Erfana Nabillah Azealia Karim, yang biasa dipanggil Nabillah, adalah seorang perempuan yang baik hati dan selalu ceria. Ia banyak disukai oleh orang-orang, terutama kaum orang tua. Bahkan, ada beberapa yang berharap agar Nabillah menjadi calon menantu mereka.
Nabillah memiliki tubuh yang agak berisi dengan kulit putih langsat dan mata yang indah karena memiliki bulu mata lentik serta alis yang tebal.
Setahun setelah bekerja di tempat kesehatan, Nabillah merasa dirinya mendapatkan banyak pengetahuan yang sangat bermanfaat. Saat ini, Nabillah sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Setelah selesai, ia berangkat, diantar oleh sang ayah. Dalam perjalanan, Nabillah hanya tersenyum dan selalu berdoa agar pekerjaan hari itu berjalan lancar.
Beberapa menit kemudian, Nabillah tiba di tempat kerjanya dan disambut oleh para orang tua yang ada di sana.
"Selamat pagi," sapa Nabillah.
"Eh, cantiknya calon menantu mama," jawab salah satu ibu-ibu.
"Masya Allah, Amin," ucap Nabillah dengan nada lembut.
Setelah bersalaman satu per satu dengan bapak dan ibu yang ada di sana, Nabillah izin kepada salah satu ibu-ibu untuk membuka gerbang tempat terapi, lalu mengabsen tamu yang datang satu per satu tanpa ada yang tertinggal.
Hari ini, Nabillah ditugaskan untuk menginput nama tamu atau pasien yang baru datang untuk berobat. Ia sangat menyukai tugas ini karena, dengan begitu, ia bisa lebih dekat dengan tamu atau pasien baru.
Waktu terus berjalan, dan pada pukul 2 siang, antrean untuk terapi mulai berkurang. Nabillah merentangkan tangannya karena merasa pegal, lalu meminta izin kepada atasannya untuk membeli minum di luar. Saat melewati ruang terapi, ia melihat seorang pemuda yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Pemuda itu juga melihat dirinya, lalu berdiri dan bertanya kepada Nabillah.
"Permisi, maaf, Mbak, saya mau tanya," kata pemuda itu.
Nabillah sedikit terkejut mendengar dirinya dipanggil "Mbak", namun segera tersenyum ramah.
"Iya, Kak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Nabillah.
"Saya Delvin, saya di sini mau... maksud saya, apakah pasien yang sedang terapi di sini sudah pulang semua?" tanya Delvin sambil memperkenalkan diri dengan nada gugup.
"Apakah Kakak anak dari salah satu pasien yang terapi di sini?" tanya Nabillah.
"Iya, Mbak," jawab Delvin.
"Kalau boleh tahu, nama ibu atau ayah Kakak siapa?" tanya Nabillah.
"Mama Ey, Mbak," jawab Delvin
"Oh, Mama Ey. Beliau sedang terapi, Kak, baru saja masuk ke ruangannya. Kakak kenapa nggak ikut terapi?" tanya Nabillah.
Delvin menggelengkan kepala. "Saya masih muda, Mbak, jadi nggak perlu terapi."
"Eh, jangan salah, Kak. Justru karena masih muda, Kakak harus jaga kesehatan. Ayo, Kak, terapi, biar saya yang melayani," ajak Nabillah.
"Baik deh, Mbak. Badan saya juga pegal-pegal, sepertinya enak kalau saya terapi di sini," jawab Delvin.
Nabillah tersenyum karena akhirnya Delvin setuju untuk terapi. Senang karena tamu baru bertambah. Delvin mengikuti Nabillah ke ruang terapi, meskipun kebanyakan pasien yang datang adalah orang tua, ada beberapa anak muda yang memang membutuhkan terapi karena kondisi fisik tertentu.
"Silakan berbaring, Kak," ujar Nabillah sambil mempersilakan Delvin untuk berbaring.
Karena Delvin tidak membawa perlengkapan terapi, Nabillah meminjamkan selimut kesayangannya.
"Saya nyalakan alatnya, Kak. Kalau Kakak merasa sakit, tahan saja. Sakitnya hanya sebentar kok," ucap Nabillah, dan Delvin mengangguk setuju.
Setelah menyalakan alat terapi, Nabillah kembali ke ruang depan untuk mengambil buku data pasien baru, melupakan rencananya untuk membeli minum.
"Siapa laki-laki itu?" tanya tiba-tiba salah satu teman Nabillah.
"Anaknya pasien baru, Pita, kenapa?" jawab Nabillah.
Pita menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Enggak apa-apa, cuma ganteng, Bill," ucap Pita, membuat Nabillah menggelengkan kepala. Ia sudah tahu bagaimana respons teman kerjanya itu.
"Emang ganteng, kan dia cowok," jawab Nabillah.
"Iya sih, tapi kan maksud gue, dia ganteng, Bill. Lo nggak tertarik sama dia?" tanya Pita dengan nada menggoda.
"Aduh, udah ah, gue mau kerja lagi, masih banyak data yang harus dicatat," jawab Nabillah, sedikit malas menjawab pertanyaan Pita yang tidak penting.
Pita hanya cengengesan, senang menggoda Nabillah, karena ia tahu kalau Nabillah suka atau tidak dengan seseorang bisa terlihat dari raut wajahnya.
Nabillah kembali ke ruang terapi untuk membuat kartu absen untuk Delvin Duduk di samping alat terapi yang dipakai oleh Delvin, ia memperhatikan Delvin yang tampaknya sangat menikmati terapi tersebut.
"Maaf mengganggu, Kak," ucap Nabillah yang merasa agak tidak enak. Ini adalah kali pertama ia merasa deg-degan saat berada di dekat Delvin.
"Enggak kok, Mbak, santai saja," jawab Delvin sambil menikmati gerakan alat terapi yang memijat pundaknya.
"Perkenalkan, Kak, nama saya Nabillah, saya staff di sini. Maaf, tadi nama Kakak siapa?" tanya Nabillah sambil mencatat data.
"Delvin Laksamana Harefa," jawab Delvin sambil melirik Nabillah yang sedang mencatat.
"Kalau umur Kakak berapa? Sepertinya Kakak masih muda," tanya Nabillah, sambil menoleh ke arah Delvin.
"Umur saya 23, Mbak," jawab Delvin.
Nabillah mengangguk. "Kak, bisa nggak panggil saya tanpa embel-embel 'Mbak'? Panggil nama saja, boleh?"
Delvin tersenyum, "Oke, Billa."
Beberapa menit kemudian, Nabillah masih duduk menunggu Delvin selesai terapi. Ia merasa khawatir kalau Delvin merasa kesakitan, padahal Delvin malah merasa sangat nyaman dan tubuhnya terasa lebih ringan.
"Gimana, Kak, rasanya terapi di sini?" tanya Nabillah, sambil meletakkan tangan di dagunya.
"Awalnya sakit, tapi lama-lama enak," jawab Delvin dengan jujur.
"Memang seperti itu, Kak. Semoga dengan rasa enak ini, Kakak bisa terapi setiap hari bersama Mama Ey juga," ucap Nabillah, sambil mematikan alat terapi karena waktunya sudah selesai, lalu melipatkan selimut yang dipakai Delvin.
"Terima kasih, Billa," ucap Delvin.
"Sama-sama, Kak," jawab Nabillah dengan lembut.
Setelah mengucapkan terima kasih, Nabillah melangkahkan kaki ke pintu untuk membuka pintu ruangan terapi, memberi kesempatan kepada tamu atau pasien yang telah selesai terapi untuk keluar.
"Terima kasih, Mama Ey, besok datang lagi ya!" ujar Nabillah dengan nada ramah. Mama Ey hanya menunduk dan mengangguk sebagai jawabannya.
Nabillah tersenyum lalu mengangkat jari kelingkingnya. "Janji dulu sama Nabillah," ujarnya. Mereka saling kaitkan jari kelingking, yang membuat orang di belakang Mama Ey tersenyum hangat.
Setelah itu, Nabillah beralih ke Delvin. "Terima kasih banyak, Kak, sudah mempercayakan kesehatan di sini. Semoga Mama Kakak cepat sembuh dan cocok berobat di tempat kami," ujar Nabillah, lalu bersalaman dengan Delvin.
"Sama-sama, Bill. Saya yang berterima kasih kepada staff di sini," jawab Delvin dengan ramah.
"Yasudah, saya pamit dulu, Bill," lanjut Delvin.
Nabillah mengangguk dan tersenyum. "Iya, Kak, hati-hati di jalan, sampai ketemu lagi," ucap Nabillah.
Delvin dan Mama Ey pun pergi menuju rumah mereka, sementara Nabillah menutup pintu ruang terapi dan mengecek alat terapi satu per satu sambil menunggu sesi berikutnya. Tempat ini buka hingga jam 5 sore, dan kadang bisa menerima 300 hingga 500 orang dalam sehari, dengan satu sesi melayani 20 orang lebih.
TBC...
Setelah meeting kemarin malam, Nabillah terpilih untuk mengikuti pelatihan selama seminggu. Mau tidak mau, ia harus mengikuti pelatihan manajer yang diadakan untuk seluruh Indonesia. Ini adalah kesempatan besar karena di perusahaan tersebut, menjadi manajer cabang di Indonesia bukanlah hal yang mudah.
Tugas Nabillah kemarin digantikan oleh rekannya, Erika. Nabillah sudah berpesan dan mempercayakan tugas tersebut kepada Erika, yakin bahwa ia bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Kini, Nabillah sedang bersiap-siap di rumah, membawa koper karena pelatihan ini berlangsung selama seminggu, bukan hanya sehari. Setelah sarapan, Nabillah berpamitan kepada kedua orang tuanya.
"Bu, doain Nabillah semoga pelatihannya lancar," ucap Nabillah sambil merasakan detak jantung yang berdebar-debar.
"Ibu selalu doakan kamu, Nak," jawab Ibu Nabillah, sambil memeluk tubuh Nabillah, yang dibalas oleh Nabillah.
"Kamu baik-baik di sana, kalau ada apa-apa langsung hubungi Ayah atau Ibu," lanjutnya, karena memang pelatihan ini cukup jauh, apalagi Nabillah tidak pulang.
"Iya, Bu. Yasudah, Nabillah pamit," kata Nabillah, lalu mencium pipi Ibu dan melambaikan tangan, yang dibalas oleh Ibu dengan senyuman.
Sebelum berangkat ke tempat pelatihan, Nabillah mampir sebentar ke tempat kerjanya untuk melakukan briefing pagi. Setelah semua staff berkumpul, briefing pun dimulai. Staff di sana mendengarkan dengan seksama saat manajer memberikan masukan dan motivasi.
"Mungkin Nabillah ada yang ingin disampaikan?" tanya manajer kepada Nabillah.
"Sedikit saja boleh?" jawab Nabillah, sambil melirik satu per satu staff di sana. Mereka mengangguk tanda setuju.
"Selamat pagi semuanya," lanjut Nabillah, yang kemudian dibalas dengan sapaan dari mereka semua.
"Saya hanya ingin mengingatkan teman-teman semua, kemarin ada banyak sekali pasien baru. Jadi saya minta tolong sekali, tolong dijaga pasien barunya dan jelaskan kembali apa itu penyakit, apa itu reaksi. Itu harus benar-benar kalian jelaskan secara jelas," ucap Nabillah.
"Kalau ada tamu atau pasien yang tidak datang, tolong telponin, baik yang baru maupun yang lama. Data tamu-tamu sudah saya kasih kepada Kak Erika, nanti kalau menurut kalian pasien kalian tidak datang, kalian bisa bilang ke Kak Erika, nanti Kak Erika akan memberikan nomor telepon mereka. Paham ya?" lanjut Nabillah, yang kemudian mendapat pengertian dari mereka semua.
"Semangat terus ya, teman-teman. Terima kasih banyak." Nabillah mengakhiri sambutannya, yang diikuti dengan tepuk tangan dari staff.
"Yasudah, yuk kita berdoa, semoga hari ini lancar semuanya," kata manajer, yang disambut dengan ucapan "Amin" dari seluruh staff.
Setelah briefing selesai, Nabillah dan manajer berpamitan kepada bapak/ibu yang ada di sana dan mendapatkan doa dari mereka.
Sementara itu, Delvin sedang dalam perjalanan menuju tempat terapi, kali ini tidak hanya bersama Mama Ey, tetapi juga mengajak Kakak dan Kakak Ipar untuk berobat. Kakak iparnya menderita komplikasi, dan beberapa waktu lalu sempat koma akibat pecahnya pembuluh darah di bagian kanan otak. Kini, seluruh tubuhnya tidak bisa digerakkan, dan mereka berharap terapi di sana bisa memberikan hasil yang diinginkan.
Setelah beberapa menit, mereka sampai di tempat terapi. Delvin turun lebih dulu dari mobil, diikuti oleh Andika Halawa, kakak iparnya. Dengan sabar, Delvin membantu kakak nya Andika untuk berjalan pelan-pelan. Meskipun prosesnya agak lama, setidaknya kakak nya Andika masih bisa bergerak.
Mereka masuk ke ruang tunggu dan duduk di kursi yang paling dekat dengan pintu. Delvin kemudian mengambil kartu antrian, lalu duduk di samping Mama Ey. Matanya melirik ke kanan-kiri, tampak seperti sedang mencari seseorang, namun tak ada yang ia temui.
"Dia kemana ya?" batin Delvin.
"Kenapa, Nak?" tanya Mama Ey, yang melihat anaknya seperti mencari sesuatu.
Delvin menoleh ke Mama Ey dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa, Mah. Memangnya kenapa, Mah?"
"Kamu seperti mencari seseorang," jawab Mama Ey.
Sebelum Delvin sempat menjawab, ponselnya berbunyi. Delvin memberi isyarat kepada Mama Ey dan Andika untuk keluar sejenak agar ia bisa mengangkat telepon, karena suasana di ruang tunggu cukup berisik.
Tak lama kemudian, sesi terapi pun dimulai, dengan setiap pasien bergantian masuk ke ruang terapi. Banyak staff yang membantu bapak/ibu dan juga Andika untuk mempersiapkan terapi.
"Saya baru di sini, Mas," ujar Andika.
"Mari, saya bantu," jawab salah satu staff dengan ramah.
"Terima kasih," ucap Andika dengan suara pelan.
Salah satu seorang staff yaitu bernama Okky, membantu Andika untuk terapi dan meminta Erika untuk mencatat data mereka serta menjelaskan prosedur terapi.
"Semoga cepat sembuh, Mama Erlita," ucap Erika, setelah memberikan penjelasan.
Erlita tersenyum sambil meneteskan air mata, karena memang sakitnya membuatnya sangat sensitif.
Saat Erika hendak kembali ke ruangannya, tiba-tiba Delvin memanggilnya, dan Erika pun menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya Erika dengan ramah.
"Tidak ada sih, cuma saya ingin bertanya, Mbak."
"Tanya apa, Kak?" tanya Erika dengan senyum.
"Staff yang bernama Nabillah, kemana ya, Mbak?" tanya Delvin tanpa ragu.
Erika tersenyum mendengar pertanyaan tersebut, karena memang banyak orang yang mencari Nabillah.
"Oh, Kak Nabillah sedang pelatihan, mungkin seminggu lagi ia kembali bekerja di sini," jawab Erika jujur.
"Pelatihan di mana, Mbak? Apakah di sana ada laki-lakinya? Atau bagaimana?" tanya Delvin bertubi-tubi.
Erika agak bingung, tetapi ia tetap berusaha menjawab dengan hati-hati.
Delvin yang peka terhadap kebingungannya langsung merasa canggung, karena ia pun tidak tahu mengapa ia begitu ingin tahu tentang Nabillah.
"Maaf, Mbak. Kalau saya minta nomor teleponnya Nabillah, apakah boleh?" tanya Delvin dengan penuh harap.
"Boleh kok, Kak. Kalau begitu, saya catat dulu ya," jawab Erika, lalu meninggalkan Delvin, yang merasa bahagia.
Sementara itu, Mama Ey yang mendengarkan percakapan mereka hanya tersenyum. Ia merasa bahwa anaknya mulai menyukai seseorang, meskipun mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Namun, Mama Ey merasa setuju jika Delvin bersama Nabillah.
"Sudah dapat lampu hijau, tapi temboknya masih tinggi..." pikir Mama Ey dalam hati.
"Semoga ada keajaiban, Amin."
Setelah beberapa menit, Delvin akhirnya mendapatkan nomor telepon Nabillah. Ia sangat berterima kasih kepada Erika, karena meskipun nomor telepon adalah hal pribadi, Erika mempercayakan nomor tersebut kepadanya dengan harapan ia tidak akan menyakiti Nabillah.
TBC...
..."Aku tau ini salah, tapi aku tidak bisa membohongi perasaan ku pada mu"...
Hari demi hari, Nabillah menjalani masa pelatihan, dan hari ini adalah hari terakhir mereka mengikuti masa pelatihan tersebut.
Dengan penuh rasa syukur, hingga saat ini tidak ada gejala yang mengkhawatirkan, meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Apalagi untuk hari ini, Nabillah diminta untuk maju ke depan dan menunjukkan kemampuannya di hadapan orang-orang hebat.
Menunggu untuk dipanggil, Nabillah terus berdoa agar bisa berbicara dengan lancar. Setelah beberapa menit, akhirnya nama Nabillah dipanggil. Ia pun berdiri dan melangkah maju ke depan, lalu mengambil mikrofon.
"Terima kasih dan tepuk tangan untuk Mr. Kim," ucap Nabillah, dan semua orang di sana pun bertepuk tangan.
"Sebelum saya memulai, izinkan saya untuk memberikan salam dan memperkenalkan diri," lanjut Nabillah.
"Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," kata Nabillah, sambil menetralkan detak jantungnya.
"Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka serempak.
"Perkenalkan, nama saya Nabillah, saya berasal dari center Pondok Ranji..." lanjut Nabillah.
Setelah memperkenalkan dirinya, Nabillah mulai menjelaskan tema dari pelatihan tersebut dengan jelas dan terstruktur, membuat orang-orang hebat yang ada di sana terpukau dan mengagumi penjelasannya.
Setelah selesai, Nabillah menerima pujian dari CEO, yaitu Mr. Kim dan Mr. Lee.
Memang tidak diragukan lagi, ketika Nabillah menjelaskan sesuatu, semuanya tersusun rapi dan mudah dipahami, sehingga orang-orang di sana bisa mengerti dengan jelas.
Selepas pelatihan, mereka pun pulang ke center masing-masing. Karena esok adalah hari Minggu, mereka memutuskan untuk pulang lebih awal agar bisa beristirahat dan kembali aktif keesokan harinya.
Sesampainya di rumah, Nabillah segera merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia sangat merindukan kenyamanan tiduran di kamar sendiri. Setelah itu, ia mulai membuka ponselnya. Ternyata banyak sekali pesan yang masuk. Salah satunya adalah pesan dari Erika.
Erika KHL
Kak bil,
Tadi ada yg minta nomor mu
akhirnya aku kasih
^^^Bil^^^
^^^Siapa?^^^
Erika KHL
Tamu baru kayak nya
Dia juga nanyain kamu dimana tadi
^^^Bill^^^
^^^Oh tidak apa^^^
^^^Mungkin saja mau tanyain tentang reaksi^^^
Erika KHL
Ganteng loh kak Bill orang nya
^^^Bill^^^
^^^Tidak menarik^^^
Erika KHL
🤨🥲
Nabillah memilih untuk tidak membalas pesan dari Erika. Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu memejamkan mata.
Baru beberapa menit, Nabillah sudah terlelap dan memasuki alam mimpi. Mungkin karena tubuhnya yang kelelahan setelah hari yang panjang.
Sementara itu, di tempat lain, seorang pemuda memikirkan seseorang yang dirindukannya. Ia meluapkan perasaannya dengan menyanyikan sebuah lagu yang sesuai dengan isi hatinya, diiringi petikan gitar yang ia mainkan sendiri.
SKIP
Hari Senin pun tiba. Seperti biasa, Nabillah bersiap untuk berangkat kerja. Ia merasa tak sabar menyambut kedatangan kedua orang tuanya, yang begitu dirindukannya.
Selama masa pelatihan sebelumnya, Nabillah mendapatkan banyak ilmu yang bermanfaat. Ia juga memetik pelajaran berharga yang dapat ia gunakan untuk masa depannya.
Nabillah merasa beruntung mendapatkan pekerjaan yang membuatnya nyaman. Rekan-rekan kerjanya selalu mendukung tanpa membanding-bandingkan satu sama lain. Di tempat kerjanya, ia juga bertemu banyak orang tua yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Sesampainya di tempat kerja, Nabillah disambut hangat oleh semua orang. Hari itu, ia kembali menjalankan tugasnya seperti biasa. Namun, banyak yang bertanya tentang ketidakhadirannya selama seminggu terakhir.
Dengan ramah, Nabillah menjawab pertanyaan mereka. Keramahannya inilah yang membuat Nabillah disukai oleh para orang tua di sana. Bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena sikapnya yang sopan dan penuh hormat kepada yang lebih tua.
Saat melirik ke arah pintu, Nabillah melihat seseorang yang duduk di dekat sana. Ia menghampirinya dengan senyum ramah.
"Alhamdulillah, Mama Ey akhirnya datang kembali. Bagaimana kabarnya, Ma?" tanya Nabillah sambil menggenggam tangan Mama Ey dengan lembut.
"Puji Tuhan, Nak. Badan Mama sudah mulai enakan, tidak merasakan sakit lagi. Kamu kemana saja?" jawab Mama Ey dengan hangat.
Mendengar kabar baik itu, Nabillah ikut senang. Ia yakin bahwa semua pasien yang menjalani terapi di tempat itu akan mendapatkan kesembuhan, meskipun butuh proses.
"Saya mengikuti pelatihan, Ma. Oh iya, Kak Delvin mana?" tanya Nabillah, mencari keberadaan pemuda itu.
"Tadi keluar. Katanya mau ke Alfa dulu. Oh iya, Mama bawa keluarga Mama," jawab Mama Ey sambil menunjuk seseorang di sampingnya.
Nabillah tersenyum lalu berjongkok di depan wanita yang diperkenalkan sebagai Mama Erlita. "Siapa namanya, Ma?" tanya Nabillah dengan lembut.
"Erlita," jawabnya pelan. Suaranya terdengar tidak jelas karena kondisi mulutnya yang kaku.
"Nama yang cantik," puji Nabillah. "Mama ikut saya, ya. Tunggu di sana saja," lanjutnya sambil menunjuk alat terapi yang kosong.
Nabillah memutuskan untuk membantu Mama Erlita karena melihatnya tampak lelah setelah menunggu lama. Hari itu memang sangat ramai, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.
Ia menuntun Mama Erlita menuju tempat terapi, diikuti oleh Andika dan Mama Ey.
"Mama duduk di sini sambil mendengarkan penjelasan dari sfaff lain," ujar Nabillah sambil membantu Mama Erlita meluruskan kakinya.
Setelah memastikan semuanya nyaman, Nabillah berpamitan. "Saya permisi dulu, ya," katanya kepada mereka bertiga sebelum pergi ke kantor untuk mengambil kartu absen pasien.
Saat berjalan di lorong, Nabillah tidak sengaja berpapasan dengan Delvin. Namun, ia terlalu asyik dengan ponselnya hingga tidak menyadari keberadaan pemuda itu.
Tanpa sengaja, ia menabrak dada bidang Delvin. "Aduh, maaf, Pak, saya tid—Kak Delvin!" Nabillah mendongak, terkejut mendapati bahwa orang yang ditabraknya adalah Delvin.
"Kak, maaf, saya tidak sengaja," lanjutnya dengan nada menyesal.
"Tidak apa-apa. Kamu mau ke mana?" tanya Delvin sambil menahan diri agar tidak memeluk Nabillah. Entah mengapa, sejak bertemu Nabillah, ia merasa tertarik dan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Saya mau ke kantor sebentar, Kak, mengambil buku absen," jawab Nabillah.
Delvin mengangguk. Sebelum pergi, ia berkata, "Nanti malam aku akan menghubungimu."
Nabillah yang mendengar hal itu merasa bingung. "Hah?" hanya itu yang sempat ia ucapkan sebelum Delvin pergi meninggalkannya.
Nabillah hanya bisa menatap punggung Delvin yang menjauh, namun ia memilih untuk tidak memikirkannya terlalu jauh. Ia pun melanjutkan langkahnya ke kantor untuk mengambil kartu absen.
TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!