penuh kepedihan. "Kalian boleh bersama, tapi ingat ini, aku tidak akan pernah memaafkan kalian!"

Tanpa menunggu jawaban, Aqila berlari keluar dari taman kampus. Air matanya terus mengalir saat ia melewati gerbang, merasa seluruh dunianya runtuh.

Sementara itu, beberapa mahasiswa yang menyaksikan keributan itu mulai berbisik-bisik. Tatapan mereka penuh rasa tidak percaya.

"Itu kan Areta? Kakaknya sendiri?"

"Dan Daniel… dia pacarnya Aqila, kan? Kok bisa sejahat itu?"

Areta merasa risih dengan tatapan-tatapan itu, sementara Daniel hanya berdiri terpaku, menyadari bahwa situasinya telah menjadi semakin rumit. Untuk pertama kalinya, mereka merasakan malu yang begitu besar.

Langkah Aqila terhenti sesaat saat tubuhnya menabrak seseorang. tubuh aqila langsung jatuh ke lantai. sementara pria itu hanya terhuyung kebelakang tapi tidak sampai jatuh. mata yang masih basah oleh air mata, ia mendongak dan melihat seorang pria berdiri di depannya. Tinggi, tegap, dengan sorot mata tajam yang memancarkan wibawa.

"Aku minta maaf," gumam Aqila terburu-buru.

Pria itu mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Namun, Aqila segera bangkit sendiri, menundukkan kepala, dan bergegas pergi tanpa menunggu reaksi. Pria itu hanya berdiri diam, memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh.

“Dia menangis…” gumam pria itu pelan.

Ia termenung sesaat. "Tapi… dia tidak terlihat seperti mahasiswa di sini," bisiknya, memerhatikan pakaian Aqila yang sederhana.

Saat ia masih memikirkan gadis itu, suara lembut namun penuh hormat membuyarkan lamunannya.

"Selamat datang, Nak Alvano. Senang sekali melihat Anda kembali ke kampus ini," sapa seorang pria paruh baya berpakaian rapi, penjaga gerbang utama.

Alvano Raffael Mahendra tersenyum tipis dan mengangguk sopan. "Terima kasih, Pak Arif. Lama sekali rasanya tidak mampir ke sini."

Pak Arif tersenyum hangat. "Tentu saja, kampus ini selalu menunggu kehadiran Anda. Bagaimana kabarnya, Nak Alvano?"

"Baik, Pak," jawab Alvano singkat. Ia melirik ke arah gerbang, masih memikirkan gadis yang baru saja menabraknya.

Pak Arif, yang sudah bertahun-tahun bekerja di kampus itu, mengerti bagaimana reputasi Alvano. Pria muda ini adalah putra tunggal Dimas Rasyid Mahendra, pemilik Mahendra Luminary University, salah satu kampus paling terkenal di negeri ini. Tidak hanya berasal dari keluarga terpandang, Alvano juga seorang dosen muda yang dikenal cerdas dan berwibawa. Dengan gelar doktor di bidang manajemen bisnis yang diraihnya di usia muda, Alvano menjadi idola banyak mahasiswa.

Senyum, tatapan dingin tapi karismatik, dan wajah tampannya membuatnya dikejar banyak wanita. Namun, Alvano selalu menjaga batas, menunjukkan profesionalitas tanpa celah.

"Kabar yang saya dengar, Anda akan mulai mengajar lagi di semester ini?" tanya Pak Arif dengan nada sopan.

Alvano mengangguk. "Benar, saya mengambil beberapa mata kuliah untuk semester ini. Saya pikir sudah saatnya kembali aktif di sini, meskipun jadwal di perusahaan masih padat."

Pak Arif terkagum. "Memang sulit menemukan seseorang seperti Anda, Nak. Pemilik perusahaan besar sekaligus pengajar di universitas. Mahasiswa pasti sangat antusias."

Alvano tertawa kecil. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Pak Arif. Lagipula, mengajar memberikan saya perspektif baru."

Mereka melanjutkan obrolan ringan sejenak sebelum Alvano meminta izin untuk masuk ke gedung utama. Namun, pikiran Alvano masih tertuju pada sosok gadis tadi. Ada sesuatu dalam cara gadis itu menangis yang mengganggunya, seperti ada cerita besar yang tersimpan di balik air matanya.

"Siapa dia sebenarnya?" gumamnya sambil melangkah ke dalam kampus.

🌸🌸🌸🌸🌸

Aqila membuka pintu rumah dengan langkah gontai, tubuh lelah dan air matanya terus saja mengalir tanpa henti. Saat ia masuk, suara langkahnya yang berat, membuat Miranda menghampiri nya dengan wajah tak sabar.

"Kamu kenapa menangis seperti itu? "tanya Miranda dengan nada datar, tapi sorot matanya, jelas terlihat bahwa ia tak peduli. "jangan-jangan kamu bikin masalah di tempat kerja? aku nggak mau dengar kabar buruk kalau kamu dipecat! kalau kamu dipecat, kita mau makan apa, hah? "

Kata kata itu menghujam hati Aqila seperti sembilu. Miranda bahkan tidak tahu apa yang baru saja ia alami. Dan tetap saja semua yang keluar dari mulut wanita itu hanyalah amarah.

Dengan suara parau, aqila mencoba menjelaskan.

"Aku nggak bikin masalah, ma.."

"Kalau begitu jangan buang waktu mu menangis disini! Lihat itu dapur, berantakan.Cepat kerjakan tugasmu!" Potong Miranda tampa sedikitpun rasa simpati. Ia berbalik, meninggalkan Aqila yang hannya bisa mengangguk lemah sambil menahan sakit di hatinya.

Didapur, Aqila mulai mencuci piring. Tangannya gemetar, pikirannya melayang pada apa yang baru saja terjadi.Air matanya kembali jatuh, bercampur dengan air sabun yang memenuhi wastafel.

Namun, ketenangan saat itu terhenti ketika terdengar suara pintu dibanting keras. Areta baru saja pulang dari kampus. Suaranya terdengar nyaring memanggil dari ruang tamu.

"AQILA DIMANA KAMU?" Areta berteriak, suaranya penuh amarah. Aqila yang mendengar langsung gugup. Ia tau sesuatu yang buruk akan terjadi.

Areta masuk kedapur dengan langkah cepat,wajahnya memerah karena amarah yang meluap. Tampa basa basi, ia langsung menjambak rambut Aqila dengan kasar. Aqila meringis kesakitan, mencoba melepaskan diri. Tetapi Areta menariknya semakin kuat.

"KAMU TAU NGGAK? KAMU SUDAH MEMPERMALUKAN AKU DI KAMPUS TADI!" Areta berteriak tepat di wajah Aqila.

"Aku nggak bermaksud begitu kak... a.. aku cuma.. "

"DIAM KAMU! teriak Areta semakin kuat menarik rambut Aqila.

"Kak, sakit! " rintih Aqila, mencoba melawan dengan tangan kecilnya. namun, Areta jauh lebih kuat.

Keributan itu kemudian terdengar oleh Miranda yang sedang bersantai di kamarnya. Dengan langkah cepat ia masuk kedapur, dan melihat dua anaknya saling tarik menarik.

"ADA APA INI? " Duara Miranda menggema.

Areta melepas jambakan rambut Aqila. Ia menunjuk Aqila dengan penuh kebencian. "Tanya anak nggak tau diri ini Ma! dia bikin aku malu tadi di kampus! Semua orang ngomongin aku gara gara dia! "

Miranda memandang Aqila dengan tatapan tajam. "Apa maksudnya ini Aqila? Apa lagi yang kamu lakukan? "

"Ma aku nggak salah, kk Areta yang.. "

"Kamu selalu punya alasan ya? AKU SUDAH MUAK DENGAR OMONG KOSONG KAMU!" Miranda langsung mengambil sapu yang berada di sudut dapur dan menghantam punggung Aqila dengan keras.

"Akhhh... sa.. sakit Ma.. " Aqila benar-benar merasa kesakitan saat kayu sapu itu menghantam punggungnya.

"Hikss.. ampun Ma.. Ma aku nggak salah, aku cuma mau ngejelasin apa yang aku liat tadi" Ucap aqila mencoba membela diri sambil menahan rasa sakit di badannya.

"KAMU LIHAT APA? KAMU ITU SELALU SAJA CARI CARI MASALAH! " Miranda memukuli Aqila berkali kali sementara Areta berdiri disampingnya dengan senyum sinis.

"Ma aku nggak sengaja liat kk Areta dan Daniel di kampus tadi, mereka.. "

"CUKUP!! AKU NGGAK PEDULI DENGAN APA YANG KAMU LIHAT! KAMU PIKIR AKU BODOH! KAMU CUMA CARI CARI ALASAN UNTUK BIKIN MASALAH DIRUMAH INI! " Miranda memukul Aqila lebih keras, hingga gadis itu jatuh tersungkur ke lantai.

"Akhhhh.. sakit Ma! hikss.. " Aqila benar benar kesakitan. Ia rasa tulang punggungnya itu sudah retak sekarang. Bahkan Aqila merasa badannya sudah lengket. mungkin itu darah.

Areta mendekati aqila. Ia melempar piring yang ada didekatnya hingga pecah berantakan. Pecahannya sempat mengenai wajah aqila.

"akhhh sakitt.. " lirih aqila saat merasakan darah segar mengalir kening aqila. melihat itu Miranda tak peduli. "Aku nggak nyangka kamu berani ngelaporin aku ke Mama! kamu mau cari mati ya?"

"Kk.. a... aku nggak ngelaporin apa apa ke Mama, a..aku cuma.. "

"DIAM! " Areta kembali menjambak rambut Aqila hingga gadis itu berteriak kesakitan.

"Akhh..sakit kk! sakitt"

”Cukup Areta! biar mama yang urus dia!" Miranda mendorong Areta kesamping dan kembali menghantam tubuh Aqila dengan sapu. "KAMU INI ANAK NGGAK TAU DIRI! AKU UDAH SABAR SELAMA INI URUS KAMU! "

"Ma.. tolong hentikan ma! dengerin aku dulu! hikss.. sakitt" ucap Aqila memohon sambil menangis.

"DENGAR APA? KAMU ITU CUMA ANAK PEMBAWA SIAL! KALAU BUKAN KARENA KAMU, HIDUP KAMI NGGAK AKAN SUSAH SEPERTI INI! Miranda kembali menghantam tubuh Aqila dengan sapu hingga gadis itu tak sanggup berdiri lagi.

Miranda lalu berdiri dengan penuh amarah, menunjuk pintu rumah. ”KAMU KELUAR DARI RUMAH INI SEKARANG JUGA! AKU UDAH NGGAK MAU LIAT MUKA KAMU LAGI! "

"Ma.. tolong jangan usir aku. A.. aku udah nggak punya tempat tinggal lagi ma.. hikss" Aqila memohon dengan air mata yang teru mengalir.

"KELUAR! " Miranda kembali menampar wajah Aqila hingga darah segar mengalir di hidung dan bibir nya. ia menyeret Aqila dengan menarik rambutnya hingga keluar rumah.

"SEKARANG KAMU PERGI DARI SINI! DAN JANGAN PERNAH KEMBALI LAGI! " Miranda menatap penuh kebencian pada aqila.

Saat itu juga areta datang dengan membawa semua baju baju aqila yang sudah dimasukkan ke dalam tas. dia melempar kasar ke tubuh Aqila dimana terduduk tak berdaya.

"Ma.. to.. tolong jangan usir aku hikss.. ma.. maafin aku kk" ucapnya pilu.

Namun areta dan Miranda hanya mengacuhkan tangisan Aqila. Mereka menatap Aqila dengan dingin dan tajam , lalu akhirnya menutup pintu dengan keras, meninggalkan Aqila yang sudah tak berdaya diluar rumah.

*******

Mau lanjut nggak nih? terus dukung aku dengan like, vote and komennya ya... ☺

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!