"An! A-an!"
Seketika aku tersadar dari lamunanku.
"Gimana rencana kita besok? Kamu gak lupa kan?"
"Eh ternyata kamu, Vi? Bikin kaget aja. Mana ada lupa? Yang ngajakin kan aku." Sahutku kepada cewe yang tomboy itu.
"Besok Dimas jadi mau ikutan, kamu harus akrab sama dia. Gak boleh berantem terus!" Katanya sambil menatapku tajam.
"Iya iya. Santai aja, Vi. Aku kan dah gede" Jawabku sambil agak kesal dengan ucapannya.
"Yaudah aku mau pulang dulu, dah mau maghrib soalnya. Kamu juga buruan pulang, nanti digondol wewe lho". Godanya menakutiku. Karena memang tempat ini sudah terkenal akan keangkerannya.
"Mana ada wewe nggondol anak umur 18 taun?" Ucapku kesal
"Hahaha, ngaku juga kalo kamu masih anak-anak."
"Heh~ bukan gitu maksudnya astagaaa." Ucapku yang semakin kesal dengan ucapannya.
"Hehe, gitu aja marah. Yaudah aku pulang dulu. Dadaa selamat tinggal!" Diapun pergi sambil melambai kearahku.
"Bodoamat" Jawabku kesal.
"Eh udah sore ternyata. Tinggal aku sama mamang Asep yang ada disini. Mang Asep juga kek nya udah mau pulang. Soalnya udah mau penuh juga rumput buat pakan kambing dia." Batinku sambil melihat ke sekeliling. Aku pun segera menarik kembali layangan besarku atau biasa disebut Wau. Setelah aku membereskan layanganku, aku pun segera bergegas untuk pulang karena seperti yang dikatakan Vivi hari sudah mulai gelap. Kemudian aku pun menyapa Mang Asep dan segera pulang.
Btw namaku Andra. Teman-temanku biasa memanggilku Aan. Tapi keluarga sama warga desa manggil Andra. Jadi terserah sih mau manggil siapa asalkan gak melenceng jauh dari nama aslinya hehe.
Di perjalanan pulang aku ketemu dengan Yusuf sama Dimas. Mereka memang sahabatku sejak kecil. Kelihatannya mereka mau melancarkan aksi tidak terpujinya lagi yaitu mencuri buah tetangga. Aku pun segera menegurnya.
"Woi! Ngapain lu celingukan disini? Mau maling lu? Gue teriak nih" Tegurku
"Njirr bikin kaget aja lu, An. Mau kagak lu?" Jawab Dimas yang emang dia orangnya kagetan.
"Mau apaan?"
"Tuh merah-merah diatas sana tuh. Apa lu gak ngiler liatnya?" Ucap Dimas sambil menunjuk buah rambutan yang ada diatas pohon depan rumahnya Pak Anas yang memang lagi ranum-ranumnya.
"Astaghfirullah brother. Apa kamu tidak ingat apa yang dikatakan Ustadz Syamsi tentang mengambil hak yang bukan miliknya? Itu semua dosa!" Ucapku sembari menirukan gaya guru ngaji ku saat aku masih sekolah di Madrasah Diniyah dulu.
"Ini bukan nyuri, tapi ketimbang mubazir? Lagian Pak Anas juga gak sempet buat manen buahnya" Jawab Yusuf sambil garuk-garuk kepala.
"Ketimbang mubazir gundulmu. Yaudah pulang yuk! Dah mau maghrib ini" ucapku sambil mendorong punggung mereka berdua.
"Eh eh gak usah dorong-dorong! Bukan muhrim!" Jawab Dimas sambil menepis tanganku dan bergaya sok jijik seperti artis yang fenomenal akan kekayaannya itu.
Dimas emang orangnya jail, tapi asik. Dia memang suka menghibur teman-temannya dengan tingkah ataupun leluconnya yang kadang terlalu aneh untuk ditertawakan. Terus kalo Yusuf dia orangnya pemalu, cuma ya karena dia temenannya sama aku dan Dimas jadi dia udah ketularan sablengnya dan gak canggung lagi. Tapi dia kalo ketemu sama orang baru mah dia akan diam seribu bahasa karena memang pada dasarnya dia pemalu.
Kami pun sampai di pertigaan gang yang rumahku berada di gang berbeda dari rumah mereka berdua. Aku pun berpamitan dan tak lupa juga mengingatkan kembali supaya mereka tidak melupakan apa-apa saja yang harus disiapkan untuk liburan dirumah om ku besok.
"Ntar gue kabarin lagi ya gaes. Biar kalian semua tau info-info terbaru dari gue"
"Info lu gak berguna semua anjir!" Jawabku kepada Dimas yang berjalan berlawanan arah denganku.
"Hehe namanya juga bukan wartawan yang selalu memberikan informasi tentang negara." Sahut Dimas menanggapi jawabanku.
Kamipun berpisah di pertigaan yang memang rumahku dengan rumah mereka berdua sudah berbeda jalur. Sesampainya dirumah, aku melihat adikku yang sedang bermain sendirian diteras rumah. Mungkin ibuku sibuk memasak di dapur.
"An! Ibuk mana?" Tegurku sembari meletakkan layanganku disamping di dinding teras rumahku.
"Ibuk lagi di dapur" Sahut adikku cuek.
"Hmm sepertinya tuh boneka butuh sedikit hiasan dari daun jambu" Aku sedikit menganggu nya bermain boneka barbie yang sudah dia rias seperti di film kartunnya.
"Ihh apaan sih bang? Pergi gak?!" Jawab adikku kesal sambil memukulku gemas.
"Kabur! Ada bocil ngamuk" Aku pun segera lari dari serangan adikku yang mulai marah itu.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Sehabis isya aku pun segera menyiapkan bekal untuk berkunjung dirumah pamanku besok. Lokasinya memang agak jauh, kesana kami harus melewati ladang tebu yang sangat luas, lalu melewati pegunungan, beberapa desa kemudian akan sampai di desa tempat om ku tinggal.
"An! Kamu udah nyiapin semua buat besok?" Tanyaku kepada adikku yang sedang menonton tv.
"Udah" Jawabnya cuek.
"Oke deh. Besok kita harus berangkat pagi-pagi. Jangan kesiangan!"
"Iyaa"
Dia jadi agak pendiam. Mungkin semenjak ditinggal pergi sama bapakku buat panggilan tugas dikota lain. Mungkin dia kangen sama bapak. Aku pun juga kangen sih, tapi ya berdoa aja lah supaya bapak pulang dengan selamat. Bapakku memang seorang polisi dan sekarang dia sedang memecahkan sebuah kasus yang katanya sulit untuk dipecahkan. Aku juga gak terlalu mengerti, tapi katanya beliau harus memecahkan kasus tentang sebuah desa yang seluruh warganya dibantai secara misterius. Karena seluruh mayat yang ditemukan itu tidak ada tanda-tanda dibunuh atau ditembak, hanya indra penglihatan mereka yang hilang, yang lain utuh. Makanya dibutuhkan seorang polisi khusus seperti bapakku untuk memecahkannya.
Aku pun segera mengemasi barang bawaanku besok yang rencananya kami akan menginap selama 3 hari karena ini adalah liburan sekolah. Hari pertama setelah sampai kami mau memancing di danau dekat rumah pamanku besok. Kata pamanku disana emang spot yang bagus buat mancing. Ikannya juga gede-gede.
"Sip udah semua. Baju-baju, tongkat pancing, kail, terus jaring juga udah. Eh sekalian bawa tongkat kasti ah, kali aja temen-temen pada bosen mancingnya, terus disana malah pada main kasti hahaha." Batinku sambil membayangkan keseruan besok.
Setelah semuanya beres, aku pun segera tidur dan tak sabar buat besok.
~ ~ ~
Jam sudah menunjukkan pukul 7, aku pun segera menghabiskan sarapanku.
"An! Kalo udah selesai aku udah di depan ya. Sekalian nungguin temen-temen"
"Tungguin atuh, Ndra. Kasian adekmu itu. Sekalian bawain barang dia gih" Kata ibuku.
"Yah kan aku udah bawa barang banyak buk. Masa harus bawain barangnya Aini juga." Gerutuku.
"Adikmu kan masih kecil. Buruan tuh bawain tasnya!"
"Iya iyaa" Jawabku sambil membawakan tas Aini dengan terpaksa.
Memang keluargaku memanggilnya An bukan Ain. Karena cukup susah untuk mengucapkan Ain, jadi dipanggil An saja. Kadang pernah juga ibukku manggil An yang jawab 2 orang karena ambigu yang dipanggil siapa. Tapi lucu juga sih hahaha.
Sesampainya dipinggir jalan besar, aku bertemu dengan teman-temanku yang sudah menungguku disana dan wahh aku melihat Vivi yang ternyata bisa dandan juga yang biasanya jarang banget buat dandan.
"Tumben lu make bedak, biasanya juga make pasir buat ditaruh dimuka" Ledekku.
"Apa pasir-pasir? Udah cantik gini masih juga dikatain" Sahut dia kesal sambil mengibaskan rambut panjangnya yang terikat.
"Hahaha iya deh Vivi yang cantik kayak orang Korea." Ledekku lagi.
"Hus tenang kalian berdua. Tuh bisnya udah dateng" Tegur Pak Heru, ayahnya Yusuf.
Setelah itu kamipun segera menaiki bis bersama-sama dan mencari tempat duduk. Akhirnya kami menemukan tempat duduk yang berada dibelakang sendiri. Vivi samping adikku Aini, Yusuf sama Dimas dibangku paling belakang. Dan aku berada dibangku seberangnya Vivi dan Aini, samping bapak-bapak yang mukanya serem banget.
Kemudian bis pun berangkat dan inilah perjalananku yang seharusnya tidak aku rencanakan sebelumnya...
Matahari bersinar cerah. Kendaraan pun cukup banyak berlalu lalang. Mungkin karena masih masuk jam-jam sibuk alias jam berangkat kerja karena sekarang juga jam menunjukkan pukul 07.45 pagi. Jadi wajar-wajar saja kalau jalanan masih cukup ramai lancar. Bis pun mulai berangkat. Keadaan bis pun cukup ramai yang kira-kira ada 30 an orang. Di depan ku terdapat abang-abang yang kira-kira umur 25 tahun sedang mendengarkan lagu, sepertinya dia habis pulang kerja. Kemudian ada lagi ibu-ibu sama anaknya, dan waduh anaknya bandel banget. Dari tadi dia lari-larian lho di lorong bis. Dan anehnya dia gak jatuh walaupun bis nya sedang berjalan.
Kemudian ada juga bapak-bapak pake baju batik berwarna merah, yang mungkin dia adalah seorang guru. Tapi kok guru naik bis? Bukannya biasanya naik motor atau mobil pribadi? Aku pun tak mengambil pusing dengan memikirkan hal itu. Kemudian ada juga mbak-mbak yang semenjak aku naik dia tidur terus. Mungkin dia gak kuat kali sama pengharum ruangan bisnya. Kan emang ada orang yang kalo naik bis sering mabuk perjalanan hahaha.
Beberapa saat kemudian, mas-mas kernetnya menghampiri ku dan meminta ongkos. Aku lihat dibangku paling belakang si Dimas dia nyanyi-nyanyi terus sama Yusuf. Seneng banget keknya. Lagunya pun juga gak abis 1 lagu, udah ganti aja hahaha. Yusuf juga ikutan nyanyi, bagus juga suaranya Yusuf. Kemudian bangkunya Aini sama Vivi ehm sepertinya mereka sedang liat film. Yah namanya juga cewe. Btw Vivi jago banget momong adikku, Aini juga kelihatannya nyaman banget sebangku sama dia. Pake nyender segala lagi. Pengen juga aku jadi abang yang baik buat Aini. Tapi sepertinya sih gak bisa, soalnya aku udah ketularan jail kek 2 sahabat ku dibelakang hahaha.
Btw bapak-bapak disampingku yang mukanya serem itu semakin lengkap dengan sifatnya yang dingin. Kira-kira dia berumur sekitaran 40 an tahun. Ditambah lagi kepalanya yang botak dan ada bekas sayatan dipipinya semakin menambah kesan seram plus sadis dibenakku. Aku pun berusaha mencairkan suasana dengan mencoba untuk berbicara dengannya.
"Mau pergi kemana, Pak?" Tanyaku.
"Memangnya kamu mau apa?" Jawabnya sinis.
"Enggak kok pak. Kali aja tujuan kita sama hehe. Kalo aku mau ke..." Belum sempat aku melanjutkan perkataanku dia langsung memotongnya.
"Lebih baik kamu diam, Nak. Aku sedang tidak mau diganggu."
"Oh yaudah kalo gitu, Pak. Maaf mengganggu." Aku pun segera mengakhiri percakapan ku dengan bapak itu. Dia juga masih diam sembari memandang keluar jendela melihat ladang tebu yang dari tadi masih belum kelihatan ujungnya.
"Setelah ladang tebu, abis itu lewat pegunungan ya? Masih jauh banget sih." Batinku.
"Bosen juga gak bisa main hp, soalnya aku harus hemat-hematin juga supaya bisa nelpon om Anwar di terminal nanti."
Aku pun mencoba tidur untuk membunuh waktu.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tiba-tiba aku merasa kalo bis ku mengalami guncangan. Aku segera membuka mata dan ternyata...
"Ahhhh!!!"
Seluruh penumpang berteriak karena bis yang ku tumpangi rem nya blong. Dan posisi sekarang berada di daerah pegunungan yang semakin bertambah paniknya para penumpang. Semua penumpang berteriak histeris karena jalurnya yang mulai menurun.
Sang sopir bis juga sedang berusaha mengendalikan kemudi bis sembari tak henti-hentinya dia berdoa agar semua penumpang nya selamat. Sang kernet mencoba untuk menenangkan seluruh penumpang. Tetapi apa daya, seluruh penumpang sudah terkena serangan panik. Seluruh ucapan-ucapan yang kasar, panik, pasrah semua bercampur menjadi satu. Sehingga suasananya menjadi semakin mencekam.
Bunyi-bunyi klakson kendaraan bersahutan memperingatkan bis kami. Tetapi apa daya, rem bis kami blong. Sebagian kendaraan ada yang tertabrak karena olengnya bis kami. Bis pun berguncang hebat ketika tak sengaja menabrak kendaraan lain.
Aku pun segera ke bangku adikku dan Vivi untuk menenangkannya karena aku lihat dia sangat ketakutan sampai menutup matanya. Vivi juga matanya mulai berkaca-kaca sambil berdoa supaya kami selamat. Dimas sangat ketakutan sehingga dia duduk dipojok bangku belakang bis sambil menutup matanya. Si Yusuf sepertinya sudah pingsan karena saking takutnya.
Aku berusaha untuk berpikir jernih dan menenangkan adikku itu. Dia pun memelukku ketakutan dan Vivi juga ikutan memeluk Aini. Beberapa saat kemudian aku melihat di depan jalanan sudah agak rata kembali dan Pak Sopir juga sedikit tenang karena berhasil melewati jalur menurun itu.
Tetapi tidak semudah itu...
Karena sekarang berada di pegunungan, tiba saatnya kami melewati jalur tanjakan. Yang aku pikirkan saat melewati tanjakan itu membuat bis berhenti, ternyata malah sebaliknya. Bis malah mundur dan terus mundur. Membuat bis semakin diluar kendali.
Bis pun oleng dan berjalan mundur menghantam jalur yang berlawanan arah. Banyak mobil yang tertabrak bis kami karena bis kami yang cukup besar sehingga membuat kendaraan-kendaraan kecil tidak sanggup untuk membuatnya berhenti.
"Duarrr...Krakkkk...Sretttt" banyak sekali mobil yang tertabrak bis kami tetapi tetap tidak sanggup untuk menghentikannya. Jam-jam sibuk yang penuh kendaraan itu menjadi kacau balau akibat ulah kami. Aku mencoba untuk melihat keluar jendela dan ternyata diluar sudah disuguhkan dengan pemandangan yang sangat mengerikan. Banyak pengendara motor yang tertabrak bis kami. Beberapa mobil juga ringsek karena ulah bisku. Mayat-mayat pengendara motor bergelimpangan dijalanan.
Aku menutup mata Aini supaya dia tidak melihat pemandangan itu. Dan sepertinya hal buruk akan segera menghampiri kami. Aku melihat pada jendela belakang samar-samar dibelakang ku terdapat jurang. Pikiran ku tiba-tiba kosong. Mataku tak sanggup untuk berkedip. Dalam benakku berbicara, apakah aku akan mati? Ataukah aku selamat? Mungkinkah aku tidak bisa melihat senyum ibukku lagi? Senyum adikku? Atau senyum saat bapakku pulang nanti? Apakah seperti ini saat-saat sebelum kematian? Semua ingatan-ingatanku dulu langsung terlintas dipikiranku?
Tiba-tiba teriakan seorang penumpang menyadarkan lamunanku. Aku melihat pak sopir mencoba untuk melompat keluar melalui pintu, diikuti juga oleh sang kernet. Sopir berhasil mendarat di jalan raya, tetapi naas, setelah mendarat, dia langsung tertabrak oleh sebuah mobil yang juga oleng akibat kecelakaan maut itu. Sang kernet juga mengikuti sang sopir dengan melompat melalui pintu depan, tapi naas, dia malah mendarat di pembatas jalan sehingga membuat dadanya tertusuk oleh besi yang bengkok karena hantaman bis kami tadi.
Seorang lelaki mencoba mengikuti mereka dengan melompat. Tetapi sebuah mobil yang berusaha untuk menghindari tabrakan beruntun itu pun menabraknya dan dia pun terpental beberapa meter dan juga langsung tewas seketika. Bis kami mulai memasuki jurang. Semua penumpang berteriak histeris. Bis kami turun tak terkendali menuju ke dasar jurang.
Saking curamnya jurang, banyak penumpang yang tidak sempat berpegangan terjatuh ke bangku belakang. Satu, dua, tiga penumpang mulai berjatuhan sembari bis masih terus meluncur kencang ke bawah. Karena mulai banyak yang jatuh dan juga beberapa bangku mulai terlepas menghantam kaca, kaca jendela pun tak sanggup menahan beban yang ada. Jendela pun pecah, penumpang yang berada disana terperosok keluar dan langsung dilindas oleh bis kami.
Suara teriakan dan tulang yang terlindas menambah kepanikan kami. Aku melihat ada juga penumpang yang tangannya tersangkut pada kaca jendela belakang yang pecah. Pemandangan yang baru pertama kali aku melihatnya. Dan ternyata itu adalah tangannya Yusuf yang tadi pingsan dibangku belakang. Dimas juga berteriak histeris melihat teman kami meninggal dengan sangat mengerikan. Mulutku terbungkam, mataku terbelalak, pikiran ku kosong.
Dan akhirnya bis pun berhenti karena menabrak pohon yang cukup besar untuk menghentikannya. Aku pun terbanting kebelakang, pandanganku gelap seketika dan aku tidak tau apa yang terjadi berikutnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Perlahan aku membuka mataku. Pandangan ku kabur. Suasana gelap. Mataku berusaha untuk beradaptasi, dan remang-remang aku mulai bisa melihat kegelapan ini. Aku selamat. Aku diselamatkan oleh bangku belakang bis yang berhasil menahan benturan. Sepertinya aku tidak mengalami luka yang serius.
"Kepalaku sangat pusing." Batinku sambil meraba seluruh tubuhku. Aku masih kepikiran kejadian tadi. Kejadian yang sangat mengerikan. Aku melihat sekeliling, mereka sudah mati. Tak ada penumpang yang selamat.
Aku berjalan keluar melalui pintu belakang bis. Aku melihat Dimas sudah tewas karena menghantam sebuah pohon dan Yusuf tersangkut dikolong bis kami. Mayat-mayat penumpang yang lain juga berserakan disekitarku. Mereka sudah tak bernyawa.
Tak ada waktu untuk menangisi mereka. Aku menyeka air mataku. Aku mulai mencari-cari penumpang yang mungkin saja masih selamat.
"Aini! Vivi! Halo! Apa ada yang selamat?!" Ternyata tak ada jawaban. Aku mulai mengumpulkan kesadaran ku dan mulai bergerak. Sekarang sudah malam dan untung saja cuaca hari ini sang rembulan tidak malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Jadi aku bisa melihat ke sekeliling.
Samar-samar dikejauhan aku melihat seseorang. Dia berjalan sempoyongan. Mungkin karena kondisinya lebih parah dariku. Aku pun memanggilnya sembari berjalan sedikit oleng menahan sakit.
"Pak! Syukurlah masih ada yang selamat. Bapak baik-baik saja?" Kataku sambil menghampirinya.
"Mataku. Mataku." Jawabnya dengan nada yang memelas, bukan kesakitan
"Matanya kenapa pak? Coba lihat pak." Aku mencoba melihatnya.
Setelah melihatnya, aku pun sadar. Ternyata dia bukan penumpang yang selamat, tetapi dia sudah mati...
"Matanya kenapa pak? Coba sini aku lihat." Aku pun mencoba melihat kearah mata bapak itu.
Tak disangka, terdapat banyak sekali mata dalam berbagai jenis ukuran yang tertancap pada kelopak mata orang itu. Aku pun terkejut dan jatuh terduduk karenanya.
"Mata kamu bagus dek. Bisa pinjam sebentar matanya?" Tiba-tiba orang itu berbicara dengan nada suara yang sangat mengerikan.
Aku pun berteriak dan segera bangkit meninggalkan orang atau makhluk mengerikan itu.
"Berikan cahaya itu padaku!" Makhluk itu pun mengejarku.
Aku pun segera berlari menjauhinya. Aku tak lagi memperdulikan rasa sakit disekujur tubuhku ini, yang kupikirkan hanyalah terus berlari supaya tidak terkejar olehnya. Tapi tak disangka, di kegelapan malam ini dia berlari sangat cepat dan gesit. Seperti seekor harimau yang sedang mengejar mangsanya.
"Astaga! Apa-apaan orang itu? Larinya cepat sekali di kegelapan ini!" Batinku sembari mempercepat langkahku.
Aku berlari sempoyongan menahan sakit. Aku berlari kesana-kemari tak tentu arah. Dan bodohnya aku, aku malah berlari menuju ke dalam bis ku tadi. Aku bersembunyi di dalam bis dan berharap dia tidak menemukanku. Aku meringkuk dibawah bangku paling belakang. Karena aku berpikir mungkin aku tidak akan terlalu terjebak jikalau dia berhasil menemukanku.
"Dimana dia?" Aku mengintip keluar jendela sembari melihat ke sekeliling. Aku pun tak tahu dia berada dimana karena tak sempat untuk menoleh dan hanya fokus untuk berlari menghindarinya.
Tiba-tiba dikejauhan remang-remang makhluk itupun datang. Berjalan sempoyongan layaknya mayat hidup. Ditambah raut wajahnya yang mengerikan, dengan mata-mata yang menancap di kelopak matanya semakin menambah kengeriannya.
"Hai nak. Bisa aku pinjam cahaya itu sebentar saja? Aku pasti akan mengembalikannya. Aku janji." Ucapnya memohon dengan suara yang mengerikan.
"Semoga saja dia tidak menemukanku disini."
Aku berusaha untuk menahan napasku. Jantungku terus berdegup kencang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Tanganku gemetar memegang mulutku supaya suara nafasku tidak terdengar olehnya. Dia berusaha untuk mencariku. Tetapi tak disangka, sebuah hp tiba-tiba berbunyi.
"Kau disana ya?"
"Gawat! Itu nada dering telepon. Siapa yang malam-malam begini malah telepon?!" Batinku panik.
Dia langsung berlari memasuki bis melalui pintu depan.
"Cahayamu bagus sekali nak. Bisa bapak pinjam sebentar?" Pinta dia dengan suara mengerikan.
Dia berjalan sempoyongan menghampiriku. Tangannya seolah mengisyaratkan ingin mencongkel bola mataku.
"Cari cahaya mu sendiri!" Aku berteriak sambil melempar tas yang ada disampingku.
"Padahal aku hanya ingin meminjamnya saja nak. Kenapa tidak boleh?"
Dia berjalan mendekatiku. Aku semakin ketakutan. Bulu kudukku merinding. Aku tak bisa menggerakkan tubuhku.
"Ggraaaaghhh!!" Tiba-tiba dia melompat kearahku.
Aku berusaha menghindari terkamannya. Aku berhasil. Dia terjerembab, memecahkan kaca bis belakangku. Dia berteriak kesakitan.
"Aku harus mematikan benda ini." Aku berusaha mematikan hp yang masih berbunyi itu.
"Sial! Apa kata sandinya?" Aku pun langsung menghancurkan hp dengan merk Oddo tersebut dengan membantingnya ke lantai bis.
"Berikan cahaya itu padaku!" Dia mulai bangkit kembali.
Aku berusaha untuk menutup pintu belakang bis. Aku mencongkel sebuah besi bangku penumpang untuk memblokir pintu masuk bis ini. Aku berusaha untuk tenang dan melihat situasi.
Kemudian aku berlari ke depan untuk memblokir pintu depan juga supaya dia tidak menyerangku. Aku mengamati sekeliling dan berpikir. Aku teringat aku masih menyimpan sebuah tongkat kasti didalam tasku. Mungkin itu bisa menjadi senjata untuk mengalahkannya. Tapi ini hanya tongkat kasti? Apa yang bisa diharapkan?
Aku tiba-tiba teringat saat teman-temanku masih hidup. Kami bermain kasti dilapangan.
###########
"Tenang bro. Kalo gue yang pukul, pasti auto dapet poin." Ucapku percaya diri.
"Pukul yang bener, An. Jangan sampe meleset!" Ucap Vivi yang berada di pos ketiga sembari mengambil ancang-ancang untuk berlari.
"Santuy. Kek gak tau aja siapa yang mukul." Jawabku lagi.
"Makan nih bola!" Teriak Dimas sambil melempar bola kearahku.
"Gue dah kenyang coy!" Aku mengayunkan tongkat kastiku dengan keras dan berhasil memukul bolanya cukup jauh.
"Manteb, An. Pulang semua woii!" Teriak Vivi sambil berlari menuju base diikuti teman-temanku yang berada di pos sebelumnya.
"Buset tinggi banget." Ucap Dimas sambil melongo kearah terbangnya bola.
Aku dan teman-temanku berhasil kembali ke base tanpa terkena lemparan bola. Kami pun mendapatkan 1 poin.
"Gak salah emang ngasih posisi terakhir ke elu. Emang bisa diandelin soal mukul bola." Ucap Yusuf bangga sambil menepuk bahuku.
"Siapa lagi kalo bukan Aan atau Andra?" Ucap Vivi tersenyum sambil ikut-ikutan menepuk bahuku bangga.
"Woi woi sakit woi!" Aku menepis tangan mereka berdua kesakitan.
#############
"Sial! Kenapa aku malah kepikiran sama mereka? Gak pas banget disaat seperti ini." Tak sadar air mataku menetes.
"Gragghhhh!! Berikan cahaya itu padaku!" Dia berteriak sambil mencoba memecahkan kaca bis ini.
Aku tersadar. Aku menyeka air mataku. Aku berlari mengambil tas dan mengambil tongkat kastiku.
"Ayo kita bermain kasti!" Tantangku.
Aku mulai bisa mengatur pernafasanku. Aku bisa menggerakkan jariku. Tanganku. Kakiku. Bahkan tubuhku sudah sudah bisa bergerak dan tidak gemetar lagi.
"Makan nih!" Aku memukul kaca jendela tempatnya berdiri menggunakan tongkat kastiku. Ternyata kaca nya sangat keras dan tebal.
"Pantesan dia gak bisa mecahin kacanya." Gumamku.
Aku berpikir lagi.
"Buka pintu belakang abis itu lari keluar. Setelah buka pintu langsung lari. Buka, lari." Aku mengatur strategiku untuk menghindari makhluk itu. Aku merangkak menuju ke belakang bis. Aku perlahan melepaskan besi tadi yang kugunakan untuk memblokir pintu masuk.
Aku menarik dalam-dalam napasku, "Sekarang!"
"Buka!" Aku membuka pintu bis.
"Lari!!" Aku berlari menjauhi bis itu. Kemudian makhluk itu juga ikut mengejarku.
"Berikan cahaya itu!" Dia berteriak.
"Bayangkan seperti bermain kasti! Setelah sampai pohon itu aku akan berbalik badan dan memukulnya dengan sangat keras." Aku mengatur strategiku.
"Sekarang berbalik!" Aku berbalik kemudian mengambil ancang-ancang untuk memukulnya.
"Graggghhhh!!!" Dia berusaha menerkamku.
"Smashh!!!" Aku memukulnya dengan keras tepat dikepalanya.
"Arrghhhh!!!" Dia terpental beberapa meter karena pukulanku.
"Home run!!!" Aku berlari menuju kearahnya selagi dia masih tersungkur.
Belum sempat dia bangun untuk bangkit, aku sudah hadir di hadapannya.
"Kehilangan poin hah?" Seringaiku.
Kemudian aku memukul tepat dikepalanya. Dia langsung kembali terpental karena pukulanku yang sangat keras sehingga membuatnya tak sadarkan diri.
"Argghhh!!!" Dia berteriak sangat keras.
"Hosh hosh. Permainan yang sangat baik." Aku tersenyum lega.
"Gimana, Dim? Suf? Apakah aku hebat seperti biasanya? Kalian pasti melihatku disana kan?" Aku memandang langit malam dengan sinar rembulan yang seperti tersenyum bangga kearahku.
Aku mengecek apakah tongkat kastiku baik-baik saja.
"Oh ternyata masih mulus. Tongkat pemberian bapak bagus banget ya? Padahal udah dipake selama berbulan-bulan tetep aja awet. Terus bapak sekarang lagi ngapain ya? Ibuk juga lagi ngapain?" Aku bergumam sendirian.
"Hahaha mungkin kalo udah sampe rumah aku bakal dimarahin sama ibuk karena gak bisa jagain adek. Maafin Aan ya buk! Aan gak bisa ngelindungin adek. Adek juga disana maafin Abang ya dek. Abang selama ini cuma bikin kamu kesel aja. Abang cuma bikin kamu marah aja setiap hari." Aku mulai meneteskan air mataku.
"Bapak juga maafin Aan ya pak! Aan mungkin gak bisa pulang untuk menyambut kepulangan bapak. Aan mungkin udah mati duluan dihutan ini. Maafin Aan ya pak! Aan bakalan nyusul adek disana. Untuk adekku Aini. Tungguin abang disana ya! Tapi janji jangan marah kalo nanti ketemu abang ya?" Air mataku semakin mengalir deras.
Tiba-tiba...
"Gragghhh!!!
Makhluk itu masih hidup dan mencoba untuk menerkamku.
"Dor!!!"
Makhluk itu mati seketika.
"S-siapa?" Aku menoleh mencari sumber suara.
"Bapak?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!