"Welcome indonesia.."
Seru wanita cantik yang baru saja tiba di bandara Juanda Surabaya, dengan menghirup nafas dalam, sembari satu tanganya memegang handle koper.
Dia adalah Aisyah Kartika Ratih (Ara), seorang dosen berusia 25 tahun, yang baru saja tiba di tanah air, setelah menyelesaikan tugasnya di Turki. Wanita cantik yang akrab dipanggil Ara, mendapat tugas pertukaran dosen antar negara Turki jauh sebelum dia dinyatakan hamil putranya sekarang.
Langkah demi langkah Ara pijak, seakan alam pun ikut berbahagia telah menyambut kedatangan wanita cantik itu. Hatinya sudah menggebu-gebu ingin cepat sekali sampai dihalaman rumah, dan melihat langsung seberapa besar putranya sekarang.
Ah ya, Narendra. Dia pasti sudah tumbuh menjadi bocah yang cukup tampan. 5 tahun usianya, dan sekarang dia pasti sudah menempuh pendidikan taman kanak-kanak. Tidak bisa Ara bayangkan bagaiman sibuknya nanti dia, disaat bocah kecil itu menyita waktunya dengan berbagai macam pertanyaan dari mulut mungilnya. Sudah dapat Ara bayangkan, pasti sangat menggemaskan.
Setelah casual dengan rok mekar yang menjuntai, tidak dapat menghalangi langkah dosen cantik itu untuk terus melangkah hingga sampai diruang tunggu, untuk menunggu jemputan dari sang suami tercinta, yakni Bagas Pangarep.
Ara mengambil duduk di kursi paling depan, agar disaat Bagas telah tiba, maka dengan perasaan bahagia dia dapat melihat wajah tampan suaminya itu. 5 menit berlalu, 10 menit juga ikut berlalu, namun tidak melunturkan senyum manis Aisyah yang dengan antusiasnya masih setia menunggu kedatangan sang suami.
Wajah yang semula antusias kini berubah menjadi sendu, akibat lamanya menunggu kedatangan sang suami yang sudah hampir setengah jam lamanya. Ara mengeluarkan ponsel dari tasnya, dan segera menghubungi nomor seseorang, untuk segera menjemputnya.
15menit kemudian.
"Welcome Indonesia Ara ku sayang. Aaaa....!!" seru Fatma sang sahabat, yang kini sudah berdiri disamping tubuh Aisyah.
Drama melepas rindu pun akhirnya terjadi. Aisyah memeluk erat sahabatnya yang sudah dia anggap seperti saudara kandung, karena mereka dibesarkan dari panti asuhan yang sama. Namun takdir masih berpihak kepada mereka. Ara dan Fatma diangkat oleh keluarga, yang dimana kedua orang tua mereka juga sahabat dari kecil. Sungguh takdir yang membahagiakan.
"Fatma, aku sudah tidak sabar..! Ayo kita pulang, putraku pasti sudah merindukan aku!" kata Ara setelah melerai pelukanya dengan sang sahabat.
Fatma tersenyum hangat, mengambil alih koper Aisyah, "Aku juga baru saja tiba 2 hari yang lalu Ara..akupun tidak kalah merindukannya! Rendra, kau pasti berubah jadi bocah yang tampan!" gumam Fatma, dengan membayangkan wajah putra Aisyah.
Keduanya melangkahkan kaki menuju pintu keluar sembari bercengkrama dengan diiringi gelak tawa yang begitu mengasyikan. Ya, pantas.. Mereka baru bertemu, setelah disibukan dengan pekerjaan masing-masing. Fatma menjadi ahli desainer, dan Aisyah menjadi dosen di universitas ternama di kotanya.
*
*
*
*
1 Tahun lalu..
Mobil sedan mewah kini telah sampai dihalaman rumah mewah dengan dua lantai, yang didesain seklasik mungkin. Tuan Basalamah semasa hidupnya begitu mencintai benda-benda klasik, hingga desain rumahnya juga tak luput dari hobinya semasa hidup.
Seorang pria tampan dengan kacamata kerjanya, kini baru saja tiba diteras depan sembari menenteng tas kerja, Dia adalah Bagas Pangarep Basalamah. Bagas menjabat sebagai Direktur utama perusahaan sang ayah yang bergerak dibidang kuline daerah jawa bagian timur.
Pria berusia 30 tahun itu mengernyit, saat mendapati seorang wanita cantik yang tidak asing lagi baginya, sedang duduk diruang tamu, tengah asik bercengkrama dengan sang ibu, yakni bu Dewi rani.
Keduanya terhenyak, saat sepatu Bagas begitu nyaring menggema ditelinga masing-masing. Wanita cantik itu tersenyum hangat, berharap Bagas akan menerima kedatanganya dengan sukacita.
Melati Nafisa tertegun, saat dengan dinginya Bagas hanya berlalu begitu saja tanpa melirik sedikitpun kearahnya. Menyadari itu, bu Dewi membuka suara hingga langkah putranya terhenti, saat akan menaiki anak tangga.
"Bagas...kau tidak ingin menyapa Melati terlebih dulu. Apa kau sudah lupa denganya?"
Tanpa menoleh, Bagas hanya menjawab singkat, "Aku masih mengingatnya, tapi aku harus bertemu putraku terlebih dahulu!"
Setelah mengatakan itu, Bagas langsung melenggang naik keatas, tanpa peduli dengan kedua wanita yang duduk tadi. Menyadari sifat dingin Bagas, Melati hanya tersenyum mencoba berpikir positif, karena dia tidak ingin merusak suasa indag hatinya. Dapat dekat dengan keluarga Basalamah saja adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi wanita berusia 23 tahun itu.
"Sudah bi..jangan dipaksa. Mas Bagas pasti lelah seharian bekerja. Apalagi kalau sampai rumah masih mengurus Narendra." katanya sembari mengusap lembut tangan bu Dewi.
Parubaya dengan penampilan elegant itupun membalas usapan tangan wanita disampingnya, "Memang..apa kamu mau jika menjadi istri kedua Bagas? Ibu kasian melibat Rendra yang setiap hari sendirian!" balasnya.
Melati terkejut walau dalam hatinya bersorak gembira karena sudah menunggu kalimat sakral itu hampir 10 tahun lamanya. Dia dan Bagas sudah saling mengenal sejak mereka duduk dibangku Kuliah.
"Kenapa bibi berkata seperti itu? Bukanya mas Bagas sudah menikah dengan mbak Aisyah? Melati tidak ingin merusak rumah tangga mereka!" jawab Melati mencoba bersikap bijak.
Bu Dewi mendesah pelan sembari membenarkan posisi duduknya, " Hah.. Ibu sudah tua, dan sering sakit-sakitan. Ibu tidak kuat jika terus-terusan menjaga Rendra. Cucu ibu juga membutuhkan sosok ibu yang selalu ada untuknya. Aisyah? Apa wanita itu bisa disebut sebagai ibu, jika lebih mementingkan karirnya daripada keluarga. Ibu rasa tidak! Bagas saja yang begitu kekeh masih mempertahankan rumah tangganya."
Melati memalingkan wajah sekilas dengan menarik sudut bibirnya sebelah keatas, "Aku sudah menganggap Rendra seperti putraku sendiri bi," jawabnya.
"Dekati lah Rendra sayang..maka kau akan bisa mendapatkan hati Bagas!"
Setelah kedatangan Melati kerumah, Bagas setiap harinya selalu mendapat teror dari dang ibu untuk terus menyuruhnya menikahi melati. Seperti saat ini, saat Bagas tengah mengajak main putranya, Rendra.
Pintu terbuka dari luar, bu Dewi masuk dengan mengukir senyum lembut melihat sang cucu yang tengah tertawa tanpa beban sama sekali.
Bagas bangkit dari duduknya dikarpet khusus anak dengan mengernyit, "Ada apa bu?" tanyanya.
"Ikutlah ibu..ada yang ingin ibu bicarakan!" jawabnya, "Rendra sayang, kamu main dulu sama suster ya sayang. Nek uti mau bicara sebentar sama ayah!" lanjut bu Dewi sembari mengusap kepala cucunya.
Bagas mengikuti langkah sang ibu, setelah suster Rendra berhasil masuk kedalam kamarnya. Fikiran Bagas sudah negatif mengingat bagaimana kerasnya sang ibu saat menyuruhnya menikah lagi.
"Duduklah Bagas..!"
Bagas menarik nafas dalam, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa berukir, "Katakan, ibu ingin berbicara apa?"
Dengan keberanian dan ketegaran didadanya, bu Dewi tanpa rasa bersalah maupun dosa langsung saja melontarkan kelimat yang membuat Bagas seketika naik darah.
"Bagaimana, kau mau kan menuruti perintah ibu?"
"Bagaimana bisa bu...bagaimana kalau Aisyah tahu? Aku tidak ingin membuatnya sakit!" tolak Bagas yang merasa frustasi.
Bu Dewi menyerongkan duduknya, sembari mengusap lengan sang putra, "Melati juga gadis yang baik Bagas. Istrimu tidak dapat kau andalkan layaknya menjadi ibu untuk Rendra. Kau lihat Melati? Dia yang selalu ada buat putramu Bagas. Melati lah yang dengan sabar menemani hari-hari Rendra." balasnya, "Kau juga tidak lupakan, siapa orang yang membantu keluarga kita disaat hampir bangkrut dulu. Keluarga Melati, Bagas...! Sudah sepantasnya kita membalas budi kebaikan Melati," lanjut bu Dewi.
Bagas hanya terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. Tidak dapat dia pungkiri, semenjak kepergian istrinya, Melati lah yang selalu menemani hari-hari putranya. Melati lah yang mengajarkan banyak hal kepada Narendra.
Hampir 2 tahun sudah kepergian Aisyah. Namun tidak dapat dia pungkiri, hanya istrinya lah yang sampai saat ini berada didalam hatinya. Jika pun dia menikahi Melati, itu semua karena tuntutan keluarganya saja, terutama sang ibu.
"Saya terima nikah dan kawinya, Aisyah Kartika...."
"Maaf mas, nama mempelai Melati Nafisah Abdurahman bin bapak Abdurahman!" tegur penghulu yang sudah menjabat tangan Bagas, karena sudah dua kali suami dari Aisyah itu selalu salah menyebut nama calon istrinya.
Bu Dewi yang merasa tidak enak dengan calon besanya maupun tamu undangan, sontak mendekat kearah sang putra sembari membisikinya, "Yang fokus Bagas..dia Melati, bukan Aisyah!"
Bagas mencoba menarik nafas dalam, kemudian menjabat tangan penghulu kembali, "Saya terima nikah dan kawinya, Melati Nafisah Abdurahman bin bapak Abdurahman, dengan seperangkat alat sholat dan juga emas kawin tersebut dibayat tunai..!"
"Bagaimana saksi, sah...?"
"Sah...sah....!" ucap beberapa saksi serentak.
Hingga terjadilah pernikahan itu, tepat dua tahun kepergian Aisyah mengajar. Bagas selalu menyempatkan waktunya untuk menghubungi sang istri, walaupun dia tahu kesalahan terbesar apa yanh telat dia buat kepada rumah tangganya.
Namun, kepahitan yang Melati dapatkan. Dia sangka, setelah dia berhasil meluluhkan hati putranya, dia akan juga mendapat simpati dari suaminya, nyatanya tidak. Sudah hampir 1 tahun menikah, Melati tidak pernah sekalipun disentuh maupun dijamah oleh suaminya sendiri, Bagas.
Mereka tinggal satu kamar, namun dengan tidur terpisah. Bagas lebih memilih tidur disofa maupun diruang kerjanya, disaat dia terlelap setelah menelfon istrinya, Aisyah.
Flashback off
***
Mobil sedan hitam berhenti tepat didepan gerbang rumah mewah, yang dimana didalam mobil tersebut, dua wanita cantik sudah tidak sabar untuk turun dan bertemu sosok bocah kecil yang telah menghuni batinya 3 tahun lamanya. Aisyah menarik nafas dalam bersiap untuk turun.
"Apa Bagas tau, kamu pulang hari ini ra?" seru Fatma saat baru saja turun.
Aisyah menoleh sekilas, lalu menatap kearah rumah megah tersebut, "Nggak Fat, berhubung Bagas gak nerima panggilanku ya...sekalian aja deh buat surprise buat dia," balasnya tersenyum.
Dari dalam, seorang pria tua yang bertugas sebagai sopir rumah tampak mengernyit saat mendengar suara dua orang wanita luar. Pak Santo beranjak keluar dengan langkah tergesa sembari menggeser pintu gerbang tersebut.
Dan betapa terkejutnya dia, saat mendapati seorang wanita cantik berbalut jilbab coklat muda, terlihat tengah menatapnya dengan raut wajah antusias.
"Mba..mbak..Aisyah. ini benar mbak Aisyah?" ujar pak Santo, setelah berhasil meyakinkan dirinya bahwa yang dia lihat adalah nona mudanya, yang sudah 3 tahun lamanya tidak terlihat oleh mata tua itu.
"Pak Santo apa kabar?" jawabnya, "Oh ya pak, apa mas Bagas jam segini sudah pulang ya?" Ara melihat arloji yang melingkar dipergelangan tanganya.
Dibalik wajah bahagianya, pria tua itu tampak menunduk sendu, seolah apa yang baru saja dia rasakan berharap hanya mimpi semata.
"Pak Santo sehat?" lirihnya.
"Ah iya iya non, sehat..pak Bagas baru saja tiba 10menit yang lalu. Ya sudah, non masuk saja kedalam!" jawabnya, "ini kopernya biar bapak yang bawa saja!"
"Terimakasih pak," balas Fatma saat koper sahabatnya diambil alih oleh pria tua tersebut.
Langkah demi langkah Ara pijak dengan menyungging senyum cerah, rasa didadanya sudah tidak sabar ingin berkumpul kembali dengan keluarga kecil tercinta, dan menghabiskannya dengan cerita-cerita indah yang sudah menumpuk dijiwa dosen cantik itu.
Jarak antara gerbang dan rumah memang agak berjarak, sehingga orang yang sedang asik bercengkrama diruang tengah tidak dapat mendengar deru langkah kebahagiaan wanita cantik tersebut.
"Hai sayang, ini mamah buatkan puding kesukaanmu..!" seru Melati saat berjalan mendekat, sembari membawa dua mangkuk puding.
Rendra menoleh begitupun Bagas sang ayah, "Yee...asik, makasih mah!" balasnya dengan wajah antusias saat menerima mangkuk tersebut.
Melati beralih menatap suaminya, "Mas..ini makan ya, aku tadi buat banyak!" perintahnya.
Bagas hanya mengangguk, "Makasih sayang!" jawabnya dengan tersenyum.
Melihat bagaimana sibuknya Melati setiap hari yang mengurus putranya, rupanya mampu menumbuhkan benih-benih cinta yang sempat terhalang 1 tahun lamanya.
Mendengar suara bel bersahutan diluar, membuat Melati berinisiatif untuk mebukanya. Karena kunci rumah tersebut terkunci dari dalam, jadi Aisyah tidak dapat langsung masuk begitu saja.
Pintu terbuka dari dalam, dan betapa terkejutnya saat Aisyah melihat wanita yang tidak asing lagi baginya tengah keluar dari rumah suaminya dengan wajah yang tampak pucat pasi.
Deghh...
Dunia Melati seakan berhenti berputar melihat dosen cantik itu tegang berdiri didepanya secara langsung, dengan beberapa pertanyaan yang terbalut dari kedua netranya.
"Melati..kau ada didalam? Sedang apa?" kata Aisyah dengan wajah tampak shock tidak habis pikir.
Sementara Fatma, dia hanya menatap bingung dengan pemandangan yang barusan dia lihat saat ini.
'Apa yang terjadi?' batin Fatma dengan sesekali menoleh kearah sahabatnya.
Semantara Bagas, dia yang tengah mendengar suara dari luar, kemudian beranjak sembari menuntun putranya keluar.
"Sayang...siapa yang datang?" suara Bagas menggema, sehingga membuat ketiga wanita yang berada diluar tampak tertegun, tak kira dengan istri pertamanya Aisyah.
"Mamah..." seru Rendra saat lari dari dalam dan langsung memeluk tubuh Melati.
Deghhh..
Bagas spontan menghentikan langkahnya diambang pintu, saat melihat Aisyah sudah berada di depan pandanganya.
Aisyah spontan mundur satu langkah, sembari membekap mulutnya dengan kedua tangan yang bergetar hebat. Ada apa ini, siapa yang dipanggil sayang oleh suaminya barusan. Kenapa putranya sendiri memanggil mamah terhadap perempuan lain.
Apa yang keluar dari pikiran Aisyah bukan pertanyaan semata, melainkan pernyataan yang baru saja anggota tubuhnya terima.
"Sayang..siapa yang kamu panggil sayang mas.. Coba jelaskan?" lirih Aisyah yang dengan suara bergetar menahan tangis.
Tatapanya beralih kepada sang putra yang tengah bersembunyi dibelakang tubuh Melati, "Sayang..Rendra..ini bunda sayang. Bunda kangen banget sama Rendra! Sayang, ayo sini...!" lanjut Aisyah yang air matanya sudah berjatuhan dipipi.
Rendra meringsut ketakutan karena merasa asing terhadap ibunya sendiri. Bagaimana putranya sendiri tidak mengenali dirinya. Pertanyaan itu memenuhi kepala dosen cantik itu, padahal hampir setiap hari dia menelfon sang putra melalaui panggilan video call.
Tidak dapat Ara pungkiri, sudah 2 tahun lalu setiap dia ingin menelfon putranya, selalu ada alasan bagi Bagas untuk menjauhkan dirinya dari sang putra.
Dan semua pertanyaan-pertanyaan itu, ternyata mendapat jawaban yang begitu mengejutkan bagi jiwanya saat ini.
"Stop..lepaskan mbak! Kau bisa menyakiti putraku!" bentak Melati yang merasa tidak terima saat lengan Rendra ditarik oleh Aisyah.
Aisyah mendongak, lalu menatap keduanya secara bergantian, "Jadi..kalian sudah menikah mas? Ini jawaban 2 tahun atas perubahan sikapmu!" Aisyah mendekat kearah Bagas yang sejak tadi hanya terdiam, karena termamat terkejut dengan apa yang dia lihat.
"Kamu tega mas..aku berjuang untuk keluarga kita, dan pada saat itu kamu sendiri yang mendukungku. Tapi.." Aisyah menjeda suaranya karena teramat sakit yang dia rasakan, sehingga tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya.
Melihat itu, Fatma sontak mengusap bahu sang sahabat, karena tubuh Aisyah terngah bergetar hebat.
Aisyah beralih menatap Melati, melanjutkan ucapanya, tidak peduli airmata yang sudah berjatuhan membasahi hijabnya, "Dia anaku..darah dagingku! Kenapa aku tidak berhak menyentuhnya!" ujarnya penuh penekanan.
"Dia benar putramu mbak. Kamu juga yang melahirkannya. Tapi, aku yang sudah merawatnya sejak dia kecil. Aku yang selalu menemani hari-hari Rendra! Jadi stop bersikap seolah mbak yang mempunyai hak penuh atas Narendra!!" balas Melati dengan wajah tidak terimanya.
Ditengah tangisanya, Aisyah mencoba tersenyum kecut meratapi nasib malangnya sendiri, "Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku Melati. Aku tidak menyangka dengan cara itu, kamu gunakan untuk merebut suami serta putraku!! Kau tidak lebih murah daripada wanita diluaran sana!" tandas nya dengan suara menggema.
Mendengar itu, Melati menunduk sembari mengelus kepala Narendra, "Rendra sayang..kamu masuk dulu ya sayang. Mamah sama papah mau bicara masalah orang dewasa," lirihnya.
Rendra hanya mengangguk, lalu segera melanggang masuk kedalam dengan sedikit berlari.
Tatapan Melari beralih pada Aisyah, seakan tidak rela jika pertahanannya selama ini musnah dalam sekejab, "Sudah stop mbak..! Aku memang menyukai mas Bagas sejak dulu, tapi aku tidak ada berniat menghancurkan rumah tanggamu. Aku hanya kasian pada Rendra yang setiap hari sendirian tanpa sosok ibu yang seharusnya menemani tumbuh kembangnya."
Aisyah mendekat kembali kearah Bagas.
"Kau jahat mas..jahat sekali.." lirih Aisyah di sela isakan tangisanya sembari menjambak kemeja Bagas yang hanya terdiam dengan tatapan sendu.
"Aku berjuang lamanya disana, berharap saat aku datang, kau menyambutku dengan putra kita. Tapi apa, nyatanya kau malah menyiram air garam pada lukaku yang menganga," teriak Aisyah yang merasa frustasi dengan hidupnya.
Melihat itu, Fatma langsung menarik tubuh sahabatnya kebelakang. "Sudah..kita pulang saja. Kau terlalu berharga untuk dua manusia yang berhati iblis seperti mereka!" ujar Fatma sembari mantap satu persatu dua orang didepanya.
Aisyah yang sudah merasa sakit, hanya mengangguk mengikuti ajakan sang sahabat untuk pergi dari rumah mewah itu.
'Aisyah...tunggu...!! Tolong maafkan aku!' suara Bagas hanya mampu menggema ditenggorokan saja seolah berucap dia tidak sanggup.
Melihat wajah kecewa suaminya, Melati langsung melenggang masuk kedalam dengan perasaan yang sudah bercampur aduk.
Aisyah berjalan dengan bantuan sang sahabat, sembari satu tanganya menarik koper. Dunianya benar-benar hancur dalam sekejab.
"Menangislah..keluarkan semua air matamu. Setelah itu bangkit! Putramu lebih penting, daripada kesedihanmu," ujar Fatma sembari merengkuh tubuh sahabatnya saat sudah masuk kedalam mobil.
Suasana di dalam mobil yang semula ceria berubah menajadi hening, yang hanya terdengar suara tangisan pilu dari mulut dosen cantik tersebut.
"Salah apa aku Fat! Suamiku dengan terang-terangan menciptakan surga kedua untuku. Bahkan putraku sendiri tidak mengenaliku!" gumam Aisyah di sela isakan tangisnya.
Drett..drett...
(Mamah)
Fatma menoleh, saat mendengar ponsel Aisyah bergetar dengan panggilan masuk yang tertera nomor mamahnya.
"Hallo tante.. Ini Fatma. Ah iya, ini Aisyah barusan aku jemput tadi dari bandara." Fatma menoleh sekilas pada Aisyah yang masih terdiam dengan isakan tangisnya, "Ah iya baik tante.. Nanti Fatma langsung antar kerumah saja. Ada yang ingin Fatma bicarakan! Baik tante..."
Sambungan terputus, Fatma mengembalikan lagi ponsel Aisyah didalam genggamannya. Dia melajukan kembali mobilnya menuju rumah orangtua Aisyah.
** **
Bu Dewi yang baru saja keluar dari dalam kamar, tampak mengernyit saat melihat putranya terduduk lemas disofa ruang tengah sembari menunduk.
Parubaya itu mendekat, dengan mengambil posisi susuk menyerong kearah putranya.
"Ada apa Bagas? Apa perusahaan ada masalah? Kenapa pulang-pulang kau lemas begini?" ucap sang ibu dengan wajah antusias.
Bagas meraup wajahnya secara kasar, lalu bangkit, "Aisyah sudah pulang bu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" jawabnya tanpa menatap kearah bu Dewi.
Sementara bu Dewi, dia yang mendengar kabar kepulangan menantunya secara tiba-tiba, sontak bangkit dengan wajah terkejut. Detik kemudian dia menghadang langkah putranya, "Kenapa kamu bingung..biarkan saja, toh kamu sudah menikah dengan Melati."
Bagas sontak menoleh dengan tatapan tidak terima. Kening pria tampan itu mengernyit, "Andai dulu ibu tidak memintaku menikahi Melati, pasti tidak akan seperti ini masalahnya!"
Bu Dewi menghela nafas dalam, sembari bersedekap dada, "Kamu menyalahkan ibu, Bagas?? Tapi sekarang, kamu sudah mencintai Melati kan? Lantas, dimana salah ibu??" jawabnya.
Mendengar itu membuat Bagas semakin pusing. Dia menyunggar kasar kepalanya, dan langsung ingin beranjak pergi.
Seketika langkahnya terhenti saat mendengar suara Melati dari dalam melangkah mendekat kearahnya.
"Apa kamu akan membuangku setelah istri pertamamu pulang mas Bagas?"
Bu Dewi menoleh, begitupun Bagas yang hanya memejamkan matanya sekejab. Suasa rumah mewah itu benar-benar suram setelah beberapa menit yang lalu.
"Cintaku padamu itu salah Melati. Aku harap, kamu tidak menanamnya terlalu dalam!" suara Bagas sangat nyaring digendang telinga istrinya. Hati pria itu benar-benar bimbang setelah kepulangan istri pertamanya. Perasaan bersalah menyeruat direlung batinnya yang terdalam.
Setelah mengatakan itu, Bagas bergegas pergi dari ruang tengah tersebut. Tujuanya saat ini menemui Aisyah untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
"Aku tidak terima kamu buat begini mas. Mas Bagas...kamu mau kemana? Mas..aku belum selesai berbicara!" teriak Melati yang sudah merasa frustasi.
Bu Dewi mendekat sembari mengusap lengan menantunya. "Sudah. Beri waktu untuk Bagas memikirkan semuanya. Tenangkan hatimu dulu!" dituntunnya sang menantu untuk duduk, agar perasaanya lebih tenang.
Melati mendesah kasar. Tdak habis pikir, rumah tangga yang semula bahagia mendadak hancur dalam sekejab. Dua tahun mendapat cinta dan perlakuan manis dari sang suami, rupanya hanya bayangan yang sulit untuk dia genggam.
** **
Aisyah hanya terdiam dengan tatapan kosong, seakan dunianya runtuh dalam beberapa detik. Impiannya yang sudah dia rakit waktu demi waktu, kini hancur lebur diterpa badai pekat yang merenggut rumah tangganya.
Bu Sinta dan juga tuan Abdullah, tampak shock saat melihat putri angkatnya pucat bagai tak berdarah sedikitpun. Hati kedua parubaya itu benar-benar sakit, melihat putri yang telah dia besarkan dari kecil, begitu rapuh seperti saat ini. Keduanya saling melempar tatap, karena baru kali ini mereka melihat sosok yang biasanya murah senyum mendadak kosong seperti tak berjiwa.
"Ya allah sayang..ada apa denganmu?" Bu Sinta mendekat sembari memegang kedua bahu putrinya. Kedua netranya sudah berembun, dengan sekali kedipan saja air matanya akan terjatuh.
Tuan Abdullah memberi isyarat bagi Fatma untuk membawanya masuk kedalam. Fatma hanya mengangguk, lalu menuntun sang sahabat masuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
"Istirahat sayang..ibu kebawah dulu!" lirih bu Sinta dengan mencium kening sang putri sekilas. Yang hanya mendapat anggukan saja dari Aisyah.
Dadanya mencoles, saat wanita tua itu menutup pintu kamar putrinya secara perlahan, lalu ikut turun bersama dengan Fatma.
"Duduklah nak, ceritakan pada abah apa yang terjadi pada Aisyah??" ujar tuan Abdullah saat Fatma baru saja tiba di ruang tamu.
Fatma menoleh sekilas pada bu Sinta, dan mendapat angukan dari ibu sahabatnya itu. Bu Sinta mengusap bahu Fatma, seakan melalui usapan itu tersirat beberapa pertanyaan yang belum dia ketahui.
Fatma duduk dengan tenang, menarik dalam, lalu menatap secara bergantian dua parubaya dihadapanya.
"Begini tante, abah......" Fatma mulai menceritakan kenyataan yang baru saja dia ketahui setelah menjemput sahabatnya dari bandara.
Air mata bu Sinta seketika berjatuhan satu persatu, tidak menyangka sang menantu tega membohongi keluarganya begitu lamanya.
Tuan Abdullah meraup nafas dalam, seakan oksigen yang berada dirumahnya mendadak hilang. Dibalik ketegarannya sebagai seorang ayah, tidak dapat dia pungkiri ada perasaan tidak terima melihat putrinya mendapat perlakuan tidak adil.
"Sudah, istiqfar bu..! Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Kita tunggu itikad baik dari Bagas datang kerumah. Jika memang tidak ada datang, maka abah yang akan kesana untuk meluruskan masalah ini!" ujarnya sembari mengusap bahu istrinya sang sedang bergetar.
Fatma ikut menitikan air mata, namun buru-buru dia usap. Hatinya ikut terasa sakit mengingat kenyataan yang sahabatnya dapat barusan. Mereka tumbuh bersama dalam satu panti asuhan. Jadi tidak dapat dia pungkiri, apa yang Aisyah rasakan pasti amat terasa direlungnya.
"Asstaqfirullahaladzim Ya Allah...kenapa tega sekali menantuku berbuat seperti ini pada putriku!" lirih bu Sinta disela isakan tangisnya, yang terdengar begitu pilu.
Fatma mengambil beberapa helai tisu diatas meja, lalu mendekat untuk menyeka air mata bu Sinta.
"Terimakasih nak.." balasnya.
"Tante, abah..Fatma pamit pulang dulu! Kabari Fatma jika terjadi sesuatu pada Ara. Semoga saja Ara segera bangkit dari rasa sakitnya." ujarnya sembari bersalaman pada kedua orang tua Aisyah.
"Terimakasih nak Fatma. Salam pada orang tuamu!" jawab tuan Abdullah.
"Hati-hati nak..!" ujar bu Sinta, dan hanya mendapat anggukan desainer tersebut.
Selepas kepergian Fatma. Tuan Abdullah dan juga bu Sinta segera bangkit untuk menuju kamar putrinya.
"Assalamualaikum..." salam seseorang dari luar pintu.
Tuan Abdullah sontak menoleh, dan menghentikan langkahnya.
"Walaikumsalam.. Masuklah nak!"
Pria tampan bertubuh tegap dengan wajah tenang sembari menggandeng bocah kecil berusia 4 tahun tampak memasuki rumah sang ayah dengan senyum mengembang.
Dia adalah Mahardika Abdullah. Putra pertama tuan Abdullah dengan bu Sinta. Mahar sangat menyayangi sang adik, walaupun dia tahu Aisyah bukan adik kandungnya. Mahar tidak pernah membedakan kasih sayangnya sedikitpun.
Meisya istri Mahar tampak mengernyit, saat melihat kedua mertuanya menunduk lesu begitu dia dan suaminya mendekat.
"Hallo sayangnya oma..Bima sehat kan sayang?"
"Cehat oma, opa!" balas Bima dengan cirikhas cadelnya.
Meisya melempar tatap pada suaminya, seakan berkata ada apa yang terjadi melalui tatapan itu.
"Ibu, abah...apa ada sesuatu yang terjadi?" ujar Meisya begitu lembut sembari mengusap lengan bu Sinta.
"Duduklah nak..biar abah jelaskan." bu Sinta mengajak anak serta menantunya untuk duduk kembali, dan membiarkan tuan Abdullah menjelaskan semuanya.
"Apa..?!" suara Maha begitu menggema, setelah orangtuanya menceritakan masalah sang adik kepadanya.
Meisya yang mendengar itu sontak membekap mulutnya, dengan airmata yang sudah berembun. Ada perasaan sakit dan juga tidak terima, karena dia juga sesama wanita. Apalagi Aisyah sudah dianggapnya seperti adik kandungnya sendiri.
Mahar spontan mengepalkan kedua tangan dengan rahang yang sudah mengretak keras, pertanda emosinya benar-benar sudah diujung ubun-ubun.
'Kurang ajar kau Bagas! Adiku adalah separuh nyawaku, namun dengan entengnya kau membuat dia hancur!' jerit batin Mahar dengan tatapan lurus kedepan.
"Aisyah sudah mengabariku 2 hari sebelum dia pulang bu. Di berencana memberi kejutan pada keluarganya, namun apa yang terjadi..." Meisya tidak mampu meneruskan ucapanya karena teramat sesak yang dia rasa.
Meisya bangkit dari duduknya, "Biar aku yang keatas..mungkin dengan adanya Bima, mampu mengurangi rasa rindu Ara terhadap putranya," lanjutnya.
Bu Sinta hanya mengangguk sembari mengusap kepala cucunya, yang berjalan masuk kedalam.
"Apa bibi sudah pulang, bunda?" ujar Bima mendongak.
Meisya mengusap sisa airmatanya, "Benar sayang. Bibi sedang tidak enak badan. Bima nanti peluk bibi ya sayang."
"Baik bunda. Aku juga sudah lindu sama bibi," balasnya.
Sementara didalam, Aisyah tengah bersandar di dipan ranjangnya dengan tatapan kosong lurus kedepan.
'Mamah...'
'Sayang, siapa yang datang?'
'Akulah yang merawat putramu sejak kecil mbak. Aku yang menemani hari-harinya, disaat dia sendirian!'
Beberapa ucapan mereka seakan berputar dikepalanya yang entah sampai kapan akan berakhir. Air matanya kembali luruh diwajah pucatnya. Terkejut, sakit, sesak, bahkan frustasi yang saat ini Aisyah rasakan.
'Sayang, bunda berangkat dulu ya. Rendra baik-baik dirumah sama ayah dan oma'
Bocah 2 tahun itu hanya mengangguk, tidak tahu apa maksud yang diucapkan ibunya barusan.
Aisyah beralih menatap suaminya lalu mencium khidmat tangan Bagas setelah mendapat halauan, karena sebentar lagi pesawat yang ia tumpangi akan segera terbang.
"Aku pamit dulu mas..baik-baik.menjaga putra kita!"
Bagas memeluk tubuh istrinya, sembari mencium kening Aisyah begitu lama, "Kami juga Ara..cepat segera pulang. Jagalah kesetianmu untuku!" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Mengingat ucapan suaminya 3 tahun yang lalu, sontak dia tersenyum kecut. Aisyah merasa menjadi orang paling bodoh sedunia, karena terlalu percaya ucapan kosong suaminya.
Hingga lamunanya tersadar, saat pintu kamarnya terbuka dari luar.
"Mbak Meisya, Bima sayang..." sapa Aisyah sembari mengusap air matanya.
Meisya tersenyum hangat, dadanya terasa sesak kembali saat melihat wanita cantik yang duduk diatas ranjang tampak tersenyum saat putranya Bima, kini tengah berlari menghampiri bibinya.
"Bibi..Bima sangat kangen sama bibi," bocah 4 tahun itu langsung menghambur kedalam pelukan Aisyah.
Aisyah mengelus surai sang keponakan sembari tersenyum, 'Ya Allah apa seperti ini rasanya dipeluk putraku sendiri. Aku sangat merindukan putraku Ya Allah..' batinnya yang terus mengusap surai pekat sang keponakan.
Meisya yang melihat pemandangan didepanya sontak menghangat. Dia tersenyum lega, walaupun dadanya mencoles.
"Bima sayang..itu ada mbak Nana. Bima main dulu sama mbak ya. Bunda sama bibi mau berbicara urusan orang dewasa." tegur Meisya sembari menunjuk kearah pintu, saat art muda itu sudah berdiri diambang pintu.
Bima melerai pelukanya, "Bibi..nanti kita main lagi ya. Bima mau minum susu dulu."
Aisyah hanya mengangguk dengan tersenyum.
Setelah pintu tertutup kembali, Meisya mengambil tangan adik iparnya dengan mengusapnya lembut.
"Mbak tidak tahu sedalam apa sakit yang kamu rasakan. Jika kamu ingin menangis, maka menangislah." lirih Meisya.
Aisyah hanya tersenyum nanar, sedikit mendongak menatap wanita cantik yang berbalut jilbab lebar dihadapanya.
"Rumah tanggaku sudah hancur mbak. mas Bagas tega memaduku secara diam-diam!" balasnya diiringi airmata yang ikut berjatuhan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!