Malam itu, Hawa Harper merasa tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit. Hujan gerimis turun pelan, menciptakan suasana sepi di jalan yang ia lewati. Setelah seharian berhadapan dengan pasien yang datang silih berganti, kelelahan mulai menghantui langkahnya. Ia melajukan mobil dengan santai, sesekali memejamkan mata, berusaha menikmati keheningan malam. Beberapa menit lagi, ia akan sampai di rumah. Hawa menyalakan radio, berharap suara musik yang lembut bisa sedikit menenangkan pikirannya yang penat.
Brakkkk!!!
Buuugggg!!!
Hantaman keras di depan mobil Hawa jelas sekali dilihatnya. Keheningan itu tiba-tiba pecah. Sebuah suara keras yang mengguncang udara, suara mobil menabrak pohon besar di sisi jalan yang gelap. Hawa terkejut dan langsung menepikan mobilnya. Jantungnya berdegup cepat, rasa cemas mulai menghantui. Dengan tangan gemetar, ia keluar dari mobil dan berlari menuju sumber suara.
Di sana, sebuah mobil mewah terbalik, tergeletak di atas jalan. Asap mengepul dari kap mesin yang remuk, dan Hawa bisa melihat dua sosok di dalamnya. Seorang pria gagah dan kekar tergeletak tak berdaya di kursi kemudi, sementara di sebelahnya, seorang gadis kecil terbaring tak bergerak, darah mengalir deras dari kepala kecilnya.
"Ya Tuhan!!!" Teriak terkejut Hawa.
Hawa berlari menuju mobil dengan cepat, tanpa berpikir panjang. “Tuan! Anak ini—dia terluka parah, kita harus segera membawanya ke rumah sakit!” teriak Hawa, suaranya gemetar karena ketakutan. Namun, begitu ia mendekat dan melihat pria itu, ia terkejut. Pria itu membuka matanya, menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh amarah.
“Jangan sentuh aku!” suaranya serak, namun penuh ancaman. “Kau tidak tahu siapa aku!”
Hawa terdiam sejenak. Pria ini jelas terluka, namun tidak ada rasa terima kasih dalam tatapannya, hanya ancaman yang memancar dari matanya. Namun, anak itu... Hawa tidak bisa membiarkan gadis kecil itu terbaring begitu saja. “Tuan, anak ini membutuhkan pertolongan segera. Kalau tidak, kita semua akan menyesal. Aku seorang perawat. Aku bisa membantu. Tolong biarkan aku membantu,” kata Hawa, suara penuh kepastian meski hati kecilnya bergetar.
Pria itu menarik napas dalam, sesak. “Tidak! Tidak ada yang boleh tahu siapa aku! Pergi!!!” Ia berusaha mengangkat tangan, meski gerakannya terbata-bata karena rasa sakit yang luar biasa. “Kau bisa membantu anakku, tapi jangan bawa kami ke rumah sakit! Jangan panggil ambulans! Aku tidak ingin masalah ini sampai ke telinga orang-orang! Dan satu hl lagi rahasiakan keberadaan kami.”
Hawa tercengang. “Tuan, Anda sedang sekarat! Anak ini juga dalam kondisi kritis! Kita tidak punya banyak waktu! Mengapa Anda menolak pertolongan dari rumah sakit?”
Pria itu menatapnya dengan wajah penuh kebencian, namun kemudian suara seraknya terdengar lagi. “Aku hanya ingin hidup. Tapi aku tak bisa membiarkan siapapun tahu siapa aku. Jika orang-orang tahu, bukan hanya aku yang akan mati, tapi kau juga!” matanya berkilat, seperti menantang Hawa.
Hawa merasa tercekik oleh ketakutan yang menggerogoti. Apa yang sedang dia hadapi? Siapa pria ini? Mengapa dia begitu takut untuk dikenal? Namun, Hawa tahu, jika ia meninggalkan mereka di sini, ini akan menjadi sebuah keputusan yang mengerikan. Jika ada satu hal yang bisa ia lakukan, itu adalah membantu menyelamatkan hidup mereka.
"Gila!!" batin Hawa. "Pria tidak waras, kondisi sekarat masih bisa bisanya mengancam. Jika saja aku bukan perawat, mungkin masih bisa aku abaikan."
Hawa menatap pria itu dengan serius. “Kalau begitu, aku akan bawa Anda ke rumahku. Tapi, kita harus kembali ke klinik temanku sebentar untuk mengambil peralatan medis yang akan aku pinjam untuk kebutuhan kalian. Rumahku tidak memiliki perlengkapan yang memadai untuk menangani cedera berat seperti ini,” kata Hawa, suaranya penuh ketegasan meski tangan dan tubuhnya masih gemetar.
Pria itu menatapnya tajam, seolah mencoba menilai apakah Hawa serius. Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, dia akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi hanya di rumahmu. Tidak ada rumah sakit, tidak ada ambulans. Aku akan mati jika kau memaksaku ke sana.”
“Ini keputusan yang berbahaya, Tuan. Anda harus tahu, aku tidak bisa menjamin semuanya akan berjalan dengan aman tanpa alat yang tepat,” jawab Hawa, mencoba menimbang setiap kata. “Tapi saya akan bantu. Itu janji saya.”
Pria itu mengangguk perlahan, lalu suara kasar terdengar lagi. “Cepat. Aku tidak punya banyak waktu.”
Hawa menggigit bibirnya, menghindari rasa takut yang menggerogoti dirinya. Ia membuka pintu mobil pria itu dan dengan hati-hati membantunya keluar, meskipun tubuhnya gemetar. Tangan Hawa menyentuh tubuh pria itu, darah hangat mengalir dari luka-luka di tubuhnya. “Kita harus cepat,” katanya sambil memapah pria itu ke mobil.
Selama perjalanan menuju klinik, Hawa berusaha menjaga konsentrasi, meskipun suasana di dalam mobil terasa tegang dan mencekam. Pria itu terdiam, hanya sesekali mengeluarkan keluhan dari rasa sakit yang luar biasa. Hawa bisa merasakan ketegangan yang begitu pekat di antara mereka, dan dia tahu bahwa ia baru saja melangkah ke dalam dunia yang lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan.
Sesampainya di klinik, Hawa memarkir mobil dengan terburu-buru. “Tunggu di sini,” katanya, lalu dengan cepat berlari menuju pintu belakang klinik. Untungnya, saat itu malam sudah larut, hanya ada beberapa staf yang sedang berjaga. Hawa mengambil beberapa peralatan medis yang diperlukan, merasa seperti seorang pencuri yang mengambil barang yang bukan miliknya, meskipun dia tahu ia tidak punya pilihan lain.
"Jan, aku pinjam alat medismu di klinik. Aku butuh, penting!" Hawa kirimkan pesan pada pemilik klinik yang tidak lain temannya.
Ia kembali ke mobil dengan hati-hati, berusaha tidak menarik perhatian. “Kita pergi sekarang,” Hawa berkata saat memasuki mobil dan menyalakan mesin.
Pria itu menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca, penuh kewaspadaan dan kebingungan. “Ini bukan akhir dari semuanya, kau tahu? Jika kau bantu aku, kau akan terjebak. Tidak ada jalan keluar dari ini.”
Hingga sampai di rumahnya, Hawa masukkan mobilnya ke garasi bagian belakang, bukan di tempat biasa.
"Tuan, tunggu dulu. Aku akan membawa anak Anda lebih dulu." pinta Hawa yang menggendong anak perempuan yang bersimbah darah banyak. Masuk ke dalam ruangan yang biasa di buat praktek Hawa, hanya ia yang mempunyai kuncinya. Masuk dan membaringkannya. Lalu kembali lagi keluar, memapah lelaki kekar untuk masuk keruangan yang sama.
"Tuan, anda masih kuat untuk bertahankan. Aku akan membantu anakmu lebih dulu." kata Hawa lagi.
Hawa dengan cekatan memasangkan semua yang di butuhkan oleh anak kecil itu. Setelah beberapa menit, bajunya juga sudah di ganti dengan yang bersih yang ada di ruangan itu. Kini anak kecil itu beruntung darahnya tidak sampai kekurangan. Jadi sudah aman.
"Kamu tidak takut denganku?" tanya Harrison saat Hawa membersihkan lukanya.
"Tidak, Tuan." jawab Hawa.
"Kamu beda," batin Harrison memuji Hawa.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, ini karya baru mommy lagi ya. Jangan lupa like, subscribe, vote dan komentarnya ya.
Kalau suka bisa kasih rating ⭐⭐⭐⭐⭐, kalau ga suka tinggalin aja ya. Mommy mohon jangan kasih bintang sedikit itu akan menghancurkan karya.
Terima kasih, happy reading.❤❤❤❤❤
Hawa Harper berdiri di depan pintu rumahnya dengan napas tersengal, matanya memandang tajam pada pria yang kini duduk di sofa ruang tamunya. Harrison Noah, pria yang wajahnya keras dan penuh luka itu, tetap memancarkan aura dingin meski tubuhnya terlihat lemah. Di sampingnya, Emma, anak perempuannya yang baru berusia tujuh tahun, terbaring dengan luka di dahi yang sudah ia balut dengan rapi dn beberapa luka di tangannya yang sudah rapih di perban. Namun, itu belum cukup membuat hati Hawa tenang.
Setelah malam penuh ketegangan itu, Harrison memaksa Hawa membawa mereka ke rumahnya alih-alih ke rumah Bab 2: Pusingnya Hawa di rumahnya, dan ia harus memastikan mereka baik-baik saja, sambil menjaga rahasia besar yang mungkin bisa menghancurkan hidupnya.
“Dengar, Tuan Noah,” kata Hawa sambil melipat tangannya di dada. “Aku sudah melakukan semua ini atas dasar rasa kemanusiaan. Tapi aku harus tahu, kenapa Anda tidak mau ke rumah sakit? Apa yang sebenarnya Anda sembunyikan?”
Harrison menatapnya dengan dingin, tatapannya seakan bisa menembus jiwa. “Semakin sedikit orang yang tahu, semakin baik. Itu saja yang perlu kau ketahui,” katanya pendek.
Hawa mendesah panjang. “Tuan, aku paham Anda punya alasan. Tapi Anda harus tahu, ini rumahku. Jika orang tuaku tahu ada pria asing dan anak kecil di sini, apa yang harus aku katakan?”
Harrison mendongak, menatap Hawa dengan tajam. “Bilang saja aku saudara temanmu yang membutuhkan bantuan. Kau cukup pandai bicara, bukan? Jangan seolah kamu tidak paham!”
“Tuan!” seru Hawa, suaranya meninggi. “Ini bukan lelucon! Aku bisa kehilangan pekerjaan kalau ini sampai ketahuan. Dan lagi, Anda siapa sebenarnya? Apa yang membuat Anda begitu takut untuk ditemukan?”
Harrison tersenyum tipis, tapi senyuman itu sama sekali tidak menenangkan. “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Percayalah, semakin sedikit yang kau tahu, semakin aman kau dan keluargamu.”
"Pria aneh dan egois. Rasanya ingin sekali memukul kepalanya." batin Hawa.
Hawa menggelengkan kepala, merasa frustrasi. Ia ingin menolak, tapi tatapan Harrison yang penuh ancaman membuatnya bungkam. Sementara itu, Emma mulai bergerak kecil, membuka matanya perlahan.
“Mama…” suara kecil itu terdengar lirih, membuat hati Hawa mencelos.
Hawa langsung mendekat, membelai kepala gadis kecil itu dengan lembut. “Ssshh, sayang. Tidak apa-apa. Kamu aman di sini.” Akhirnya membuat Emma kembali terlelap tidur dengan tenang.
Harrison memperhatikan adegan itu tanpa berkata apa-apa, tapi matanya melembut sesaat sebelum kembali menegang. “Emma tidak boleh tahu apa pun,” katanya pelan, tapi penuh penekanan.
Hawa menatapnya tajam. “Tuan, aku bukan orang yang suka menyimpan rahasia, apalagi di rumah saya sendiri. Tapi baiklah, aku akan melakukannya. Tapi ini tidak bisa lama-lama. Aku akan merawat kalian sampai membaik. Setelah itu, Anda harus pergi. Dan biarkan aku kembali damai dan bekerja dengan bebas.”
Harrison tidak menjawab, hanya mengangguk kecil.
---
Hari-hari berikutnya terasa seperti neraka bagi Hawa. Setiap kali Papa Dylan Harper atau Mama Tamara Harper bertanya siapa tamu di rumah mereka, Hawa harus berbohong dengan hati berdebar.
“Siapa mereka, Hawa?” tanya Tamara suatu malam saat mereka sedang duduk di ruang makan. “Pria itu tampak... berbahaya. Kau yakin dia temanmu?”
Hawa menelan ludah. “Dia saudara dari teman kerja, Ma. Mereka kecelakaan, dan aku tidak tega meninggalkan mereka begitu saja.”
Tamara mengerutkan kening, tapi akhirnya mengangguk. “Kamu ini terlalu baik, Hawa. Tapi hati-hati, ya. Jangan sampai kebaikanmu dimanfaatkan. Mama hanya pesan itu, karena kau sangat baik, Hawa.”
Hawa hanya tersenyum tipis. Ia tahu ibunya tidak akan pernah membayangkan betapa rumitnya situasi ini.
Di sisi lain, hubungan Hawa dan Harrison tetap penuh ketegangan. Setiap kali mereka bertukar kata, selalu diwarnai dengan argumen tajam.
“Tuan Noah, Anda harus makan. Tubuh Anda butuh energi untuk pulih,” kata Hawa suatu malam sambil membawa nampan makanan ke ruang tamu.
“Aku tidak lapar,” jawab Harrison tanpa menoleh.
Hawa mendengus kesal. “Dengar, Tuan. Kalau Anda mati kelaparan di rumahku, itu hanya akan membawa masalah besar bagiku. Jadi, makanlah!”
Harrison berbalik, menatapnya dengan tatapan yang begitu menusuk hingga Hawa hampir mundur. “Kau pikir aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan hidup? Aku tidak butuh ceramah darimu.”
Hawa menahan napas, tapi ia tidak mau kalah. “Tuan, aku bukan ceramah. Aku hanya memastikan Anda dan anak Anda tetap hidup. Jadi, tolong, jangan buat segalanya lebih sulit dari yang sudah ada. Setidaknya menurut lah padaku.”
Untuk pertama kalinya, Harrison tidak menjawab. Ia mengambil nampan itu dengan satu tangan dan mulai makan dalam diam.
Emma, di sisi lain, mulai terbiasa dengan kehadiran Hawa. Gadis kecil itu sering meminta Hawa untuk duduk bersamanya, bahkan memeluknya saat tidur. Hal itu membuat hati Hawa hangat, meski ia tahu ini hanya sementara.
---
Seminggu berlalu, dan kondisi Harrison serta Emma semakin membaik. Luka-luka mereka sudah mengering, dan Hawa mulai merasa lega. Namun, ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Harrison tidak pernah menyentuh ponsel atau meminta bantuan dari siapa pun. Bahkan, ia tidak pernah keluar rumah.
Suatu pagi, saat mereka sedang sarapan, Hawa akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Tuan Noah, sudah seminggu Anda di sini. Bukankah seharusnya Anda menghubungi keluarga atau teman Anda?”
Harrison menatapnya dengan dingin. “Aku akan pergi hari ini. Tapi kau harus mengantarku.”
Hawa mengernyit. “Mengantar ke mana?”
“Ke rumahku,” jawab Harrison singkat.
Hawa terdiam. Ia tidak tahu harus merasa lega atau khawatir. Namun, ia tidak punya pilihan selain mengikuti permintaannya.
---
Saat Hawa mengantar Harrison dan Emma ke alamat yang ia berikan, ia terkejut melihat sebuah rumah besar dengan gerbang tinggi dan penjagaan ketat. Mobilnya terasa begitu kecil saat melewati jalan masuk yang panjang.
“Kau tinggal di sini?” tanya Hawa, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan.
Harrison hanya mengangguk. Saat mobil berhenti, beberapa pria berjas hitam segera menghampiri. Mereka tampak terkejut melihat Harrison dan Emma, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Terima kasih atas bantuanmu,” kata Harrison dingin sebelum keluar dari mobil, membawa Emma di pelukannya.
Namun, sebelum Hawa sempat pergi, salah satu pria berjas hitam menghampiri. “Maaf, Nona. Tuan Harrison ingin Anda masuk sebentar.”
Hawa menatap pria itu dengan bingung. “Apa maksud Anda? Aku hanya membantu mereka. Tidak ada urusan lain.”
Pria itu tidak menjawab, hanya membuka pintu mobilnya. Dengan enggan, Hawa mengikuti. Ia tidak tahu apa yang menantinya di dalam rumah mewah itu, tapi firasatnya mengatakan, ini adalah awal dari masalah yang jauh lebih besar.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Terima kasih atas dukungan kalian ya.
Hawa Harper melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu dengan perasaan campur aduk. Tatapan tajam para bodyguard yang mengawalnya menambah berat langkahnya. Di ruang keluarga, suara tangisan seorang anak kecil menggema, memecah keheningan. Hawa berhenti sejenak, mengatur napasnya.
“Aku tidak mau! Aku mau Kak Hawa! Aku tidak peduli, Papa!” teriak suara kecil itu dengan nada penuh tangis.
Hawa mengenali suara itu. Emma. Gadis kecil yang ia rawat dengan penuh kasih sayang selama seminggu terakhir. Tanpa menunggu aba-aba, ia berjalan lebih cepat menuju sumber suara.
Di ruang keluarga, Harrison Noah tampak duduk di sofa besar, kepalanya ditopang oleh tangannya, wajahnya penuh dengan kelelahan dan frustrasi. Di depannya, Emma berdiri dengan wajah merah dan air mata mengalir deras di pipinya.
“Emma, berhenti menangis. Ini tidak akan mengubah apa pun,” suara Harrison terdengar berat, tetapi tetap tegas.
“Tidak! Aku mau Kak Hawa! Aku tidak akan tidur kalau Kak Hawa tidak di sini!” Emma tetap bersikeras, tangisnya semakin keras.
Harrison mengusap wajahnya dengan kasar, jelas menunjukkan kebingungannya. “Emma, dengar. Kak Hawa sudah pergi. Dia punya hidupnya sendiri, dan dia tidak bisa tinggal di sini selamanya.”
Namun, tangisan Emma justru semakin memilukan. Hawa yang mendengarnya dari balik pintu merasa hatinya seperti ditusuk. Tubuhnya bergetar melihat betapa sedihnya gadis kecil itu.
Salah satu bodyguard yang berdiri di samping Harrison melirik Hawa, berniat memberi tahu kehadirannya. Tapi Hawa menggelengkan kepala, memberi isyarat agar tidak mengatakan apa-apa. Dengan hati-hati, ia melangkah maju, menghampiri Emma.
“Emma...” suara lembut Hawa memecah suasana.
Tangisan Emma langsung berhenti. Gadis kecil itu mendongak, matanya yang bengkak karena menangis langsung berbinar begitu melihat sosok Hawa. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah Hawa dan memeluknya erat.
“Kak Hawa!” serunya dengan suara parau, tetapi penuh kelegaan.
Hawa tersenyum kecil, membelai rambut Emma dengan lembut. “Ssshh, sayang. Tidak apa-apa. Aku di sini. Jangan menangis lagi, ya?”
Emma mengangguk kecil, meski isakannya masih terdengar. Hawa berlutut di depannya, menatap wajah mungil itu dengan penuh kasih sayang.
“Emma, kamu harus istirahat, ya? Kamu tidak boleh terlalu lelah,” bujuk Hawa.
“Tapi... aku tidak mau tidur kalau Kak Hawa tidak di sini,” bisik Emma, matanya berkaca-kaca.
Hawa melirik Harrison, yang kini menatap mereka dengan ekspresi sulit dibaca. Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap Emma. “Baiklah. Kakak akan menemani kamu sampai kamu tertidur, tapi kamu harus janji, ya? Setelah itu kamu harus istirahat dengan baik.”
Emma mengangguk dengan semangat. “Aku janji, Kak Hawa!”
Tanpa menunggu lebih lama, Emma menarik tangan Hawa dan membawanya ke kamar. Hawa mengikuti dengan langkah berat, merasa bahwa keputusannya ini akan membuat segalanya menjadi lebih rumit.
***
Di kamar Emma yang luas dan mewah, Hawa duduk di tepi tempat tidur sambil membelai kepala gadis kecil itu. Emma perlahan mulai terlelap, tetapi tangannya tetap menggenggam erat tangan Hawa, seakan takut kehilangan.
Hawa menunggu dengan sabar sampai napas Emma menjadi tenang dan teratur, tanda bahwa gadis kecil itu benar-benar tertidur. Baru setelah itu ia perlahan melepaskan genggamannya dan bangkit dari tempat tidur.
Namun, saat ia membuka pintu kamar, ia terkejut melihat Harrison berdiri di baliknya. Wajah pria itu terlihat dingin, tetapi sorot matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diterjemahkan.
“Kita perlu bicara,” kata Harrison singkat sebelum berbalik dan berjalan menuju ruang kerjanya.
Hawa hanya bisa mengikutinya tanpa berkata apa-apa.
***
Di dalam ruang kerja yang luas dan penuh dengan aura dingin, Hawa berdiri dengan canggung. Tumpukan buku-buku tebal berjajar rapi di rak, sementara meja besar yang terbuat dari kayu mahoni menambah kesan serius ruangan itu. Harrison berdiri di dekat jendela besar, menatap keluar dengan tangan terlipat di dada. Ia tidak segera berbicara, menciptakan jeda yang terasa menekan bagi Hawa.
Hawa berdehem pelan, mencoba memecah keheningan. “Tuan Noah, jika ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan, tolong langsung saja. Aku harus segera pulang.”
Harrison berbalik perlahan, tatapan tajamnya langsung menusuk ke arah Hawa. "Emma tidak akan membiarkanmu pergi, dia membutuhkanmu," ucapnya tanpa basa-basi.
Hawa terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menunduk, mencoba meredakan detak jantungnya yang mulai berpacu. “Tuan Noah, aku mengerti Emma merasa nyaman denganku, tapi... aku tidak bisa tinggal di sini. Aku punya pekerjaan, keluarga yang menungguku di rumah. Ini sulit bagiku.”
Harrison mendekat, langkahnya tenang namun tegas. “Kau pikir aku tidak tahu itu? Tapi saat ini, Emma hanya percaya padamu. Dia baru saja kehilangan rasa aman, dan kau satu-satunya yang membuatnya merasa tenang.”
“Tuan Noah, Anda harus mengerti, aku bukan pengasuh. Aku punya tanggung jawab lain di luar sini. Kalau Emma membutuhkan perhatian, mungkin Anda bisa memanggil seseorang yang lebih profesional untuk membantu,” balas Hawa dengan nada tegas, meskipun suaranya sedikit gemetar.
“Aku tidak bisa memercayai siapa pun, belum tentu juga Emma mau,” potong Harrison dengan nada dingin. “Orang-orang di luar sana tidak tahu tentang kecelakaan ini, dan aku ingin tetap seperti itu. Kau satu-satunya yang tahu, dan itu membuatmu berbeda.”
Hawa mengernyit, firasat buruknya semakin kuat. “Tuan Noah, Anda... bukan orang biasa, bukan?” tanyanya pelAn, nyaris berbisik.
Harrison menatapnya tajam, namun tidak menjawab. Tatapan itu cukup untuk membuat Hawa mundur setengah langkah.
“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang... berbahaya,” lanjut Hawa, suaranya melemah. “Dan itu membuatku semakin yakin, aku tidak seharusnya berada di sini.”
“Kau tidak punya pilihan,” jawab Harrison dingin. “Emma membutuhkanmu, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun yang tidak aku kenal berada di dekatnya.”
Hawa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Tuan Noah, ini bukan hanya tentangku. Bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana aku menjelaskan ini pada mereka? Bagaimana aku bisa menjelaskan kenapa aku harus tinggal di rumah orang asing?”
Harrison melangkah lebih dekat, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. “Katakan apa pun yang kau perlu katakan. Katakan kau membantu teman. Katakan kau punya tanggung jawab. Aku tidak peduli, selama mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya dan apa yang terjadi. Bukankah sebelumnya kau mampu menyembunyikan kami dirumahmu?”
“Itu berbeda Tuan! Dan saat ini tidak adil!” sergah Hawa, emosinya mulai memuncak. “Aku tidak bisa hidup dengan kebohongan seperti itu terus! Aku punya kehidupan sendiri, dan aku tidak bisa mengorbankannya hanya karena Anda memutuskan ini!”
“Adil?” Harrison tersenyum tipis, tanpa humor. “Hawa, dalam hidupku, tidak ada yang adil. Kau pikir aku meminta kecelakaan itu terjadi? Kau pikir aku meminta Emma kehilangan rasa aman dan kepercayaannya? Aku juga tidak ingin ini terjadi, tapi aku harus memastikan Emma mendapatkan apa yang dia butuhkan. Jika itu berarti memintamu tinggal, maka aku akan melakukannya.”
Hawa terdiam, hatinya berdebar keras. Kata-kata Harrison seperti cambuk yang menusuk ke dalam dirinya. Ia tahu pria ini berbicara dari rasa tanggung jawab sebagai seorang ayah, tetapi keputusannya terasa begitu sepihak dan memberatkan.
“Tuan Noah... ini sangat sulit bagiku,” ucap Hawa akhirnya, suaranya melemah. “Tapi aku tidak tega melihat Emma terus menangis. Dia gadis kecil yang manis, dan aku ingin membantunya. Hanya saja... butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua ini.”
Harrison mengangguk perlahan, meskipun ekspresinya tetap dingin. “Aku tidak meminta lebih. Selama kau ada untuk Emma, itu sudah cukup.”
Hawa menggigit bibirnya, merasa dilematis. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi aku punya syarat. Aku harus tetap bisa menjalankan pekerjaan seperti biasa, dan aku harus tahu bahwa ini hanya sementara.”
Harrison menatapnya dalam-dalam, seolah menilai ketulusan kata-katanya. “Deal,” katanya singkat. “Tapi satu hal lagi, Hawa.”
“Apa?” tanya Hawa, suaranya nyaris bergetar.
“Kalau kau mencoba melibatkan orang lain, atau mencoba pergi tanpa izinku, aku tidak akan segan-segan mengambil tindakan,” ucap Harrison dengan nada rendah, penuh ancaman.
Hawa menelan ludah, merasa tubuhnya bergetar. "Aku mengerti,” jawabnya pelan, meskipun hatinya penuh dengan ketakutan.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa ya like dan komentarnya ya.
Dukung terus ya karya mommy ini. Terima kasih.❤❤❤❤❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!