NovelToon NovelToon

LOVED THE OSIS CHIEF

Bab 1

Hari Pertama di Sekolah Baru

Pagi itu, Nadia, siswi kelas 10, memulai hari pertamanya di SMA dengan perasaan campur aduk. Rasa gugup bercampur rasa tidak enak badan membuat wajahnya terlihat pucat. Meski demikian, Nadia tetap berusaha masuk sekolah. Dengan langkah perlahan, ia memasuki kelas barunya. Ia melihat ke sekeliling ruangan yang penuh dengan wajah-wajah baru. Sayangnya, Nadia merasa dirinya bukan bagian dari keramaian itu.

Saat pelajaran berlangsung, Nadia berusaha berkonsentrasi meski tubuhnya terasa lemah. Satu per satu mata pelajaran berlalu, dan Nadia tetap bertahan meskipun kepalanya terasa berat. Namun, saat pelajaran terakhir, tubuhnya tak lagi mampu bertahan. Ia tertidur pulas di mejanya dengan kepala bersandar di lengan.

Namun, ketenangannya tidak berlangsung lama. Cici, siswi yang terkenal julid di kelas itu, mendekatinya sambil mengecap permen dengan suara yang disengaja. "Oi, wanita jelek dan murahan, kenapa kamu?" sindir Cici dengan nada sinis. Semua mata di kelas seketika tertuju pada Nadia yang masih terlelap. Cici, yang tidak senang diabaikan, memukul meja keras-keras hingga Nadia terbangun dengan kaget.

Nadia, yang dikenal sebagai siswi polos dan murah hati, hanya menunduk tanpa menjawab. Sikap diamnya itu justru memancing amarah Cici. Merasa dipermalukan di depan teman-temannya, Cici mendekat dan menarik rambut Nadia dengan kasar. "Mampus lu, bajingan! Kalau orang ngomong, dibalas! Bukannya malah diam, Dek!" bentak Cici sambil memutar-mutarkan rambut Nadia dengan kuat.

Meski merasa sakit hati dan kesal, Nadia memilih untuk tidak melawan. Ia berdiri dengan perlahan dan berjalan keluar kelas menuju kamar mandi. Tapi Cici tidak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan isyarat, Cici memanggil dua teman dekatnya untuk menghentikan langkah Nadia. Kedua gadis itu menangkap tangan Nadia dan mendorongnya dengan keras hingga kepalanya terbentur ke kursi.

Cici dan teman-temannya tertawa puas sambil meludah ke arah Nadia. "Lihat tuh! Enggak bisa berdiri, ya? Mau nangis, Bu? Ahaha!" ejek Cici tanpa rasa bersalah. Tak ada satu pun siswa di kelas itu yang berani menolong. Semua hanya menunduk atau berpura-pura tidak melihat.

Nadia berusaha bangkit meski tubuhnya terasa lemah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar mandi sambil menahan sakit di kepala dan hatinya. Sesampainya di kamar mandi, Nadia membersihkan luka di dahinya dan menghapus bekas ludah yang menempel di wajahnya.

Saat itu, ketua OSIS (Ketos) baru, seorang siswa tampan dan bijaksana bernama Steven, melintas di dekat kamar mandi. Ia melihat Cici keluar dari sana dengan tangan memar kemerahan. Merasa ada yang aneh, Steven mendekati Nadia yang baru saja selesai mencuci wajahnya. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir.

Namun, Nadia hanya menunduk tanpa menjawab. Ia merasa terlalu lelah untuk berbicara. Dengan buru-buru, ia meninggalkan Steven dan berjalan menuju ruang UKS. Luka memar di tangan dan kepalanya semakin membuat tubuhnya lemas, tetapi Nadia tetap menahan air matanya.

Ketika lonceng sekolah berbunyi, semua siswa-siswi berkumpul di lapangan untuk kegiatan rutin. Namun, Nadia tetap terbaring di atas kasur UKS. Dari sana, ia mendengar percakapan beberapa siswa yang membicarakan ketua OSIS baru. Rupanya, pemilihan telah dilakukan dua hari yang lalu, tepat saat Nadia absen karena sakit. Sayangnya, Nadia tidak bisa mendengar nama ketua baru itu dengan jelas.

Tak lama kemudian, Bu Desi, salah satu guru, datang menghampiri Nadia di UKS. "Nadia, belum pulang, Nak?" tanya Bu Desi dengan lembut.

"Iya, Bu. Ini mau pulang, tapi kepala saya masih sakit," jawab Nadia dengan suara pelan.

"Ya sudah, biar Ibu antar kamu pulang," ujar Bu Desi sambil tersenyum.

Nadia akhirnya pulang diantar oleh Bu Desi dengan mobilnya. Dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja, Steven yang sedang mengayuh sepeda melintas dan melihat Nadia di dalam mobil. Namun, Nadia yang terlalu lelah tidak menyadari tatapan Steven.

Sesampainya di rumah, Nadia langsung terlelap di tempat tidurnya. Tubuhnya terasa sangat lelah, tetapi pikirannya masih mengulang-ulang kejadian buruk yang ia alami hari itu.

Keesokan harinya, di sekolah, Nadia pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Saat itu, ia melihat Steven sedang duduk di dekat jendela sambil membaca buku. Ia berusaha berjalan melewati Steven tanpa menarik perhatian, tetapi lantai yang licin membuatnya terpeleset.

Steven, dengan refleks yang cepat, menangkap Nadia sebelum tubuhnya menyentuh lantai. Tatapan mereka bertemu, dan sejenak waktu terasa berhenti. "Sorry, sorry, saya tidak sengaja," ujar Nadia sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Steven.

Tiba-tiba, suara air yang jatuh dari genteng membuat Nadia terkejut. Ia mendongak dan mendapati...

"Ibu Nadia menyiram Nadia dengan air.

'Bangun, Nadia. Ini sudah pagi,' ucap Ibu Nadia dengan nada lembut.

'Ternyata hanya mimpi,' gumam Nadia dalam hati, merasa lega sekaligus bingung dengan mimpi aneh yang ia alami."

Bab 2

Pagi yang indah belum tentu hari yang baik bagi Nadia.

Nadia, siswi kelas 10, memulai hari dengan perasaan yang berat. Meski sinar matahari pagi menerobos jendela kamarnya, membawa kehangatan, ada rasa takut yang tak bisa diusir dari pikirannya. Ia akan kembali bertemu dengan Cici, siswi kejam di kelasnya.

Ibunya, Dewi, mengantarnya ke sekolah pagi itu. Dewi adalah seorang wanita yang penuh kasih, selalu memastikan Nadia memulai harinya dengan semangat. "Baik-baik ya, Nak," ucap Dewi dengan lembut sambil tersenyum, mencoba memberi dukungan.

"Iya, Mom," jawab Nadia dengan nada ceria, meski ia menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya. Nadia tak ingin membuat ibunya khawatir, tetapi bayangan tentang Cici dan perlakuan buruknya terus menghantui pikiran Nadia selama perjalanan menuju sekolah.

Sesampainya di sekolah, lonceng berbunyi, menandakan seluruh siswa-siswi harus segera berkumpul di lapangan untuk upacara. Dengan perlahan, Nadia berjalan ke arah lapangan, berharap dapat melihat ketua OSIS (Ketos) yang baru memaparkan program-programnya. Ia membayangkan bagaimana program-program tersebut akan membawa perubahan positif di sekolah. Namun, khayalan itu segera pupus ketika langkahnya dihentikan oleh suara familiar.

"Mau ke mana, Nad?" ucap Cici dengan nada mengejek sambil mendekati Nadia.

Nadia terdiam, menunduk tanpa berani menatap mata Cici. Ia tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Cici, yang sudah terkenal sebagai siswi yang sulit dihadapi, tertawa sinis.

"Tempatmu bukan di sini, Cok. Tempatmu itu di kamar mandi!" teriak Cici sambil tertawa lebar.

Imel dan Dina, sahabat Cici yang sering ikut-ikutan, segera mendekat. Mereka tertawa senang melihat ketakutan di wajah Nadia. "Seret, masukkan dia ke tempat di mana dia bisa tidur tenang," perintah Cici dengan nada dingin.

Nadia berusaha bertahan, tetapi tubuhnya ditarik dengan kasar oleh Imel dan Dina. Rambutnya dicengkeram kuat, tubuhnya diseret mengelilingi kelas dengan cara yang sangat menyakitkan. Nadia hanya terdiam, menahan air mata. Ia tahu melawan hanya akan membuat mereka semakin menjadi-jadi.

"Udah cukup," kata Cici akhirnya. "Masukkan dia ke kamar mandi!"

Nadia yang sudah lemas, tubuhnya dijatuhkan ke lantai keramik. Rambutnya kembali ditarik dengan keras Nadia hanya bisa mendorong tubuhnya dengan kedua kakinya sambil tergeletak di kramik, berusaha melawan tangan-tangan kejam itu. Dengan kasar, mereka mendorongnya ke dalam kamar mandi dan menguncinya di sana.

Di dalam kamar mandi, Nadia duduk di lantai yang dingin. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak membiarkan air matanya jatuh. Dengan perlahan, ia merapikan seragamnya yang kusut dan berusaha membersihkan dirinya. Ini bukan pertama kalinya Nadia mengalami kejadian seperti ini, tetapi rasa sakitnya tetap sama.

Saat lonceng berbunyi menandakan mata pelajaran dimulai, Nadia memberanikan diri untuk keluar dari kamar mandi. Ia berjalan menuju kelas dengan langkah yang pelan. Ketika masuk, ia langsung meminta maaf kepada guru. "Maaf, Bu, saya terlambat masuk," katanya dengan suara pelan.

"Tidak apa-apa, silakan duduk, Nak," jawab Bu Desi, guru Bahasa Indonesia sekaligus guru BK. Meski dikenal sebagai guru yang peduli, Bu Desi tidak mengetahui perundungan yang dialami Nadia karena Cici dan kawan-kawannya sangat pandai menyembunyikan perbuatan mereka.

Tak lama setelah pelajaran dimulai, pintu kelas terbuka. Steven, ketua OSIS baru yang dikenal bijaksana, masuk dengan percaya diri. "Permisi, Bu. Saya ingin menunjuk salah satu anggota OSIS dari kelas ini," ucapnya dengan nada sopan.

"Oh, iya. Silakan, tunjuk saja siapa yang mampu," jawab Bu Desi sambil tersenyum.

Steven melihat ke sekeliling kelas. Tatapannya berhenti pada Nadia, yang duduk di sudut dengan wajah lesu. Ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Nadia. "Saya memilih siswi yang di ujung sana," katanya tegas.

Ruangan seketika menjadi hening. Semua siswa terkejut, terutama Cici. Ia merasa dirinya lebih pantas menjadi anggota OSIS dibanding Nadia. Dengan nada merendahkan, Cici berdiri dan berkata, "Kenapa milih dia? Dia siswi lemah yang tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini."

Nadia yang biasanya diam tiba-tiba berdiri. Seluruh mata tertuju padanya. Dengan suara tenang tetapi penuh keyakinan, ia berkata, "Menjadi anggota OSIS bukan hanya tentang fisik, lemah atau kuat, tetapi bagaimana kau dapat menjadi contoh bagi orang lain. Orang yang selalu diam bukan karena dia tidak berani melawan, tetapi karena dia tahu bagaimana memanusiakan manusia."

Ruangan kembali sunyi. Kata-kata Nadia membuat semua orang terdiam, termasuk Cici. Bu Desi tersenyum bangga dan berkata, "Steven, pilihanmu tepat. Saya yakin Nadia akan menjadi anggota OSIS yang baik."

"Oh iya, Steven, Nadia jadi anggota OSIS apa?" tanya Bu Desi.

"Anggota OSIS Kedisiplinan, Bu," jawab Steven sambil tersenyum.

Lonceng istirahat berbunyi. Nadia berjalan ke kantin untuk makan. Namun, seperti biasa, ketenangannya terganggu oleh Cici. Cici mendekatinya dengan tatapan sinis.

"Jangan macam-macam ya dengan saya," ucap Cici dengan nada mengancam. "Ibu saya salah satu donatur beasiswa terbesar di sekolah ini. Kau bisa saja dikeluarkan dari sini, gadis lugu."

Nadia tidak mampu melawan. Ancaman itu terlalu besar baginya. Ia hanya menunduk, membiarkan Cici pergi dengan senyum puas.

Hari itu berlalu dengan berat bagi Nadia. Meski telah menjadi anggota OSIS, ia tahu jalan ke depan masih penuh tantangan. Namun, dalam hatinya, ia bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya mampu. Ia ingin menunjukkan kepada semua orang, termasuk Cici, bahwa kekuatan sejati tidak diukur dari fisik atau kekuasaan, tetapi dari keberanian untuk tetap berdiri meski terus dijatuhkan.

Saat pulang sekolah, Nadia kembali diantar oleh ibunya. Dalam perjalanan, ia merenungkan apa yang telah terjadi hari itu. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangannya, tetapi sebuah awal untuk menjadi lebih kuat.

Malam itu, Nadia tertidur dengan kelelahan. Namun, di dalam hatinya ada harapan baru, harapan bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi pribadi yang bisa menghentikan siklus kejam ini dan memberi contoh baik bagi orang lain.

Bab 3

Jam sudah menunjukkan waktunya pergi ke sekolah. Nadia menyiapkan mentalnya karena nanti akan ada pengukuhan ketua OSIS (Ketos) dan anggota OSIS. Dia akan terpanggil di depan seluruh siswa untuk memberikan sedikit arahan bahwa dia kini menjadi anggota OSIS. Apa yang ditunggu-tunggu pun sudah dimulai. Bu Desi memanggil ketua OSIS yang baru itu ke depan umum. Mata Nadia terkejut melihat Steven maju ke depan.

"Hah... dia ketosnya?" ucap Nadia dengan nada keras. Seluruh siswa serentak melihat Nadia. Nadia yang tak percaya akan hal ini, akhirnya maju ke depan. Cici, si julid yang tidak suka melihat muka Nadia, merasa risih karena menganggap Nadia sok cantik. Dia langsung ditarik oleh Imel dan Dina. Kembali seperti biasa, setelah sampai di kelas, Nadia didudukkan di kursi, dan rambut Nadia yang panjang diikat ke belakang kursi. Nadia yang tak mampu melawan kedua sahabat Cici, dan takut akan ancaman tersebut, hanya bisa pasrah.

"Oy, gitar Indonesia, kau pikir kau akan menjadi anggota OSIS? Tentu tidak boleh, Nadia. No, no, no, gadis sepertimu tidak pantas mendapatkan anggota OSIS Kedisiplinan. Aku yang akan maju, Nad," tawa Cici dengan nada mengejek.

Tibalah saatnya Bu Desi memanggil Nadia sebagai anggota OSIS Kedisiplinan. "Saya menukar posisi Nadia, Bu. Dia pergi keluar kota dan katanya dia tak sanggup jadi anggota OSIS," ucap Cici dengan nada penuh kepuasan.

Nadia yang hanya bisa pasrah, kali ini hanya bisa merapikan rambutnya di kamar mandi sekolah. Nadia ingin keluar, tetapi itu semua mustahil karena Imel dan Dina menjaga kamar mandi tersebut dengan ketat.

Upacara pengukuhan OSIS dan anggota OSIS pun selesai. Nadia hanya bisa duduk di kamar mandi sampai sekolah pulang, tak ada yang bisa membantunya.

Lonceng sekolah berbunyi. Imel dan Dina akhirnya melepaskan Nadia. "Keluar, oi," ucap Imel dengan nada kasar, dan Nadia lagi-lagi ditarik rambutnya dengan keras.

Nadia yang hanya bisa diam, pulang dengan rasa kesakitan akibat rambutnya yang begitu banyak rontok dan tak dapat diperbaiki lagi.

Ibu Nadia, Dewi, menghampiri Nadia dengan penuh kekhawatiran. "Kau kenapa, sayang?" Nadia sontak menangis dan langsung memeluk ibunya erat. "Tidak apa-apa, Mom," jawab Nadia, meskipun suaranya terisak. Suara tangisan Nadia yang kuat, terdengar oleh Steven yang sedang mengambil sepedanya untuk pulang. "Steven tidak memperdulikannya terlebih dahulu, mungkin itu adalah hal yang biasa, menurut Steven," pikirnya.

Seketika Nadia menghampiri Steven dan, dengan penuh emosi, memukul Steven dengan tasnya sangat keras hingga membuat memar di kepala Steven. Steven yang terkejut, tiba-tiba memeluk Nadia, mencoba menenangkan gadis yang rapuh ini. Hati Nadia yang rapuh, dalam keadaan tak terkendali, menggigit lengan Steven dengan sangat keras sambil meluapkan air matanya.

Setelah beberapa menit, Nadia melepaskan gigitan tersebut. Tangan Steven yang berbekas gigitan itu berbiru, namun ia tetap diam, hanya menatapnya dalam kebingungannya. Nadia tiba-tiba lari menghampiri motor ibunya dan berkata dengan terburu-buru, "Ma, ayo pulang."

Steven yang melihat luka gigitan tersebut, diam dan selalu menatapnya beberapa menit, membayangkan tangis Nadia dan air mata yang mengalir di lengannya itu. Dia tak bisa melupakan apa yang baru saja terjadi, dan hati kecilnya merasa bersalah atas segala hal yang dialami Nadia.

Steven belum tau apa yang terjadi kepada Nadia, tetapi kesedihan Nadia memberikan Steven sedikit bayang-bayang Nadia.bayang -bayang itu selalu mengingatkan akan kejadian tadi melihat kesedihan dan kesepian di bola mata nadia.

Setibanya di rumah, Nadia langsung masuk tanpa berkata sepatah kata pun pada ibunya. Dewi yang melihat kondisi putrinya yang tampak lelah dan wajah yang masih diselimuti kesedihan, hanya bisa menghela napas. Nadia berjalan menuju kamarnya dengan langkah berat. Ia melempar tasnya ke tempat tidur dan duduk di sudut ruangan, menatap kosong ke lantai.

Pikirannya kembali berputar pada kejadian tadi. Terbayang jelas di matanya bagaimana ia menggigit tangan Steven dengan keras, meluapkan semua emosi yang terkumpul dalam dirinya. Tangan Steven yang berbekas gigitan itu, berbiru dan sakit. Nadia merasa menyesal, namun di sisi lain, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Dia tak bisa mengendalikan diri, kesedihan dan kemarahannya yang begitu tiba -tiba muncul dengan sangat kuat.

Tiba-tiba, air mata kembali mengalir dari matanya. Nadia menatap telapak tangannya, seolah mencoba menggambarkan tangan Steven yang masih membekas gigitan darinya. "Kenapa aku harus melukai dia?" pikirnya dengan suara tercekat. Ia merasa bersalah. Steven, yang seharusnya tak terlibat dalam permasalahan ini, menjadi sasaran emosinya.

Nadia menundukkan kepala, merasa hancur. Tangan Steven, dengan luka gigitan yang masih segar diingatannya, menjadi beban yang berat di hatinya. Ia merasakan betapa rapuh dirinya, seolah segala yang dia hadapi tidak pernah cukup untuk membuatnya merasa kuat. "Aku tidak seharusnya melakukannya," bisiknya pelan.

Namun, meski perasaan bersalah itu terus mengganggunya, Nadia tahu bahwa dia harus belajar menghadapinya. Menghadapi apa yang sudah terjadi dan berusaha untuk memperbaikinya, meskipun sulit. Nadia menggenggam erat tangannya, berharap bisa menemukan kekuatan untuk melangkah ke depan dan tidak lagi terperangkap dalam rasa sesal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!