Hujan deras mengguyur New York sore itu. Langit kelabu menambah suram suasana kota yang sibuk. Di sebuah sudut jalan yang sepi, aroma kopi segar dari kedai kecil bernama Brew Haven menyambut siapa saja yang masuk untuk menghangatkan diri. Di balik konter, Elle sibuk dengan rutinitasnya, meracik pesanan pelanggan dengan senyuman kecil yang selalu ia sematkan meski hari terasa berat.
Namun, sore ini berbeda. Kedai itu hampir kosong kecuali seorang pria paruh baya yang sibuk dengan laptopnya. Suara lonceng di pintu masuk mengalihkan perhatian Elle. Seorang pria dengan aura mengintimidasi melangkah masuk. Rambutnya yang hitam legam terlihat sedikit basah, dan setelan hitam yang mahal membungkus tubuhnya dengan elegan. Tatapan dinginnya menyapu ruangan, membuat suasana mendadak terasa lebih berat.
"Selamat datang di Brew Haven! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Elle, suaranya terdengar ceria meskipun hatinya sedikit was-was.
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia berjalan mendekat ke arah konter dengan langkah mantap. "Espresso. Tanpa gula," katanya singkat, suaranya tegas namun berbisik, seperti sebuah perintah.
Elle mengangguk dan segera membuat pesanan. Tetapi, saat ia akan menyajikannya, tubuhnya sedikit tersenggol oleh seorang pria yang tiba-tiba berlari keluar dari kedai. Kopi yang baru saja dibuat tumpah ke meja, dan beberapa tetes mengenai setelan pria itu.
"Oh tidak, saya benar-benar minta maaf!" Elle panik, meraih serbet untuk membersihkan noda di setelan mahal itu.
Pria itu mengangkat tangannya, menghentikan Elle. Tatapan dingin matanya menembus jantung Elle. "Kamu tahu berapa harga setelan ini?" suaranya rendah, tapi penuh ancaman.
"Saya benar-benar minta maaf! Saya akan mengganti kerugiannya," Elle tergagap, merasa keringat dingin mulai mengalir meski udara di dalam kedai cukup dingin.
Namun, pria itu hanya tertawa kecil—tawa yang terdengar lebih mengintimidasi daripada menenangkan. "Kamu pikir uang bisa menyelesaikan semuanya? Sayangnya, hidup tidak semudah itu."
Sebelum Elle sempat merespons, pria paruh baya yang ada di sudut ruangan langsung berdiri, ekspresi wajahnya penuh ketakutan. "Tuan Nichole, saya rasa ini hanya kesalahpahaman..."
Nama itu membuat Elle membeku di tempatnya. Nichole. Pemimpin geng yang sering disebut-sebut dalam berita kriminal. Orang yang bahkan polisi pun enggan untuk berurusan dengannya.
Nichole menatap pria itu sekilas, membuatnya segera mundur tanpa suara. Dia kemudian kembali menatap Elle, yang sekarang merasa kedua kakinya lemas.
"Aku tidak suka basa-basi," ujar Nichole. "Kamu punya dua pilihan. Bayar dengan cara yang kusuka... atau bayar dengan nyawamu."
Elle hanya bisa menatapnya dengan wajah pucat. "Apa yang Anda maksud?"
Nichole menyeringai, sebuah senyuman yang lebih menyerupai ancaman. "Aku butuh seseorang untuk membantuku... menutupi beberapa urusan. Kau akan menjadi istriku selama enam bulan."
Kata-kata itu jatuh seperti petir di telinga Elle. "Apa?!"
"Tidak ada penawaran ulang," Nichole berkata sambil menyesap espresso yang baru saja dibuat Elle. "Kau punya waktu sampai besok pagi untuk memberikan jawaban."
Sebelum Elle sempat berkata apa-apa, Nichole sudah berjalan keluar, meninggalkan kedai yang sekarang terasa sunyi dan dingin.
Elle berdiri terpaku, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Hidupnya yang tenang sebagai barista kini berada di ujung tanduk, semuanya karena secangkir espresso yang tumpah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langit malam New York dipenuhi kilatan petir yang menyambar, menggema seperti lonceng kematian di telinga Elle. Ia masih berdiri di balik konter, menatap pintu kedai yang baru saja dibanting tertutup oleh Nichole. Kepanikan merayap di tubuhnya, melumpuhkan setiap gerak. Bagaimana mungkin hidupnya yang sederhana berubah menjadi mimpi buruk hanya dalam hitungan menit?
Pria paruh baya yang tadi menyebut Nichole langsung bergegas mendekati Elle. "Dengar," bisiknya tergesa, matanya memandang pintu seperti takut seseorang mendengar. "Kau harus hati-hati. Kalau dia bilang sesuatu, dia serius. Jangan anggap enteng."
Elle menelan ludah, lidahnya terasa kelu. "Tapi... aku tidak mengerti. Bagaimana aku bisa terlibat dalam masalah seperti ini?"
Pria itu mendesah, menatap Elle dengan campuran simpati dan ketakutan. "Nichole tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Kau harus mengambil ini dengan serius. Aku sarankan... kalau kau ingin selamat, turuti dia."
Sebelum Elle bisa bertanya lebih lanjut, pria itu membereskan barang-barangnya dan pergi terburu-buru, meninggalkan kedai yang kini benar-benar kosong.
Di apartemen kecilnya, Elle berjalan mondar-mandir, mencoba memahami situasi yang ia hadapi. Pikirannya terus berputar. *Menikah? Dengan pemimpin geng? Untuk apa?*
Namun, setiap kali ia memikirkan kemungkinan melawan Nichole, bayangan tatapan dingin pria itu membuat bulu kuduknya meremang. Ia meraih ponselnya, mencoba mencari informasi tentang Nichole. Berita-berita kriminal muncul di layar, lengkap dengan rumor kejam dan kisah tentang orang-orang yang hilang setelah mencoba menentangnya.
"Dalam enam bulan aku bisa mati," gumamnya. "Tapi kalau aku menolak... aku juga bisa mati sekarang."
Tiba-tiba, suara ketukan keras di pintu membuat Elle melonjak. Jantungnya berdegup kencang. Siapa yang mengetuk di tengah malam seperti ini?
Dengan langkah gemetar, Elle mendekati pintu. "Siapa di sana?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Kiriman dari Tuan Nichole," jawab suara laki-laki di balik pintu, dingin dan tanpa emosi.
Elle membuka pintu sedikit. Seorang pria besar berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitam dan sarung tangan kulit. Ia menyodorkan sebuah amplop tebal berwarna hitam.
"Ini kontraknya. Kau punya waktu sampai pukul delapan pagi besok untuk menandatanganinya," katanya tanpa basa-basi.
Sebelum Elle sempat berkata apa-apa, pria itu sudah berbalik dan menghilang di lorong gelap.
Dengan tangan gemetar, Elle membuka amplop itu. Di dalamnya ada sebuah dokumen perjanjian pernikahan, lengkap dengan syarat dan tanda tangan Nichole yang sudah tertera. Mata Elle terhenti pada satu kalimat di bagian bawah:
*"Jika pihak kedua menolak perjanjian ini, pihak pertama berhak mengambil tindakan yang dianggap perlu."*
Elle terjatuh di sofa, menatap kontrak itu dengan ngeri. Waktu terus berjalan, dan ia tahu satu hal: tidak ada jalan keluar yang mudah dari situasi ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam dinding menunjukkan pukul 07.55. Elle duduk di kedai, amplop kontrak ada di tangannya. Udara dingin pagi itu tak mampu menenangkan pikirannya yang kacau.
Pintu kedai terbuka dengan suara nyaring. Nichole masuk, kali ini tanpa senyuman. Tatapannya langsung mengarah pada Elle.
"Keputusanmu?" tanyanya, suaranya rendah, penuh otoritas.
Elle menggigit bibirnya, mengumpulkan seluruh keberaniannya. "Jika saya setuju... apa yang akan terjadi setelah enam bulan?"
Nichole menyipitkan matanya, ekspresinya sulit ditebak. "Kau akan bebas. Dan aku akan memastikan tidak ada yang menyentuhmu lagi."
"Tapi kenapa saya?" tanya Elle, suaranya pecah. "Kenapa bukan orang lain?"
Nichole mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka hampir sejajar. "Kau berbeda, Elle. Itu saja yang perlu kau tahu."
Elle menelan ludah, lalu menggeser amplop itu ke arah Nichole. "Baik. Saya setuju."
Nichole menyeringai, sebuah senyum yang dingin namun penuh kemenangan. "Bagus. Selamat datang di neraka, Elle."
...To Be Continued...
Hujan masih mengguyur kota, menyelimuti New York dalam kabut kelabu. Elle duduk di meja sudut kedai dengan tubuh yang gemetar, amplop hitam itu kini kosong—kontraknya sudah ditandatangani dan berada di tangan pria yang membuat hidupnya jungkir balik dalam satu malam. Nichole telah pergi, tapi bayangan tatapannya yang dingin terus menghantui. Kata-kata terakhirnya masih menggema di benaknya.
“Selamat datang di neraka, Elle."
Apakah ia baru saja menghancurkan hidupnya? Atau ini justru satu-satunya cara untuk bertahan? Elle tidak tahu, dan keputusasaan membuatnya tak punya pilihan lain. Ia meremas cangkir kopi di hadapannya, menatap kosong ke arah jendela, hujan deras yang membasahi jalan tampak seperti refleksi kekacauan yang kini menyelimuti hatinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pukul tujuh malam, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan apartemen Elle. Ia baru saja selesai mengepak beberapa pakaian seadanya ketika suara klakson pelan terdengar dari luar. Ia mengintip dari balik tirai dan melihat seorang pria dengan setelan rapi berdiri di samping mobil, menatap lurus ke arah jendelanya. Tidak ada senyuman, tidak ada basa-basi.
Elle menghela napas panjang, mengambil tas kecilnya, dan berjalan keluar. Langkahnya berat, seolah-olah setiap langkah membawa beban tak terlihat. Ketika ia mendekati pria itu, ia hanya mengangguk tanpa bicara, membuka pintu mobil untuknya.
Di dalam mobil, suasana terasa mencekam. Tidak ada musik, hanya suara gemuruh hujan yang menghantam kaca. Sopir yang membawa mereka juga tidak banyak bicara, hanya sesekali menatap Elle melalui kaca spion dengan pandangan penasaran.
Mobil melaju ke arah distrik elit di Manhattan. Ketika mereka sampai di sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, pintu otomatis terbuka dan seorang petugas keamanan langsung memberi salam. Elle menelan ludah, merasa canggung di tengah kemewahan yang kontras dengan kehidupannya sebagai barista sederhana.
"Ikuti saya," kata pria tadi singkat, membimbing Elle menuju lift pribadi. Tidak ada orang lain di sana, hanya mereka berdua.
Pintu lift terbuka di lantai paling atas. Sebuah penthouse yang luas dan elegan terbentang di hadapan Elle. Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit, lantai marmer yang dingin memantulkan cahaya, dan pemandangan kota New York yang berkilauan tampak dari jendela besar di ruang tamu. Tapi semua kemewahan ini terasa dingin, seperti ruangan ini tidak benar-benar dihuni oleh manusia.
Nichole berdiri di dekat jendela, mengenakan setelan hitam seperti biasanya. Ketika ia menoleh dan melihat Elle, sebuah senyum tipis muncul di wajahnya.
"Kau datang tepat waktu," katanya. "Bagus."
Elle mencoba menenangkan napasnya yang tidak teratur. "Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?"
Nichole berjalan mendekat, langkahnya perlahan tapi pasti, seperti predator yang mengintai mangsanya. "Aku sudah memberitahumu. Kau akan menjadi istriku selama enam bulan. Itu saja."
"Tapi kenapa aku?" desak Elle. "Apa yang kau harapkan dari seseorang seperti aku?"
Nichole berhenti tepat di depannya. Mata mereka bertemu, dan Elle merasa dirinya tenggelam dalam tatapan itu—gelap, dalam, dan penuh rahasia. "Ada banyak hal yang tidak kau pahami sekarang, tapi kau akan tahu pada waktunya. Yang perlu kau tahu adalah ini: aku tidak membuat keputusan sembarangan."
Sebelum Elle sempat menjawab, seorang wanita paruh baya dengan seragam rapi masuk ke ruangan. "Semua sudah siap, Tuan Nichole," katanya sambil membungkuk.
Nichole mengangguk. "Bagus. Elle, ikuti aku."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Elle dibawa ke sebuah ruangan besar yang menyerupai ruang konferensi. Di meja panjang yang dihiasi lilin-lilin elegan, beberapa orang pria duduk dengan ekspresi serius. Mereka semua mengenakan setelan hitam, dan atmosfer di ruangan itu terasa berat.
Nichole duduk di kursi utama, sementara Elle berdiri di sampingnya, merasa seperti seorang anak kecil yang tersesat di tengah kumpulan serigala. Salah satu pria itu, yang terlihat lebih tua dan memiliki bekas luka di wajahnya, menatap Elle dengan penuh minat.
"Jadi ini dia?" tanyanya, suaranya berat dan parau. "Baru pertama kali aku melihatmu membawa orang luar ke dalam urusan kita, Nichole. Apa yang istimewa dari dia?"
Nichole tidak menjawab langsung. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati pria itu dengan tatapan tajam. "Dia adalah bagian dari rencanaku. Itu saja yang perlu kau tahu."
Pria itu tertawa kecil, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Pertemuan itu berlangsung selama hampir satu jam, dan Elle tidak mengerti sebagian besar yang mereka bicarakan. Tapi satu hal yang jelas: Nichole berada di puncak hierarki ini. Tidak ada yang berani membantahnya.
Setelah pertemuan selesai, Nichole berdiri dan menatap Elle. "Ayo. Aku akan menunjukkan kamarmu."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kamar yang disiapkan untuk Elle lebih besar dari seluruh apartemennya. Tempat tidur king size dengan sprei sutra putih mendominasi ruangan, dan ada balkon pribadi yang menghadap ke kota. Tapi Elle tidak merasa nyaman. Semua ini terlalu berlebihan, terlalu asing.
Nichole berdiri di ambang pintu, mengamati reaksi Elle. "Mulai besok, kau akan ikut aku ke semua acara dan pertemuan. Kau akan mempelajari peranmu sebagai istriku."
Elle memutar tubuh, menatapnya dengan alis terangkat. "Dan apa tepatnya peran itu?"
Nichole tersenyum samar. "Menjadi seseorang yang bisa dipercaya. Tidak lebih, tidak kurang."
Setelah mengatakan itu, ia meninggalkan Elle sendirian di kamar. Ketika pintu tertutup, Elle akhirnya bisa menghela napas panjang. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memproses semuanya.
Tapi saat malam semakin larut, rasa takut mulai merayap di pikirannya. Apa yang sebenarnya ia hadapi di sini? Apakah ia benar-benar bisa bertahan selama enam bulan tanpa kehilangan dirinya sendiri?
Di luar, kota New York berkilauan seperti biasa. Tapi bagi Elle, malam itu adalah awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan bahaya, misteri, dan kemungkinan yang tak terduga.
...To be Continued...
Pagi pertama Elle di penthouse Nichole terasa aneh. Matahari yang menembus tirai besar memenuhi ruangan dengan cahaya hangat, tapi hati Elle tetap terasa dingin. Ia melangkah pelan ke arah dapur, mencoba menemukan secangkir kopi untuk membangkitkan semangatnya.
Namun, ketika ia tiba, seseorang sudah ada di sana. Nichole, yang biasanya terlihat tajam dan mengintimidasi, sekarang berdiri di depan meja dapur dengan kemeja putih yang lengannya digulung. Tidak ada setelan formal atau aura mengancam yang biasanya membungkusnya. Ia terlihat lebih santai, hampir... manusiawi.
“Tidurmu nyenyak?” tanyanya tanpa menoleh, suaranya terdengar lebih ringan dibanding biasanya.
Elle mengangguk pelan, meskipun itu bohong. Malam tadi ia hampir tidak tidur, terus memikirkan kontrak yang mengikatnya dengan pria ini. “Cukup,” jawabnya singkat.
Nichole menoleh, mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. “Bohong bukan keahlianmu, ya?”
Elle terkejut, tapi hanya bisa mendengus kecil. “Saya hanya tidak terbiasa tidur di tempat sebesar ini.”
Nichole mengangguk, menyeduh kopi dengan gerakan yang terampil, seperti ia sudah melakukannya ribuan kali. “Kau akan terbiasa. Penthouse ini memang sunyi, tapi aku lebih suka begitu.”
Elle diam. Nichole menyerahkan secangkir kopi padanya tanpa berkata apa-apa lagi. Ketika tangan mereka bersentuhan, Elle merasa ada sesuatu yang aneh. Sebuah sentuhan singkat, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia segera menarik tangannya dan menunduk, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
“Terima kasih,” katanya lirih, mengambil cangkir itu dan berjalan ke meja makan.
Nichole memperhatikannya sejenak sebelum kembali membuat kopi untuk dirinya sendiri. Mereka duduk di meja yang sama, tapi keheningan di antara mereka tidak lagi terasa menekan. Ada sesuatu yang berubah, meskipun Elle belum bisa menamai apa itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari itu, Elle diharuskan menemani Nichole ke sebuah acara amal. Sebagai “istri kontrak,” perannya adalah menampilkan kesan bahwa mereka pasangan harmonis.
“Aku tidak punya gaun,” protes Elle ketika seorang wanita bernama Karen, asisten Nichole, datang dengan daftar panjang kebutuhan untuk acara malam itu.
Karen hanya tersenyum kecil. “Sudah ada gaun yang disiapkan untukmu. Tuan Nichole memastikan semuanya sesuai dengan ukuranmu.”
Elle ingin memprotes lebih lanjut, tapi ia tahu itu tidak ada gunanya. Jadi, ketika malam tiba, ia mengenakan gaun satin biru tua yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu sederhana namun elegan, dengan potongan punggung rendah yang membuatnya merasa sedikit gugup.
Ketika ia keluar dari kamarnya, Nichole sudah menunggunya di ruang tamu. Pria itu mengenakan setelan hitam seperti biasanya, tapi kali ini dengan dasi biru tua yang serasi dengan gaunnya. Ketika mata mereka bertemu, ada kilatan yang sulit diartikan dalam tatapan Nichole.
“Kau... terlihat berbeda,” katanya pelan.
Elle mengernyit, mencoba menebak apakah itu pujian atau hanya komentar biasa. “Berbeda buruk atau berbeda baik?” tanyanya, mencoba terdengar santai.
Nichole tersenyum tipis. “Berbeda baik.”
Hati Elle sedikit berdebar, tapi ia segera mengalihkan perhatian dengan merapikan gaunnya. “Baiklah, ayo kita pergi,” katanya, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Acara amal itu diadakan di sebuah ballroom mewah di pusat kota. Musik klasik mengalun lembut, dan lampu-lampu kristal bersinar seperti bintang. Nichole memegang tangan Elle ketika mereka memasuki ruangan, membuat setiap pasang mata langsung tertuju pada mereka.
Elle merasa canggung, tapi Nichole tampak tenang seperti biasa. Ia membimbing Elle ke sebuah meja di tengah ruangan, memperkenalkan mereka pada beberapa tamu penting.
“Ini Elle, istriku,” kata Nichole dengan suara lembut tapi penuh otoritas.
Elle tersenyum kecil, mencoba terlihat meyakinkan. “Senang bertemu dengan Anda semua.”
Saat percakapan berjalan, Elle mulai menyadari sesuatu. Nichole tidak hanya memintanya untuk menjadi istri kontrak; ia juga membawanya masuk ke dunia yang penuh intrik dan permainan kekuasaan. Setiap kata yang diucapkan Nichole penuh dengan maksud tersembunyi, dan Elle tahu ia harus berhati-hati.
Namun, di sela-sela percakapan formal itu, Nichole sesekali menatap Elle, memberikan senyum kecil yang membuatnya bingung. Ada sesuatu yang berbeda malam itu—seolah-olah Nichole melihatnya sebagai lebih dari sekadar pion dalam rencananya.
Ketika acara hampir selesai, Nichole membimbing Elle ke balkon yang menghadap kota. Udara malam yang dingin membuat Elle merapatkan syal yang dikenakannya, tapi ia tetap menikmati pemandangan.
“Kau melakukannya dengan baik,” kata Nichole tiba-tiba, suaranya terdengar lebih lembut.
Elle menoleh padanya, terkejut. “Melakukan apa?”
“Menjadi dirimu sendiri,” jawabnya singkat, menatap kota dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Elle merasa pipinya memanas. Ia tidak tahu apakah itu pujian atau hanya komentar biasa, tapi cara Nichole mengatakannya membuatnya merasa istimewa.
“Kau tahu,” Elle akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “kenapa kau memilihku? Dari semua orang yang mungkin bisa kau gunakan untuk rencana ini?”
Nichole menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Karena kau bukan seperti mereka. Kau bukan seseorang yang hanya peduli pada uang atau status. Kau... nyata.”
Kata-kata itu membuat Elle terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin ada sisi lain dari pria ini—sisi yang tidak terlihat oleh dunia luar. Tapi sebelum ia sempat merenungkan lebih jauh, Nichole mengalihkan pandangannya kembali ke kota.
“Jangan berpikir terlalu banyak, Elle,” katanya dengan senyum samar. “Hanya lakukan peranmu, dan semuanya akan baik-baik saja.”
Elle mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan. Di tengah semua kebingungan ini, satu hal menjadi jelas: jarak di antara mereka mulai terasa sedikit lebih kecil.
...To be Continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!