Reyhan Adiputra Sastradinata
Alysa Sani Waluyo
Tika
...Mereka Adalah visual untuk cerita saya, lebih lanjut untuk visual yang lain akan saya tambahkan dikemudian hari. Jadi, sampai bertemu di chapter selanjutnya yaaa....
...Enjoyyy!!!...
...Alysa seorang gadis muda, cantik serta penuh talenta yang kini tengah menempuh studynya di bangku kuliah. Namun, selama dua semester ia memutuskan untuk cuti, demi bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang tengah bangkrut. ...
...Dalam perjalananya, Alysa harus mendapatkan uang sebanyak 300 juta dalam semalam untuk biaya operasi jantung orang tuanya. Dalam keadaan mendesak, Alysa memutuskan menjadi wanita panggilan. Mengikuti saran sahabatnya, Tika. ...
...Sialnya, pelanggan pertamanya adalah dosen ia sendiri. Hal itu membuat Alysa malu, kesal sekaligus bingung bagaimana harus melayani sang Dosen. Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya? serta bagaimana hubungan Alysa dengan kekasihnya, Rian. Akankah setelah mengetahui fakta sebenarnya ia akan tetap bersama Alysa?...
...***...
...prolog...
"Gimana? Gue ga bisa bantu buat sekarang?" ucap Tika.
"Iya gapapa. Gue juga minta maaf karna harus ngerepotin lo terus." sahut Alysa.
"Gak masalah, selagi di gue ada. Kebetulan, sekarang gue lagi kosong. Bokap gue lagi nahan semua keuangan gue."
Alysa mengangguk. "Gue harus ke siapa ya? Gue kalau ke bank gue harus punya jaminan, sedangkan gue gak punya apapun. Itupun gak bisa cair besok."
"Emang lo ga punya barang yang itungannya inves, Sa?" tanya Tika.
"Ada sih, cuma gue bingung ke siapa gue jual, lagian kalau misal jual barang gue. Yakin deh, harga pasti turun bgt." tambah Alysa.
"Jadi gimana? Gue ada si kerjaan, tapi gue gak yakin lo mau atau enggak." terang Tika.
Mata Alysa segera antusias menyambut tawaran Tika. "Lo kenapa ga bilang si? Gue mau, kerjaan apa? Tapi benerkan? Langsung dapet 300 juta?" terang Alysa.
"Iya bisa aja sih, bahkan lebih. Gimana kita dapetnya." ucap Tika mengantungkan penjelasan. Membuat Alysa semakin penasaran.
"Gimana? Emang ada kerjaan gitu?" tanya Alysa polos.
"Ada." sahut Tika cepat.
"Yaaa.... Apa? Cepetan kasih tahu gue." ungkap Alysa tidak sabaran.
"Tapi bener ya, setelah gue kasih tau, lo jangan shock."
"Iyaa, apa buruan kasih tahu gue."
"Cewe panggilan." sahut Tika.
Mata Alysa melotot. Ia bereaksi cepat, tidak mengira akan mendengar jawaban semacam itu dari mulut Tika.
"Kan." kata Tika.
"Gimana gue ga shock, hal itu bahkan ga ada dipikiran gue." ucap Alysa.
"Yaudah ga usah." sahut Tika acuh.
"Lo tau dari mana? Hal gitu bisa langsung dapat banyak duit?" tanya Alysa.
"Temen, gua ada cukup banyak kenalan yang kerjaannya kaya gitu. Dan, caranya gampang!" ucap Tika.
"Gampang gimana?"
"Ya gampang, lo tinggal layanin apa yang mereka mau diranjang. Setelah itu uang bisa lo dapat dengan cepat."
"Lo punya agen yang bisa temuin gue sama orang yang mau bayar gue?" tanya Alysa.
"Gak perlu agen. Gue punya aplikasi yang bisa langsung ketemuin lo sama pelanggan."
"Hah? Serius?"
"Gue serius, lo mau nyoba?"
"Tapi aman kan?" tanya Alysa.
"Yaa, kalau cuma tanya-tanya sama hitungan harga tawar menawar si aman aja. Gimana, lo mau nyoba?" tanya Tika.
"Coba deh."
"Serius kan, aman?" tanya Alysa lagi.
"Iya aman."
"Lo percaya gue, semua aman. Yang penting kita coba aja dulu."
"Lo beneran mau ambil kerjaan itu?" Ana bertanya penuh kesungguhan.
"Iya, gw harus bilang berapa kali sih?"
Tika, mengangkat bahunya penuh gusar. "Kalau bokap nyokap lo tau gimana?"
"Ya, jangan sampe tau-lah."
Baju dengan warna merah maroon sudah terpasang sempurna ditubuh Alysa. Ia memutarkan tubuhnya beberapa kali didepan cermin, memastikan pakaian yang ia gunakan terpakai dengan cantik untuk membalut tubuhnya yang sintal, tidak lupa sedikit polesan makeup pada wajahnya membuat ia semakin terpancar cantik malam ini.
"Udah ah, gue berangkat. Lo jaga bokap gue sebentar. Paling lima belas menitan lagi nyokap gue datang, baru lo bisa balik, oke." Jempol tangan kanan Alysa ia angkat satu.
Sang sahabat, Tika mengangguk pelan sambil ikut menurunkan jempol tangan Alysa, kemudian berburu memeluknya. "Lo ati-ati yaa. Janji ini untuk pertama dan terakhir," seru Tika berkaca-kaca.
"Iyalah, gila aja kalau gue nagih mau lakuin lagi, udah ah gue berangkat." Alysa mundur dari pelukan Tika, ia membuang wajah sebelum pergi, tidak ingin melihat wajah Tika. Bukan karna marah, Alysa tidak ingin membuat Tika merasa bersalah karna telah memberikan jalan keluar pada dirinya, akan tetapi tidak sejalan dengan hati serta pikirannya.
Sebelum pergi, Alysa menyempatkan sebentar untuk melihat ruang rawat inap Ayahnya, Satria. Dari tempat Alysa berdiri, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana selang-selang kecil itu terpasang dengan baik diatas tubuh sang Ayah. Alysa tidak bisa membayangkan kalau selang yang membantu sang Ayah hidup itu tidak bisa terpasang, hanya karna masalah biaya.
Perusahaan yang bangkrut, hutang perusahaan juga hutang pribadi yang membelit, serta kondisi kesehatan sang Ayah yang tidak kunjung membaik membuat Alysa terpaksa mengambil cuti kuliah sebanyak dua semester.
Alysa lebih memilih mengutamakan kesehatan Ayahnya, dibanding melanjutkan pendidikan. Terbukti, setelah mengambil cuti kuliah, Alysa memiliki waktu lebih panjang dalam kegiatan bekerja, waktunya tidak lagi terbagi. Ia bisa mengambil dua sampai tiga pekerjaan sampingan dalam satu hari, demi memenuhi kebutuhan biaya rumah sakit. Baginya itu tidak masalah, asal Ayahnya sehat kembali sehingga bisa kembali berkumpul keluarga seperti semula.
Sudah puas memandangi sang Ayah, kaki Alysa cepat-cepat berjalan. Ia menutup wajahnya menggunakan masker sedangkan gaun merah ketat yang ia pakai sejak tadi, ia balut oleh jaket jins milik kekasihnya.
"Semangat Alysa." Seru Alysa pada diri sendiri.
Mobil yang membawa Alysa terus melaju menuju tempat yang ia tuju. Dadanya tentu saja berdegup tiap detiknya semakin kencang, keringat dingin pada pelipis wajahnya semakin meningkatkan kegugupannya. Alysa benar-benar cemas atas keadaannya saat ini.
Kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan, dilema besar kini sungguh ia rasakan. Nyalinya benar-benar tengah diuji atas keputusan dirinya sendiri. Alysa tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskan emosi yang tengah dirasa saat ini. Saking kalutnya, ia memilih terus menutup mata mencoba menenangkan diri hingga supir taksi yang membawanya pergi sampai ke tujuan.
Sampai ditempat, Alysa segera menuju resepsionis. Alysa masih menggunakan masker wajah, ia tidak ingin ada orang lain yang ia kenali tahu keberadaannya malam ini. Resepsionis sudah memberitahu nomor kamar Hotel yang akan ia datangi, Alysa segera menarik diri dari sana. Ia berjalan cepat menuju lift. Untungnya, tidak ada siapapun didalam sana, kecuali dirinya sendiri.
Tepat berada dilantai tujuan Alysa, kakinya cepat berjalan keluar. Alysa semakin menutupi wajahnya menggunakan rambut panjangnya, ia harus waspada agar setiap sudut cctv Hotel tidak bisa mengenali wajahnya.
Didepan pintu kamar, ia berdiri sebentar sambil membuka masker, membuka jaket yang ia kenakan kemudian memasukkannya kedalam tas yang ia bawa.
Degup jantungnya terus berpacu cepat, nafas Alysa pun semakin tersendat-sendat menjadi pendek-pendek, ia bak ikan dalam kolam yang kekurangan air.
"Mah, Pah ... Alysa mohon maafkan keputusan Alysa ini." Tepat setelah Alysa mengucapkan kalimat tersebut, pintu kamar Hotel terbuka dengan cepat kemudian sebuah telapak tangan yang berukuran lebih besar dari Alysa, menyeret pergelangan kecil milik Alysa, ia menarik agar Alysa cepat masuk kedalam kamar.
Mata Alysa melotot sempurna kala sang laki-laki yang menarik pergelangan tangannya, ditambah orang didepannya ini, ia tidak menggunakan atasan, ia hanya menggunakan handuk tepat di pinggang rampingnya.
"Saya sudah bilang di Aplikasi untuk segera masuk kedalam kalau sudah sampai, buat apa kamu berdiri disana dulu? kamu mau tutupi wajahmu dengan masker atau rambutpun saya akan lihat nantinya." Suara barito dari laki-laki yang tengah membawa tubuh Alysa tanpa beban ini terus berbicara atas kesalahan Alysa yang lamban datang.
Sedangkan Alysa, ia hanya mampu melihat punggung lebar laki-laki bertubuh tinggi itu dari belakang. Ketika pergelangan tangannya masih ditahannya agar tidak terlepas, Alysa seperti tidak asing dengan postur tubuh serta suara laki-laki yang masih mengoceh ini. Ia seperti sebelumnya sudah pernah melihat serta mendengar suara orang yang ada didepannya. Tapi dimana, Alysa lupa.
Dan, benar saja dugaan Alysa, kala orang yang sudah menarik pergelangan tangan Alysa melepaskan ikatannya, kemudian membalikkan badan menghadap Alysa, baru bisa ia dengan semudah itu bisa melihat siapa sosok yang sudah memesan dirinya dari Aplikasi hijau.
Sialnya, ia harus bertemu orang ia kenali, kalian tahu siapa? Laki-laki yang memesan Alysa pada aplikasi hijau itu, ia adalah seorang Dosen muda di Kampus Alysa, tepatnya di Jurusan Alysa, lebih jelasnya lagi ia bahkan pernah mengajari Alysa pada waktu semester satu.
Untuk beberapa saat, mata kami saling berpandangan tidak percaya, orang yang didepan Alysa terus menatap Alysa begitupun sebaliknya, Alysa mencoba meyakinkan diri agar orang yang ia lihat tidak sesuai dengan dugaannya. Sialnya, sedetail apapun Alysa mencari alasan agar orang di depannya bukan orang ia kenal. Hasilnya, justru semakin menujukkan Dosen yang akan tidur dengannya adalah Pak Reyhan Adiputra Sastradinata.
Alysa melepaskan genggaman tangannya dari Reyhan. Kaki Alysa mundur beberapa langkah, memberi jarak. Susah payah Alysa menelan ludah, bibirnya mendadak menjadi kering, bibirnya terkatup tidak percaya. Alysa harap dirinya hanya salah kamar.
"Kamu." Dosen muda itu menujuk Alysa dari tempat ia berdiri.
"Maaf pak, mungkin saya salah kamar," sela Alysa. Tubuh Alysa hendak berputar arah, mencoba keluar dari kamar sialan ini. Sayangnya, sebuah suara bariton itu kembali angkat suara.
"Atas nama Ica, dengan tarif per/malam 400jt, aturan pesanan harus ada mawar dan memilih Hotel bintang lima, ada yang tidak benar informasinya?"
Alysa ingin sekali membantah bahwa itu bukan dirinya. Tapi, hanya dengan sedikit pemberitahuan singkat saja, Alysa sudah tidak bisa mengelak bahwa itu bukan dirinya. Walaupun dengan nama samaran, Alysa tahu betul permintaan itu, Alysa yang inginkan itu semua.
"Maaf Pak, tapi sepertinya saya salah kamar," ulang Alysa.
Reyhan menggangguk kecil, ia berjalan mendekati Alysa. Ia berdiri sebentar untuk menghela nafas kecil, lalu berucap. "Saya antar keluar, mari."
Reyhan berjalan mendahului Alysa, ia membuka pintu. "Saya tidak bisa mencarikan kamar yang kamu cari."
"Gak masalah pak. Maaf sudah menganggu, saya permisi." Alysa segera berjalan keluar pintu kamar Hotel menuju pintu lift.
Tepat di depan pintu lift, ia sadar esok pagi harus sudah ada uang sebanyak 300 juta untuk biaya Ayahnya, Satria. Biaya operasi jantung tidaklah murah. Kalau Alysa tidak melakukannya malam ini, mau cari kemana Alysa uang sebanyak itu. Ia sudah tidak punya banyak waktu.
Pintu lift terbuka, Alysa tidak kunjung melangkahkan kaki-nya. Hills yang ia kenakan terus bergerak perlahan memutar arah, mengarah menuju kebelakang, kembali ke kamar Hotel yang ada Pak Reyhan.
"Gue harus gimana sekarang?" seru Alysa bingung.
Beberapa saat ia menutup mata, menenangkan diri, mencoba menjernihkan pikirannya yang tengah kacau. Alysa mencoba mencari jalan keluar, mencari orang yang dapat membantunya memberikan uang sebanyak 300 juta.
Nihil, tidak seorangpun yang bisa ia hubungi, teman lamanya satu persatu menjauh, keluarga besarnya banyak beralasan yang tidak masuk akal, padahal Alysa mengetahui kalau omongan mereka hanyalah akal-akalan mereka yang sudah tidak percaya pada keuangan keluarga Alysa takut tidak mampu bayar, setelah mengetahui kondisi hidup keluarga Alysa sekarang, termasuk kekasihnya, Rian. Ia bahkan seperti bukan kekasihnya meski statusnya adalah seorang pacar. Dari keduanya tidak ada yang berani mengucap kata putus atau lanjut. Entah karna Rian belum memiliki waktu untuk memutuskan dirinya atau Alysa yang selalu menghindar kala melihat gelagat Rian seperti akan memutus hubungan dengannya. Jujur saja Alysa tidak akan terima sama sekali kalau sampai Rian meminta putus, ia begitu mencintainya. Sedangkan Rian, ia sepertinya memiliki perasaan yang semakin memudar padanya, karna kurangnya waktu bertemu diantara keduanya.
"Bangsatt..." seru Alysa.
Pada akhirnya, kaki jenjang yang menggunakan hills senada dengan warna baju yang ia kenakan itu kembali berbalik badan menuju kamar Hotel sebelumnya Alysa masuki. Alysa sudah tidak berpikir apapun lagi, kecuali kesehatan sang Ayah.
Tangan Alysa memutar knop pintu, ia segera masuk kamar, yang dengan cepat ditemui oleh Reyhan. "Ada yang tertinggal?"
"Nama samaran saya Ica, saya yang memiliki tarif 300juta/ malam, saya yang menginginkan mawar, dan saya juga yang ingin di Hotel mewah ini."
...Akan dilanjut jika komentarnya minimal 10-20 komentar, tolong sekali jangan lupa di like, di share, dan ramaikan cerita ini yaa...
...Terima kasih sudah membaca sampai selesai, sampai ketemu dichapter selanjutnya yaa....
Kaki Alysa bukan main gemetar, ia berdiri dengan hills setinggi tujuh centi meter biasanya bukan masalah baginya. Tapi, malam ini, mendadak tubuhnya tegang, sedangkan kakinya secara perlahan melemah menumpu tubuhnya. Alysa yakin kalau Reyhan tidak segera menyuruh dirinya duduk, sudah pasti Alysa akan tergeletak diatas dinginnya kamar Hotel bintang lima yang ia inginkan.
"Wine?" tawar Reyhan.
Alysa menelan susah ludah, tenggorokannya kering tiap kali ingin berucap, sehingga suara yang dihasilkan tidak jelas. Alhasil, hanya sebuah anggukan kepala sebagai tanggapan.
Reyhan masih dengan pakaian saat pertama kali dirinya bertemu, handuk yang berada di pinggang miliknya masih setia bertengger disana, menutupi bagian tubuh bawah Reyhan. Bedanya, rambutnya sudah sedikit mengering. Ia menuangkan Wine merah sedikit pada gelas milik Alysa. Kemudian, Reyhan menyerahkannya dengan santai, lalu meminta bersulang.
Ditempat Alysa duduk, ia terus menetralisir perasaannya saat ini. Wine yang tengah ia cicipi sesekali gelasnya ia goyangkan. Hal tersebut, ia lalukan untuk menghindari rasa kikuknya akibat pertemuan ini. Dari tempat Alysa duduk ia mulai merasakan ada seseorang yang tengah memandanginya, siapa lagi kalau bukan Reyhan? Dari ekor mata Alysa, ia bisa melihat kaki Reyhan semakin mendekat pada dirinya.
Setiap langkah yang dilakukan Reyhan membuat jantung Alysa semakin cepat berdetak, kegugupan semakin melingkupi dirinya. Sepertinya hal itu diketahui oleh Reyhan. "Jangan kaku hanya karna saya Dosen kamu, kita ini sedang diluar kampus."
Reyhan mengulurkan tangan pada Alysa. "Reyhan, nama saya Reyhan." Reyhan menunggu uluran tangan Alysa. Sama sekali ia tidak menurunkan tangannya, ia masih setia menunggu.
Meskipun Alysa bingung, ia pun ikut mengulurkan tangannya. "Alysa."
Reyhan tersenyum miring. "Bukan Ica?"
Alysa mengangkat wajahnya melihat Reyhan lebih jelas. Dosen mudanya ini seperti tengah mengolok dirinya.
"Sa...ya ... Sa...ya..." Mulut Alysa benar-benar tidak mampu mengeluarkan banyak kalimat, ia masih belum bisa berpikir bagaimana ia harus bersikap, selain meminum satu gelas wine dalam satu tegukkan habis.
"Biar saya tuangkan kembali," Reyhan mencoba membawa gelas kecil kosong dari tangan Alysa. Namun, secepat itu Alysa tolak. Faktanya, Alysa bukan peminum yang baik, kalau terlalu banyak minum ia akan menyebalkan, mungkin sedikit tipsy tidak masalah, tentunya bukan di depan Reyhan ia akan melakukannya.
"Tidak perlu."
Reyhan mengangguk, ia kembali menuangkan satu sloki kecil kembali ke dalam gelas, ia meminumnya cepat. Setelah itu, ia membawa satu bucket ukuran sedang bunga mawar merah yang Reyhan simpan dimeja untuk diserahkan pada Alysa.
"Permintaan kamu." Alysa menerimanya.
"Makasih."
"Sama-sama."
Alysa yang biasanya menyukai aroma mawar merah segar, kini tidak sedikitpun ia berani menghirup. Alysa bahkan tidak bisa mencium harum alami dari bunga mawar yang ia pegang, kegugupun menyita banyak perhatian Alysa, termasuk indra penciumannya.
"Bisa bantu saya mengeringkan rambut?" pinta Reyhan yang sudah menghilang dari pandangan Alysa. Tubuh tegap Reyhan berjalan menuju kamar utama di Hotel yang ia tempati, memaksa Alysa mengekor ikut Reyhan masuk kedalam kamar.
Sampai didalam kamar, Reyhan segera menyiapkan alat yang dibutuhkan. Sudah selesai, tubuh Reyhan berbalik melihat Alysa. "Sini." Titah Reyhan.
Alysa menarik pelan nafas, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Alysa mulai memberanikan diri melangkah. Sepanjang Alysa berjalan menuju Reyhan, selama itu pula bola mata Reyhan menatap tubuhnya dari atas hingga ujung kaki. Alysa melihat mata Reyhan tampak mengkilat, seperti seekor kucing melihat ikan yang siap untuk ia makan.
Alysa mungkin belum pernah berhubungan intim, tapi ia tahu sebagai perempuan dewasa ketika seorang laki-laki tengah berada di titik menginginkan sesuatu sebagai pria dewasa yang ingin diluapkan hasratnya.
Entah karna jalan Alysa yang lamban atau karna Reyhan sudah tidak tahan lagi, begitu jarak sudah semakin dekat. Reyhan, segera menarik pergelangan tangan Alysa, hingga tubuh Alysa untuk pertama kalinya tanpa sengaja menyentuh tubuh bagian atas yang terbuka milik Reyhan tanpa terhalang kain apapun.
"Saya tidak suka perempuan lelet." kata Reyhan pelan disamping telinga Alysa.
Kala posisi itu, tubuh Alysa memberi reaksi yang tidak biasa. Ada sebuah gleyar aneh dalam dirinya. Tiap kali Reyhan mengambil nafas kemudian menghembuskannya dekat Alysa. Tubuhnya menjadi sangat sensitif ia rasakan.
"Bisa kita mulai?" tanya Reyhan.
Alysa mundur beberapa langkah, tangan Reyhan segera menahan pinggang Alysa. "Kenapa?" tanya Reyhan.
Tentu saja Alysa mundur, ia terlalu takut, ia belum siap kalau harus dengan cepat Reyhan membawa dirinya dalam malam panjang yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikirannya.
Disis lain Alysa merutuki kebodohannya, bagaimana bisa ia menolak, ia sendiri yang datang kesini, ia juga yang akan menerima uang yang dibutuhkannya itu. Dan itu, Reyhan sudah berani bayar mahal untuk dirinya.
"Sa..ya Sa..yaa." kalimat Alya kembali tidak selesai, mulutnya masih terbata-bata.
"It's okey. Rileks." pinta Reyhan mengelus pinggang Alysa perlahan.
Alysa menatap manik mata Reyhan. "Oke?" tanya Reyhan lagi.
Anggukan kecil Alysa sebagai jawaban bagi Reyhan. Setelah itu, Alysa melakukan tugasnya, ia mengeringkan rambut sambil berhadap dengan tubuh Reyhan yang bertelanjang dada.
"Saya suka parfum yang kamu pakai," seru Reyhan.
"Terima kasih."
"Saya tidak mengira kita akan bertemu disini," terang Reyhan.
"Apalagi saya Pak, ga ada sama sekali dipikiran saya." Rutuk Alysa dalam hati.
Reyhan menyisir tiap jengkal tubuh Alysa secara perlahan, sampai ia bisa bertemu dengan kedua bola mata milik Alysa. Dari tatapan itu, ia bisa melihat mata terang milik Alysa untuk beberapasaat, perlahan tangan kirinya ikut terangkat mengelus pinggang Alysa, sedangkan tangan kanannya mengelus pundak Alysa yang terbuka mengekpose leher jenjang serta pundak Alysa.
Alysa sekuat hati menutup mata, menahan diri agar tidak terbawa suasana. Tapi sulit, sejak Alysa mulai mengeringkan rambut Reyhan, selama itu pula kedua tangan Reyhan tidak pernah diam, ia terus memberikan sapuan halus pada area pinggang Alysa.
"Pinggang yang bagus."
"Hm, terima kasih."
Tepat setelah ucapan terima kasih itu, Reyhan cepat menurunkan alat pengering rambut tanpa mematikannya terlebih dahulu, kemudian bergerak memagut bibir Alysa.
Alysa yang terkejut tidak siap atas serangan Reyhan. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh Reyhan agar terlepas. Alysa menolak sentuhan Reyhan.
Tubuh Alysa masih dalam dekapan Reyhan, meski sekuat tenaga ia mencoba mendorong. Tubuh Alysa terdiam kaku. Tangannya masih bertengger sempurna dikedua pundak Reyhan. Tangan Reyhan tidak membiarkan tubuh Alysa menjauh, sehingga membuat Alysa tidak bisa bergerak leluasa.
"Pak, saya mohon jangan lakukan itu," pinta Alysa dipundak Reyhan. Alysa harap Reyhan mendengar suaranya yang parau, karna ia benar-benar belum siap untuk melakukannya.
Alysa mungkin salah, karna bagaimana bisa ia menolak ciuman yang baru saja dilakukan dalam waktu kurang dari dua menit. Tapi, itu respon alami tubuhnya, ia tidak bohong, kalau dirinya terkejut. Hal itu karna dirinya belum siap menerima serangan ciuman dari Reyhan. Secara, Reyhan adalah orang baru bagi dirinya. Meskipun, keduanya sudah saling mengetahui satu sama lain sebelumnya, meski sebagai seorang Dosen dan Mahasiswi.
Pikir Alysa, dirinya akan mendapatkan marah Reyhan atas penolakan yang dilakukan Alysa. Sebaliknya, laki-laki didepan Alysa justru tertawa.
Reyhan terkekeh kecil. "Pak?" katanya.
Kepala Alysa terangkat sedikit demi sedikit memberanikan diri tubuhnya mundur menjauh dari pundak Reyhan, mengangkat kepalanya untuk menatap Reyhan. "Iyaa," sahut Alysa terbata-bata.
Reyhan menghela nafas, kemudian menatap manik mata Alysa. Entah kenapa ia, mulai menyukai bola mata kecoklatan terang itu untuk ia pandangi. "Bukankah kita sudah berkenalan? Kamu masih manggil saya, Pak? saya tersinggung." kata Reyhan.
Alysa menggeleng cepat. "Bukan begitu, Pak, saya masih tidak biasa atas semua ini, tolong jangan tersinggung dulu."
"Lalu? Kamu pikir saya sudah setua itu sampe harus dipanggil, Bapak?" pertanyaan Reyhan justru membuat Alysa takut, juga tidak kuasa menahan tawa karna ucapan spontan Reyhan. "Kenapa ketawa?" tanya Reyhan dingin.
Alysa segera membenarkan mimik wajahnya serius. "Saya minta maaf." Alysa mengakui ia menertawakan panggilannya untuk Reyhan.
Kaki Reyhan menjauh dari Alysa, ia pun melepaskan kedua tangannya dari pinggang ramping Alysa. Kaki Reyhan berjalan menuju kasur mengambil kaos yang disiapkan. kemudian membuka handuk berganti celana tanpa malu dilihat oleh Alysa.
"Akhhh, Pak Reyhan." teriakan Alysa membuat Reyhan terheran atas tingkah Alysa, bagaimana bisa perempuan panggilan kaget hanya karna pelanggannya membuka celana.
Reyhan menatap sinis Alysa, kemudian meninggalkan gadis itu keluar dari kamar utama menuju ruang tamu.
Alysa cepat bergerak mengikuti langkah besar Reyhan. "Pak, saya minta maaf, saya tidak bermaksud...," kalimat Alysa segera Reyhan cela.
"Saya lapar, bisa buatkan saya makanan?" pinta Reyhan, sambil terus berjalan lurus.
"Makanan? Tapi, saya tidak bisa memasak, Pak," ungkap Alysa.
Tubuh Reyhan berenti sebentar, kemudian berbalik, berputar menghadap Alysa. "Kamu mau buatkan saya makanan, atau kamu yang saya makan?" ancam Reyhan.
Alysa melotot, dengan cepat ia menangguk, kemudian memilih berlari menuju Dapur. Alysa tidak mengetahui ia harus masak apa untuk Reyhan, Tapi, ia bisa mencoba membuat sandwich kesukaannya.
Saat tengah berada di Dapur, Reyhan kembali menemui Alysa. Padahal keduanya belum lama berjauhan dalam hitungan puluhan menit, tapi Reyhan sudah seperti kekasih yang merindukan kekasihnya saja. Langkah Reyhan menuju Alysa tenang, namun menghipnotis Alysa untuk berenti dari pekerjaannya memotong sayur. Reyhan memutari meja pentry. Sampai dekat dengan Alysa yang tengah menyiapkan makanan untuknya, Reyhan berdiri dibelakang tubuh Alysa.
Reyhan menyudutkan Alysa semakin lekat pada meja pantry untuk memasak. Tubuh Reyhan sudah menempel sempurna pada belakang tubuh Alysa, disusul ucapan Reyhan sudah seperti suara bisikan ditelinga Alysa dapat ia dengar, membuat sekujur tubuhnya seketika panas dingin.
"Suara Hills kamu mengundang saya ke Dapur," tutur Reyhan.
"Ma...aff," sahut Alysa gugup.
"Jangan bergerak," titah Reyhan, berbisik ditelingan Alysa.
Perlahan kepala Reyhan merunduk, ia memberi kecupan kecil, sepanjang bahu Alysa. Hal tersebut, membuat Alysa memutar kepala kemudian menatap Reyhan tidak terima. Seolah tersihir akan pesona Reyhan, sama sekali Alysa tidak memberikan perlawanan apapun. Bibirnya terkatup rapat.
"Ikat rambutmu." bisik Reyhan.
Kembali tangan Reyhan membenarkan pandangan Alysa agar lurus kedepan. Menurut, Alysa mengikat rambutnya sembarangan hanya menggunakan satu sumpit.
Tanpa membuang waktu Reyhan mulai menjelajah pundak putih Alysa. Ia beberapa kali terdiam sebentar untuk menghirup aroma tubuh Alysa. Puas dengan pundak yang ia beri kecupan kecil, ia lakukan kembali pada punggungnya Alysa. Secara tidak sadar, Alysa mau merunduk, demi memudahkan Reyhan menciumi punggung yang terbuka tanpa kain.
Mendapat akses dengan mudah, Reyhan memeluk perut rata Alysa. Menahan, agar Alysa tidak melakukan banyak pergerakan. Sedangkan bibir Reyhan terus turun menjelajah mengecup semua bagian belakang tubuh Alysa.
"Pak," bisik Alysa mencoba protes, kala Reyhan menggesekan miliknya kepada area dua bulatan yang ada dibelakang milik Alysa.
"Reyhan, panggil aku Reyhan." bisik Reyhan kembali ke dekat telinga lalu menjilat cepat daun telinga Alysa.
"Hmm..," Alysa menurut, ia mulai tidak terkendali.
Reyhan kembali kebawah, sampai di lutut, ia segera membawa tubuh Alysa keatas meja. "Rey," panggil Alysa kaget.
"Saya suka panggilan itu."
Sebuah senyuman terbit di bibir Rey, diikuti tubuhnya sedikit melekung kedepan mendorong diri agar lebih dekat dengan Alysa. "Kamu suka diperlakukan seperti apa?" tanya Reyhan tanpa basa basi.
Mata Alysa menyipit. Mencoba menerka pertanyaan Reyhan kemana arahnya. "Begini?" Reyhan secara mendadak mencoba mencium leher Alysa. Tapi, segera Alysa tangkis dengan sebuah dorongan kecil pada dada Reyhan.
"Tidak suka?" tanya Reyhan diikuti senyuman nakalnya. "Begini?" Reyhan semakin mendekatkan diri, sambil kedua tangannya terulur mengelus kedua pipi Alysa, mencoba memberikan ketenangan.
"Biasanya, pelanggan akan meminta bagaimana cara ia mau diperlakukan, bukan sebaliknya," terang Reyhan.
"Pelanggan?" satu pertanyaan keluar dari mulut Alysa.
"Yaa, pelanggan," sahut Reyhan tenang, sambil menatap manik bola mata terang milik Alysa.
"Sepertinya, sudah sesering itu melakukan hal ini." ungkap Alysa pada Reyhan.
"Tidak juga, mungkin sesekali saat hidup saya terasa sepi atau terlalu banyak pekerjaan. Kenapa? Kamu tertarik dengan kehidupan ranjang saya?" tanya Reyhan sambil tersenyum miring penuh percaya diri.
"Tapi anda Dosen." sela Alysa.
"Kamu juga Mahasiswi," sahut Reyhan.
"Anda kaum pendidik."
"Kamu kaum terdidik, sama saja." sahut Reyhan membuat Alysa diam. "Alysa, jangan pikirkan hal itu disaat tengah seperti ini. Dan, pandanglah saya sebagai laki-laki yang sangat menginginkanmu malam ini, bukan Dosen yang kamu kenal di kampus." putus Reyhan membuat Alysa terkejut karna kalimat terakhir yang ia utarakan.
"Tapi, Pak."
Reyhan menghela nafas kasar. "Saya tidak tahu, kamu sedang berpura-pura malu pada saya, atau kamu masih memang sangat malu karna identitas kamu sebagai perempuan penghibur diketahui oleh Dosen kamu sendiri." terang Reyhan.
Bibir Alysa masih terkatup. Ia tidak mungkin menanggapi semua ucapan Reyhan. Bukan karna ia takut lagi, tapi hal itu akan sia-sia. Reyhan tidak akan mungkin percaya semudah itu pada Alysa, jika ia jujur atas kondisi keadaannya saat ini.
"Kenapa diam?" tanya Reyhan.
Alysa menggelengkan kepala lemah.
"Saya bisa menjaga rahasia ini," kata Reyhan lagi, berhasil mengangkat wajah Alysa menatap Reyhan. "Kalau itu yang kamu takutkan sejak kamu datang. Saya bisa jaga rahasia, begitupun kamu, bukan? Kamu ingin tidak ada siapapun tahu soal ini, kan?" lanjut Reyhan.
Alysa diam. Reyhan mengartikan kebisuan Alysa sebagai jawaban yang sama, sesuai dugaan Reyhan untuk dirinya bahwa, Alysa tidak ingin ada orang yang tahu soal kejadian ini.
"Saya rasa, sebaiknya kamu lanjutkan untuk memasak. Maaf sudah menganggu," ucap Reyhan disusul kecupan manis dikening Alysa lama. "Sebelum itu, biar saya buka sepatu kamu, suara ketukan hillsnya mengundang saya datang." lanjut Reyhan diikuti seringai.
Usai mengucapkan hal Itu, Reyhan membuka sepatu milik Alysa. Tapi, sebelum itu. Reyhan menciumi kaki jenjang Alysa singkat-singkat.
"Saya suka aroma tubuh kamu Alysa, tubuh kamu, rambut kamu, dan matamu yang indah itu, saya suka." ungkap Reyhan terang-terangan memuji Alysa.
Puas dengan apa yang ia lakukan pada Alysa. Kaki Reyhan kembali ke tempat ia semula ia diam. Di ruang tv. Setelah sebelumnya ia mengucapkan.
"Akan menjadi malam yang panjang untuk kita malam ini, Alysa."
...Akan dilanjut jika komentarnya minimal 10-20 komentar, tolong sekali jangan lupa di like, di share, dan ramaikan cerita ini yaa...
...Terima kasih sudah membaca sampai selesai, sampai ketemu dichapter selanjutnya....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!