Menikah berarti berani berkomitmen, menjaga hati dan menjadikan pasangan hidup sebagai satu-satunya orang yang mengisi hati. Terkadang, cinta tak cukup membuat semua itu kekal, namun memang cinta adalah pondasi dasar untuk memulai hubungan suci. Jika tak ada rasa itu, maka tak 'kan ada komitmen di dalam pernikahan.
Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke kasur, lalu menatapnya dingin. “Kau pikir, kamu akan bahagia dengan pernikahan konyol ini!” lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Si wanita, tatapan mata yang mengintimidasi membuat dirinya bergidik ngeri, “Akan kubuat hidupmu kacau bagai di neraka. Kamu akan menyesali keputusanmu.”
Tubuh wanita itu bergetar, air mata mulai jatuh dan membasahi pipinya. Ia memang tak mengenal lelaki itu, namun ia tak menyangka lelaki yang memiliki senyum hangat pada foto yang diperlihatkan oleh kedua orang tuanya begitu membencinya. Apa salah dirinya yang ingin berbakti pada orangtuanya? Dirinya juga korban di sini.
“Maaf jika keputusanku menyakitimu.”
Lelaki itu tertawa dingin. “Bukan menyakiti, tepatnya menghancurkan hidupku!”
“Jadi apa yang kamu inginkan? Aku juga korban dari pernikahan ini.”
Lelaki itu tersenyum miring, menatap wanita di hadapannya tak percaya. “Korban?” Ia berdecak sebal, “Kamu dan keluargamu hanya menginginkan hartaku. Bagaimana kamu bisa berkata kalau kamu adalah korban? Aku lah yang telah mengorbankan banyak hal karna dirimu.”
“Aku menerima perjodohan ini bukan karna uangmu,” suara wanita itu bergetar. Lelaki itu boleh menghinanya sesuka hati, namun tidak dengan keluarganya. Walau mereka miskin, tak pernah sekalipun kedua orang tuanya menafkahinya dengan uang haram. Miskin tak berarti tak jujur dan bisa direndahkan begitu saja.
Kini lelaki itu menjauhkan tubuhnya dari Si wanita. “Nggak usah munafik. Nggak ada orang di dunia ini yang nggak menyukai uang.” tawa lelaki itu menyayat hatinya, “Aku akan memberikanmu uang banyak jika kamu mau mau bercerai dariku.”
Wanita itu membelalak kaget. Dirinya tak mau bercerai. Memang pernikahan mereka terjadi karna keterpaksaan semata, namun ia tak mau menyakiti hati kedua orang tuanya dengan perceraian. Orang tuanya berharap banyak pada dirinya, ingin dirinya menjadi istri yang baik dan membalaskan budi kedua orang tuanya
di masa lalu.
“Simpan saja uangmu, Tuan. Aku akan tetap bertahan.” entah keberanian dari mana yang didapatkannya, hingga ia mampu menantang mata lelaki di hadapannya.
“Ternyata,kamu pintar.” lelaki itu tersenyum miring, “Tentu saja, kamu lebih memilih uang yang lebih banyak dari kedua orang tuaku. Berapa yang mereka berikan? Apa orang tuamu menjualmu pada mama dan papaku?”
Wanita itu segera berdiri dan menatap tajam lelaki di hadapannya. Cukup semua penghinaan yang lelaki itu berikan untuk kedua orangtuanya. Tak bisakah lelaki itu menghina dirinya tanpa merendahkan kedua orang tua yang begitu mencintainya? Tanpa sadar, tangan wanita itu sudah mendarat di pipi lelaki di hadapannya, dirinya sendiri terkejut akan aksinya dan segera menarik tangannya yang bergetar menjauh dari wajah lelaki itu.
Lelaki itu mengusap pipinya yang terasa panas karna tamparan wanita itu. “Belum apa-apa, kamu sudah menjadi istri yang kurang aja!” lelaki itu mencengkram kuat tangan Si wanita, sedang wanita itu meringis karna rasa sakit di pergelangan tangannya.
“Maaf, aku nggak bermaksud ....”
Lelaki itu mendekatkan wajahnya, menatap tajam wanita di hadapannya. “Aku akan meladeni permainanmu, Dathu.
Kita lihat, siapa yang akan mengibarkan bendera putih karna pernikahan bodoh ini.”
Wanita itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, mencegah air mata yang ingin mengalir semakin deras. Dadanya sesak bukan main. Ia tak menyangka di malam pengantin, dirinya malah diperlakukan penuh kebencian. Ia pikir, walau mereka tak pernah mengenal sebelumnya, lelaki itu akan berusaha menerima status mereka sebagai suami-istri, sebagaimana dirinya.
“Tuan Dirga, aku nggak pernah menjadikan pernikahan ini sebagai permainan.”
Lelaki itu tak 'kan terbuai dengan semua yang wanita itu katakan. Buktinya, wanita itu telah mempermainkan hidupnya. Dunianya hancur dalam sekejap karna kehadiran wanita itu dalam hidupnya. Ia akan membenci wanita itu sepenuh hati.
“Kamu hanyalah bayangan yang akan selalu berada di belakang, jadi jangan perlihatkan dirimu di hadapanku!”ucap Dirga seraya meninggalkan wanita yang telah sah menjadi istrinya itu. Tak ada iba yang menyelinap masuk ke dalam hatinya, hanya kebencian yang ada di sana.
Tanpa sadar, wanita itu menahan napas sembari menyaksikan punggung lelaki yang kian menjauh darinya. Air matanya kembali jatuh. Kakinya terasa lemah dan tak mampu menampung berat tubuhnya. Ia terkulai lemah di lantai kamar yang dingin, ia menutup mulut dengan kedua tangannya, mencegah isak tangisnya terdengar oleh siapapun.
Ia tak pernah menyangka pernikahan bisa semengerikan ini. Dirinya tahu, jika tak seharusnya menerima perjodohan hanya karna ingin menjaga kehormatan kedua orang tua yang terlanjur berjanji memberikan anak mereka sebagai menantu pada keluarga kaya yang dulu pernah menolong mereka saat kesusahan.
Dirinya sadar, jika cinta adalah pondasi dasar untuk memulai sebuah hubungan suci yang tak bisa diputuskan begitu saja. Akan tetapi, ia tak bisa menolak. Dirinya lah satu-satunya harapan kedua orang tuanya dan ia tak mungkin membuat orang yang disayanginya mengingkari janji hanya karna keegoisannya semata.
Wanita itu menepuk-nepuk pelan dada yang sesak bukan main, mencoba mengusir pedih yang menjalar ke penjuru hati. Dirinya hanya ingin menjadi istri yang baik dan bisa membalas semua yang telah keluarganya terima dari keluarga Dirga, namun sekarang ia ragu. Apakah dirinya sanggup menjadi bayangan yang tak boleh terlihat oleh lelaki itu? Apa dirinya mampu menjadi istri yang baik, jika lelaki itu terus menolaknya menjauh?
Di sisi lain, Dirga berlari sekencangnya dan segera menekan bel pintu apartemen yang tertutup rapat. Beberapa menit kemudian, seorang wanita berambut ikal menyambutnya dengan wajah sendu. Dirga dapat melihat dengan jelas mata sembab bekas menangis wanita itu. Hati Dirga pedih bukan main menyaksikan pemandangan di hadapannya. Ia telah berjanji untuk mencintai dan menjaga wanita itu seumur hidupnya, namun apa yang
dilakukannya sekarang?
Dirga segera membawa wanita itu ke dalam pelukannya. “Maafin aku, Kana. Maafin aku,” ucap Dirga lirih. Tangis wanita bernama Kana itu pecah di dalam pelukan Dirga. Keduanya menangis pilu, tak seharusnya dua orang yang saling mencintai dipisahkan hanya karna janji yang bukan mereka buat.
“Dirga ... apa yang harus kulakukan? Hatiku sakit bukan main.”
Dirga merasakan hal yang sama. Ia melepaskan pelukan mereka dan keduanya saling mengusap air mata yang membasahi pipi. “Maukah kamu menungguku, Kana? Aku akan membuat hidupnya bagai di neraka
dan segera bercerai.”
Kana menggeleng. “Jangan lakukan itu, Dirga.”
Dirga menempelkan kening mereka. “Percayalah padaku.” Lelaki itu menatap penuh permohonan. Pada akhirnya Kana mengangguk sembari tersenyum.
“Aku percaya padamu, Dirga.”
Sepasang kekasih itu saling bertukar senyum. Dirga menangkup wajah kekasihnya dengan kedua tangannya, lalu mempertipis jarak di antara wajah mereka. Ia mengecup bibir lembut wanita itu, lalu kecupan ringan itu berubah menjadi ******* lembut yang menghangatkan hati.
Percayalah, Kana. Kita akan kembali bersama—janji itu diukir Dirga dalam hatinya.
Dhatu berlari sekencangnya menuju rungan, ia sudah terlambat karna motor yang mogok. Salahkan saja dirinya yang teledor dan tak mengecek bensin yang sudah berada di garis merah. Tatapan tajam diterima Dhatu begitu ia membuka pintu kaca ruangannya. Dhatu tersenyum sembari mengangguk pelan, lalu berjalan pelan-pelan ke mejanya.
"Ini udah kedua kalinya kamu terlambat, Tu."
Suara itu milik Mira, supervisor yang mengawasinya. Dhatu tersenyum kikuk, lalu mengintip melalui layar komputer. "Maaf, Mbak. Saya yang salah, Besok janji nggak telat lagi."
Mira berdecak sebal, tanpa merespon ia kembali memfokuskan pandangan pada layar komputer di depannya. Dhatu meringis dibuatnya. Tepukan pada lengan membuat Dhatu menoleh ke samping, Krisna tersenyum padanya dan berbisik pelan; "Nggak usah dimasukin hati. Dia nggak dapat jatah dari suaminya."
Perkataan lelaki itu mampu membuat senyum menghiasi wajah Dhatu. Dhatu mengangguk, lalu mengucapkan terimakasih tanpa suara. Lelaki itu mengacungkan kedua jempol sebelum mengembalikan fokusnya pada layar komputer, Dhatu melakukan hal yang sama. Ia harus segera memulai pekerjaan yang tertunda.
Sesungguhnya, bekerja sebagai kustomer servis di perusahaan elektronik bukanlah hal yang sulit. Bagian terberatnya adalah saat harus menerima komplain berat dari konsumen yang belum mendapatkan kunjungan servis, ataupun produk yang rusak berulang kali.
Dhatu menikmati pekerjaannya. Yang ia lakukan hanya mengangkat telpon, menerima keluhan, mendata, dan juga membuat laporan harian. Lagipula, upah yang diterimanya tiap bulan cukup lumayan. Akan tetapi, Mira kerap menekan dan berusaha mencari kesalahannya. Jika tak membutuhkan uang untuk menyambung hidup, sejak lama Dhatu memilih hengkang dari perusahaan.
Menit demi menit berlalu, kini Krisna dan Dhatu menghabiskan waktu di rooftop kantor, menikmati makan siang sederhana sembari berbagi cerita. Seniornya itu baik, namun Dhatu tak ingin terjebak dalam rasa yang salah, ia tahu benar jika Krisna memang baik pada semua orang. Sejak awal perkenalan, Dhatu sudah memasukkan nama Krisna ke dalam daftar hitam pria yang akan dinikahinya nanti. Bukan karna lelaki itu playboy, hanya saja terlalu baik, dan kerap membuat orang salah paham.
"Gimana keadaan Mama kamu, Tu?"
Dhatu menghentikan suapannya. "Baik, Mas."
"Masih dirawat di rumah sakit, Tu?"
Dhatu mengangguk lemah. "Masih, Mas. Aku mau ambil cuti juga takut nggak disetujui Mbak Mira. Makanya aku lebih memilih datang telat. Kewalahan aku, Mas."
Krisna mengangguk-angguk mengerti. "Nggak usah dipaksain, Tu. Lebih baik ajuin cuti, daripada dinyinyirin terus-terusan."
Dhatu tampak berpikir sesaat. Namun hal itu tak mudah. Mengingat bagian mereka kekurangan orang karna pemecatan massal yang terjadi. Mira orang yang berambisi dan lebih baik menginjak bawahan demi mendapatkan penilaian yang baik.
"Kayaknya, nggak dulu, Mas."
"Kalau butuh sesuatu, jangan segan-segan ya, Tu."
Dhatu mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Wanita mana yang tak 'kan salah paham jika lelaki itu sangat baik, bukan? Hati wanita lemah dan mudah terjebak dalam kebaikan yang diterima, Dhatu tak menyangkal jika sulit rasanya untuk tak menyukai Krisna yang baik hati yang berwajah manis.
***
Dhatu memotong apel, lalu mengulurkannya pada ibunya yang terbaring lemah. Inilah kegiatan baru Dhatu, menjaga ibunya hingga malam, lalu ayahnya akan datang dan menggantikan dirinya. Dhatu adalah anak satu-satunya, hingga tak bisa mengharapkan orang lain untuk bergantian menjaga ibunya yang tengah sakit tipes.
"Tu ... Mama ada permintaan."
"Akan ku kabulkan tiga permintaan," ucap Dhatu tersenyum lebar sembari membuat angka tiga dengan jarinya. Ibu wanita itu tertawa melihat puterinya yang periang dan suka berkelakar.
"Mama serius, Tu."
Dhatu meletakkan sisa apel di tangannya ke meja sebelah ranjang rumah sakit, lalu menatap ibunya lekat-lekat. "Mau apa, Ma? Lagi pengen makan sesuatu ya? Bilang aja, pasti Dhatu kabulin. Kalau masalah mengabulkan permintaan Jin Dhatu jagonya."
Lagi-lagi tawa wanita itu pecah. Dhatu tersenyum senang melihat ibunya yang sudah tampak membaik. Wanita itu menggenggam tangan Dhatu dan menatap ke dalam manik matanya, membuat rasa cemas mulai merasuki relung hati Dhatu. Apa ini tentang penyakit, Mama?
"Tunggu dulu, Ma. Apa mama bukan sakit tipes? Ada sesuatu yang harus Dhatu ketahui?" Dhatu tak mampu menyembunyikan getara pada nada suaranya.
Wanita paruh baya itu tertawa kecil."Kamu kebanyakan nonton sinetron."
Dhatu menggeleng. "Sinetron azab, Ma."
Keduanya kembali tertawa. "Kayaknya, susah banget buat kamu serius."
"Mama mau minta apa?" kali ini Dhatu berusaha serius mendengarkan permintaan ibunya.
Dian—ibu kandung Dhatu—mengeratkan genggaman tangannya. "Mama mau kamu menikah."
Dhatu terdiam, lalu tawanya pecah. "Mama lagi kena sindrom lelah ditanyain kapan anaknya nikah, ya?"
Dian mencubit hidung mancung Dhatu dengan gemas. "Mama serius."
Tawa Dhatu sirna melihat kesungguhan di dalam mata ibunya. "Jangan bercanda, Ma. Calon aja nggak punya, gimana bisa nikah?"
Dian menggeleng. "Mama ada calonnya."
Dhatu membelakkan kedua mata dan mulutnya terbuka dengan tak anggun. "Mama mau jodohin Dhatu?"
Dian mengangguk antusias. "Ingat Om Sanjaya?"
Dhatu mengangguk pelan. Lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan di usia senjanya, siapa yang tak mengingat lelaki itu. Apalagi Sanjaya kerap berkunjung ke rumah mereka dan menghadiahinya banyak barang. Tentu saja, Dhatu menolak, namun bukan Sanjaya namanya jika tak bisa membuat Dhatu menerima pemberian lelaki itu dengan semua cerita sedih yang entah benar atau hanya karangan semata. Dhatu cocok dengan lelaki humoris itu dan suasana menghangat jika keduanya tengah bercerita. Sanjaya adalah ayah keduanya.
"Ya, ingetlah."
Dian tersenyum puas. "Bagus." wanita itu mengusap lembut wajah Dhatu, "Mama pernah berjanji akan memberikanmu sebagai menantunya dan sekarang dia menagih janji itu."
Jantung Dhatu hampir saja lepas dari tempatnya saat mendengarkan perkataan wanita itu barusan, namun Dhatu berusaha menghibur dirinya sendiri dengan tawa garing. "Bercandanya nggak lucu, Ma."
Dian menggeleng. "Mama serius."
Keheningan menenggelamkan keduanya. Jantung Dhatu seakan lepas dari tempatnya. "Aku bahkan nggak pernah bertemu dengan anak Om Sanjaya. Gimana bisa mama meminta kami menikah?" Dhatu melepaskan genggaman tangan wanita itu dan menatap ibunya nanar.
Amarahnya memuncak dan ia kesal bukan main. Zaman sudah maju, namun mengapa ibunya masih mau menjodohkannya. Terlebih lagi, ia tak mengenal dan belum pernah bertemu dengan lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu. Mereka tak saling mencintai. Bukankah cinta adalah harga mati untuk memulai sebuah hubungan? Semua ini tak terasa benar.
"Mama dan papa pernah berjanji pada Om Sanjaya untuk menyerahkanmu sebagai menantu mereka. Kamu tahu sendiri kalau keluarga mereka sudah banyak membantu kita. Kamu bisa kerja di perusahaan sekarang dan langsung jadi karyawan tetap juga berkat Om Sanjaya, 'kan?"
Dhatu menatap ibunya sendu. Ia tahu benar jika keluarga mereka sudah menerima banyak kebaikan dari Sanjaya, termasuk dirinya sendiri. Akan tetapi, semua itu bukan alasan untuk memaksa dua orang asing hidup bersama. Bagaimana bisa mengikat janji pada orang yang sama sekali tak ia kenal?
"Pilihan ada ditanganmu, tapi mama mau kamu tahu. Kerhormatan kami juga ada di dalam genggamanmu, Dhatu."
Hidup memang selalu dihadapi dengan banyak pilihan, namun bukan hal ini yang Dhatu inginkan untuk menjadi salah satunya. Dhatu menatap ibunya nanar dan keduanya saling berpandangan dalam diam.
Suasana semakin hening saat Darma tiba di ruangan dan menjelaskan pada Dhatu tentang perjanjian yang pernah orang tuanya buat pada Sanjaya. Dulu sekali, Sanjaya pernah membantu keluarga Dhatu yang kesulitan ekonomi, hingga kini keluarga mereka memiliki warung makan yang cukup ramai.
Sanjaya dan Darma, sepasang sahabat sejak memakai seragam putih merah. Sangat dekat, namun terpisah, takdir kembali mempertemukan mereka dan membuat keduanya kembali dekat. Sanjaya rendah hati meski kaya raya dan tak pernah ragu membantu siapapun yang membutuhkan. Pada hari kelahiran Dhatu, Sanjaya bercetus untuk menjodohkan anak mereka, sehingga mereka bisa menjadi keluarga sesungguhnya dengan ikatan itu. Darma berpegang pada perkataannya, hingga tak mungkin ingkar janji.
"Coba lihat sekali lagi foto anaknya, Om Sanjaya. Dia lelaki tampan dan baik. Papa yakin, kalau kamu akan bahagia bersamanya," ucap lelaki paruh baya itu sembari mengulurkan selembar foto pada Dhatu.
Dhatu mengambil foto itu dengan tangan bergetar. Senyum hangat yang diabadikan kamera membuat Dhatu terpanah sesaat, namun apakah tampan bisa menjamin kebahagiaan? Apalagi mereka tak saling mengenal. Bagaimana bisa tinggal di bawah atap yang sama, bahkan tidur di tempat tidur yang sama?
Bukan hanya itu. Apa lelaki itu akan setuju menikah dengannya yang notabene hanyalah seorang wanita sederhana, tak berkelas, dan tampak tak cocok dengan gaya hidup orang kaya. Kedua orang tua mereka pasti tengah bercanda saat mencetuskan ide tentang perjodohan ini.
Dhatu menyerahkan kembali foto itu pada ayahnya, Darma. "Masalahnya, Pa. Apa lelaki itu setuju dengan perjodohan ini? Lelaki tampan sepertinya, nggak mungkin, jika nggak memiliki kekasih." Dhatu resah dengan semua ini. Terlalu tidak masuk akal.
Darma memegang pundak Dhatu. "Kamu hanya perlu menyetujui semua ini, lalu biarkan papa dan Om Sanjaya
yang mengatur dari pihaknya."
"Tapi, Pa ..."
Dian menggengam tangan putrinya dan menatap penuh permohonan. "Dhatu, ini permintaan pertama dan terakhir
kami. Tolong kabulkan ya, Nak."
Dhatu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Pundaknya seakan ditimpah dengan batu besar, terasa begitu berat. Menikah itu perkara sulit, tak semudah diminta membelikan makanan yang kedua orangtuanya sukai. Menikah itu komitmen jangka panjang, yang artinya, sekali mengikat diri, maka ia tak bisa lepas lagi. Akan tetapi, Dhatu tak bisa membiarkan kehormatan kedua orang tuanya jatuh hanya karna keegoisannya.
Dhatu tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan. Kedua orang tuanya tersenyum bahagia dan segera memeluk Dhatu. Keduanya berulang kali mengucapkan terima kasih pada Dhatu. Air mata wanita itu jatuh, tak pernah menyangka jika sejak kecil masa depannya sudah digadaikan karna kebaikan yang mereka terima. Ingin memberontak, namun tak sampai hati. Ingin pergi, akan tetapi kedua orang tuanya tak pernah meninggalkannya saat ia kesusahan. Inilah waktu untuk menjadi anak yang berbakti.
***
Dua bulan persiapan pernikahan terpaksa itu rampung dan selama itu pula Dhatu tak pernah sekalipun bertemu
dengan calon suaminya. Bukan karna ia tak mau, namun lelaki itu tak pernah ada waktu. Pernah sekali, Dhatu diminta ke butik guna mencoba gaun pengantin yang harusnya didatanginya bersama calon suaminya, akan tetapi lelaki itu tak kunjung menunjukkan batang hidung. Tak juga memberikan kabar untuknya, hingga Dhatu harus menahan malu saat pemilik butik menanyakan berulang kali kapan mereka bisa mencoba gaun yang telah dipesan. Dhatu terlalu takut menghubungi lelaki yang terang-terangan tampak menjauh dan memutuskan mencoba gaunnya seorang diri. Menyelesaikan bagiannya sendiri dan meminta pemilik butik menghubungi calon suaminya untuk mencoba jasnya seorang diri.
Belum menikah saja, Dhatu sudah merasa begitu ditolak, akan tetapi ia tak mungkin mundur. Semua sudah terucap, persiapan pun sudah rampung. Yang tersisa, hanya mengucap janji setia di hadapan Tuhan, lalu mereka sah menjadi sepasang suami istri. Tampak mudah, namun menyesakkan dada. Tak ada penolakan yang tak menghancurkan harga diri seseorang, apalagi dirinya seorang wanita.
Remasan pada pundak membuyarkan lamunan Dhatu, wanita itu menoleh dan mendapati Krisna. Lelaki itu mengambil tempat di sisinya, lalu mengulurkan sebotol minuman dingin yang langsung disambar tanpa malu oleh Dhatu. Wanita itu mengucapkan terimakasih, sedang Krina tergelak dibuatnya.
"Lagi ada masalah berat kayaknya," ucap lelaki itu sembari menatap ke depan.
"Mas Krisna tuh jangan sering duduk berduaan sama aku, nanti digosipin sama fans-fans garis kerasmu."
Lelaki itu terbahak. "Emangnya aku artis?"
Dhatu memutar mata malas. Itu kenyataannya, walau lelaki itu tak kaya raya dan tampan bak tokoh utama dalam
novel, namun lelaki itu memiliki banyak fans berkat sikap baik hati dan juga wajah manisnya. Kuping Dhatu sampai panas saat banyak yang menanyakan hubungan di antara mereka.
"Itu kenyataannya, Mas."
"Terus kenapa kalau kita digosipin. Toh, masih sama-sama single."
Dhatu tersenyum miris, namun sebentar lagi ia akan segera berganti status yang tentunya gosip seperti itu akan tak baik untuk nama keluarganya. Dhatu baru sadar, banyak hal yang akan dikorbankannya demi pernikahan terpaksa ini. Ia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan.
"Kalau cowok selalu beralasan untuk bertemu dan selalu berusaha menghindar, itu artinya apa, Mas?"
Pertanyaan Dhatu berhasil membuat kerutan di dahi Krisna muncul. "Kok, tumben nanyain tentang cowok?"
Dhatu mengendikkan bahu. "Entahlah, penasaran aja."
Krisna tampak berpikir sesaat. "Kalau aku pribadi, itu caraku untuk nolak secara halus. Yang artinya, aku nggak berminat sama si orang yang ngajak ketemuan itu. Cowok itu nggak suka basa basi, jadi kalau nggak suka, ya nggak bakalan tarik ulur kayak ngasih harapan palsu gitu."
Nyeri menyerang hati Dhatu. Sesungguhnya, tanpa bertanya pun ia sudah bisa mengartikan sikap enggan yang
calon suaminya tunjukkan padanya. Lelaki itu pasti menentang mati-matian perjodohan tak masuk akal ini. Apa lebih baik ia mundur? Dhatu segera menggeleng. Tak mungkin.
"Kamu kenapa geleng-geleng gitu?"
Dhatu tersenyum. "Nggak pa-pa, Mas. Makasih jawabannya."
Krisna menatap wanita itu penuh tanya. "Kayaknya, kamu lagi pengen deketin laki-laki. Apa dia menjauhimu?
Pasti matanya buta, makanya nggak mau didekati cewek cantik sepertimu."
Jantung Dhatu hampir saja copot, terkejut dengan pemikiran lelaki itu. Dhatu menutupi kecemasannya dengan tawa
kecil, ia menggerak-gerakkan tangan di udara. "Nggak lah. Konyol! Lagipula, aku nggak cantik, Mas."
Krisna mengusap-usap puncak kepala Dhatu. "Nggak konyol kalau memang lagi suka sama seseorang. Lagipula, kamu beneran cantik. Dia yang bakalan rugi."
Dhatu tertawa. "Ternyata Mas Krisna bisa gombal juga ya."
Tawa Dhatu menular pada Krisna."Sekali-kali 'kan nggak pa-pa, Tu. Kalau suka sama orang itu namanya normal jadi kamu nggak usah malu."
Dhatu tersenyum miris, lalu mengarahkan pandangan ke depan. Bukan suka, ia hanya ingin berdamai dengan
calon suaminya agar kedua keluarga mereka bahagia. Ia tahu benar, pernikahan seperti ini akan terasa berat karna tak adanya pondasi dasar yang dibutuhkan, cinta. Lagipula, konyol rasanya jika lelaki itu bisa mencintainya dan ia pun tak tahu, apakah dirinya bisa merasakan perasaaan yang selalu diagung-agungkan banyak orang itu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!