Apa yang paling membuat sedih orang tua setelah anak-anak beranjak dewasa dan mempunyai kehidupan masing-masing?
Bagi wanita berusia lanjut bernama Bu Arum, ditinggalkan dan dibuang oleh anak-anaknya adalah momok menyedihkan. Bu Arum adalah seroang wanita paruh baya berusia 48 tahun, ia baru saja ditinggal pergi oleh suaminya untuk selamanya.
Wanita parah baya itu masih berparas ayu meskipun sudah berusia lanjut, karena ia adalah orang baik di semasa hidupnya hingga cahaya di wajahnya tak pernah hilang. Bu Arum mempunyai dua orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Ketiga anaknya sudah berkeluarga semua, yang terakhir anak bungsu perempuan yang baru saja menikah 3 bulan lalu.
Sayangnya, tak ada itikad baik dari ketiga anaknya setelah kematian sang Ayah. Mereka tidak ingin direpotkan dengan keberadaan ibu mereka di rumah mereka. Anak tertua bernama Yasmin, berusia 27 tahun beralasan suaminya tak mau tinggal dengan Bu Arum dengan dalih suaminya itu ingin bebas dari mertua. Suami Yasmin adalah seroang pengusaha kaya, dan Yasmin menjanjikan akan selalu memberikan uang untuk Bu Arum tanpa bisa membawa Bu Arum ke kota setelah kematian Ayah mereka.
"Maaf ya, Bu. Bukannya Yasmin nggak mau bawa ibu ke rumah Yasmin, tapi Ibu tau sendiri kan sifat Bang Halim... dia orangnya nggak mau diganggu privasi nya. Sedangkan Ibu, kadang suka ganggu Bang Halim dengan pertanyaan 'mau makan apa, menantu? Ibu buatin, ya!"
Bu Arum hanya menunduk pasrah, padahal itu bentuk kasih sayang dan perhatian pada menantu. Memanglah semasih suaminya hidup pun, uang dari anak-anaknya sangat cukup untuk kebutuhan sehari-hari dia dan almarhum suaminya. Namun, bukan hanya limpahan materi yang dibutuhkan Bu Arum namun juga kasih sayang dan perhatian di masa tuanya, seperti dulu saat ia melimpahi penuh cinta dan menyayangi anak-anaknya saat ketiga anaknya masih kecil.
Bu Arum mengangkat kepalanya memandang anak laki-lakinya, Ahmad namanya dan berusia 25 tahun sudah mempunyai istri dan anak berusia satu tahun.
"Maaf ya, Bu. Ahmad juga nggak bisa bawa Ibu ke rumah, soalnya Astri nggak mau hidup sama mertua. Daripada nanti ada apa-apa ke depannya, lebih baik Ahmad berjaga-jaga dari sekarang."
Bu Arum hanya tersenyum, dia mengelus kepala anak laki-laki nya. "Nggak apa-apa, Nak. Bahagiakan istrimu, jangan pernah kamu sakiti hatinya... apalagi lebih mementingkan Ibu daripada istrimu sendiri. Surga memang di telapak kaki Ibu, tapi ridho seorang istri adalah yang terpenting."
Bu Arum menatap anak bungsunya, ia tahu anak perempuan nya yang berusia 21 tahun itu akan berkata tak akan bisa membawanya juga.
"Shanum baik-baik saja, Nak?" tanya Bu Arum, dia malah mengkhawatirkan putri bungsunya itu karena wajah Shanum nampak kelelahan. Ada memar-memar kebiruan di lengan perempuan itu, namun tidak akan terlihat jika tidak diperhatikan lebih teliti.
Sementara Bu Arum sebagai Ibu, hafal betul dengan kesakitan anak-anaknya. Hati seorang Ibu mana yang tidak peka dengan kondisi anak-anaknya. Begitupun Bu Arum, ia tahu ada sesuatu yang terjadi pada putri bungsunya. Suami Shanum tak jauh beda dengan suami Yasmin, seorang pengusaha.
"Alhamdulillah, Shanum baik Bu. Maaf ya Bu, andai Mas Doni mau menerima Ibu... Shanum ingin sekali Ibu tinggal sama Shanum."
"Nggak papa, sayang." Bu Arum mengelus kepala berkerudung sang anak. "Apapun yang terjadi dalam rumah tanggamu, semoga Allah tetap melindungi mu... Nak."
"Aamiin, doa ibu semoga di ijabah Allah." Shanum memeluk sang ibu lalu menangis.
Ketiga anak Bu Arum pun pergi kembali ke kota mereka setelah pengajian untuk sang Ayah selesai, mereka meninggalkan sang Ibu yang kini hanya tinggal seorang diri.
Tahukah, orang yang paling kesepian adalah seorang ibu yang ditinggal sendirian? ia akan merenung, melamun dan sesekali tertawa memikirkan anak kecil yang dulu tumbuh bersamanya kini sudah sibuk dengan keluarga dan dunia masing-masing.
"Semoga kalian bahagia dengan keluarga kalian, anak-anakku." Bulir bening mengalir dari kedua mata Bu Arum.
.
.
.
Dua Tahun Berlalu...
Selama itu pula hanya ada kabar-kabar dari ketiga anak-anaknya tanpa bertemu dan Bu Arum sudah terbiasa. Bahkan sekarang satu persatu kabar dari anaknya pun tak ada lagi, seolah ketiga anaknya memang tak ingin berkomunikasi lagi dengan Bu Arum. Uang dari ketiga anaknya pun sudah tak pernah dikirim lagi, Bu Arum bekerja sebagai buruh cuci untuk makan sehari-hari.
Bu Arum agak gaptek dengan teknologi meski ia bisa menggunakan ponsel namun ia tak mengerti kenapa ia tak bisa lagi menghubungi ketiga anaknya.
Ada seorang pemuda, anak tentang Bu Arum lewat teras rumah. Bu Arum memanggil pemuda itu untuk meminta tolong.
"Bandi, sini Nak! Tolongin Bibi."
"Iya, Bi!"
Bandi mendekati Bu Arum lalu duduk di kursi yang ada di teras. "Mau isi pulsa lagi, Bi? Mau Bandi isiin?"
"Bukan, Nak. Itu... Bibi nggak bisa telepon anak-anak Bibi, di WhatsApp juga centang satu."
Bandi membuka ponsel Bu Arum, ia mengerenyitkan kening mencoba mengirim chat di WhatsApp pada ketiga anak-anak Bu Arum namun semuanya ceklis satu. Bandi memeriksa foto profil ketiganya dan fotonya.
"Waduh, kayaknya ini mah di blokir Bi Arum."
"Di blokir? Kenapa di blokir Nak?"
"Aduh, Bandi kurang tau Bi." Pemuda itu garuuk-garuuk kepala, kasihan sekali pada Bu Arum.
"Udah nggak ada kabar dari mereka bertiga selama dua minggu ini, Nak. Apa Bibi nyusul ke kota, ya?"
"Bibi tau alamat ketiganya?"
"Hanya tau alamat Shanum, kalau alamat Ahmad sama Yasmin... Bibi nggak tau karena nggak pernah dikasih tau."
Bandi merasa iba, gosip-gosip juga sudah tersebar jika ketiga anak Bu Arum sudah tak pernah datang lagi selama setahun ini bahkan di hari Raya Idul Fitri. Bu Arum hanya didatangi para tetangga, karena semua saudara Bu Arum sudah meninggal dunia. Rumor mengatakan, Bu Arum sudah dibuang oleh anak-anaknya.
"Ya, udah. Bandi nanti temeni ke kota ya, Bi."
"Ya Allah, Nak. Semoga Allah mempermudah hidupmu udah mau bantu Bibi, semoga rezeki kamu lancar. Aamiin."
"Aaminn."
Esoknya Bu Arum berangkat dengan menaiki kereta api menuju kota tempat tinggal Shanum, putri bungsunya.
Namun saat tiba di stasiun kota tujuan, Bu Arum malah terpisahkan dari Bandi. Pemuda itu mencari Bu Arum berkeliling stasiun bahkan setelah lewat beberapa jam Bandi melapor pada kantor polisi namun hasilnya nihil, Bu Arum dinyatakan telah hilang.
Disaat yang bersamaan, Ahmad datang ke desa tempat ibunya tinggal dan mendapatkan kabar dari Ibu Bandi yang telah ditelepon oleh Bandi jika Bu Arum telah hilang. Ahmad dibuat kalut, selama ini ia memang kurang perhatian pada sang Ibu karena hasutan dari istrinya namun sekarang ia telah menuai karma sang istri telah selingkuh dengan pria lain.
Dimana kamu Ibu?
Di salah satu perumahan elit di kota, pelayan membawa koper-koper keluar dari rumah. Selama beberapa bulan ke belakang, perusahan suami Yasmin mengalami krisis karena kegagalan dalam bisnis dan akhirnya Yasmin harus merelakan aset-aset dijual untuk menutupi kerugian.
Yasmin memandang rumah besar nan elit yang sudah ia tinggali selama 6 tahun ini sejak ia diboyong suaminya setelah menikah. Dengan tatapan nanar dan tak rela, Yasmin enggan pergi dari rumah yang akan dijual.
"Sudahlah, Mah. Nanti Papa beliin lagi yang lebih besar dari ini, bisnis baru Papa mudah-mudahan lancar. Sekarang yang lebih penting menyelamatkan perusahaan Papa dulu, ayo masuk mobil." Ujar suami Yasmin, Bang Halim.
Yasmin mengangguk pasrah, ia menghapus air matanya. "Semoga bisnis Papa kembali lancar, ya."
Wanita dengan paras cantik itu pun masuk ke dalam mobil, di dalam mobil sudah ada anaknya berusia 5 tahun bersama baby sitter. Ia mengelus kepala putrinya, tiba-tiba ia teringat pada Ibunya.
Di dalam perjalanan, Yasmin ingin membuka blokiran pada sang ibu. Beberapa bulan ini suaminya selalu menekankan Yasmin agar bisa berhemat atau nanti mereka malah hidup miskin. Bahkan sejak menikah, Yasmin mempunyai 2 mobil, sekarang setelah krisis pada perusahaan hanya tinggal satu mobil yang tersisa.
"Kamu masih harus berhemat ya, Mah. Soalnya kerjasama baru Papa entah kapan bisa goal dan menghasilkan keuntungan lagi."
Baru saja Yasmin ingin membuka blokiran, seketika ia urungkan saat Halim bicara. Ia tak ingin membebani suaminya dengan sering-sering memberikan uang pada sang Ibu. Yasmin pikir masih ada kedua adiknya yang memberi uang pada ibunya, jadi hatinya sedikit merasa tenang meskipun beberapa bulan ia tak mengirimkan uang.
"Jalan, Pak." Ucap Yasmin pada supir, Yasmin menghela nafas pelan. Sungguh, bukannya ia tega pada sang Ibu namun ia harus selalu menuruti titah suaminya.
.
.
.
Di kampung, Ahmad menelepon kakak perempuannya dan juga adiknya. Namun telepon darinya tak diangkat, Ahmad memutuskan akan mencari sang ibu ke kota adiknya.
"Bik, saya pergi menyusul Ibu ya. Bibik simpan nomer saya, nanti kalau ada kabar dari Bandi... saya mohon kabari saya."
"Ya Allah, Ahmad. Semoga Allah melindungi Ibumu dimana pun Teh Arum berada."
"Aamiin, Bik. Saya pergi, titip rumah Ibu ya. Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam."
Tak menunggu lama, Ahmad memesan tiket kereta kelas ekonomi sebab semua harta telah dirampas oleh istrinya dan ia hanya mempunyai uang sedikit di dompetnya. Ahmad dan istrinya sedang dalam masa sidang perceraian. Ahmad hanya ingin mempertahankan hak asuh anak, karena sudah terbukti setelah berselingkuh istrinya sering menelantarkan anaknya. Untuk sekarang, Ahmad tak bisa membawa anaknya karena mertua Ahmad melarang.
.
.
.
Bu Arum membuka matanya perlahan, ia memegang kepala yang terasa berat. Tadi ia merasa kepalanya berputar saat menunggu Bendi membeli minum untuknya, sayangnya kegelapan menelan kesadaran Bu Arum.
"Alhamdulillah... kamu sadar juga, Rum." Suara bariton itu terdengar familiar di telinga Bu Arum.
Kenapa aku merasa mengenal suara lelaki ini, setelah berpuluh-puluh tahun... meksipun suaranya semakin terdengar berat?
Bu Arum membuka matanya semakin lebar, seketika ia membulatkan mata karena mengenali pria yang duduk di samping ranjang yang ia tiduri.
"Agam?"
Pak Agam adalah teman sekaligus laki-laki yang pernah dekat dengan Bu Arum saat keduanya di bangku SMP, di desa di zaman Bu Arum hidup 35 tahun lalu masih belum ada sekolah SMA. Maka setelah lulus SMP, Pak Agam dibawa ke kota oleh keluarga laki-laki itu dan putus komunikasi dengan Bu Arum disaat usia mereka 15 tahun.
"Ini benar aku, Agam. Apa kabar kamu, Rum?Kita nggak ketemu udah 35 tahun kalau nggak salah..." lelaki dengan rambut berwarna keperakan bercampur putih itu tersenyum manis masih seperti dulu.
Bu Arum membalas senyum Pak Agam dengan sama ramahnya, sejak dulu lelaki itu memang terkenal dengan keramahannya.
"Masya Allah, Gam. Eh maaf, Pak Agam. Alhamdulillah saya baik, tapi kenapa saya disini? Dimana ini?"
"Di rumah saya, kamu pingsan di stasiun. Kebetulan, saya sedang mengantar rekan bisnis saya. Mereka memakai kereta agar tak terjebak macet menuju Surabaya. Mereka sudah tua, sama seperti kita... jadi butuh perjalanan yang nyaman. Saya memesankan tiket kelas Compartment Suites untuk mereka."
Bu Arum bengong sebab kurang mengerti perihal tiket kereta api, sebab ia datang ke kota menaiki kereta api pun baru kali itu.
"Oh, maaf. Saya malah ngelantur... " Agam terkekeh.
"Ini dimana, Pak?"
"Di rumah saya, tadi saat kamu pingsan saya langsung bawa kamu pulang. Kata Dokter pribadi saya, kamu kecapean dan darahmu rendah."
"Makasih udah nolong ya, Pak."
"Duh, nggak enak dipanggil Pak. Padahal dulu selain saling panggil nama, kita sering ledek-ledekan. Kamu panggil saya Kerdil karena saya pendek... saya manggil kamu cungkring karena kamu kurus kering. Ahaha..." Pak Agam tergelak.
Bu Arum ikut terkekeh, dia baru saja ingin membalas Pak Agam saat seorang gadis melenggang masuk dengan berjalan persis seperti seorang laki-laki alias berperilaku tomboy.
"Ayah! Udah bangun tamu nya?"
Pak Agam menghentikan tawanya, dia melambaikan tangan pada putrinya. "Sini, Nak. Kenalin... Ibu ini__"
"Teman lama Ayah, kan? Yang tinggal di kampung itu, yang Ayah pernah ceritain... kalau kalian berdua pernah jatuh ke sawah karena dikejar anjeeeng!"
Pak Agam semakin mengeraskan tawanya, dia menyentil kening sang putri. "Nggak sopan, langsung ngomong gitu! Salaman dulu... namanya Bu Arum."
Gadis bernama Kaizy Maheswari itu menarik tangan kanan Bu Arum lalu mencium punggung tangan Bu Arum dengan takzim. Meski tomboy, namun Kaizy sangat menjunjung tinggi tata krama yang selalu diajarkan sang Ayah sejak ia kecil.
"Nama saya Kaizy, Bu. Panggil Izy aja... biar lebih gaul."
"Hmmffff!" Bu Arum tak sengaja tertawa, Izy sangat berbeda dengan ketiga anaknya yang bersifat terlalu serius. Tak seperti Izy yang sepertinya humble, ramah serta ekspresif namun gadis itu penuh ketegasan.
"Kalau mau ketawa, yang keras Bu. Nggak ada yang larang, asal jangan tertawa sendirian... nanti dikira orang gila." Ujar Izy membuat Bu Arum melebarkan senyum.
"Cantik, anak baik. Berapa usia kamu, Nak?"
"40 tahun, 20 tahun lagi..."
Plak!
Pak Agam gemas dengan kejahilan sang putri, dia menggeplaakk lengan anaknya. "Sana! Katanya mau main basket!"
"Yoi, Bro!"
"Husss!" Pak Agam melotot, namun ia juga bercanda pada putrinya itu.
"Ohya, Bu. Jangan kemana-mana ya, saya senang ada teman Ayah di rumah ini. Kasihan, Ayah juga kesepian setelah Mama pergi. Izy juga sering berdoa... Ya Allah, datangkan perempuan baik hati buat gantiin Mama Ya Allah. Eh, sekarang beneran dateng. Moga berjodoh ya, kalian berdua. Izy mau bikin tumpeng buat selametan nanti!" jahil lagi gadis itu.
"IZY....!!!" Pak Agam bangkit dari kursi, mengejar putrinya yang ternyata sudah lari terbirit-birit keluar kamar setelah mengerjai sang Ayah.
Bu Arum menutup mulutnya untuk menahan tawa agar tak terbahak-bahak melihat kelakuan absurd dari ayah dan anak itu.
Tiba-tiba seorang wanita cantik berusia sekitar 35 tahun masuk ke dalam kamar, mata wanita itu mendelik tak suka menatap pada Bu Arum.
Wanita yang mendelik pada Bu Arum itu seorang janda bernama Mita, dia adalah adik ipar Pak Agam. Pernah menikah dan akhirnya bercerai satu tahun lalu setelah istri Pak Agam yakni kakak perempuan Mita meninggal dunia tiga tahun lalu.
Ada harapan Pak Agam akan menikahinya setelah ia sengaja bercerai dari sang suami, yang tidak sekaya Pak Agam. Lagipula sejak awal Pak Agam berhubungan dengan kakaknya, ia sudah jatuh hati pada Abang iparnya itu. Sejak ia masih gadis remaja berusia belasan tahun, ia langsung jatuh cinta pada Pak Agam pada pandangan pertama ketika dikenalkan untuk pertama kalinya.
Setelah sang kakak meninggal, Mita merasa mempunyai kesempatan untuk mengambil hati Pak Agam namun ia tak langsung mengincar Pak Agam dan sengaja menunggu selama dua tahun untuk bercerai. Kini, selama setahun penuh ia sengaja bolak balik ke rumah Pak Agam dengan dalih ingin bertemu dan mengurus Izy sebagai Tante dari gadis itu.
"Kamu sebaiknya pergi, jangan lama-lama di rumah ini... nggak baik! Bang Agam adalah seorang pria yang terhormat dan akan jadi rumor yang sangat buruk... kalau kamu tinggal lama di rumah ini. Dimana rumah kamu, biar saya antar pulang."
Tak ada perkenalan, tak ada basa-basi dan tak ada sopan santun. Tiba-tiba saja Mita meminta Bu Arum untuk pergi.
"S-saya..." Bu Arum bingung menjawab.
"Loh, kapan kamu dateng Mit? Kok masuk ke kamar tamu?"
Mita langsung menampilkan wajah fake nya, dia tersenyum manis pada Pak Agam. "Eh Abang! Tadi aku dateng... langsung masuk ke dapur karena haus banget. Pas nyari Bang Agam sama Izy... aku liat kalian berdua keluar sambil lari dari kamar ini. Jadi, aku masuk aja kesini. Nggak tau nya, lagi ada tamu ya Bang. Temen Abang?"
"Saya nggak liat mobil kamu diluar, padahal barusan saya anter Izy sampai ke teras."
"Oh, itu. Aku pakai taksi kesini, mobilku mogok."
Pak Agam mengangguk pelan, "Kamu keluar ya, tamu saya mau istirahat. Saya juga masih ada pembicaraan sebentar dengannya."
Wajah Mita langsung berubah, dia merasa sebal diusir dari kamar dan diminta meninggalkan keduanya berduaan.
"Abang belum ngenalin dia sama aku, loh."
"Oh iya, lupa. Namanya Arum, dia teman saya dulu pas masih tinggal di desa."
Mita menampilkan senyuman sempurna, ia menyembunyikan raut tak sukanya pada Bu Arum.
"Saya Mita, Tante nya Izy. Selama tiga tahun ini, sejak Izy ditinggalkan oleh kakak saya... Izy sangat dekat sama saya. Mungkin udah kayak ibunya sendiri sih... iya kan Bang?" ekspresi Mita penuh harap, kepengen banget diakui oleh Pak Agam.
"Tante ya tetap Tante, kedudukan almarhumah istriku nggak akan pernah bisa tergantikan di hati Izy." Pak Agam menjawab dengan suara dingin, ia tak suka jika Mita membahas ingin jadi Ibu bagi Izy.
Bukannya Pak Agam nggak peka dan malah membiarkan sikap Mita yang sering mengirim sinyal ingin menjadi istrinya. Namun demi Izy, sebab bagaimana pun Mita adalah Tante dari putrinya jadi Pak Agam hanya bisa menolak secara tersirat. Hanya saja entah Mita berpura-pura tak mengerti penolakan halus dari Pak Agam atau memang wanita itu bodoh dan tebal wajah.
"Kamu ingin bertemu Izy, kan? Dia pergi janjian main basket bereng temen-temennya. Kalau nggak ada urusan lagi, sebaiknya kamu pergi!"
Mita semakin marah, tadi dia diusir dari kamar sekarang malah diusir dari rumah.
"Aku dateng... sekalian mau mengingatkan Bang Agam, jangan lupa minum obat kolesterol nya. Aku udah kasih resep sayuran ke bibik, biar masak yang sehat... jangan masak yang digoreng terus. Bibik masak buat Izy, jangan dimakan sama Abang. Inget Bang, kalau kolestrol Abang tinggi lagi... bang Agam bakal nyeri otot kaki dan pegal-pegal. Belum sakit dada dan langsung sesak napas." Mita begitu penuh perhatian, terdengar tulus.
Pak Agam menghela nafas pelan, "Makasih perhatian nya, Mit. Saya bisa jaga kondisi tubuh saya, insyaAllah. Kamu nggak usah repot terus memperhatikan saya... lebih baik kamu mempedulikan kehidupan mu sendiri dan segera menikah lagi. Bukannya Pak Fery ingin menjadikanmu istirnya, lamaran nya... belum kamu terima?"
Wajah Mita kembali berubah masam, yang ia inginkan adalah Agam tapi ia malah disodori ke orang lain. Kebetulan Pak Fery adalah relasi bisnis Pak Agam dan sangat menyukai Mita.
"Aku nggak suka Pak Fery! Ya udah, aku pamit pergi. Ohya, jangan berduaan di rumah apalagi di kamar... katanya, yang ketiga itu setan!"
Setelah mengatakannya Mita membalikan tubuh keluar dari kamar tanpa berpamitan pada Bu Arum atau saking geram nya dia lupa bersikap sopan.
"Pak Agam, saya lupa meninggalkan seseorang di stasiun. Saya mau kembali ke stasiun aja cari dia," Bu Arum merasa tak enak hati, tadi dia disuruh pergi dari rumah oleh Mita dan sekarang ingin pergi dari rumah itu.
"Telepon aja, Rum. Saya ambilkan tas kamu, ya."
Pak Agam mengambil tas kecil milik Bu Arum, ada dompet dan ponsel pemberian Shanum putri bungsunya di dalam sana.
"Ini."
Bu Arum merasa tas nya sangat ringan padahal ada beberapa benda di dalam tas. Ia gegas membuka resleting tas, wajahnya sontak pias karena benda-benda pentingnya telah hilang.
"Ada apa, Rum?"
Bu Arum merogohkan tangan ke dalam tas mencari-cari, jarinya malah tembus keluar. Tas nya sobek di bagian kiri, sepertinya bekas dirobek oleh benda tajam.
"Wah! Kamu kecopetan ya, Rum? Apa sebelum pingsan, ya? Soalnya pas kamu nggak sadarkan diri... saya langsung mengamankan barang-barang kamu, termasuk tas besar milikmu."
"Ya, Allah. Semua nomer anakku, juga alamat Shanum di kota ini. Nak Bandi juga pasti kerepotan cari saya di stasiun, kasihan dia."
"Tenang dulu ya, Rum. Saya akan kembali ke stasiun, atau saya antar kamu kembali ke kampung? Kamu masih tinggal di kampung kita dulu, kan?"
Bu Arum memikirkan nasibnya, jika pun pulang ke kampung dia akan kesepian disana. Apa yang harus dia lakukan?
Apa aku minta pekerjaan saja disini ya sama Agam? Anak-anak pun nggak bisa dihubungi...
.
.
.
Di salah satu Apartemen di luar negeri, Shanum baru saja selesai digauuli sang suami. Banyak memar-memar kebiruaan di sekujur tubuh perempuan berhijab itu, dia bahkan tak bisa meminta tolong pada siapapun. Tak disangka, ia menikah dengan seorang pria yang terus menerus memberikan kekerasan padanya dan seorang hipersekss.
Ibu... aku ingin pulang dan tidur di pangkuanmu!
Brukkkk
Tubuh Shanum sangat lemah, tubuhnya luruh ke lantai di kamar mandi dan ia menangis sejadi-jadinya merindukan rumah dan b3laiann kasih sayang ibunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!