"Tidak, Om. Tolong, jangan pukul Ziva. Ziva mohon, Ziva mohon jangan pukul Ziva," seorang gadis kecil berpipi tembam yang bertubuh gendut dan cebol, sedang terduduk takut di atas tanah berlumpur.
"Baik. Om gak akan pukul. Tapi sebagai gantinya, kamu harus memuaskan om," dengus laki-laki itu dengan nafas gilanya. Tatapannya semakin liar menatap gadis kecil itu.
Lelaki itu meraba paha gadis itu. Gadis kecil itu sangat ketakutan. Ia juga sangat membenci jika dirinya disentuh oleh laki-laki. Gadis kecil itu menggigit telinga lelaki itu. Lelaki itu bangkit dari tindihannya dan berteriak kesakitan. Gadis kecil itu sempat lepas dari jangkauan lelaki itu.
Namun, secepat kilat lelaki itu kembali bangkit dan memukul pipi gadis itu hingga terjatuh. Lelaki gila itu menggendong si gadis kecil dengan kasar.
Sang gadis sangat ketakutan. Karena lelaki itu memperlakukannya secara kasar. Lelaki itu memukul wajah dan memukul hidungnya hingga mengeluarkan darah. Si gadis kecil hampir saja kehilangan kesadarannya. Tetapi, ia sangat tidak ingin dirinya harus bersama lelaki gila yang sedang mengendongnya hingga ia sangat sesak nafas.
Si gadis kecil hanya bisa menangis. Menangis sekencang mungkin dalam keadaan mulut yang dibekap. Sebisa mungkin ia berusaha untuk memberontak, namun lelaki gila itu terlalu nafsu sampai-sampai ia tidak bisa melepaskan gadis kecil yang baru berumur 8 tahun.
"Sabar ya, Ziva. Kamu sudah tidah sabar untuk memuaskan om ya? Sebentar lagi kita akan melakukannya. Sssht, jangat takut. Ziva gak mau om pukul kan? Karena itu, Ziva harus memuaskan om!" tawa lelaki itu dengan tatapan lapar. Air liurnya bahkan terkena dahi gadis kecil itu.
Gadis kecil itu berusaha untuk memberontak sekuat tenaganya. Gadis itu tidak ingin pasrah, namun dirinya sudah sangat lemah karena ia di peluk seerat mungkin oleh lelaki gila itu. Ia berdoa sesering mungkin. Ia sudah tidak memiliki cara lain lagi selain berdoa. Dan akhirnya kesadarannya mulai menipis. Dalam keadaan menangis, ia kehilangan kesadaran.
"Hei! Mau kau bawa kemana anakku?" teriak seseorang dari kejauhan.
Gadis kecil itu juga mendengar teriakan yang membuatnya kembali tersadar.
"A-abi! T-tolong, Z-Ziva!" gadis kecil itu berusaha untuk memanggil ayahnya, dengan tersenggat-senggat.
"Sialan!" maki lelaki itu.
Lelaki itu meletakkan sang gadis di atas tanah dan lari terbirit-birit. Gadis kecil itu pun menangis dengan ketakutan sambil memeluk bahunya. Ia sudah sangat lemah. Dan akhirnya ia kehilangan kesadaran dalam pelukan ayahnya.
...***...
Triiiiiiiiing.....
Terdengar bunyi alarm yang sudah berbunyi tepat pada waktunya. Di sebuah kamar ber-cat putih dan ranjang untuk dua orang.
Tampak seorang gadis remaja tengah mengucek matanya. Gadis itu berperawakan tenang. Lehernya terlihat berlemak sehingga membuat wajahnya terlihat berbentuk bulat. Gadis remaja itu mematikan alarm handphonenya. Di gulungnya rambutnya secara asal. Dan mulai bangkit ke kamar mandi.
Gadis remaja itu melaksanakan solat subuh. Kemudian memakai baju sekolah putih abu-abunya.
"Ziva! Sarapan dulu, Nak. Harus banyak makan biar gak lemas," terdengar suara seorang perempuan dari luar kamar.
"Ya, Mi. Ziva lagi pakai baju," jawab gadis itu. Ternyata namanya adalah Ziva.
Ibunya menatap wajah anak gadisnya.
Ia menatap ibunya yang memanggilnya tadi dengan senyum yang menghilangkan kekhawatiran yang terlukis di benak ibu dan ayahnya. Ibunya itu juga memandangnya.
Dan ternyata ada ayahnya yang telah siap siaga memakai pakaian rapi untuk mengantar anaknya di hari pertamanya masuk MAN. Sekolah islam dengan tingkat SMA.
Ziva lekas memakan sarapannya.
Disalaminya ibu dan ayahnya sebelum berangkat. Dan ia diantar oleh ayahnya ke sekolah dengan menaiki motor.
...***...
Langkah Ziva mulai melambat ketika ia melangkahkan kakinya ke depan gerbang sekolah itu. Sesekali ia kembali menoleh kebelakang menatap ayahnya yang masih standby di tempat parkiran dan memberikan semangat padanya.
Ayahnya menganggukkan kepalanya dan memberikan semangat dan senyuman padanya. Melihat senyum itu, Ziva kembali menyunggingkan senyumannya. Ia mulai melangkah kembali. Dilaluinya lorong demi lorong, tangga demi tangga, hingga ia menemukan sebuah kelas dengan papan penanda yang bertuliskan x ipa-1.
Dengan langkah segan, ia memasuki kelasnya. Tampak di kelas itu masih sedikit sunyi. Hanya ada beberapa orang yang ada di kelas. Ziva mencari tempat duduk di paling belakang. Ia sungguh tidak mau duduk di depan.
Namun, ada seorang gadis remaja yang tampaknya sangat ceria, mengajaknya untuk duduk bersama. Awalnya Ziva menolak karena gadis itu duduk di barisan paling depan. Ia sangat takut. Entah apa yang di takutkannya.
Namun, hati nuraninya tidak sanggup untuk menolak orang lain, akhirnya ia duduk bersama dengan gadis itu.
Dengan senyumannya yang indah, lesung pipi yang tak pernah hilang dari pipinya, ia memperkenalkan dirinya pada Ziva.
"Hai, nama aku, Safana Nur Rizki. Panggil aja Ana. Kalau nama kamu siapa?" tanya Safana dengan sangat ceria.
"Ha-hai, nama aku Ziva. Alzivana Asyatul Hasanah. Boleh panggil apa aja," ucapnya.
"Waw, panjangnya. Alzivana Asyatul Hasanah. Hm, gimana kalau aku panggil Ziva?" ucapnya.
"Bo-boleh," ucapnya gagu.
"Kok gugup sih? Santai aja sama Ana," ucapnya sembari memperlihatkan lesung pipi cantiknya lagi.
Safana menggenggam tangan Ziva hangat. Ia sungguh takut. Tangannya bergetar-getar ketika melangkahkan kakinya ke sekolah ini.
Ziva menderita gangguan mental yang bernama PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder. Akibat percobaan pelecehan seksual yang hendak dilakukan salah satu tetangga di kampungnya dulu ketika ia masih berumur delapan tahun.
Walau sudah berjalan selama 8 tahun, namun traumanya itu masih belum hilang. Ini adalah kali pertamanya untuk belajar di sekolah biasa. Karena semenjak bencana itu terjadi, Ziva menjadi sangat trauma dengan laki-laki.
Namun, semenjak kejadian itu, Ziva menjadi pribadi yang sangat tertutup. Ia sangat susah untuk mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Bahkan kepada kedua orang tuanya sendiri.
Tapi, 2 tahun lalu, abinya mengundurkan diri dari tentara, dan memilih untuk menemaninya belajar di rumah. Ayah mengajarinya seni bela diri, agar ia bsa membela diri jika saja takdir mempertemukannya kembali dengan orang jahat.
Namun, pengunduran diri ayah justru malah melemahkan ekonomi mereka. Walau kedua kakak Ziva yang telah menikah juga membantu, tetap tidak mencukupi kebutuhan sekolah Ziva yang sungguh tidak murah. Ia sadar bahwa pengeluaran kedua orangtuanya semakin menambah. Apalagi ketika ia homeschooling membuat biaya semakin tidak terkendali.
Sering kali ia menangkap basah ibunya menangis sendiri di kamarnya. Ia merasa kasian dengan ibunya, ia berusaha untuk memberanikan dirinya. Dan 2 minggu lalu, pada saat dimulainya pembelajaran baru, di usiannya ke 16 tahun, ia meminta pada ibu dan ayahnya untuk sekolah biasa. Ia tahu ibu dan ayahnya tidak akan mampu untuk menyekolahkannya di pesantren, karena itu ia mencoba untuk testing masuk ke sekolah islam. Karena di sekolah islam, pergaulannya tidak terlalu bebas. Ada batasan antara laki-laki dan perempuan.
Dan beruntungnya, Ziva lulus tes beasiswa, ia masuk ke dalam kelas unggulan. Kedua orangtuanya juga tidak rela melepasnya, namun ini merupakan sebuah perkembangan yang bagus. Melihat kondisi keuangan orangtuanya membuatnya berusaha untuk berubah. Ziva juga tidak menyangka bahwa ia berani melakukan hal ini. Karena ia tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya keluar rumah semenjak kejadian itu.
Kecuali ketika mereka pergi kembali ke kota dan meninggalkan kampung yang penuh orang jahat itu.
Tak lama kemudian, beberapa perempuan yang seumuran dengannya memasuki kelas. Sungguh anggun salah satu gadis diantara gadis-gadis lain itu. Wajahnya yang menatap semua orang dengan dingin membuat dirinya terlihat arogan namun anggun.
Gadis itu menatap pada Ziva dan Safana. Tatapannya pada mereka berdua sungguh berbeda. Tidak sama seperti tatapannya pada beberapa orang perempuan yang masuk secara bersamaan dengannya.
"Boleh aku duduk di belakang kalian?" tanya gadis anggun itu.
"Oh, boleh banget. Silahkan duduk," ucap Safana sembari menyunggingkan senyum.
Mata gadis anggun ini kini bermain pada wajah Ziva yang gagu. "Si-silahkan," ucapnya.
"Terima kasih," ucap gadis anggun itu.
Safana dan Ziva masih memperhatikan gadis anggun itu sambil menghadap ke belakang.
Nama aku Lissa. "Nama kalian siapa?" tanya gadis anggun itu. Ternyata namanya pun seanggun tinggahnya.
"Ana, Safana Nur Rizki. Panggil aja Ana," ucap Safana.
"Halo, nama aku, Ziva." Ucap Ziva Kembali gagu menatap tatapan tanpa emosi dari Lissa.
Tiba-tiba mereka mendengar suara bel untuk segera turun menuju bawah. Mungkin sesi mos akan segera dimulai. Mereka bertiga lekas bergerak untuk turun. Namun, saat di depan pintu keluar, siku Ziva tidak sengaja menyikut seorang lelaki. Tangannya kembali bergetar. Lissa menatap perubahannya yang terjadi tiba-tiba.
"Woyy! Jalan pake mata dong!" teriak lelaki itu pada Ziva. Membuat Ziva sangat ketakutan. Ia bahkan hampir menangis saat itu.
"Hey! Minta maaf sekarang juga!" suruh Lissa pada lelaki itu.
Langkah lelaki itu tiba-tiba terhenti. Lissa masih menatapi lelaki itu yang menatapinya dengan tajam, "Kalau aku gak mau? Apa yang terjadi?”
"Kamu mau tahu apa yang terjadi?" tanya Lissa dengan memberikan tatapan yang sangat mengancam.
"Cih! Maaf. Puas kalian?" ucap lelaki itu kemudian membanting tasnya ke atas meja yang masih kosong dan pergi keluar kelas.
Sepertinya mereka berdua itu memiliki dendam kesumat yang dibawa mati.
...***...
Seorang wanita setengah baya, sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu.
“Ayah..." panggil wanita itu dengan nada suara yang lirih.
“Apa, My?" tanya lelaki setengah baya yang ada di sisi wanita itu sambil memegangi tangan wanita itu.
“Ayah... ayah udah suruh Sulthan ke sinikan?" Tanya perempuan setengan baya itu. Lelaki di sebelahnya hanya menghela nafas, mengelus jari-jari istrinya yang keriput.
“Apa momy yakin, mau menikahkan Ziva dengan Sulthan? Ziva itu masih kecil, Sulthan juga belum resmi jadi pilot. Apa momy gak mau pikir panjang? Ziva belum sembuh dari traumanya, apa momy gak takut keadaannya semakin memburuk?" ia berusaha menahan setiap perkataannya, namun kata-kata itu terus mengalir di bibirnya.
“Gak mungkin, Yah!" teriak wanita setengah baya itu histeris. Membuat lelaki berkeriput itu kehilangan kekuatan untuk melanjutkan pemberontakannya.
“Yah, ayah sudah tahukan bagaimana kondisi Niyah sekarang? Dia menderita kanker. Bagaimana nasib Ziva kecil kita jika saja Niyah, mungkin...” ucap perempuan itu dengan nada bicara yang sendu, ada setetes air mata yang menggantung di kantung matanya.
Lelaki itu hanya bisa mendengar istrinya yang sedang dalam kondisi buruk itu menolak untuk membatalkan rencananya. Sebenarnya sang lelaki tua itu tahu apa yang ada di dalam fikiran istrinya itu. Semenjak kematian putri bungsunya 8 tahun lalu, membuat istrinya itu sedikit mengalami gangguan jiwa.
Sementara Ziva sangat mirip dengan Najwa, yaitu anak bungsu mereka yang meninggal. Ketika Najwa meninggal, Ziva baru saja 8 tahun, sebaya dengan Najwa.
Najwa meninggal karena tenggelam saat bermain di sungai, wanita tua itu sangat sedih. Bahkan sebelum di masukkan ke rumah sakit jiwa, ia mengira bahwa Ziva adalah Najwa. Dan bersikeras untuk membawa Ziva ke rumahnya. Lalu, karena tidak bisa lagi dikontrol, lelaki tua itu akhirnya memanggil pihak rumah sakit jiwa untuk membawa istrinya.
Setelah keluar dari rumah sakit jiwa, wanita tua itu memohon-mohon kepada sahabat terbaiknya, Zabaniyah. Untuk membiarkannya mengadopsi Ziva. Tentu saja ibunda Ziva, Niyah menolak permintaannya tersebut. Tetapi, wanita itu terus memohon-mohon pada Niyah. Niyah mulai luluh, tapi rasa sayangnya pada anaknya tidak bisa di bandingkan dengan apapun. Niyah pun menolaknya kembali.
Lalu wanita tua itu mencoba untuk membuat Niyah tidak bisa menolak permintaannya dengan cara mengungkit semua hutang budi yang di lakukan oleh niyah dan suaminya pada dirinya.
“Niyah, apakah kau tidak mengingat semua pemberian keluargaku padamu dan bang Amri? Ketika suamimu berulang kali gagal masuk tes tentara, lalu ayahku membantunya. Lalu ketika ibumu sakit dan tidak ada biaya, kami yang membayarnya untukmu. Apakah kau tidak bisa memberikan Ziva padaku Niyah?" tanya wanita tua itu sambil berlutut di kaki Niyah.
Niyah ikut duduk dan menghentikan wanita tua itu dari penghormatannya. Niyah menahan tangisnya. Ia menutup matanya rapat- rapat untuk menghentikan air matanya terjatuh.
“Vina, aku sungguh... sungguh tidak bisa. Aku juga tidak ingin Zivaku pergi. Aku, juga sudah menderita melihatnya mimpi buruk setiap malam. Setiap kali aku menatapnya, ia selalu ketakutan. Aku tidak sanggup, aku tidak sanggup melihatnya menderita. Aku begitu menyayanginya. Apakah kau begitu tega ingin mengambilnya dariku?"
Air mata Niyah mengalir deras, ia tak kuasa untuk menahan tangisnya. Dadanya sangat sakit, matanya ingin terus mengeluarkan air. Ia sangat tidak menyangka, bagaimana sahabatnya rela melakukan hal ini padanya. Padahal Vina sungguh telah mengetahui apa yang terjadi pada putri bungsunya.
Ia sungguh sudah kehilangan semangatnya lagi. Apa yang dikatakan Vina tadi sungguh menyakiti hatinya. Ia tidak bisa menyanggah semua pemberian Vina pada keluarganya.
“Niyah, aku juga menderita. Aku telah kehilngan putriku untuk selama-lamanya. Aku punya dua putra dan kau punya 3 putri. Tidak bisakah kau memberikannya untukku? Aku begitu membutuhkan sosoknya.” jawab Vina sambil memengang kedua tangan Niyah.
“Vina, aku... mengerti perasaanmu. Aku juga ingin membuatmu bahagia. Namun, dengan mengambil Zivaku sekarang, membuatku sangat menderita. Karena keadaannya sekarang sangat tidak memungkinkan. Ia tidak akan mau keluar rumah. Kau tidak akan bisa membawanya pergi. Aku dan bang Amri sedang berusaha keras untuk menyembuhkannya. Tetapi, sebagai gantinya, kau bebas menemui Ziva. Kapanpun kau mau. Datanglah kerumahku. Tapi aku mohon, tolong jangan ambil Zivaku sekarang. kumohon!" Pinta Niyah.
Vina hanya mengangguk. Ia juga tidak ingin mengalah, namun kondisi Ziva juga sangat buruk. Apa yang dikatakan Niyah tidak bohong. Ia hanya bisa menerima keadaan dan hidup seperti itu. Semenjak itu, Vina jadi sering pergi ke rumah Ziva dan ia menyuruh Ziva memanggil dirinya momy dan memanggil suaminya dengan sebutan ayah.
...***...
Siiiit...
“Terima kasih telah mendampingi kami. Mohon periksa kembali barang-barang bawaan Anda. Selamat jalan dan mohon hati-hati di jalan!" suara dari dalam pesawat kepada para penumpang.
Beberapa menit kemudian, tampak seorang lelaki berpakaian pilot lengkap. Hanya lencananya saja yang berbeda dari pilot utama.
Ia tampak tengah berlari dengan terburu-buru. Dengan pakaian pilot lengkapnya, lelaki itu terlihat sangat gagah. Itu terlihat dari kata seluruh mata yang memandang lelaki itu.
Saat itu, tidak sedikit yang memuji dan menjadi fans abadinya dalam sedetik.
Di tengah keburu-buruannya itu, ada seorang pramugari cantik yang menghentikan pelarinya dengan cara menggenggam lengan lelaki itu dengan kuat. Sontak, pilot itu langsung melepaskan tangan itu dengan lembut walau hatinya sedikit gusar.
“Ada apa nona Intan? Aku sedang terburu-buru. Maaf, bicaranya nanti saja ya, ibuku sedang sakit. Tolong sampaikan permitaan maafku dengan yang lainnya." Pinta lelaki itu sambil melanjutkan larinya yang terburu buru.
Pramugari cantik itu selalu kesal dengan sifat pilot itu yang selalu acuh padanya.
Padahal mereka sudah saling mengenal selama 2 tahun. Tapi pilot itu sama sekali tidak pernah menaruh hati padanya. Padahal banyak sekali lelaki yang langsung jatuh cinta pandangan pertama padanya. Tapi pilot manis itu, ia sungguh dingin, bagaimana ada laki-laki seperti dirinya?
Dengan keringat yang tak henti-hentinya mengalir hingga membasahi bajunya yang putih. Rambut basahnya yang yang terombang-ambing karena ia berlari. Pilot itu terlihat sangat cemas. Ia terus berlari hingga tiba di pintu keluar bandara. Ia langsung menaiki blue bird dan meminta pak sopir untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat dimana ibunya di rawat.
1 jam kemudian, ia sampai di rumah sakit tempat ibunya dirawat. Pilot itu membayar kepada supir blue bird itu dan langsung berlari masuk ke dalam rumah sakit. Ia mengabaikan panggilan supir blue bird yang ingin mengembalikan kembalian dari uang yang di berikannya.
Dengan seragam pilot lengkapnya kecuali topi yang di genggamannya, membuat semua mata yang ada di sana memperhatikannya dan tak terkecuali. Bibirnya tipis dan ke pink-pink-an itu sedang menarik nafas dengan sesak, hidungnya yang kecil dan mancung tampak mengembang dan mengempis.
Matanya yang coklat terlihat menyipit akibat kekhawatiran yang melanda hatinya.
Pilot itu bertanya kepada suster dimana ruangan vip atas nama Vina Julaiha. Setelah mendapat informasi dari suster itu, pilot gagah itu lanjut berlari dan menaiki lift. Di dalam lift yang cukup ramai, walau dalam keadaan penuh keringat tetapi pilot itu tidak mengeluarkan bau yang tidak sedap. Hanya ada wangi bedak bayi, parfume beraroma soft. Membuatnya terlihat lembut.
Ketika pintu lift terbuka, pilot gagah itu langsung keluar bagaikan sedang menerjang badai. Pilot gagah itu terus berlari hingga sampai di depan pintu ruangan vip. Ruangan momynya di rawat. Pilot gagah itu langsung membuka pintu kamar vip itu dengan keras dan langsung masuk dan beteriak.
“Momy!" teriak pilot itu di depan pintu masuk kamar.
Tetapi, ternyata pilot itu datang saat ada seorang tamu yang sedang bertamu. Tamu itu adalah Niyah dan Amri, yaitu ibu dan ayah Ziva.
“Sulthan... sini sayang," ucap momy. Ternyata nama pilot gagah itu adalah Sulthan. Sulthan memandangi kedua orang yang ada di sisi momynya. Sulthan merasa tidak asing dengan Niyah dan Amri.
“Momy... Momy kenapa? Asam lambung momy naik lagi? Momy jangan banyak fikiran , nanti Sulthan jadi gak fokus," ucap Sulthan dengan khawatir, lalu ia memegangi lengan kurus momynya. Dan menghiraukan kedua tamu yang ada di samping momynya karena telampau khawatir dengan momynya.
“Gak apa-apa, Nak. Sulthan... Sulthan mau momy sembuhkan?" tanya momy tengan wajah berharap.
“Ya maulah, Mom. Apa yang bisa Sulthan lakukan biar Momy sembuh?" tanya Sulthan dengan bersungguh-sungguh.
“Kalau begitu, Sulthan maukan menikah dengan pilihan momy?" tanya momy sekali lagi dengan wajah yang sangat berharap. Sulthan hanya terdiam, wajahnya terlihat datar, tubuhnya kaku, tapi hatinya tak tega untuk menolak momy tercintanya.
"Apa yang nggak bisa Sulthan lakuin untuk momy? Sulthan pasti akan melakukan semuanya,” ucap sulthan walau hatinya agak ragu, karena ia tidak pernah sekali pun memiliki hubungan dengan perempuan, apalagi menikah.
Lalu momy memandangi Niyah dan Amri dengan senyuman bahagianya. Namun, Niyah malah menangis. Setetes air mata keluar dari matanya yang coklat dan besar. Bibirnya berulang kali mengucapkan maafkan umi Ziva dengan sangat pelan.
Tubuhnya menjadi sangat lemas dan lunglai, akhirnya Niyah terjatuh akibat kesedihan yang terlalu berat.
Sulthan terkejut dengan reaksi wanita tua yang ada di sebelah momynya itu. Sulthan langsung menggendong wanita tua itu dan menaikkannya ke atas sofa. Sulthan meletakkan minyak angin pada hidung Niyah. Dan setelah ia terbangun, Sulthan langsung menyuguhkan air putih kepada Niyah. Niyah hanya memandangi Sulthan dengan wajah sedih.
...***...
Sulthan beralih ke suara jatuh yang berasal dari ibu Ziva yang dikenalnya sebagai tamu momynya. Tanpa pikir panjang, ia menggendong wanita itu atau ibu Ziva dan menaikkannya ke atas sofa.
Sulthan meletakkan minyak angin pada hidung Niyah. Dan setelah ia terbangun, Sulthan langsung menyuguhkan air putih kepada Niyah. Dengan wajah sedih, matanya berkaca-kaca dan hidungnya mulai memerah. Hal itu membuat Sulthan bingung.
"Sulthan, kamu ingat, bukan? Dahulu, kita pernah kerumah bu Niyah waktu kamu berumur 12 tahun," Vina terdiam sejenak. Vina sedang bingung bagaimana caranya untuk mengatur kata-kata yang pas.
“Putri bungsu ibu ini yang akan menjadi istrimu, Sulthan. Namanya Ziva!" Ucap Vina dengan semangat, namun nada suaranya tetap terdengar lemah.
Mendengar hal itu, Sulthan sungguh terkejut. Ia ingat dengan nama familiar yang jarang dimiliki orang lain seperti Ziva. Tetapi, kenapa ia tersenyum? Sulthan tersenyum seakan merasa senang. Benarkah ia ikhlas dengan rencana ibunya? Bukankah ia sedikit keberatan?
...***...
Setelah selesai makan, Ziva, ibu dan ayahnya duduk santai di atas sofa.
"Ziva, momy masuk rumah sakit. Katanya asam lambungnya naik lagi. Sebentar lagi, umi sama abi mau jenguk. Ziva jaga rumah ya!" pinta uminya kepada Ziva sambil meminum 3 teguk air putih.
“Iya, Mi. Hati-hati, ya!” ucap Ziva dengan wajah manisnya.
“Iya, Nak. Ziva juga hati-hati di rumah, jangan bukakan pintunya untuk orang lain. Dah, umi pergi ya!" Ucap ibunya.
"Ziva kirim salam sama momy ya, Mi. Semoga momy cepat sembuh," ucap Ziva,
Ibunya menganggukan kepalanya. Ia mulai melangkah ke depan pintu kamarnya. Namun, langkahnya terhenti sejenak. Timbul khawatir di dalam hatinya. Ia takut apa yang selama ini tertunda akan mulai terjadi. Di pandanginya wajah putri bungsunya yang sedang menonton tv. Wajah polos itu, tak rela untuk di lepaskannya kepada orang lain.
Niyah berfikir untuk mengurungkan niatnya ke rumah sakit. Namun, jiwa khawatirnya tak juga hilang. Dan malah bercabang dua. Di satu sisi, Niyah takut apa yang di inginkan Vina mulai di ungkitnya kembali, ia takut Vina akan mencoba untuk mengambil Ziva kembali.
Dan di sisi lain, ia takut persahabatannya dengan Vina akan terputus apabila ia menolak datang ke rumah sakit.
Niyah tak punya pilihan lain. Akhirnya ia mulai bergegas ke kamarnya untuk bersiap-siap. Ia hanya berdoa kepada Allah swt. Supaya apa yang ditakutkannya tak terjadi. Dan bila hal itu terjadi, semoga Allah selalu melindungi Ziva-nya yang malang.
...***...
Tok..tok..tok..
“Siapa?" tanya seorang lelaki bersuara serak namun terdengar begitu tegas, tanpa ada secercah pun keraguan dari pelafalannya.
“Ini Niyah dan bang Amri, Bang. Boleh kami masuk?" tanya ibu Ziva kembali.
“Oh, Niyah, Amri. Mari masuk!" ajak lelaki tua itu sambil membukakan pintu yang awalnya sedang terkunci.
Ibu dan ayah Ziva masuk dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Tibanya di dalam ruangan, Niyah langsung mendatangi Vina yang tengah terbaring lemah. Walau matanya tak tertutup, tapi terlihat di wajahnya yang pucat bahwa ia sedang dalam keadaan lemah.
"Niyah... kenapa kau lama sekali. Aku senang kau datang." ucap Vina. Lalu Vina mandangi sekeliling dan sedang mencari-cari sesuatu.
“Mana Ziva?" tanya Vina dengan wajah sedikit kecewa.
"Ziva di rumah. Dia sangat khawatir sama momynya. Cepatlah membaik dan datang ke rumah kami, biar dia gak khawatir lagi," pinta Niyah pada Vina yang mulai gembira mendengar perkataan Niyah.
“Memang gak salah aku memilih kamu sebagai sahabatku Niyah. Reaksimu selalu membuatku kagum dan bahagia bila bersamamu dan Ziva." Jeda momy.
"Aku sangat percaya padamu, Niyah. Tapi kenapa kau menyembunyikannya?" Vina terus menerka-nerka apa yang akan dikatakan Niyah.
Senyum Niyah mulai hilang dari bibirnya yang coklat dan tipis. Pipinya yang mengerut mulai sedikit basah akibat keringat dinginnya. Alisnya mulai mengerut, bibirnya sedikit gemetar. Niyah tahu kemana Vina akan membawa arah pembicaraan mereka. Kali ini pikirannya beralih ke masalah lain.
"Apa ini? Apa yang tidak aku beritahukan kepadanya?" gumam Niyah dalah hatinya. Sepertinya hatinya sedikit mereda karena berfikir Vina tidak berfikir untuk mengambil Zivanya lagi.
“Niyah, kenapa kau tidak pernah memberitahuku? Apa aku adalah sahabat yang paling tidak pengertian? Bahkan kau bisa merahasiakan kanker payudaramu? Sudah berapa lama? Kenapa kau tidak memberitahuku, Niyah?" ucap Vina.
Dalam hati ibu, ia hanya berfikir, "Bagaimana kau bisa mengetahuinya, Vina?" batinnya.
“Niyah! Jawab aku, apa aku terlalu buruk sebagai kakakmu? Walau dulu kita hanya tetangga, tetapi aku sudah menganggapmu sebagai adikku sejak kita masih kecil. Apakah kau rela membohongi kakakmu ini?" tanya Vina.
“Apa yang harus ku lakukan, Vina? apa? operasi? Kemudian membiarkan Ziva dan bang Amri tunggang-langgang mencarikan biayanya untukku? Aku terlalu egois bila melakukan itu. Aku memang bodoh namun tidak egois. Biarkan aku sendiri yang menanggungnya. Aku akan baik-baik saja. Aku tetap berobat dengan pengobatan tradisional. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja,” ucap Niyah berkaca-kaca.
“Aku tahu apa masalahmu, Niyah. Kau tidak usah berpura-pura, aku akan menanggung semua biaya pengobatanmu, aku juga akan membantumu mengurus Ziva. Dan aku juga akan menyembukan Ziva dengan metodeku." ucap Vina.
Vina terdiam sejenak, mengambil nafas dalam dan melanjutkan kata-katanya, "Nikahkanlah Ziva dengan Sulthan!"
Niyah melototkan matanya menatap Vina yang tersenyum. Begitu pula dengan Amri, ayah Ziva dan Zulkar, suami dari momy.
“Apa maksudmu, Vina?" Tentu saja, Niyah merasa syok mendengar permintaan halus dari Vina.
"Ya, menikahkan Ziva dengan Sulthan,” Vina menghentikan kata-katanya agar bisa merangkai kata-katanya dengan sedemikian rupa.
"Dengan menikahhan mereka, bukannya kita sama-sama bahagia? Aku jadi bisa merawatmu dan kau pun bisa merawat dirimu sendiri tanpa mengkhawatirkan biaya. Aku aku akan merawatmu dan bang Amri. Dan Ziva, biarlah Sulthan yang merawatnya, kita hanya akan mengawasi perkembangan mereka. Dan Ziva, ia bisa bermetamorfosa dan menikmati masa muda berbunganya dengan halal. Bukankah itu indah bagi kita yang melihatnya?”
"Apa begini caramu membuatku luluh? Selamat Vina, selamat! Kau tahu, aku sudah sangat luluh kau buat. Bagaimana kau menemukan cara ini? apakah kau tidak pernah memikirkan persahabatan kita lagi? Segitu inginnya kah kau mengambil Ziva?" Niyah berdiri dari kursi itu.
Vina tetap menjawabnya dengan tenang, "Niyah, cobalah kau pahami. Aku, hanya ingin yang terbaik. Aku tidak ingn membuatmu berfikir aku merebut Ziva. Aku hanya mencoba mencari cara yang terbaik bagi kita semua. Tolong Niyah, sebagai sahabatku, biarkanlah aku melakukan ini untuk kalian. Kumohon!"
Niyah kembali menghela nafas sedih, wajahnya terlihat murung menjawab perkataan yang seharusnya membahagiakan. Niyah menatap Amri untuk meminta persetujuan dari sang kepala keluarga. Mereka berdua menganggukan kepala dan membalas dengan senyuman tipis.
"Baiklah, Vina. Kami... setuju."
Brak...
Terdengar suara gebrukan di luar pintu. Pintu terbuka, dan ada seorang lelaki berumur akhir belasan tahun. Ia sedang menatap momy dengan cemas. Ya, itu adalah Sulthan. Ia ternyata sangat menghawatirkan momynya. Belum lagi Vina menanggapi persetujuan Niyah, sang calon langsung memaski ruangan.
Lalu Niyah menyaksikan adegan ibu dan anak yang telah lama tak bertemu. Sesekali matanya bertemu dengan anak muda itu. Dan ternyata itulah Sulthan, laki-laki yang akan menjadi pemersatu keluaga mereka. Air matanya mulai menetes tanpa di sadarinya. Berulang kali ia menyebut nama Ziva dan meminta maaf.
Sontak, kepala Niyah langsung terasa pusing dan sakit, matanya berkunang-kunang, kakinya bagai tak mampu lagi untuk mengangkat bobot tubuhnya, dan akhirnya Niyah terjatuh tak sadarkan diri di lantai rumah sakit itu.
Saat ia membuka matanya, ia mencium bau minyak angin yang sangat di bencinya. Sejenak, Niyah merasa tenang karena ia berfikir bahwa hal yang baru saja di alaminya itu hanya mimpi. Tetapi, ketenangannya itu buyar setelah melihat seorang anak muda yang memanggilnya. Dan anak muda itu persis seperti yang ada di mimpinya itu.
Di tambah lagi, ia mendengar suara Vina yang tengah berbicara. Tetapi Niyah seolah-olah tidak dapat mendengar yang di katakan Vina. Hanya terdengar suara Vina yang samar. Dan tiba-tiba, Niyah melihat mata anak muda itu terbelalak dan terkejut ketika menatapnya dan bang Amri. Lalu menyalami tangan Niyah.
Niyah kembali memikirkan Ziva. Apakah anak gadisnya itu dapat dan mampu menerima berita pernikahan itu? Niyah tidak sanggup membayangkan perasaan Ziva yang akan ketakutan nantinya. Air matanya menetes, tentu saja tanpa keinginannya. Ia sangat memilih untuk menahan tangisnya di depan seseorang.
Keadaan sempat hening ketika Niyah menangis. Tetapi, Vina mulai membuka mulut lagi. Entah apa yang sedang di pikirkannya. Kata-kata Vina terkadang selalu membuat Niyah bersedih dengan sengaja atau tidaknya.
“Tenang, Niyah. Sulthan tidak akan merenggut masa depannya. Karena Ziva akan tetap sekolah meskipun sudah menikah. Dan Sulthan tidak akan menyentuh Ziva sebelum ia tamat MAN, benarkan Sulthan?" Ucap Vina di tengah-tengah keheningan. Keputusan Vina membuat semua orang terperanjat. Termasuk dengan lelaki muda itu Sulthan
“I, iya, Momy,”
Niyah mengamati calon menantunya. Wajah Sulthan terlihat sedikit merona dan senang. Suaranya ketika menjawab Vina sungguh lembut dan penuh malu-malu.
Niyah menatap keluar jendela, menatap awan biru yang terlihat sangat mendukung. Sebenarnya, hatinya tidak menentang penyatuan putri bungsunya, tetapi naluri keibuannya muncul. Hatinya merasa tidak nyaman ketika melihat perawakan tenang Sulthan. Wajah berseri milik calon menantunya itu sungguh sangat dikhawatirkannya.
Wajah itu, sangat mengkhawatirkan hatinya. Ia takut putrinya terluka, karena apapun faktornya. Tetapi, kekhawatirannya itu tak mungkin dibicarakannya kepada Vina. Karena kekhawatirannya dirasakannya tak mendasar dan tak berbukti ketat.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!