Di sebuah kota besar yang dipenuhi dengan berbagai kesibukan manusia, seorang gadis berjalan dengan membawa sebuah map berwarna coklat tua yang telah usang. Wajahnya terlihat lelah dan kusam karena berkeliling kota di tengah cuaca yang sangat buruk. Rintik hujan kecil yang tidak berhenti membuat langkahnya semakin berat dan tergesa-gesa. Gadis itu menghela napas dalam-dalam, berharap cuaca segera membaik dan menghilangkan kelelahan yang telah menumpuk sepanjang hari.
Melisa memandang langit yang mendung dengan wajah yang lelah dan sedih. "Akhh, dimana lagi aku harus mencari pekerjaan? Ya, Tuhan, kirimkan saja uang dari langit," ujarnya dengan nada begitu kesal di balut dengan keputusasaan.
Ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah toserba yang nyaman dan hangat, berharap dapat menghilangkan kelelahan dan kesedihan yang telah menumpuk sepanjang hari. "Bu, beli air minum saja satu," ujarnya kepada penjaga toko yang sedang menyusun beberapa barang di tokonya.
"Ambil saja di sana," pintanya, sambil menunjuk setumpuk minuman yang segar dan dingin, membuat Melisa merasa sedikit lebih baik.
"Berapa, Bu?" tanyanya dengan sopan dan hormat, berharap dapat membeli air minum yang dapat menghilangkan dahaganya.
"5000," jawab wanita itu dengan senyum yang hangat dan ramah.
Melisa mengeluarkan selembar uang, lalu memberikan uang tersebut kepada penjaga toko. Setelahnya, ia duduk di kursi pada teras toko, menikmati suasana yang tenang dan nyaman.
Melisa menghela napas dalam-dalam, merasa lelah dan putus asa. "Huh, lelah sekali. Kenapa hidup di tempat ini benar-benar sulit? Ingin kerja saja susah... Andai aku menjadi anak orang kaya, pasti sangat mudah menjalani hidup yang segalanya membutuhkan uang," gumamnya dengan melihat beberapa orang yang masih berlalu lalang di saat hujan.
Melisa membuka segel minuman tersebut, lalu meneguknya beberapa kali. Suara botol yang dibuka dan suara minuman yang ditelan membuatnya merasa sedikit lebih baik. Tiba-tiba, terdengar suara teriakan yang jelas dari dalam toko. "Eh, Akh... tolong!!"
"Apa yang terjadi?" gumam Melisa, lalu ia mengintip melalui jendela depan. Gadis itu terkejut saat melihat bagaimana sosok pria yang saat ini tengah menodongkan pisau pada wanita paruh baya itu. Wanita itu berteriak dan berusaha untuk melepaskan diri, tapi pria itu terlalu kuat.
"Astaga, ini masih tengah hari tapi ada saja kejahatan. Apa sebegitunya orang butuh uang?" gumam Melisa, jujur saja ia merasa sangat takut saat ini. Tapi walaupun begitu Ia langsung menelpon polisi untuk segera datang ke tempat kejadian.
"Sekarang lebih baik aku pergi," ujarnya saat melihat mobil polisi telah mengarah ke toko tersebut. Suara sirine mobil polisi membuat Melisa merasa sedikit lebih aman.
Sedangkan di dalam, pria itu mulai panik mendengar suara sirine mobil polisi. "Sialan!" umpatnya. Tapi dia tidak perduli, pria itu justru semakin cepat memasukkan uang ke dalam tas miliknya, lalu melarikan diri melalui pintu belakang toko sebelum polisi datang.
Sedangkan Melisa, yang sudah pergi meninggalkan toko, berjalan santai menyusuri trotoar hingga matanya melihat sesuatu yang tidak terduga. "Bagaimana dia ada di sini?" ujarnya dengan menatap pria yang sedang berlari dengan tas di tangannya itu. Pria itu berlari dengan cepat, tapi Melisa dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Berhenti ! Hei jika tidak berhenti maka akan di tembak !!" Teriak seorang polisi yang mengejar pencuri itu bersama dengan rekan-rekannya.
"Akh!" "Bruk!" Orang-orang berteriak panik saat menyaksikan kejadian itu, sedangkan Melisa mencoba untuk ikut mengamankan diri, tapi siapa sangka nasib sial mengarah padanya. Suasana menjadi semakin tegang dan menakutkan, dengan orang-orang berlari ke segala arah untuk menghindari kejahatan.
"Kalian berhenti! Atau kubunuh dia!" ancam pria itu dengan meletakkan pisau di leher Melisa. Melisa merasa jantungnya berhenti berdetak, dan napasnya menjadi terengah-engah. 'Akh, sial, di antara sekian banyak manusia, kenapa harus aku?' pikirnya.
"Turunkan senjata kalian dan biarkan aku pergi," ujar penjahat itu, dengan suara yang dingin dan tidak berperasaan. 'Ayolah, turuti kemauannya...' batin Melisa, dengan harapan bahwa kejahatan itu akan segera berakhir.
"Sret." "Akh." Melisa meringis saat kulit lehernya terluka karena pisau pria tersebut. Rasanya benar-benar perih, seperti api yang membakar kulitnya. Melisa merasa lemah dan tidak berdaya, seperti boneka yang dikendalikan.
Akhirnya, polisi-polisi itu meletakkan senjata mereka. 'Nah, mereka sudah menurutimu, maka lepaskan aku,' batin Melisa. Tapi itu hanya angan-angan saja, pria itu justru menjadikannya tameng dan sandera.
"Akh, nasibku!!" rutuk Melisa. Ingin sekali ini memaki saat ini.
"Dor." Suara tembakan membuat suasana menjadi hening. Melisa tidak tahu dari mana asal tembakan itu, tapi yang pasti pria jahat ini terduduk lemas, sehingga dia bisa bebas dari cengkraman pria itu.
Melisa segera berlari menjauh, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Rasa sakit menghinggapi tubuhnya, beserta darah yang mengalir begitu saja dari punggungnya. Polisi langsung meringkus pria itu dengan cepat, sedangkan Melisa langsung ambruk ke depan, dengan rasa lemah dan tidak berdaya.
Orang-orang mulai mengerubunginya, bahkan ada yang berteriak dengan suara yang memecahkan telinga, tapi Melisa tidak bisa merespon apapun. Tubuhnya tergeletak di atas tanah yang dingin dan keras, dengan darah yang mengalir dari punggungnya akibat pisau yang di lempar oleh penjahat tersebut.
Tapi kemudian, matanya menatap nanar pada map coklat miliknya yang tergeletak di sampingnya. Map itu terlihat usang dan tua, dengan warna coklat yang telah memudar. Melisa merasa seperti sedang melihat ke dalam masa lalunya, ketika hidupnya masih penuh dengan harapan dan impian.
"Apakah aku akan mati?" pikirnya, dengan rasa putus asa dan kehilangan harapan yang semakin meningkat. "Ini tidak adil, Tuhan, kenapa hidupku begitu sulit? Kuharap, jika ada kehidupan berikutnya, aku menjadi orang kaya saja."
Lalu, kesadaran benar-benar hilang seketika. Melisa tidak bisa bergerak lagi, dan tubuhnya menjadi lemas. Ia hanya mulai merasa sunyi dan menakutkan, dengan orang-orang yang berkerumun di sekitarnya hanya bisa menatap dengan sedih dan juga iba.
\*
\*
\*
Di sebuah gubuk kecil yang terletak di tengah-tengah desa yang sangat asri, seorang gadis muda memejamkan matanya dengan seorang anak laki-laki yang menangis di sisinya. Suasana di dalam gubuk itu sangat sunyi dan tenang, hanya terdengar suara tangisan anak kecil dan suara angin yang berhembus lembut di luar.
"Ibu...ibu, hiks! Bangun, Bu! Hiks, aku janji tidak akan mengganggu ibu lagi, hiks!" Tangis anak kecil yang ada di sisi ranjang itu semakin keras, membuat Melisa merasa sedih dan tidak tega.
"Siapa ibumu?" tanya Melisa dengan bingung, sambil membuka matanya yang masih terasa berat.
"Ibu...hiks! Anda sudah sadar, hiks..." Anak itu menjawab dengan terisak-isak, sambil memeluk Melisa dengan erat.
"Ha? Siapa yang kamu panggil ibu?" Bingungnya, Melisa mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.
"Ma-maaf, hiks! Aku benar-benar minta maaf jika ibu...maksudnya nyonya...tidak ingin dipanggil seperti itu lagi." Ujar anak laki-laki, lalu bersujud di atas lantai kayu yang kasar.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Bingungnya. Dia tadi tertusuk pisau, lalu kesadarannya hilang, dan sekarang dia justru berada di tempat entah berantah ini. Apa kehidupan kedua benar-benar ada? Melisa benar-benar pusing dibuatnya.
"Nging..." Kupingnya berdengung dengan kuat, disertai dengan kepalanya yang ikut merasakan sakit. Melisa merasa seperti sedang berada di dalam badai yang sangat kuat.
"Akh..." Melisa memegang kepalanya yang sakit, sambil mencoba untuk berdiri. Tapi, tubuhnya justru begitu lemah.
"Ibu...hiks! Ibu...hiks!" Tangis anak itu yang melihat sang ibu terlihat sangat kesakitan. Melisa merasa sedih dan tidak tega melihat anak kecil itu menangis.
"Sa-sakit, akh..." Setelah mengatakan hal tersebut, Melisa kembali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya terjatuh ke lantai kayu tersebut.
Saat ini, dirinya seperti arwah gentayangan yang tidak terlihat. Ia menyaksikan seorang wanita yang saat ini tengah menyiksa anak laki-laki yang masih sangat kecil itu. Suasana di sekitar mereka sangat menakutkan, dengan bayangan yang gelap dan suara yang mengerikan. Anak kecil itu menangis dengan keras, sambil memohon ampun kepada wanita itu.
"Kau seharusnya mati! Kau penyebab hidupku hancur! Jika kau tidak ada, maka aku tidak akan seperti ini!" teriak wanita itu, dengan suara yang tinggi. Wajahnya merah padam, dan matanya berkilauan dengan kemarahan.
"Ibu, hiks! Maaf, ibu! Aku yang salah, ibu! Hiks, hiks, maaf, ibu!" Bocah laki-laki itu terus menangis dan memohon, tapi wanita itu juga semakin memukulnya.
"Hei, sialan! Beraninya kau dengan anak-anak! Hei!" teriak Melisa, yang tidak tahan. Ia mencoba untuk menghalangi wanita itu, tapi tubuhnya justru tembus pandang dan juga tidak bisa menyentuh apapun. Saat ini ia sangat marah pada wanita itu tapi ia tidak bisa melakukan apapun.
Hingga kejadian itu terhenti, dan kepalanya lagi-lagi merasakan sakit luar biasa. Melisa merasakan ada begitu banyak memori yang masuk ke dalam kepalanya. Semua membuatnya semakin merasa bingung.
Hingga saat ini, ia berada di sebuah taman bunga yang indah dan tenang. Terlihat di depannya, saat ini tengah berdiri sosok perempuan cantik, tapi membuat Melisa sangat jengkel dengannya. Itu adalah perempuan yang sama yang telah menyiksa anak kecil itu.
"Kau akan menggantikan ku, Melisa! Balaskan dendamku pada mereka! Dan..." kata perempuan itu, dengan suara yang manis dan licik. Wajahnya cantik dan tenang, tapi matanya berkilauan dengan kemarahan dan dendam.
"PLAK." "PLAK." Melisa justru menampar gadis itu tanpa menghiraukannya sama sekali.
"Apa yang kau!?" wanita itu menggeram marah. Ia sudah menggunakan sihir terlarang untuk ini, tapi kenapa gadis yang dibawanya justru tidak bertindak seperti apa yang ia harapkan.
"Apa, ha! Kau pantas mendapatkannya! Menyiksa anak sendiri seperti itu! Dimana hati nurani mu, sialan?!" kesal Melisa. Nafasnya bahkan terdengar tidak beraturan karena emosi yang begitu besar.
Wanita dengan rambut berwarna emas dan mata berwarna biru itu menatap nyalang padanya, dengan ekspresi wajah yang penuh kemarahan dan dendam. Suasana di sekitar mereka sangat tegang dan menakutkan, dengan udara yang terasa berat dan sulit dihirup.
"Kau seharusnya membantuku membalas dendam, bukan mengurus anak itu!" teriak wanita itu, tidak terima. Suaranya keras dan memecahkan telinga, membuat Melisa merasa tidak nyaman.
"Urus saja balas dendammu sendiri! Aku tidak mau melakukan apapun. Toh, kau juga jahat pada mereka, kan? Sebenarnya, ini lebih seperti karma untukmu," ujar Melisa, dia sebenarnya tidak begitu perduli jika harus terlahir kembali atau tidak.
"Sialan kau! Kembalikan tubuhku! Aku akan mencari orang lain saja!" geram wanita itu.
"Ya, lakukan saja! Aku juga malas hidup dalam tubuh wanita jahat seperti mu," jawab Melisa. Menurut Melisa, lebih baik ia tidak terlahir kembali daripada harus menjadi wanita jahat itu. Melisa merasa sangat muak dan jijik dengan wanita itu.
Mendengar jawaban Melisa, wanita itu justru sangat frustasi. Bagaimana tidak? Jika setelah sihir terlarang selesai, maka efeknya akan permanen. Dengan kata lain, dia sama sekali tidak memiliki hak apapun pada tubuh tersebut. Wanita itu merasa sangat kesal, tapi ia juga merasa sangat takut dan cemas saat ini.
"Akh, sialan!! Aku benar-benar membencimu!" teriak wanita itu, penuh amarah.
"Sama, aku juga membencimu, sialan!" ujar Melisa.
Tapi, sedetik kemudian, rasanya seluruh sesuatu yang dilihatnya perlahan menghilang. Tapi, sebelum semuanya benar-benar menghilang, Melisa bisa mendengar suara tawa dari wanita jahat itu.
"Hahaha, kau pikir hidupmu akan mudah, hahaha," tawanya. Namun, kemudian terdiam dengan wajah serius.
"Dia akan datang dan membunuhmu," lanjutnya dengan tatapan tajam di akhir.
Melisa sama sekali tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu. Toh, yang akan terjadi biar saja terjadi. Melisa sama sekali tidak ingin memikirkan hal-hal yang merepotkan seperti itu. Melisa merasa sangat lelah dan tidak ingin memikirkan apa-apa lagi.
Hingga ia kembali membuka matanya, dan menyadari bahwa ia masih berada di dalam gubuk yang sama. Suasana di dalam gubuk itu sangat sunyi dan tenang, dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kecil dan menerangi ruangan.
"Huh, wanita gila itu benar-benar menyebalkan," gumamnya dengan menatap lurus kedepan.
Pintu terbuka, menampilkan sosok anak laki-laki dengan pakaian kumuh. Anak itu memiliki mata yang besar dan bulat, dengan wajah yang pucat dan kurus. Ia terlihat sangat lelah dan lapar.
"Ibu sudah sadar?" tanyanya, terdengar jelas ketakutan dari nada bicaranya.
"Hem, ya... bisakah kamu mendekat..." ujar Melisa dengan nada lembut. Untungnya ia menerima ingatan dari pemilik tubuh ini, hingga ia bisa mengetahui apa yang terjadi pada tubuh ini serta orang-orang di masa lalu.
"Tapi aku kotor, bu..." jawabnya dengan memegang ujung baju yang terlihat begitu lusuh.
'Dasar wanita gila, kau bahkan lebih buruk dari pada binatang Alexa,' pikir Melisa dengan mencengram kedua tangannya, menahan emosi yang akan keluar.
"Huh...tidak apa, kamu kesini ya, sayang," bujuknya pada sang anak.
"Ba-baik, bu," jawab anak itu, lalu mendekat ke arah Melisa. Sesampainya di samping tempat tidurnya, anak laki-laki itu kembali terdiam dengan menundukkan kepalanya.
"Mulai sekarang, namamu Kevin, sayang. Maaf jika ibu baru memberikanmu nama sekarang," Ia benar-benar sudah bingung harus dengan kalimat apa lagi untuk mengumpat wanita itu. Anaknya sendiri bahkan tidak ia berikan nama.
"Hiks hiks..." Anak kecil itu justru menangis, membuat Melisa menjadi panik. Suasana tiba-tiba saja menjadi begitu menyedihkan dengan air mata yang mengalir dari matanya. "Eh, kenapa menangis? Apa tidak suka dengan namanya?" tanya Melisa dengan khawatir. Wanita itu berpikir mungkin dia salah bicara dan justru membuat anak ini menangis.
"Ti-tidak, hiks hiks, bu... Kevin senang karena akhirnya punya nama. Hiks hiks, selama ini orang-orang memanggilku dengan panggilan anak haram, sialan, tidak berguna, kotor, tapi sekarang mereka bisa memanggilku dengan panggilan Kevin, hiks hiks," jelas anak itu, dengan suara yang bergetar dan air mata yang mengalir.
Mendengar perkataan itu membuat hati Melisa terasa teriris. Dia benar-benar sangat sedih dengan apa yang dialami oleh anak sekecil ini.
"Hmm, sekarang Kevin, jangan menangis lagi ya, karena ibu akan menjaga Kevin dengan baik. Jadi, maukah Kevin memaafkan perlakuan ibu di masa lalu?" ujar Melisa dengan memeluk tubuh kecil itu. Ia merasa sangat lega karena bisa memeluk anak itu dan memberikan kasih sayang yang selama ini tidak pernah diberikan.
"Kevin selalu memaafkan ibu," ujarnya dengan sisa air mata di pipinya. Anak itu kemudian tersenyum lembut, dengan mata yang masih basah dengan air mata.
"Hiks hiks, Kevin benar-benar anak yang baik, ibu janji akan sangat baik kepada Kevin di masa depan," janji Melisa dengan lembut, bahkan tanpa terasa air mati mengalir begitu saja di pipinya.
"Kevin juga janji akan menjadi anak baik," balasnya.
"Kevin, ibu benar-benar menyayangi mu, dan maaf untuk segalanya."
"Kevin juga sayang ibu."
Mereka akhirnya berpelukan, dengan perasaan yang hangat. 'Rasanya benar-benar nyaman, ternyata pelukan dari ibu benar-benar sangat hangat dan nyaman,' pikir Kevin. Selama ini ia hanya sering melihat bagaimana warga desa yang terkadang menggandeng tangan dan memeluk anak mereka. Ia pikir hal itu tidak mungkin bisa terjadi padanya, tapi siapa sangka saat ini sang ibu benar-benar memeluknya. Ini seperti mimpi yang sangat indah.
Setelah sekian lama saling memeluk, akhirnya Kevin tertidur dengan pulas di dalam dekapan Melisa. Gadis itu menatap sendu pada anak itu, sungguh malang, anak sebesar ini sudah begitu banyak mengalami kesulitan.
'Kenapa takdir begitu kejam pada anak sekecil ini?' pikirnya dengan kesedihan yang mendalam. Lalu terdiam sejenak dengan menatap langit-langit kamar tua yang saat ini ia tempati.
"Huh, sepertinya aku mengalami transmigrasi sama seperti novel yang sering aku baca. Tapi, kenapa aku harus menjadi wanita jahat ini? Tidak adakah orang lain yang lebih baik dari pada wanita ini?" gumamnya dengan kekesalan yang luar biasa.
"Baiklah, sekarang menyesali apapun tidak akan berguna. Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana cara agar bisa bertahan hidup, di tambah dengan aku yang harus membahagiakan Kevin. Bukannya bagaimana, tapi wanita ini adalah penjahat nomor satu di negeri ini. Sekarang aku saja berada di pengasingan akibat perbuatan jahatnya yang benar-benar luar biasa." Lanjutnya dengan sedikit frustasi.
Saat ini, Melisa telah ada pada tubuh Alexa Rosewood, yakni putri tunggal dari keluarga Duke Rosewood. Bayangkan saja, putri tunggal keluarga ini benar-benar sombong dan angkuh. Sebenarnya, menurut Melisa, wanita ini terlalu dimanja oleh keluarganya karena merupakan putri tunggal, sehingga Alexa merasa jika semua yang ia inginkan harus menjadi miliknya.
Pada akhirnya, tanpa di duga, wanita ini jatuh cinta pada Duke Ferdinand, yakni pengantin pria nomor satu paling di minati. Bagaimana tidak, pria itu sangat tampan, kaya, dan juga baik, sehingga wanita mana yang tidak akan jatuh cinta pada dirinya, termasuk Alexa Rosewood. Wanita itu selalu mengejar Duke Ferdinand seperti orang gila, bahkan benar-benar gila. Ini bukan hanya ungkapan saja, tapi memang benar gila.
Bayangkan saja, wanita itu membuli semua wanita yang ingin mendekati Ferdinand. Ia bahkan tidak segan-segan menyingkirkan wanita-wanita itu.
Hingga suatu ketika, Ferdinand membawa seorang gadis cantik bernama Rania ke dalam istana. Sosok gadis cantik dengan rambut silver yang indah dan mata berwarna merah muda yang sungguh sangat indah. Orang-orang bahkan menjuluki Rania dengan sebutan "Malaikat yang jatuh". Suasana di dalam istana menjadi sangat ramai dan riuh, dengan semua orang yang ingin melihat kecantikan Rania.
Sedangkan Alexa menjadi sangat marah, ia benar-benar kesal, lalu melakukan hal gila dengan menjebak Ferdinand dengan memberikan obat perangsang pada minumannya. Tapi, siapa sangka, justru tangan kanan Ferdinand, yakni Andrea, yang masuk jebakan. Andrea adalah pria tampan dengan rambut hitamnya dan mata berwarna merah yang sangat tajam. Bahkan, sejujurnya, jika dibandingkan dengan Ferdinand, pria itu jauh lebih tampan.
Saat Alexa menyadari kebodohannya itu, ia benar-benar menjadi gila. Ia merasa sangat malu dan kesal dengan dirinya sendiri. Setelah menghabiskan malam dengan Andrea, Alexa bukan meminta maaf, justru ia menyalahkan Andrea atas semua yang terjadi. Wanita gila itu bahkan ingin membunuh Andrea, tapi tentunya tidak berhasil.
"Kau wanita gila, kupastikan hidupmu akan hancur atas semua yang kau lakukan, jalang!" ujar Andrea dengan penuh kemarahan. Suaranya sangat keras dan menakutkan, membuat Alexa merasa sangat takut. Tapi, bukan Alexa namanya jika akan meminta maaf, ia justru menghina Andrea.
Hingga sebulan kemudian dari kejadian itu, ia berhasil meracuni Rania, walaupun tidak berhasil dan Rania berhasil selamat karena ia pemeran utama. Alexa, dengan cepat tertangkap. Wanita itu berpikir ia mungkin hanya akan dijatuhi hukuman ringan mengingat status ayahnya, tapi siapa sangka, ia justru diasingkan di sebuah desa buangan dengan gelar yang ikut dicabut. Pengadilan mengatakan jika itu adalah perintah langsung dari kaisar dan tidak bisa diubah, termasuk dengan keluarga Alexa sekalipun.
Oleh sebab itulah, wanita gila ini ada di sini, di sebuah desa buangan yang sunyi dan terisolasi. Walaupun begitu bukannya tobat dan memperbaiki diri wanita itu justru berpikir untuk balas dendam pada Rania dan juga semua orang, padahal sudah jelas ini adalah karma baginya.
Dan Kevin sangat dibenci oleh Alexa karena anak itu benar-benar mirip dengan Andrea, sosok yang tidak jelas asal-usulnya, atau jika menurut Alexa, "Rakyat jelata".
"Wanita itu benar-benar harus masuk neraka," gumam Melisa, dengan nada kesal dan kemarahan. Ia merasa sangat muak dengan Alexa dan semua perbuatan jahatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!