Cipratan darah terlihat, rambut hitam dengan tatapan mata begitu dingin. Wajahnya tersenyum, melepaskan sarung tangannya. Membasuh wajahnya menggunakan air.
Suara petir terdengar di luar sana, menampakkan sedikit wajahnya yang tersenyum bagaikan boneka porselen.
Berjalan seorang diri menelusuri lorong luas di rumah yang bagaikan kastil. Begitu besar, begitu luas.
Hingga langkahnya terhenti di ruang makan. Makanan hangat telah terhidang di meja besar di hadapannya. Seorang wanita dengan wajah rusak akibat air keras duduk menunggunya. Wajah wanita itu tersenyum hari ini, entah mengapa.
Otto Celdric, atau biasa dipanggil Eric, mulai duduk. Memakan makanan buatan Foline (istri Eric).
Foline meraba bagian wajahnya yang rusak, begitu kontras dengan suaminya yang begitu indah. Menggenggam garpu, dirinya bertanya.
"Apa kamu yang membunuh Ryu?" Tanyanya pelan.
Tidak ada jawaban Eric hanya tersenyum."Ryu (keponakan Eric), akan menghancurkan perusahaan yang dibangun susah payah oleh kakakku, hanya demi seorang wanita serakah. Daripada dipimpin oleh orang tidak kompeten sepertinya. Bukankah lebih baik aku yang memimpin."
"Cheisia (ibu Ryu) ditemukan meninggal hari ini. Dia mengakhiri hidupnya, menyusul putranya." Foline tertunduk, berusaha untuk makan walaupun sulit. Hanya Eric yang mengulurkan tangan untuknya. Menikahinya, walaupun hanya menjadi istri diatas kertas.
Menunggu orang yang tidak memiliki hati ini untuk mencintainya?
Foline menyembunyikan banyak luka di sekujur tubuhnya. Luka yang didapatkannya dari orang lain, mengalami pembullyan dari berbagai pihak sebagai istri yang tidak dicintai. Bukan suaminya, tapi karena suami yang tidak mencintainya semua orang menunjuk penuh hina pada dirinya.
"Baguslah! Kakakku dapat mencari istri lain. Wanita hanya sebuah mainan, boneka porselen yang membutuhkan perawatan terlalu mahal." Gumam Eric tersenyum menggoyang-goyangkan gelas winenya.
Foline tersenyum, namun air matanya mengalir. Tidak terlihat cantik, tapi lebih cenderung terlihat mengerikan, begitulah wajahnya."Apa kamu mencintaiku? Aku juga seorang wanita bukan? Atau aku hanya boneka porselen yang dapat digantikan?" tanyanya.
Eric sedikit berfikir, menghentikan aktivitas makanannya sejenak."Kamu bukan boneka porselen mahal. Hanya pecahan tembikar murah. Karena itu, aku menjadikanmu sebagai istriku, dibandingkan dengan boneka porselen yang mewah. Karena pecahan tembikar tidak memerlukan perawatan mahal tidak juga dapat mengeluh. Kamu hanya tembikar yang sudah rusak dari awal." Sebuah jawaban tanpa dosa, penuh dengan senyuman. Kembali melanjutkan aktivitas makanannya.
Sedangkan Foline terdiam sejenak. Kembali menatap ke arah Eric."Kakakmu menghubungiku, meminta agar aku menjagamu. Dia ingin menyusul istrinya (mati)."
"Wanita sial!" Bentak Eric tiba-tiba murka, bangkit dari tempatnya duduk saat ini. Menarik table clothes (taplak meja) hingga semua makanan buatan Foline terjatuh dari ke lantai."Kenapa baru mengatakannya!? Jika kakakku mati kamu akan membayar semuanya!"
Melangkah pergi, setelah sempat mengancam dan menarik rambut Foline.
Tidak ada lagi air mata yang tersisa. Lima tahun pernikahan, apa arti dirinya bagi Eric? Tidak pernah ada kekerasan. Namun, Eric selalu tersenyum setiap melihat dirinya dibully. Bahkan dipermalukan dalam sebuah pesta perjamuan, tanpa sedikitpun pembelaan atau simpati.
Para pelayan di rumah ini menatap sinis pada dirinya. Suara kasak-kusuk terdengar.
"Wajahnya hancur, mana pantas dengan tuan."
"Tinggal menunggu diceraikan saja."
"Bodynya bagus, jujur aku pernah mencicipi tubuhnya."
"Benar! Tubuhnya begitu nikmat."
Kasak kusuk yang terdengar. Benar! Dirinya bahkan dilecehkan oleh beberapa pelayan dan tukang kebun yang bekerja sama mengikat tubuhnya dalam rumah ini. Suaminya? Tidak pernah mendengarkan keluhan atau ceritanya sama sekali. Benar! Dirinya hanya pecahan tembikar, seperti apa yang diucapkan Eric.
Bahkan lima tahun pernikahan, Eric sama sekali tidak pernah menyentuhnya.
Monster buruk rupa? Karena hanya itulah dirinya disebut. Dilecehkan, mengalami pembullyan, itu juga tidak apa-apa.
Wanita yang kembali memasuki kamarnya. Kembali menuliskan segalanya ke dalam buku diary. Hari ini dirinya menyajikan banyak makanan, sebagai masakan terakhir untuk suaminya.
Mendambakan sebuah pernikahan yang indah? Tidak! Hidupnya lebih buruk dari neraka. Bahkan pintu kamarnya memiliki beberapa kunci, tidak ingin kejadian pelayan dan tukang kebun yang melecehkannya secara bergilir, kala suaminya tidak di rumah, terulang lagi.
Pembullyan yang dilakukan para wanita terhormat kalangan atas, kerap dialami olehnya. Foline tidak tahan lagi, mengadu pada orang tuanya? Orang tua yang bahkan tidak peduli pada putri mereka.
Menghela napas, kala kembali menyimpan buku hariannya. Suara petir terdengar, wanita yang memecahkan foto pernikahannya. Meraih pecahan kaca, menggores nadinya sendiri.
Merasakan perlahan nyawanya akan menghilang menemukan ajal. Merasakan tubuhnya semakin dingin kala darah terus mengalir.
Tidak ada yang tersisa, bahkan rasa duka. Karena tidak ada yang pernah mencintai seorang Foline.
*
Terlambat? Segalanya benar-benar terlambat. Kakaknya (Neil) meninggal akibat menembak pelipisnya sendiri. Mengurus pemakaman sang kakak, hal yang dilakukan Eric. Secara otomatis juga, semua harta benda kakaknya diwariskan pada dirinya.
Memakai payung hitam menatap makam kakak yang memiliki selisih usia 22 tahun dengan usianya. Tidak mengerti sama sekali."Kakak kamu begitu hebat, satu-satunya orang yang membuatku kagum. Kenapa harus mati demi menyusul seorang wanita?" tanyanya tanpa air mata sama sekali, meninggalkan makam kakak laki-lakinya.
Mobil melaju, kala itu hujan masih turun. Mungkin semalaman penuh dirinya tidak pulang sama sekali. Ini sudah jam makan siang, masih memakai pakaian hitam pertanda turut berbelasungkawa.
Menatap ke arah meja makan. Menu yang tidak biasa hari ini, ini bukan makanan buatan Foline. Istrinya juga sama sekali tidak ada di meja makan untuk pertama kalinya setelah lima tahun pernikahan mereka.
"Dimana wanita itu?" Tanyanya pada salah seorang pelayan.
"Nyonya tidak keluar dari kamar sejak semalam." Jawab salah seorang pelayan, menuangkan air putih.
Eric kembali menikmati makan siangnya. Rasa yang berbeda, masakan yang benar-benar enak dari koki. Namun, dirinya merasa ada yang kurang.
Mungkin lebih baik, menarik wanita itu dari kamar, memaksanya memasak dan menemaninya makan.
Pemuda yang bangkit, melangkah menuju lantai 2, menggedor-gedor pintu kamar istrinya."Foline! Keluar!" Teriaknya, tanpa menemukan jawaban. Tidak biasanya wanita sial, itu seperti ini.
"Kunci!" Bentak Eric pada pelayan di sampingnya.
Sang pelayan segera mengambil kunci cadangan kamar. Membuka pintu, tapi juga tidak bisa, bagaikan terdapat kunci gembok di dalam sana.
Ada yang aneh, aroma anyir darah dari ruangan yang tertutup rapat. Eric mendobrak pintu pada akhirnya.
Hingga bagaikan jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik. Tidak! Ini lebih buruk dari itu, rumah tempatnya untuk beristirahat sejenak, telah runtuh.
Tubuh wanita yang mendingin berbaring di ranjang. Ceceran darah sedikit mengering menggenang di lantai. Asal darah? Pergelangan tangan wanita yang telah meregang nyawa. Tidur dalam kedamaian, wajahnya yang buruk rupa terlihat begitu tenang.
"Foline br*ngsek!" Umpatnya mengguncang-guncang tubuh itu. Sudah mengetahui tidak ada nyawa sama sekali di dalamnya. Namun masih saja mengangkat tubuhnya. Membawanya ke rumah sakit? Manusia hanya tumpukan daging baginya.
Namun, mengapa dirinya seperti ini hanya dengan kematian Foline.
Gemetar? Itulah kondisi pria itu berharap dokter mengatakan ada detak jantung yang tersisa. Tapi sang dokter hanya menggeleng. Korban terlambat ditemukan, bahkan sangat terlambat.
*
Pemakaman? Untuk apa menggelegar pemakaman untuk orang yang masih hidup? Itulah yang ada di otak Eric, seseorang yang tidak dapat menerima kenyataan.
Menutup mulut sang dokter menggunakan uang, agar dapat kembali membawa mayat istrinya tanpa masalah.
Gila! Kita anggap saja begitu, tubuh Foline dimandikan olehnya. Bukankah Foline selalu tidak percaya diri dengan penampilannya?
Namun, ada yang aneh bekas sulutan rokok, memar, berbagai luka yang sebelumnya tidak diperhatikan terlihat di tubuh istrinya. Eric sama sekali tidak pernah melukai Foline, tapi mengapa tubuhnya seperti ini? Dipenuhi bekas luka?
Memakaikan gaun berwarna putih, kemudian merias wajahnya yang rusak. Peti mati yang begitu luas, membaringkan Foline di dalamnya. Peti mati yang kini berada dalam kamarnya. Memakaikan parfum, walaupun tubuh itu akan tetap membusuk.
"Bangunlah... kenapa kamu begini?" Tanyanya tidak memahami segalanya. Mayat tidak dapat bicara bukan? Andai saja dirinya tidak pernah menyela kata-kata dan keluhan Foline.
Apa ini? Air mata...?
Eric meneteskan air matanya, sembari tersenyum. Bertanya pada Foline."Mengapa dapat sesakit ini? Kamu tidak mati kan? Hanya tidur!? Bangun br*ngsek! Katakan kenapa kamu begini!?"
Hujan masih mengguyur di luar sana, bagaikan sebuah duka yang tidak pernah ada habisnya. Satu jam...dua jam... semuanya dalam keheningan. Kala pemuda itu menemukan buku harian mendiang istrinya.
Mencintai dirinya? Itu hal konyol yang dibaca oleh Eric. Jika mencintainya mengapa memutuskan untuk mati.
Halaman demi lembar halaman, pupil mata pemuda itu bergetar."Gila..." Gumamnya membaca pembullyan bahkan pelecehan yang dialami istrinya.
Pemuda yang mengambil senapan, melangkah dengan cepat. Menuruni tangga, segala emosi dan kebencian tergambar di benaknya.
Namun, mobil polisi mengepung kediaman miliknya. Tidak ada pelayan atau siapapun di rumah ini.
Para polisi yang menodongkan senjata ke arahnya yang masih berdiri di tangga lantai dua.
"Otto Celdric! Kamu berhak untuk diam, kami memiliki surat perintah penangkapan untukmu. Atas pembunuhan yang kamu lakukan pada 7 orang korban." Ucap salah seorang dari beberapa petugas dari lantai satu.
Eric tersenyum, bahkan tertawa."Boleh aku membunuh beberapa orang lagi?" Tanyanya tanpa ekspresi.
Namun para petugas menarik pelatuk mereka. Bersiap untuk menembak.
Eric terdiam sejenak. Bahkan untuk membalas dendam atas kematian Foline dirinya tidak mampu.
"Sayang...jika aku dapat mengulangi waktu, aku tidak akan membiarkanmu menangis, tidak akan membiarkan jarimu tergores..." Gumamnya ingin mengakhiri hidupnya di tangan petugas kepolisian.
Dor!
Menembak ke arah guci, hingga kepanikan terjadi. Petugas polisi memberikan tembakkan peringatan, dilanjutkan dengan beberapa tembakan yang mengenai tubuh Eric.
"Kakak, Foline, jika bisa aku ingin bertemu lagi dengan kalian..." Eric tersenyum tubuhnya roboh mengeluarkan darah dari mulutnya. Segalanya terasa gelap hingga.
***
Napasnya terasa tidak teratur, matanya menelisik. Bukankah dirinya sudah mati? Sebuah cermin besar berada di tempat tersebut. Menampakkan dirinya kala masih muda.
"Paman! Bangun! Bagaimana kamu bisa tidur begitu lama!" Ryu Dean masuk ke kamarnya tanpa permisi.
"Ryu?" Gumamnya mengernyitkan keningnya, bukankah dirinya sudah membunuh keponakannya? Pria yang memiliki usia dua tahun lebih tua darinya.
"Apa!?" Tanya Ryu.
"Kamu masih hidup!? Lalu dimana Foline!?" Ucapnya bangkit dari tempat tidur. Berlari keluar bahkan tanpa mengenakan alas kaki.
"Fo... Foline!? Foline siapa? Paman punya pacar!?" Tanya Ryu mengejar pamannya, seorang paman yang berlari ke arah jalan raya tanpa alas kaki.
"Paman berhenti!" Teriak Ryu, membawa alas kaki berbentuk Teddy bear.
Namun, langkah Eric terhenti, menyadari ini bukan di negaranya. Tepatnya California, Amerika Serikat.
"Ryu, ini tanggal berapa?" Tanya Eric.
"12 April 2012."
Eric terdiam sejenak, dirinya kembali ke masa lalu. Tepatnya 12 tahun sebelum kematiannya.
Wajah Otto Celdric, atau kita dapat memanggilnya Eric, tersenyum. Pemuda yang bahkan tiba-tiba tertawa, ini gila! Dirinya kembali ke 12 tahun lalu?
"Kenapa paman tertawa?" Ryu mengernyitkan keningnya. Memberikan sepasang sandal selop berbentuk beruang pada Eric.
"Hanya ingin tertawa saja. Jadi berapa umurmu saat ini?" Eric mengamati area sekitarnya. Ini tidak salah sama sekali, California Amerika Serikat.
"21 tahun." Jawabnya.
"Berarti umurku 19 tahun." Eric masih tersenyum, menyembunyikan rasa dendam dalam dirinya. Mengulangi waktu, kembali ke masa lalu? Dirinya akan membalas segalanya.
*
Melangkah memasuki area kampus bersama keponakannya, Ryu Dean. Silsilah keluarga yang begitu rumit sejatinya, ini karena Eric terlahir dengan selisih usia yang begitu jauh dengan kakak tirinya, Neil.
Keponakan dengan usia yang dua tahun lebih tua darinya membuat Eric hanya dapat menghela napas.
Mulut keponakannya masih saja mengunyah burger sembari berjalan. Langkah Eric tiba-tiba terhenti, bagaimana caranya bicara seperti orang normal? Tidak boleh menyakiti hati orang, benar-benar berusaha."Ryu bisa kamu menurunkan berat badanmu? Kamu seperti b*bi, aku ingin meledakkan dan memotong lemakmu."
Kalimat yang terdengar keji, dengan senyuman bagaikan ingin membunuh.
"Maaf paman!" Ryu segera membuang burgernya, tangannya gemetar ketakutan. Baru dua hari ini dirinya mulai tinggal berdua dengan pamannya di Amerika Serikat.
Eric menghela napas, manusia hanya tumpukan daging. Tapi Ryu Dean, tumpukan lemak. Pantas saja di masa depan mendapatkan pasangan yang hanya dapat menghabiskan harta keluarga.
Harus berusaha mengeluarkan aura malaikat tidak bersalah. Benar berusaha mengatur raut wajahnya, Eric tetap tersenyum tapi bukan senyuman keji. Kini senyuman bak orang sembelit.
"Ryu, paman salah bicara. Ini untuk kebaikanmu dan Almira (tunangan Ryu), sebaiknya kamu menurunkan berat badan. Wanita menyukai pria atletis." Ucapnya.
"Apa benar?" Tanya Ryu yang memiliki berat badan 101 kg, antusias.
Berhasil! Harus terlihat seperti pria humoris baik hati."Benar!"
Kembali melangkah menelusuri lorong kampus. Kali ini Ryu Dean begitu berisik menceritakan tentang tempat dirinya tinggal sebelumnya, Singapura.
Ini lumayan membosankan. Namun, merubah diri seperti yang ada dalam buku harian Foline. Seperti keinginan Foline, bukan hal mudah baginya.
"Sayang!" Veronica (kekasih Eric) tiba-tiba memeluknya.
"Ini yang namanya Foline? Astaga begitu cantik." Tanya Ryu berbisik pada sang paman salah paham.
Mata Eric menelisik, wajahnya berusaha tersenyum. Benar-benar berusaha.
"Sayang! Nanti malam ada party, kamu datang ya? Jangan lupa kadonya." Ucap Veronica manja. Kemudian sedikit berbisik, memberikan petunjuk kado apa yang harus Eric bawa."Ada tas keluaran terbaru. Aku baru mengirim fotonya. Sangat cantik..."
"Aku mencintaimu." Lanjut Veronica, memojokkan Eric hendak mencium bibirnya. Bersamaan dengan itu Eric sedikit berjongkok, hingga Veronica mencium dinding.
"Aku belum gosok gigi." Dusta Eric terkekeh pura-pura bodoh.
"F*ck!" Umpat wanita itu dengan suara kecil, setelah mencium dinding dengan mesra. Kemudian kembali berusaha tersenyum."Aku mencintaimu, honey."
"Love you too. Aku harus mengantar keponakanku, ini hari pertamanya di kampus." Eric tersenyum, memeluk Veronica, merogoh sakunya sendiri. Kotak kaca berisikan laba-laba Black Widow(spesies laba-laba beracun) dilepaskan olehnya ke dalam tas yang dipakai oleh Veronica.
Wajahnya tersenyum mengerikan diam-diam. Masih teringat dalam benaknya, bagaimana wanita ini menjebaknya untuk tidur dengan pria di kehidupan lalu. Benar! Dirinya dilecehkan oleh pria dalam keadaan mabuk berat karena wanita ini.
Wanita yang tersenyum pura-pura baik, salah satu orang yang membuatnya tercipta sebagai mesin pembunuh.
"Nanti malam jangan lupa datang ya!?" Veronica melangkah pergi, menghampiri beberapa pria lain. Mengecup bibir pria lain singkat, prilaku yang biasa di luar negeri. Untuk sahabat karib...atau mungkin...
"Itu pacar paman!? Lebih cantik dari Almira! Wah! Paman pasti senang---" Kalimat Ryu disela, mulutnya disumpal menggunakan roti. Benar-benar paman yang tidak konsisten tentang diet bukan?
"Senang, jika bisa mengiris kulitnya pelan-pelan, sudut demi sudut, mencabut kukunya. Kemudian mendengarkan menjerit, menunggu kematian..." Raut wajah senyuman, penuh tawa kecil terdengar sedikit gila.
Benar-benar membuat Ryu Dean sedikit bergeser dari pamannya.
"Hanya bercanda! Mana mungkin aku begitu tega pada pacarku yang secantik malaikat." Eric terkekeh, tersenyum seperti biasanya.
"I...Iya!" Pada akhirnya Ryu Dean ikut tertawa.
Namun, ini semakin menyenangkan bagi Eric. Cinta? Perasaan? Segalanya sudah dibuang jauh-jauh olehnya. Memanfaatkan dan dimanfaatkan, itulah yang diajarkan Alex dan Veronica.
Pacar? Veronica bahkan memiliki lebih dari satu pacar. Apa yang salah? Hal yang tidak diduga akan terjadi hari ini. Benar-benar tidak terduga, apa harus membuat mereka mati pelan-pelan?
*
Berhubungan di luar nikah, itu sudah biasa di tempat ini. Bahkan one night stand hanya untuk kesenangan, asalkan tidak ketahuan oleh pasangan masing-masing.
Tas milik Veronica tergeletak di lantai bilik toilet pria, bergerak liar di atas tubuh Alex yang duduk di atas toilet. Dua orang yang menonggakkan kepalanya.
Bukan laba-laba yang langsung membunuh. Laba-laba ini hanya menyebabkan rasa sakit bagi orang sehat. Walaupun mematikan bagi anak-anak dan manula.
"Mana yang lebih nikmat aku atau Eric!?" Tanya Alex, mencium bibir Veronica.
"Tentu saja kamu... honey...Eric hanya pria kaku." Gerakan semakin intens. Tapi memang benar bukan? Eric terlalu menjunjung budaya Asia. Mungkin malam ini sebaiknya dirinya mengajari Eric, tentang kesenangan di atas ranjang.
Tenggelam dalam kesenangan, tidak menyadari kaki kecil merayap diantara mereka. Bagaikan makhluk tidak berdosa, satu gigitan membuat Alex mengernyitkan keningnya.
Matanya melihat ke arah sumber rasa sakit. Bagaimana iblis laba-laba kecil ini bagaikan tersenyum penuh cinta, menggigit dirinya. Mungkin cinta sang laba-laba lebih besar dari cinta Veronica?
"Agggh!" Teriak Alex, menjatuhkan tubuh Veronica yang berada di atasnya.
"Black Widow! Black Widow! Laba-laba Black Widow tolong aku!" Alex keluar dengan celana panjang masih melorot. Akibat benar-benar panik tidak ingin dirinya mati.
Meninggalkan sang betina, kekasih hatinya wanita yang pingsan setelah kepalanya jatuh membentur besi gulungan tissue. Terjatuh dengan posisi, tidak memakai bawahan. Celana jeans pendek dan dalaman miliknya masih tergeletak di lantai.
Mengundang beberapa siswa yang kebetulan berada dalam bilik toilet lain mengambil gambar. Benar-benar gila, pasangan ini bercinta di kampus siang-siang! Sialnya bahkan kepergok oleh seekor laba-laba kecil.
*
Suara ambulance terdengar saat itu. Bukan hanya Veronica, tapi Alex terlihat dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan Eric hanya tersenyum menatap segalanya dari jendela lantai dua. Seharusnya hanya Veronica, tapi siapa sangka Alex juga?
Segalanya akan dimulai perlahan olehnya. Pesta ulang tahun Veronica, disanalah dirinya mulai diperbudak oleh mereka, orang-orang itu. Wajah tersenyum, tapi tidak terlihat seperti senyuman normal.
"Paman kamu melihat apa?" Tanya Ryu yang duduk disampingnya.
"Laba-laba kesayanganku baru saja mati." Eric menghela napas bagaikan berduka.
Namun hanya sejenak mengerutkan keningnya. Mungkin belajar dari Ryu akan lebih baik."Bagaimana cara membuat wanita dengan wajah hancur bahagia?" tanyanya.
"Wajah hancur!? Pacar paman cantik begitu!?" Ryu menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Kembali mendengarkan penjelasan dosen.
Sedangkan Eric kembali menatap ke arah jendela. Tidak ada informasi siapa dan dimana Foline saat ini. Satu yang diketahui olehnya dari buku harian mendiang istrinya.
Dua tahun dari sekarang insiden penyiraman air keras akan terjadi. Tidak peduli bagaimana wajahnya. Foline... hanya dengan membaca buku hariannya. Eric mulai mengerti bagaimana kehidupan Foline. Mengapa Foline bertahan dengannya? Karena dirinya dan Foline sama saja. Hanya pecahan tembikar yang telah dihancurkan, oleh orang-orang terkutuk.
"Paman sedang memikirkan apa?"
"Cara mengempiskan perutmu."
Mengendarai mobil guna kembali ke tempat mereka tinggal. Bukan apartemen, tapi kawasan perumahan, memarkirkan mobilnya.
Tidak ada dinding pembatas rumah di tempat ini. Namun, tetangga tidak saling menyapa, itu merupakan hal biasa. Sejak berusia 15 tahun Otto Celdric tidak lagi tinggal dengan kedua orang tuanya. Anak yang bersikap lebih dewasa dan mandiri dari anak seusianya itulah dia. Pemuda yang kini berusia 19 tahun.
"Paman, aku lapar!" Ucap Ryu Dean, merebahkan dirinya di atas sofa.
Sang paman mengernyitkan keningnya, membuka kulkas kemudian mengambil beberapa jenis selada, tomat cherry, serta beberapa bumbu lain. Jadilah semangkok cecar salad dalam waktu singkat.
"Ini!" Enric menyodorkan pada keponakannya.
"Aku mau roti, kalau tidak nasi, dan daging. Mana aku bisa kenyang makan-makanan seperti ini. Nanti aku bisa mati." Gerutu sang keponakan, dengan pipi yang begitu chubby. Tubuh yang lebih besar dari Eric.
"Sapi setiap hari makan rumput, tapi tidak mati." Ucap Eric berusaha tersenyum, benar-benar berusaha mematahkan sumpit yang dipegang olehnya. Benar-benar kesal pada tumpukan lemak ini.
"Aku bukan sapi. Aku manusia!" Tegas Ryu.
Tidak ingin ini berakhir seperti kehidupan dahulu. Dirinya harus terus terang pada Ryu.
"Ryu, ditempat ini membunuh atau dibunuh." Bisik sang paman menbuat Ryu Dean mengerutkan keningnya.
"Lebih mudah memiliki ijin untuk kepemilikan senjata api di Amerika Serikat. Karena itu lebih baik kita segera mengurusnya." Lanjut sang paman tersenyum ramah.
"Kenapa?" Tanya Ryu Dean tidak mengerti.
"Cepat atau lambat, kita akan main tembak-tembakan. Karena itu mulai sekarang aku akan mengatur porsi makan mu. Agar kamu tidak menyusahkan hidupku." Seorang paman yang benar-benar harus bersabar. Kunci hidup kakaknya tersayang adalah sang keponakan. Itu artinya dirinya harus berusaha menjadikan anak ini predator yang tidak mudah untuk ditindas.
"Tidak mau!" Tegas Ryu lagi.
"Demi Almira (tunangan Ryu Dean)." Seperti dugaan mendengar nama itu sang keponakan dengan segera mengangguk.
Cukup bagus memang, dibutuhkan waktu kurang lebih 60 hari di negara ini, untuk memiliki lisensi kepemilikan senjata api. Senjata api yang diperlukan untuk... melindungi b*bi gemuk.
*
Dalam buku harian Foline, tertulis jelas bagaimana pria idamannya. Sebelum pada akhirnya menikah dengan Otto Celdric.
Wanita yang mengerti, tidak ada yang menginginkannya. Karena itu, bagaikan menelan sayuran pahit seumur hidupnya. Foline tetap bertahan, bahkan walaupun tidak dapat mengeluh, keluar dari rumah, atau bercerai. Karena tidak ada tempat untuk wanita buruk rupa. Foline tidak memiliki teman untuk pulang selain Otto Celdric.
Eric menghela napas menatap ke arah keponakannya yang tengah berlari, maaf salah! Berjalan pelan di atas treadmill."Ryu bagaimana cara menjadi pria manis?"
"Seperti aku! Ibuku selalu mengatakan aku manis." Ucap Ryu dengan napas terengah-engah. Bagaikan berlari, padahal hanya berjalan.
"Aku ingin memotong timbunan lemakmu, kemudian merebusnya dalam zat asam, menyisakan tulang yang---" Komat-kamit Eric berucap dengan suara kecil.
"Paman bilang apa?" Tanya Ryu tidak mendengar dengan jelas.
"Berat badanmu akan segera turun." Sang paman tertawa tidak bersalah.
"Iya, rasanya sudah turun mungkin 7 kg. Paman ambil timbangan!" Ucap Ryu turun dari treadmill, kemudian naik ke atas timbangan.
"Kenapa timbangannya tidak bergerak!? Apa rusak?" Gumam Ryu menatap angka yang masih sama seperti sebelumnya.
"Larilah dari kenyataan. Maka kamu akan kurus, memikirkan masa depan." Sindir Eric tersenyum, mengingat sang keponakan, baru berlari, eh salah! Berjalan 30 menit di atas treadmill.
Suara beberapa orang pria terdengar, memasuki tempat gym. Lebih tepatnya Alex dan beberapa temannya.
Ini sudah biasa terjadi, benar-benar biasa.
Plak!
"Eric!" Kepala pemuda itu dipukul menggunakan tangan. Merangkul bahunya seperti akrab.
Mengikuti program akselerasi membuat Eric berusia jauh lebih muda dibandingkan dengan mahasiswa seharusnya. Pembullyan? Itu dialami olehnya dari hari pertama memasuki kampus.
"Benar-benar menyebalkan daging-daginh busuk ini..." Mungkin kalimat itu yang tersimpan dalam otak Eric.
"Sedang apa mahasiswa teladan di tempat ini." Alex tersenyum, bau alkohol samar tercium dari mulutnya.
"Ini teman paman? Perkenalkan namaku Ryu." Ryu mengulurkan tangannya, ingin memiliki lebih banyak teman di tempat ini.
Tapi.
Perut Ryu ditepuk-tepuk oleh Gilbert (teman Alex) bagaikan gendang."Wah cukup bagus untuk latihan Thai boxing." Ucapnya tertawa, menghina tubuh Ryu bagaikan samsak.
"I...itu tidak sopan!" Ucap Ryu yang memang biasa dimanjakan dari kecil.
Jika sebelum waktu terulang Eric membela keponakannya hingga berakhir dihajar. Sedangkan Ryu hanya dapat iba dan menangis.
Kali ini tidak! Eric diam, ingin Ryu belajar untuk sedikit mengasah taringnya. Ingin keponakannya mengetahui dunia ini begitu kejam.
"Sopan santun? Gajah...ah salah! b*bi sepertimu ingin mengajari kami sopan santun?" Tanya Alex, melepaskan rangkulannya dari Eric. Kini mendekati Ryu.
"Benar! Orang yang memiliki sopan santun---" Kalimat Ryu disela.
"Eric! Belikan kami bir!" perintah Alex.
"Baik!" Berpura-pura lugu, ini yang dilakukan Eric kali ini. Wajahnya tersenyum ingin memiliki partner untuk balas dendam. Bagaimana dirinya dapat merubah timbunan lemak seperti Ryu Dean menjadi predator?
Berjalan dengan cepat, samar didengar olehnya.
Brak!
Suara Ryu Dean dipukuli, pemuda itu ditendang hingga roboh.
"Kamu dengar sendiri! Bahkan pamanmu menganggap kami majikannya. Kamu juga hanya budak kami!" Tawa Alex terdengar.
Sedangkan Eric kali ini melangkah pergi perlahan guna membeli bir. Terkadang memang harus mengajari Ryu Dean tentang kerasnya hidup, agar dapat menjadi partnernya untuk membalas dendam.
Manipulatif? Bukankah itu watak seseorang psikopat? Tidak terlahir sebagai psikopat. Tapi lingkungan dan rasa sakit yang merubah seorang Otto Celdric. Rasa sakit yang akan ditebus olehnya di kehidupan kali ini. Tidak akan menjadi pribadi yang seperti dulu. Bagaimana jika seorang psikopat kini bertindak untuk memangsa predator?
*
Membeli dua lusin bir kaleng. Kemudian membawanya ke kasir, letak yang tidak jauh dari tempat gym membuatnya hanya berjalan kaki, tanpa menggunakan mobil.
Bagaimana keadaan Ryu saat ini? Dirinya ingin mengetahuinya. Mungkin pembullyan tengah terjadi. Tidak mungkin Ryu terus menentang hingga dihajar bukan? Sudah pasti Ryu akan membiarkan dirinya menjadi bahan lelucon.
Tapi.
Kala membuka pintu, Eric mengernyitkan keningnya. Ryu masih dihajar hingga saat ini.
"Pamanku bukan budak kalian. Dasar sampah! Puh!" Ryu malah meludah ke arah Alex.
Ryu Dean tidak terima dirinya dihina? Bahkan dengan wajah yang babak belur.
"Pamanmu memang budak kami sejak SMU! Pacar pamanmu bahkan hanya pacar imajinasi. Veronica hanya pacarku dari awal. Pamanmu manusia sampah." Alex tertawa diikuti dengan tawa teman-temannya. Menendang tubuh Ryu Dean yang tidak berdaya.
Ryu menangis menitikkan air matanya."Paman..." gumamnya sesegukan. Wajahnya sudah tidak berbentuk, perutnya benar-benar dijadikan samsak.
Eric menghela napas. Ternyata Ryu memiliki hati yang begitu lembut padanya? Karena itu, lebih baik lakukan sekarang saja, kala keponakannya mulai tidak sadarkan diri.
"Wah! Wah! Wah! 15 menit aku meninggalkan kalian dengan keponakanku tersayang. Kalian ternyata sudah bermain sejauh ini." Ucapnya tersenyum, kali ini bukan pura-pura bodoh lagi. Senyuman dengan aura membunuh yang menyengat.
"Eric, kami hanya sedang mengajari keponakanmu, bagaimana caranya berolahraga." Kembali Alex mendekat, hendak memukul kepala Eric dan merangkulnya.
Tapi, Eric menunduk, melangkah mundur. Menggunakan berat badan Alex dan kekuatan sikunya, menyikut tengkuk, tepat pada titik vital. Membuat pria berbadan besar itu roboh.
Menendang kepala Alex, ingin merusak wajah yang memuakkan. Hidung pemuda itu mengeluarkan darah bagaikan patah.
"Bermain?" Eric tertawa ganjil, terkesan mengerikan, menginjak bagian perut Alex."Keponakanku kelihatannya sudah tidak sadarkan diri. Bagaimana jika bermain denganku?" tanyanya, tersenyum menyeringai. Membuat semua teman Alex menyadari ada yang aneh dengan orang ini.
Perasaan bagaikan menghadapi T-rex, yang mengintai menunjukkan taring untuk mencabik-cabik mereka tanpa ampun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!