Matahari sore melukis langit dengan warna yang sedikit memerah membara ketika Akselia Ananta turun dari kereta di sebuah kota kecil yang dikelilingi perbukitan.
"huhhh" Aksel menghembuskan nafasnya dengan perlahan,
setelah beehasil menghirup udara segar, tidak seperti saat di kota, Sebuah Gadis itu mengeratkan genggamannya pada koper pink besar yang ia bawa dan mantel cokelat panjang menutupi tubuhnya yang ramping dan seksi. Langkahnya tenang, namun pandangannya penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang terbiasa mengawasi setiap sudut dunia di sekitarnya.
Kedatangan Aksel ke kota itu bukanlah sebuah kebetulan. Ia telah lama merencanakan untuk meninggalkan hiruk-pikuk ibu kota dan mencari tempat di mana ia bisa bernapas tanpa dihantui bayangan masa lalu. Tapi siapa yang tahu? Bayangan itu sering kali tidak peduli seberapa jauh seseorang mencoba melarikan diri.
Akselia, gadis muda berusia 24 tahun, adalah seorang konsultan strategi yang sukses. Penampilannya selalu rapi, rambut hitamnya lurus yang terurai dengan sempurna, dan ia membawa aura ketegasan yang membuat siapa pun sulit membantahnya. Namun di balik wibawa itu, ada luka yang tak pernah ia tunjukkan kepada dunia. Trauma masa lalu yang ia bungkus rapi di balik senyum profesional dan pandangan tajam.
Sejak kecil, Akselia telah mengenal kegelapan. Kehilangan orang tuanya dalam sebuah kebakaran misterius yang melibatkan konspirasi perusahaan membuatnya bertahan sendirian di panti asuhan. Dalam kesendirian itulah ia belajar bertahan, berjuang, dan menjadi wanita yang tak pernah menyerah. Tapi luka itu tidak pernah sembuh sepenuhnya. Malam-malamnya sering diwarnai mimpi buruk, dan kepercayaannya pada orang lain hampir lenyap sepenuhnya.
Di kota kecil itu, ia berniat memulai hidup baru sebagai seorang penulis. Sebuah rumah kayu sederhana di tepi danau menjadi tempat tinggal barunya. Hari ini adalah hari pertama Aksel di kota itu. Namun, sejak hari pertama, ia merasa ada sesuatu yang berbeda di kota itu. Tatapan para penduduk seolah menyembunyikan sesuatu, dan bisikan-bisikan aneh di malam hari membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar telah menemukan tempat yang aman.
Pertemuan pertamanya dengan seorang pria bernama Nathaniel terjadi secara tak terduga di toko buku kecil. Nathaniel adalah pemilik toko tersebut, seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang seperti memahami lebih dari yang ia katakan. Meski pada awalnya Akselia menjaga jarak, ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya merasa... sedikit kurang waspada.
Namun, Nathaniel juga memiliki rahasia. Sebuah rahasia yang mungkin berkaitan dengan masa lalu Akselia yang selama ini ia coba lupakan.
Saat Akselia mulai membuka diri terhadap kehidupan di kota kecil itu, ia menyadari bahwa trauma yang ia sembunyikan bukanlah sesuatu yang bisa ia hindari selamanya. Kota itu, Nathaniel, dan misteri yang melingkupinya akan memaksa Akselia untuk menghadapi ketakutannya, mengungkap kebenaran yang tersembunyi, dan menemukan kembali kekuatan dalam dirinya.
Dan di saat senja terakhirnya di kota itu, ia akan menyadari bahwa bayangan masa lalu tidak selalu harus menghancurkannya. Terkadang, bayangan itu hanya menunggu untuk disinari cahaya yang baru.
Hari-hari pertama Akselia di kota itu berlalu dengan damai, meski ada rasa asing yang menggelitik di benaknya. Rumah kayu yang ia tinggali begitu sunyi, hanya suara gemericik air danau serta hembusan angin yang menemaninya. Namun, malam-malam tetap terasa berat. Suara-suara samar seperti langkah kaki di depan rumahnya sering kali membangunkannya di tengah malam. Ketika ia keluar, hanya ada bayangan pohon dan angin yang menderu pelan.
Nathaniel, pemilik toko buku, menjadi sosok yang sering ia temui. Meski Akselia awalnya berusaha menjaga jarak, ia tak bisa mengabaikan rasa penasaran terhadap pria itu. Nathaniel selalu punya cerita menarik tentang kota tersebut. Katanya, danau di dekat rumah Akselia pernah menjadi tempat di mana seorang wanita menghilang tanpa jejak bertahun-tahun lalu. Legenda itu menjadi perbincangan hangat di kalangan penduduk, tapi mereka selalu menghindari topik itu jika Akselia bertanya lebih jauh.
“Apa kamu percaya cerita itu?” tanya Akselia suatu hari saat ia sedang membolak-balik buku di toko Nathaniel.
Nathaniel tersenyum samar, mengangkat bahu. “Kota ini punya banyak cerita lama, tapi aku lebih suka berpikir bahwa setiap tempat punya rahasia yang perlu dihormati.”
Akselia memandang Nathaniel dengan curiga, tapi pria itu tidak memberinya petunjuk lebih. Ia hanya kembali merapikan buku-buku di rak, seolah jawaban tadi cukup untuk mengakhiri percakapan.
Peninggalan dari Masa Lalu
Suatu pagi, saat Akselia sedang duduk di beranda rumahnya dengan secangkir kopi hangat, ia melihat seorang anak kecil berdiri di tepi danau. Anak itu, seorang gadis dengan rambut panjang terurai, tampak memandang air dengan tatapan kosong. Ketika Akselia mencoba memanggilnya, anak itu berlari masuk ke hutan tanpa berkata apa-apa.
Rasa penasaran membawa Akselia ke tepi danau. Di sana, ia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang—sebuah liontin emas dengan inisial A.A. terukir di bagian belakangnya. Liontin itu persis seperti miliknya yang hilang bertahun-tahun lalu dalam kebakaran yang merenggut keluarganya.
“Bagaimana mungkin…?” gumamnya dengan tangan gemetar.
Liontin itu seperti membawa kembali semua ingatan yang selama ini ia coba lupakan. Suara api yang melalap rumahnya, jeritan ibunya, dan bayangan seorang pria misterius yang ia lihat sebelum semuanya berubah menjadi abu.
Malam itu, Akselia tidak bisa tidur. Ia menatap liontin itu di bawah cahaya lampu kecil, mencoba mencari penjelasan. Ia merasa ada kaitan antara kota ini, danau itu, dan masa lalunya yang selama ini ia yakini telah terkubur.
Hari-hari berikutnya diwarnai dengan kehadiran Nathaniel yang semakin sering mampir ke rumahnya, menawarkan bantuan kecil seperti membawakan roti atau sekadar berbincang di beranda. Awalnya, Akselia mengira pria itu hanya berusaha ramah. Namun, lama-kelamaan, ia mulai curiga bahwa Nathaniel tahu lebih banyak tentang masa lalunya daripada yang ia tunjukkan.
“Aku melihat sesuatu di danau,” Akselia akhirnya memutuskan untuk berbicara pada Nathaniel suatu malam.
Nathaniel menatapnya dengan serius, alisnya sedikit terangkat. “Apa yang kamu lihat?”
“Ada seorang anak kecil. Dia meninggalkan ini.” Akselia menunjukkan liontin itu.
Wajah Nathaniel berubah, seperti seseorang yang mendengar sesuatu yang mengejutkan namun sudah lama ia duga. Ia menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada rendah, “Kau harus tahu, kota ini tidak sesederhana yang kau pikirkan. Ada alasan kenapa banyak orang pergi dari sini, dan kenapa kau merasa… sesuatu menarikmu ke tempat ini.”
“Jelaskan,” desak Akselia, nada suaranya tegas dan sorot mata yang mengintimidasi.
Nathaniel menggeleng pelan. “Tidak sekarang. Tapi aku janji, aku akan membantumu menemukan jawaban.”
Malam itu, Akselia sadar bahwa ia telah terjebak dalam sebuah misteri yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa menghadapi bayangan masa lalu bukan hanya soal dirinya—tapi juga menyelamatkan sesuatu yang lebih besar.
Namun, ada satu hal yang belum ia sadari. Kota itu bukan sekadar tempat pelarian. Itu adalah panggung terakhir untuk menghadapi rahasia yang akan mengubah segalanya.
Keesokan harinya, Akselia memutuskan untuk menyusuri kota lebih jauh. Ia ingin menemukan petunjuk lain yang mungkin bisa menghubungkan liontin itu dengan masa lalunya. Ia tidak percaya pada kebetulan, terlebih lagi ketika menyangkut sesuatu yang telah ia pendam bertahun-tahun.
Langkahnya membawanya ke sebuah perpustakaan tua di tengah kota. Tempat itu sunyi, hanya dihiasi suara desis kipas angin tua dan derit lantai kayu. Ia menemukan seorang wanita tua yang menjaga tempat itu, wajahnya penuh keriput namun matanya tajam seperti menilai seseorang hanya dengan sekali pandang.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu dengan suara serak.
Akselia mengeluarkan liontin dari sakunya dan menunjukkannya. “Apakah Anda pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya?”
Wanita itu memperhatikan liontin itu dengan seksama. Tiba-tiba, ekspresinya berubah menjadi kaku. Ia menatap Akselia seolah melihat hantu. “Dari mana kau mendapatkan ini?”
“Di tepi danau dekat rumah saya,” jawab Akselia. “Kenapa? Apakah ini berarti sesuatu?”
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia berdiri perlahan, tangannya gemetar, lalu berjalan menuju sebuah rak di sudut ruangan. Ia menarik sebuah buku besar berdebu dan membukanya, mencari sesuatu di dalamnya. Setelah beberapa saat, ia menunjuk sebuah foto hitam-putih.
Foto itu menunjukkan sekelompok orang yang berdiri di depan sebuah bangunan besar, mungkin pabrik tua. Di antara mereka, Akselia mengenali dua wajah yang membuat dadanya terasa sesak—ayah dan ibunya.
“Itu orang tua saya,” katanya, suaranya hampir berbisik.
Wanita tua itu mengangguk pelan. “Mereka adalah bagian dari proyek besar yang dulu dijalankan di kota ini. Sebuah eksperimen untuk menghasilkan energi terbarukan. Tapi ada yang salah… sesuatu yang tidak pernah mereka ceritakan kepada siapa pun. Kebakaran yang menimpa keluargamu… itu bukan kecelakaan.”
Kata-kata itu menghantam Akselia seperti palu godam. Ia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Kebakaran yang ia pikir hanyalah kecelakaan tragis ternyata memiliki akar yang jauh lebih dalam.
“Siapa yang bertanggung jawab?” tanyanya, suaranya penuh kemarahan.
Wanita tua itu menggeleng. “Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tahu seseorang yang mungkin bisa membantumu. Namanya Alden, dia tinggal di pinggiran kota. Dia adalah salah satu pekerja di pabrik itu.”
Akselia merasa ada benang merah yang mulai terjalin, tapi juga semakin banyak pertanyaan yang bermunculan. Siapa Alden? Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya? Dan mengapa liontin itu muncul di tempat ini sekarang, setelah bertahun-tahun?
Pertemuan dengan Alden
Hari mulai gelap ketika Akselia tiba di rumah Alden. Rumah itu kecil, terbuat dari kayu tua, dan tampak hampir roboh. Ketukan pertama di pintu tidak mendapatkan jawaban, tapi ketika ia mengetuk untuk kedua kalinya, seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan muncul.
“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan nada curiga.
Akselia mengeluarkan liontin itu lagi, memperlihatkannya kepada pria tersebut. “Saya butuh jawaban tentang ini, dan tentang apa yang terjadi pada orang tua saya.”
Mata Alden membesar saat melihat liontin itu. Ia melirik Akselia dengan tatapan penuh waspada, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya singkat.
Di dalam, rumah itu dipenuhi dengan barang-barang lama—surat kabar usang, foto-foto tua, dan catatan-catatan yang berserakan di meja. Alden duduk di kursi goyangnya dan menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.
“Ayah dan ibumu adalah orang-orang yang luar biasa,” katanya. “Mereka percaya bahwa proyek energi itu bisa mengubah dunia. Tapi mereka tidak tahu bahwa proyek itu hanya kedok.”
“Kedok untuk apa?” Akselia mendesak.
“Ada pihak yang menggunakan pabrik itu untuk tujuan lain. Percobaan dengan zat berbahaya, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada di tangan manusia. Ayahmu menemukan kebenarannya dan mencoba menghentikannya, tapi itu membuat mereka menjadi target.”
Akselia merasa udara di sekitarnya menjadi semakin berat. “Jadi, kebakaran itu disengaja?”
Alden mengangguk. “Mereka mencoba menghapus semua bukti, termasuk keluargamu. Aku juga bekerja di pabrik itu, tapi aku berhasil melarikan diri sebelum semuanya hancur. Aku telah hidup dalam bayang-bayang sejak saat itu.”
“Siapa yang melakukannya?”
Alden terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada rendah, “Sebuah organisasi yang sangat berkuasa. Mereka memiliki mata dan telinga di mana-mana. Aku tidak tahu siapa pemimpin mereka, tapi aku tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar berhenti mengawasi.”
Akselia merasa tubuhnya gemetar. Selama ini, ia mengira bahwa hidupnya di kota besar adalah pelarian yang aman, tapi ternyata bayangan itu telah mengikutinya bahkan hingga ke kota kecil ini.
Kebenaran yang Menyeruak
Ketika Akselia kembali ke rumahnya malam itu, pikirannya dipenuhi berbagai hal. Ia tidak hanya merasa dikhianati oleh sistem, tetapi juga oleh dirinya sendiri karena terlalu lama menghindari masa lalunya.
Namun, sesuatu di rumahnya membuatnya kembali ke kenyataan. Pintu depan yang ia ingat telah dikunci kini sedikit terbuka. Ia berhenti, tubuhnya tegang, dan mencoba mendengar. Ada suara samar dari dalam rumah, seperti seseorang sedang menggeledah ruang tamunya.
Dengan hati-hati, Akselia meraih tongkat kayu di dekat pintu dan melangkah masuk. Ia melihat seorang pria bertopeng sedang membongkar laci-lacinya.
“Siapa kau?!” serunya.
Pria itu terkejut, tapi dengan cepat melompat keluar melalui jendela sebelum Akselia sempat mengejarnya. Ia berdiri di sana, napasnya tersengal-sengal, dan menyadari bahwa apa pun yang ia hadapi bukanlah sesuatu yang bisa ia hindari lagi.
Di atas meja, ia menemukan secarik kertas yang sepertinya tertinggal oleh pria itu. Hanya ada satu kalimat yang tertulis:
"Kota ini bukan tempatmu. Pergilah sebelum terlambat."
Keputusan untuk Bertarung
Malam itu, Akselia tahu bahwa ia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton dalam kehidupannya sendiri. Ia harus menghadapi apa pun yang menunggunya, tidak peduli seberapa berbahayanya.
Dengan liontin di tangannya, ia memutuskan untuk menemui Nathaniel keesokan harinya. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu, sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Nathaniel tahu lebih banyak daripada yang ia katakan.
Saat ia berdiri di depan cermin malam itu, ia melihat pantulan dirinya sendiri. Wanita yang kuat, tapi juga penuh luka.
“Aku tidak akan lari lagi,” bisiknya pada bayangannya sendiri.
Dan di situlah perjalanan Akselia benar-benar dimulai—sebuah perjalanan untuk mengungkap kebenaran, melawan bayangan yang menghantuinya, dan menemukan kembali dirinya yang telah lama hilang.
Pagi berikutnya, Akselia berdiri di depan toko buku Nathaniel dengan perasaan campur aduk. Malam yang ia lalui membuatnya semakin yakin bahwa dirinya berada di pusat sesuatu yang lebih besar daripada sekadar trauma masa lalu. Ketukan pada pintu kayu itu menggema di telinganya.
Nathaniel muncul dari dalam, wajahnya sedikit terkejut melihat Akselia berdiri di sana begitu pagi. “Ada apa? Kau terlihat tegang,” tanyanya sambil melonggarkan apron yang melingkari pinggangnya.
“Ada seseorang yang masuk ke rumahku semalam,” ujar Akselia tanpa basa-basi.
Nathaniel mengerutkan kening. “Seseorang? Kau yakin itu bukan hanya imajinasimu?”
Akselia menatapnya tajam. “Aku tidak sedang berhalusinasi, Nathaniel. Dia meninggalkan pesan, memperingatkanku untuk pergi dari kota ini.”
Mendengar itu, raut wajah Nathaniel berubah. Ia menghela napas panjang, seperti seseorang yang tahu sesuatu tetapi ragu untuk mengatakannya.
“Kau perlu tahu sesuatu, Akselia,” katanya akhirnya. “Kota ini bukan tempat yang aman untuk orang seperti kita.”
“Kita?” Akselia mengulanginya, alisnya terangkat.
Nathaniel menunduk sejenak, lalu menatap Akselia dengan pandangan yang sulit diartikan. “Aku tahu tentang pabrik itu, keluargamu, dan apa yang terjadi bertahun-tahun lalu.”
Kata-katanya bagaikan petir di siang bolong. Akselia terdiam, tidak tahu apakah ia harus marah atau bersyukur bahwa Nathaniel akhirnya bicara.
“Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” tanya Akselia tajam, suaranya bergetar antara marah dan bingung.
Nathaniel menghela napas dalam, pandangannya turun ke lantai. “Karena aku tidak tahu apakah kau siap mendengarnya. Dan karena… aku tidak ingin menyeretmu lebih jauh ke dalam kekacauan ini.”
“Kekacauan apa?” desaknya. “Kau tahu apa yang terjadi pada keluargaku, Nathaniel. Kau tahu apa yang mereka sembunyikan. Jadi, katakan!”
Nathaniel berjalan ke meja kasir, meraih sebuah amplop usang dari dalam laci. Ia menyerahkannya kepada Akselia. “Ini adalah sebagian dari kebenaran yang kucoba lindungi darimu. Tapi mungkin sudah saatnya kau tahu segalanya.”
Akselia membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya terdapat foto-foto hitam putih, beberapa dokumen tua, dan sebuah surat yang tampaknya ditulis tangan. Ia memeriksanya satu per satu, matanya terpaku pada sebuah foto yang menunjukkan pria berpakaian formal sedang berdiri di depan pabrik yang sama dengan foto yang ia lihat di perpustakaan. Tapi kali ini, pria itu tidak asing baginya.
“Itu… Itu ayahku,” gumamnya pelan.
Nathaniel mengangguk. “Dan pria di sebelahnya adalah Lucas Ravindra, pemilik pabrik itu. Dia adalah otak di balik proyek rahasia yang merenggut keluargamu.”
Nama itu menggema di kepala Akselia. Lucas Ravindra. Nama yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, tetapi entah bagaimana terasa akrab. Ia membaca dokumen lainnya dengan cepat, sebagian besar berisi catatan teknis tentang proyek energi yang disebut Aurora. Namun, semakin ia membaca, semakin jelas bahwa proyek itu tidak hanya tentang energi.
“Aurora…” bisiknya. “Apa sebenarnya ini?”
Nathaniel duduk di kursi kayu di dekatnya. “Aurora adalah eksperimen yang mereka lakukan untuk menciptakan sumber energi alternatif. Tapi mereka menggunakan zat kimia eksperimental yang sangat tidak stabil. Ketika ayahmu mengetahui bahwa Lucas berencana menjual teknologi ini kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, ia mencoba menghentikannya. Itu sebabnya keluargamu menjadi target.”
Akselia merasakan dingin menjalar di punggungnya. “Jadi kebakaran itu adalah pembunuhan. Mereka sengaja menghilangkan bukti, termasuk keluargaku.”
Nathaniel menatapnya dengan penuh empati. “Aku tahu ini berat bagimu, tapi aku harus mengatakan yang sebenarnya. Lucas Ravindra tidak pernah benar-benar pergi. Dia mungkin tidak lagi berada di kota ini, tetapi pengaruhnya masih ada. Orang-orang yang bekerja untuknya tetap menjalankan perintahnya. Kau harus berhati-hati, Akselia.”
Akselia merasakan emosi yang bercampur aduk. Ia marah, bingung, dan merasa sangat lelah. Namun, di balik semua itu, ada tekad yang mulai menyala dalam dirinya.
“Aku tidak akan pergi,” katanya akhirnya, suaranya tegas. “Aku sudah terlalu lama lari dari masa laluku. Jika Lucas Ravindra masih memiliki kendali, aku akan menemukannya. Aku akan memaksa dia membayar atas apa yang telah dia lakukan pada keluargaku.”
Nathaniel memandangnya lama sebelum akhirnya mengangguk. “Kalau begitu, kita harus mempersiapkan segalanya. Kau bukan satu-satunya yang mencari Lucas. Dan mereka yang mencarinya tidak selalu datang dengan niat baik.”
Malam itu, Akselia memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Ia duduk di meja kerjanya, menatap liontin dan dokumen-dokumen yang diberikan Nathaniel. Ada rasa takut yang samar, tetapi juga rasa penasaran yang lebih besar.
Ia membuka liontin itu dengan hati-hati, berharap menemukan sesuatu yang mungkin ia lewatkan sebelumnya. Di dalamnya terdapat foto kecil seorang wanita—ibunya. Akselia tersenyum pahit. Foto itu adalah satu-satunya yang tersisa dari kenangan keluarganya. Namun, di balik foto itu, ia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya: sebuah ukiran kecil berbentuk angka 27.
“Dua puluh tujuh?” gumamnya. “Apa maksudnya?”
Pikirannya terus berputar, tetapi tidak ada jawaban yang jelas. Ia memutuskan untuk menyimpannya kembali, berharap angka itu akan masuk akal suatu saat nanti.
Namun, sebelum ia sempat beristirahat, suara ketukan di jendela membuatnya terlonjak. Ia berdiri dengan cepat, memandang ke arah jendela dapurnya. Bayangan seseorang tampak di balik tirai, dan ketukan itu terdengar lagi.
“Siapa di sana?” tanya Akselia, suaranya dingin namun tegas.
Tidak ada jawaban. Hanya suara langkah kaki yang perlahan menjauh. Akselia mengumpulkan keberaniannya, mengambil tongkat kayu yang ia simpan di sudut dapur, dan membuka pintu belakang.
Di luar, hanya ada gelap dan angin dingin yang menusuk. Namun, di tanah, ia menemukan sesuatu yang membuatnya terdiam—sebuah amplop lain, kali ini tanpa nama.
Ia membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat selembar kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi:
"Rahasia Aurora terkubur di bawah tanah. Jika kau ingin menemukan kebenaran, pergilah ke gudang lama di sisi utara kota. Tapi berhati-hatilah, karena mereka tahu kau di sini."
Akselia memandang ke sekeliling, memastikan bahwa tidak ada orang yang mengawasinya, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Amplop itu membuat pikirannya berputar lebih cepat. Siapa yang meninggalkan pesan ini? Apakah mereka teman atau musuh?
Namun, satu hal yang pasti: ia harus pergi ke gudang itu. Jika rahasia Aurora ada di sana, maka itu adalah langkah berikutnya untuk mengungkap kebenaran.
Keesokan paginya, Akselia memberi tahu Nathaniel tentang pesan yang ia terima. Ekspresi pria itu langsung berubah serius.
“Gudang lama itu bukan tempat yang aman,” kata Nathaniel. “Itu adalah bagian dari pabrik tua, tempat mereka melakukan eksperimen terakhir sebelum semuanya hancur. Aku mendengar desas-desus bahwa area itu diawasi.”
“Diawasi oleh siapa?”
Nathaniel menggeleng. “Orang-orang yang masih setia pada Lucas Ravindra, mungkin. Aku tidak tahu pasti, tapi yang jelas mereka tidak ingin siapa pun mendekat.”
“Kalau begitu, aku harus lebih berhati-hati,” jawab Akselia.
Nathaniel menghela napas. “Aku ikut denganmu. Kau tidak bisa pergi sendiri.”
Meskipun ingin menolak, Akselia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan. Mereka merencanakan perjalanan ke gudang itu pada malam hari, saat lebih sedikit kemungkinan mereka akan terlihat.
Ketika malam tiba, mereka menyusuri jalan setapak yang hampir tertutup semak belukar. Gudang itu terletak di ujung kota, jauh dari pemukiman. Bangunannya besar, tetapi sudah lapuk dimakan waktu.
“Di sana,” bisik Nathaniel, menunjuk pintu besar yang sebagian tertutup.
Mereka masuk dengan hati-hati, hanya menggunakan senter kecil untuk menerangi jalan. Bau logam tua dan debu memenuhi udara. Di dalam, mereka menemukan jejak-jejak aktivitas manusia—laci-laci yang terbuka, bekas kaki di debu lantai, dan alat-alat yang tampaknya baru saja digunakan.
“Kita tidak sendirian,” gumam Nathaniel.
Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari ujung ruangan. Seseorang mendekat, dan Akselia merasakan jantungnya berdebar kencang.
“Kita sembunyi,” bisik Nathaniel, menariknya ke belakang salah satu rak besar.
Langkah kaki itu semakin dekat, dan Akselia menggenggam tongkat kayunya dengan erat. Ia tahu, apapun yang menunggunya di gudang ini, hanya akan semakin mendekatkannya pada kebenaran yang ia cari—dan bahaya yang mungkin akan menghancurkannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!