Elyana Mireille Castella adalah wanita berusia 24 tahun yang dikenal sebagai sosok yang bersemangat dan penuh ambisi. Setiap langkahnya di dunia korporasi, tempat ia bekerja sebagai manajer proyek di sebuah perusahaan teknologi besar, dipenuhi dengan ketelitian dan kecerdasan. Hari itu, di ruang konferensi yang dipenuhi cahaya matahari yang menyelinap dari jendela besar, Elyana bersiap untuk rapat penting dengan klien. Dia ingin memastikan bahwa presentasinya akan sempurna.
Elyana Mireille Castella menghela napas seiring dengan detak jam yang menandai waktu rapat yang semakin mendekat. Di dalam ruang konferensi yang elegan itu, aroma kopi yang baru diseduh berbaur dengan wangi parfum ringan yang menyegarkan. Rapat ini adalah momen penting bagi perusahaan tempat Elyana bekerja sebagai manajer proyek. Semua upaya yang telah ia curahkan, setiap malam lembur, dan setiap ide yang diperjuangkannya dalam presentasi ini, pada akhirnya akan diuji. Ia tidak bisa membiarkan momen ini gagal.
Jendela besar di ruangan itu memperlihatkan pemandangan sibuk Jakarta, dengan kendaraan yang melaju, manusia yang berlalu-lalang, dan gedung-gedung tinggi yang membentuk lanskap kota. Suasana di dalam ruangan itu, meskipun penuh dengan eksekutif dan kolega, terasa tenang. Elyana memandang ke arah presentasinya, memastikan setiap slide sudah diatur dengan benar. Pintu ruangan terbuka dengan derit pelan, mengalihkan perhatiannya.
Seorang pria tinggi berbaju jas hitam rapi melangkah masuk. Wajahnya tampak serius, dengan mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam jiwa. Davin Alexander Griffith, CEO muda dari perusahaan mitra, telah tiba. Elyana mengangkat pandangannya, dan sejenak mereka saling bertemu pandangan. Ada kilatan keingintahuan di mata Davin, seolah sedang mencoba menguak sesuatu yang tak terlihat.
“Selamat pagi, semuanya,” suara Davin mengisi ruangan dengan kedalaman yang membangkitkan perhatian. Matanya sempat melirik ke arah Elyana, dan meskipun hanya sekejap, kilat itu membuat jantung Elyana berdegup lebih cepat.
Rapat dimulai, dan meskipun Elyana mempertahankan fokusnya, dia tak bisa mengabaikan keberadaan Davin. Selama presentasinya, matanya yang tajam seolah mengikuti setiap kata yang diucapkannya. Ada sesuatu di ekspresinya—sesuatu yang sulit dijelaskan. Kegelisahan? Ketertarikan? Mungkin kombinasi keduanya.
Davin tidak banyak berbicara, hanya menanggapi dengan anggukan kecil dan sesekali mengajukan pertanyaan yang tajam, menguji kemampuan setiap orang di ruangan itu. Elyana bisa merasakan tekanan dari pertanyaan-pertanyaan itu, namun ia menanggapinya dengan penuh percaya diri. Setelah rapat berakhir, peserta berdiri untuk berjabat tangan, dan suasana kembali menjadi riuh. Elyana, yang sedang berbincang dengan salah seorang rekan kerja, merasakan seseorang mendekat.
“Elyana Mireille Castella?” Suara Davin, meskipun terdengar formal dan tegas, membawa getaran yang tidak biasa di hati Elyana.
Elyana menoleh, terkejut. “Ya, saya. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Griffith?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Davin mengangkat alisnya sedikit dan menatapnya dalam-dalam. Lalu, senyuman tipis muncul di wajahnya—senyuman yang jarang ia tunjukkan. “Saya tertarik dengan presentasi Anda. Anda punya cara yang luar biasa dalam menyampaikan ide. Mungkin kita bisa bicara lebih lanjut setelah ini?”
Elyana merasakan pipinya memanas. Ia mencoba mengontrol dirinya, tetapi ada sesuatu di dalam hatinya yang melonjak bahagia. “Tentu, saya akan senang sekali, Tuan Griffith,” jawabnya, berusaha tetap tenang meskipun suara hatinya berbisik bahwa pertemuan ini mungkin lebih penting daripada yang ia duga.
Sejak saat itu, hubungan mereka mulai berkembang, berawal dari diskusi-diskusi kecil di ruang rapat hingga pertemuan-pertemuan santai di kafe dekat kantor. Davin yang selalu terlihat serius, ternyata memiliki sisi lain yang lebih hangat, bahkan meskipun sulit untuk dipahami. Ia akan tersenyum samar-samar ketika Elyana berbicara tentang ide-idenya yang gila, atau tertawa kecil ketika mereka terjebak dalam percakapan ringan tentang topik-topik di luar pekerjaan.
Elyana menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda tentang Davin. Meskipun ia terlihat keras dan kadang terkesan dingin, di balik sikap itu ada ketegangan yang ia sendiri tidak bisa mengungkapkan. Begitu juga dengan Davin; ia tidak bisa menepis rasa ingin tahunya tentang Elyana, tentang wanita yang begitu cerdas, bersemangat, dan memiliki kecantikan yang tidak hanya terletak pada wajah, tetapi juga pada caranya berbicara dan menyampaikan ide.
Hari demi hari berlalu, dan tak lama kemudian, Davin mulai mengajak Elyana untuk berdiskusi di luar jam kerja. Meskipun awalnya Elyana ragu, ia akhirnya menyetujui ajakan itu, merasakan ada kehangatan di dalam tatapan Davin yang selama ini disimpan rapat-rapat. Diskusi-diskusi itu perlahan menjadi lebih pribadi. Mereka berbagi cerita tentang masa kecil, harapan, dan ketakutan mereka. Suatu sore, saat hujan deras mengguyur Jakarta, Davin menatap Elyana, lalu menghela napas.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Elyana. Terkadang aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak ada ujungnya,” katanya, suaranya mengandung kelelahan dan kejujuran yang jarang ia tunjukkan.
Elyana terdiam sejenak, merasa terhanyut dalam keheningan yang berbicara lebih banyak dari kata-kata. “Kita semua pernah merasa seperti itu, Davin. Tapi mungkin... mungkin kita hanya perlu terus berjalan dan mencari tahu,” jawabnya dengan senyuman lembut.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Davin duduk di kursi ruang tamu Elyana, minum kopi, dan hanya berbicara tanpa batasan. Mereka berdua merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional. Itu adalah perasaan yang tak bisa diabaikan, meskipun mereka tahu bahwa jalan mereka penuh dengan rintangan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan interaksi mereka semakin sering. Davin dan Elyana menjadi duet yang sangat efektif dalam mengelola proyek-proyek besar. Di balik setiap rapat dan pertemuan, ada percakapan pribadi yang mulai mengungkap sisi-sisi yang belum pernah diketahui oleh keduanya. Elyana merasa seperti dia mulai melihat sisi lain Davin—sisi yang penuh pemikiran, ketulusan, dan kehangatan yang disembunyikan di balik sikapnya yang kaku. Sebaliknya, Davin merasa tertarik dengan energi positif Elyana, kekuatan tekadnya, dan semangat yang selalu terpancar dalam setiap langkahnya.
Namun, di balik segala momen bahagia itu, ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Meskipun banyak hal telah berubah di antara mereka, Davin selalu terlihat seperti seorang pria yang menanggung sesuatu, sesuatu yang tidak ingin diungkapkan. Ia selalu menjaga jarak, bahkan saat mereka berbicara dalam suasana santai.
Suatu hari, Elyana menerima undangan dari Davin untuk hadir dalam acara makan malam khusus yang diadakan di sebuah restoran mewah di pusat kota. Undangan itu datang bersama sebuah catatan kecil yang bertuliskan, "Terima kasih atas kerja keras Anda. Ini untuk merayakan pencapaian kita bersama." Elyana tidak bisa tidak merasa terkejut, karena undangan semacam itu tidak biasa bagi mereka. Namun, ia juga merasa bersemangat.
Malam itu, suasana di restoran itu penuh dengan kemewahan. Lampu gantung yang berkilauan memberikan pencahayaan hangat di ruangan, sementara suara musik lembut mengalun dari latar belakang. Davin sudah menunggu di meja dekat jendela, mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat semakin menarik.
“Selamat datang, Elyana,” ucap Davin, dengan senyum yang jarang ia tunjukkan. Kali ini, senyuman itu lebih tulus, membuat jantung Elyana berdebar kencang.
Elyana duduk di hadapannya, melihat ke dalam mata Davin yang penuh dengan misteri. Ia merasa seperti ada sesuatu yang penting akan diungkapkan malam itu.
“Davin, ada yang ingin Anda katakan?” tanya Elyana, suara mereka bersaing dengan gemericik air dan tawa yang datang dari meja-meja lain.
Davin menatap Elyana, seolah ingin memastikan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya. “Elyana, ada sesuatu yang ingin aku katakan. Selama ini, kita sudah bekerja sama dengan sangat baik, dan aku menghargai segala usaha dan dedikasimu. Tapi, aku juga tahu bahwa ini bukan hanya soal pekerjaan.”
Elyana mengerutkan dahi, merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar di balik pernyataan itu. “Apa maksud Anda, Davin?” tanyanya, matanya mencari jawaban di wajah pria itu.
“Pernikahan. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tetapi aku ingin kita menikah, Elyana. Bukan karena cinta, melainkan untuk mengamankan posisi perusahaan kita di pasar internasional. Ini adalah langkah yang sulit, tetapi aku yakin ini adalah pilihan yang terbaik.”
Kata-kata itu membuat Elyana terdiam. Jantungnya berhenti sejenak, dan seluruh ruangan seolah-olah menjadi hening di sekelilingnya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Di satu sisi, ia tahu bahwa pernikahan ini adalah kesempatan yang sangat besar, namun di sisi lain, ia merasa seperti keputusan ini akan mengikatnya dalam cara yang tak bisa ia ubah.
“Davin... apakah ini benar-benar apa yang Anda inginkan?” tanya Elyana, suaranya hampir tak terdengar.
Davin menatap Elyana dengan mata yang penuh tekad. “Ini adalah yang terbaik untuk kita berdua, Elyana. Aku tahu perasaanmu, dan aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa membuatnya bekerja.”
Elyana merasakan tekanan di dadanya. Ada keraguan, ketakutan, dan harapan yang campur aduk dalam dirinya. Namun, ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga dan masa depan mereka. Dengan perlahan, ia mengangguk. “Saya akan melakukannya, Davin. Tapi, kita harus jujur satu sama lain tentang apa yang kita rasakan dan apa yang kita harapkan.”
Davin menghela napas lega, dan untuk pertama kalinya malam itu, senyumnya tampak penuh arti. “Kita akan membuatnya bekerja, Elyana. Aku janji.”
Mereka berdua bersulang, menatap satu sama lain dengan mata yang penuh arti. Malam itu, di bawah cahaya lilin yang berkedip, mereka membuat sebuah janji. Janji yang akan membawa mereka pada perjalanan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Meskipun awalnya penuh dengan kebingungan, ada secercah harapan di dalam hati Elyana bahwa mungkin, hanya mungkin, hubungan ini bisa lebih dari sekadar pernikahan tanpa cinta.
Namun, hanya waktu yang akan menentukan apakah mereka benar-benar bisa membuatnya bekerja atau justru terjebak dalam labirin tak berujung yang penuh dengan intrik dan penyesalan.
...****************...
Minggu-minggu setelah makan malam itu berlalu dengan cepat, dan persiapan untuk pernikahan mereka pun dimulai. Elyana dan Davin, yang kini resmi bertunangan, terlihat seperti pasangan biasa di mata orang-orang di sekitar mereka, tetapi di dalam hati mereka masing-masing, ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan tentang strategi. Meskipun Elyana ingin meyakinkan dirinya bahwa dia cukup tegar untuk menjalani hidup ini, ada sisi dalam dirinya yang meragukan keputusan itu.
Di ruang pertemuan kantor Davin, di mana eksekutif-eksekutif berkumpul, suasana serius dan penuh perhitungan. Davin sedang membahas rencana ekspansi bisnis perusahaan, dengan Elyana di sampingnya, mendengarkan dan menyimak setiap detail. Ia harus menjaga keseimbangan antara peran barunya sebagai calon istri dan manajer proyek yang cerdas.
Setelah rapat, Davin mengundang Elyana untuk berbicara di ruang kerjanya. Langit di luar sudah gelap, dan suara hujan yang rintik-rintik di kaca jendela menambah kesan dingin yang terasa di dalam ruangan. Davin duduk di kursi kulit hitamnya yang besar, dengan jas hitam yang membuatnya terlihat tegas dan tidak bisa didekati.
“Kita harus memikirkan tentang pernikahan ini lebih serius,” kata Davin, suaranya tenang tetapi tidak bisa disangkal ada ketegangan di sana.
Elyana menatapnya dengan ekspresi serius. “Saya tahu. Ini bukan hanya tentang kita, Davin. Ada banyak yang dipertaruhkan di sini. Tapi, saya ingin tahu, apa yang sebenarnya Anda harapkan dari semua ini?”
Davin terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku berharap ini bisa memberi kita stabilitas, Elyana. Ini langkah yang penting untuk perusahaan, tapi aku juga ingin memastikan kita berdua bisa menghadapinya dengan kepala tegak.”
“Tapi, bagaimana dengan kita? Apakah ini hanya tentang strategi? Apakah ada ruang untuk kita menemukan arti di balik semua ini?” Elyana bertanya, matanya mencari jawaban di wajah pria yang tampak begitu terjaga dan sulit dibaca.
Davin menatapnya, sejenak seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih, lalu menghela napas. “Aku tidak tahu. Mungkin, kita hanya perlu melangkah dan melihat apa yang akan terjadi.”
Suasana di ruangan itu terasa mencekam, seakan menyimpan rahasia yang terlalu besar untuk diungkap. Elyana menatap Davin, merasakan adanya pergulatan dalam dirinya. Ia tahu bahwa di balik sikap seriusnya, ada sesuatu yang lebih dalam, tetapi ia tidak tahu apa itu.
Hari pernikahan tiba, dan semua orang berkumpul di aula megah yang dihiasi bunga-bunga putih dan lampu-lampu kristal yang berkilauan. Elyana berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pengantin yang elegan, dengan rambut yang disisir rapi dan make-up yang sempurna. Di luar, suara bisik-bisik para tamu terdengar, campuran antusiasme dan rasa ingin tahu.
Elyana merasakan sentuhan lembut di bahunya. Ibunya, yang datang dari luar kota, mengelus pipinya. “Kamu cantik sekali, sayang,” katanya dengan suara yang penuh cinta, meskipun mata Elyana tahu ada kekhawatiran di sana.
“Terima kasih, Ibu,” jawab Elyana, memaksakan senyum di wajahnya. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Ketika Elyana berjalan menyusuri lorong aula, matanya bertemu dengan mata Davin yang menantinya di altar. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi, tetapi ada sesuatu di sana yang membuat jantung Elyana berdetak lebih cepat. Senyuman yang ia berikan sepertinya sulit ditahan, walau hanya sekejap.
Saat upacara berlangsung, mereka mengucapkan janji yang lebih seperti formalitas daripada pernyataan perasaan. Elyana merasakan dirinya membeku dalam momen itu, tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau sebuah kesalahan besar. Namun, ketika mereka akhirnya saling bertukar cincin, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan: perasaan di antara mereka berdua. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti, hubungan mereka baru saja dimulai, dan jalan di depan akan penuh dengan misteri, tantangan, dan mungkin, penemuan-penemuan baru.
Malam pertama mereka, suasana di kamar tidur hotel besar itu terasa asing. Elyana duduk di tepi tempat tidur, mengenakan gaun pengantin, sementara Davin berdiri di dekat jendela, menatap ke luar. Angin malam masuk melalui jendela, membawa aroma hujan yang masih tertinggal di udara.
“Apa yang kita lakukan sekarang, Davin?” tanya Elyana, suaranya hampir seperti bisikan.
Davin berbalik dan menatapnya, lalu menghela napas. “Kita mulai dari sini, Elyana. Mungkin ini bukan awal yang sempurna, tapi aku berharap ini bisa menjadi awal yang baik.”
Elyana memandangnya dalam-dalam, melihat ketulusan di matanya. Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit harapan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuk menemukan sesuatu yang lebih, di luar pernikahan yang dingin ini.
Mereka duduk di ruang kamar yang luas dengan hanya pencahayaan lembut dari lampu meja, Davin dan Elyana berbagi keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suara hujan yang masih terdengar di luar membuat suasana menjadi semakin canggung, meskipun ada ketegangan yang sulit diungkapkan.
Elyana menggulung lengan gaunnya, menatap cermin besar yang memantulkan gambarnya. Ia melihat ke dalam mata sendiri, mencoba mencari kekuatan yang selama ini tersembunyi di balik penampilan luar yang sempurna. Sementara itu, Davin berdiri di dekat jendela, tampak memikirkan sesuatu yang jauh di luar jangkauan Elyana.
"Apa kamu merasa nyaman di sini?" tanya Davin, akhirnya memecah keheningan dengan suara yang terdengar serius namun penuh pertanyaan. Suara itu menembus kebisuan yang sebelumnya menguasai ruangan.
Elyana menoleh, matanya bertemu dengan mata Davin yang penuh dengan konflik. “Aku tidak tahu, Davin. Semua ini... terasa seperti langkah besar, seperti sebuah pertaruhan.”
Davin mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan ekspresi yang jarang Elyana lihat—keterbukaan. “Aku tahu. Tapi ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang sesuatu yang lebih besar, tentang bagaimana kita bisa menemukan tempat kita di dunia ini, bersama atau terpisah.”
Elyana menghela napas, merasakan kehangatan yang tidak biasa di dadanya. Ada sesuatu dalam sikap Davin yang membuatnya merasa bahwa mereka berdua berada di jalur yang sama, meskipun mereka datang dari dunia yang berbeda. “Apakah kamu percaya pada hal-hal seperti itu?” tanyanya, mencoba memecahkan ketegangan dengan suara lembut.
Davin tersenyum tipis, seolah terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku tidak tahu. Dulu, aku tidak pernah memikirkannya. Tapi sejak kita mulai berbicara, aku mulai mempertanyakan banyak hal.”
Mata Elyana terbelalak, tak sengaja tertangkap dalam pandangan Davin. Ada kilatan harapan di matanya, walau hanya sekejap. Ia ingin percaya bahwa di balik sikap serius Davin, ada sisi lain yang bisa mereka pelajari bersama, sesuatu yang belum pernah mereka temui sebelumnya.
“Kita bisa mencoba,” jawab Elyana akhirnya, suara lembutnya penuh tekad. “Tidak ada salahnya mencoba, bukan?”
Davin terdiam, lalu mendekat, berdiri di samping Elyana. Ia menatap ke depan, ke luar jendela yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang berkilauan. “Mungkin itu yang harus kita lakukan. Mencoba, tanpa banyak berpikir tentang apa yang akan datang.”
Elyana mengangguk, merasakan aliran kehangatan yang perlahan meresap ke dalam dirinya. Meski pernikahan ini bukanlah pernikahan yang diimpikannya, mungkin, di suatu tempat di dalam hatinya, ada secercah keyakinan bahwa mungkin mereka bisa menemukan makna di baliknya.
Malam itu berakhir dengan keduanya duduk di tepi tempat tidur, berdua dalam keheningan yang seakan mengikat mereka dalam kesepakatan yang tidak diucapkan. Mereka tidak tahu apa yang akan datang—apakah ini akan menjadi awal dari sebuah cerita yang penuh tantangan, atau sebuah akhir dari sesuatu yang tak pernah mereka rencanakan. Tetapi satu hal yang pasti, mereka memulai perjalanan ini dengan tekad untuk tidak hanya sekadar bertahan, tetapi untuk mencoba menemukan arti di balik setiap langkah mereka.
...****************...
Seiring berjalannya waktu, Elyana mulai merasakan beban yang semakin berat dari pernikahannya dengan Davin. Hubungan mereka, yang dulunya berisi percakapan penuh perhatian dan diskusi ringan, kini berubah menjadi rutinitas yang hampa. Di balik tawa kecil dan senyuman tipis yang kadang muncul di wajah Davin, ada kekosongan yang tak bisa disangkal.
Elyana sering menghabiskan malam di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang menunjukkan angka-angka dan grafik yang tak pernah bisa mengalihkan pikirannya dari kenyataan. Keterikatan mereka seakan terbungkus dalam selubung formalitas, di mana kata-kata manis yang dulu mengalir bebas kini terhenti. Davin, dengan sikap seriusnya yang tak pernah berubah, sering menghilang dalam pikirannya sendiri, terlalu sibuk memikirkan masalah perusahaan dan tekanan yang datang dengan posisinya.
Suatu sore, ketika hujan kembali mengguyur Jakarta, Elyana duduk di ruang tamu yang hening, dikelilingi oleh kenangan-kenangan kecil yang mulai memudar. Foto-foto pernikahan mereka, hadiah-hadiah kecil dari kolega, dan buku-buku yang pernah dibaca bersama—semuanya tampak seperti barang-barang asing di tempat yang seharusnya penuh dengan kehidupan.
Tiba-tiba, pintu depan dibuka, dan Davin masuk dengan ekspresi wajah yang lelah. Ia tidak berkata apa-apa, hanya melepaskan jasnya dengan gerakan terburu-buru dan melangkah ke kamar tidur tanpa menoleh. Elyana menatap punggungnya, perasaan kesepian yang mendalam merayap di dadanya.
"Apakah ini yang kita inginkan?" pikir Elyana, suara hatinya bertanya-tanya dalam keheningan. Ia tahu bahwa mereka berdua terjebak dalam kebisuan yang membuat mereka semakin terpisah. Tidak ada pertengkaran besar, tidak ada suara yang memecah keheningan, hanya ada kebisuan yang semakin dalam.
Semakin lama, Elyana merasa terjebak dalam bayang-bayang pernikahan yang tidak membahagiakan. Ia ingin keluar dari semua ini, menemukan kembali dirinya yang dulu penuh semangat, tetapi di sisi lain, rasa takut untuk melangkah keluar dari zona aman membuatnya ragu.
Namun, ada satu hal yang tak bisa diabaikan—rasa kehilangan harapan. Setiap malam, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah cinta itu masih ada di sini, atau hanya kenangan semata?"
Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang sama, keadaan tetap begitu sunyi, bahkan tidak ada tanda-tanda mereka seperti layaknya suami-istri, kehampaan dan keheningan di rumah mereka semakin menjadi teman yang akrab. Elyana sering terjaga hingga larut malam, merenungkan langkah-langkah yang harus diambil, tapi selalu didera oleh keraguan. Kehidupan yang dulu penuh dengan keceriaan dan percakapan tanpa akhir, kini terasa seperti mimpi yang pudar, terhapus oleh kenyataan yang menyesakkan. Ia terus memikirkan entah dulu ia mengambil keputusan yang salah atau ini semua takdir yang di gariskan untuknya? Entahlah namun, setelah hari-hari berlalu begitu cepat tanpa ada tanda-tanda yang di inginkan membua Elyana terus berpikir hubungannya dengan Davin.
Suatu malam, ketika hujan turun dengan derasnya dan suara gemericiknya mengisi seisi rumah, Elyana duduk di dekat jendela, menatap ke luar. Lampu jalanan memantulkan kilau basah, menciptakan bayangan siluet yang bergerak seiring angin. Suasana itu membuatnya teringat akan hari-hari penuh warna di awal pernikahan, saat mereka berdua duduk di jendela ini, berbagi cerita dan tawa, dan mengagumi hujan yang jatuh di kota.
Namun sekarang, suasana itu seolah hanya tinggal kenangan yang jauh. Suara langkah kaki di lantai atas menarik perhatiannya. Ia tahu itu Davin, yang sedang berjalan kembali ke kamar tidurnya. Ia ingin memanggilnya, meminta perhatian yang selama ini tak pernah ia dapat, tapi ia ragu. Kata-kata yang terpendam di dalam dadanya terasa seperti batu besar, sulit untuk diungkapkan.
"Elyana," suara Davin terdengar dari bawah, memecah keheningan malam. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Elyana dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. "Ada apa?"
Elyana menoleh, sedikit terkejut. "Davin, kita perlu berbicara," ujarnya dengan suara yang bergetar, menahan perasaan yang menguasai dirinya.
Davin menghela napas panjang, seolah tahu bahwa percakapan ini bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Ia melangkah mendekat, duduk di kursi di seberang Elyana. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kata-kata yang ingin Elyana ucapkan terhenti di tenggorokan.
"Aku merasa kita sudah terlalu jauh," Elyana akhirnya berkata, suara yang penuh dengan keputusasaan. "Aku tidak tahu apa yang kita cari lagi di sini, tetapi aku tahu kita sudah tidak sama."
Davin terdiam, matanya menatap ke arah lantai. Ia tahu bahwa Elyana benar. Perasaan itu sudah lama ada, tumbuh perlahan seperti jamur di tempat yang gelap. Tapi ia takut untuk mengakuinya, takut pada kenyataan bahwa mereka telah berubah menjadi orang-orang yang hanya berbagi rumah, bukan hidup.
"Jadi, apa yang kamu inginkan?" tanya Davin, akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap Elyana dengan mata yang penuh kebingungan dan kelelahan.
Elyana menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin kita jujur pada diri sendiri. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini, hanya berharap sesuatu akan berubah tanpa ada usaha."
Davin menatap Elyana sejenak, seolah berusaha membaca pikirannya. Mereka berdua tahu bahwa pernikahan ini sudah berada di ujungnya, dan perpisahan adalah hal yang tidak bisa dielakkan.
"Jika itu yang kau inginkan," ujar Davin, suaranya lemah, "aku tidak bisa menghalangimu."
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Elyana merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Meskipun perpisahan adalah hal yang menyakitkan, ia tahu bahwa keputusan ini adalah langkah menuju kebebasan.
Keesokan harinya, Elyana mulai mengemas barang-barangnya. Tidak banyak yang perlu dibawa; sebagian besar kenangan buruk, lebih banyak daripada kenangan manis, membuatnya tidak ingin terikat dengan rumah itu. Ketika ia meletakkan barang-barang di dalam koper, pikirannya kembali kepada masa-masa ketika ia dan Davin pertama kali memulai hidup bersama. Waktu itu, rumah ini penuh dengan semangat dan optimisme.
Namun, sekarang, hanya ada keheningan dan bayang-bayang dari apa yang pernah ada.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka, dan Davin muncul di ambang pintu, matanya merah dan lelah. "Aku tahu ini sulit, Elyana," katanya, suaranya patah-patah. "Tapi aku ingin kau tahu, aku tetap menghormati keputusanmu."
Elyana menatapnya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Ada rasa sesal, mungkin, dan mungkin juga sebuah pemahaman. "Terima kasih, Davin," katanya pelan. "Aku harap kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing."
Mereka berdua hanya berdiri dalam keheningan, seperti dua orang asing yang pernah saling mencintai. Elyana kemudian melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas dari bayang-bayang yang selama ini membelenggunya.
Dan di luar sana, hujan masih terus turun, membasahi kota yang seakan tidak pernah berhenti berputar.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!