"Sembilan puluh delapan, sembilan puluh sembilan, seratus." Angela menghitung dalam hati, lompatan ke seratus menggunakan tali skipping berhasil gadis cantik itu selesaikan dengan sempurna.
Pelajaran olahraga kali ini adalah lompat tali di lapangan. Semua siswa diharuskan lompat sebanyak seratus kali menggunakan tali skipping dengan diawasi oleh siswa yang lainnya.
"Apa-apaan lo, lompatan lo itu baru sembilan puluh lima, kurang lima lompatan lagi!" Hardik Mutia, entah punya masalah apa gadis itu dengan Angela.
"Tapi aku sudah hitung sendiri di dalam hati dan udah bener sampe seratus kok." sanggah Angela yang tak terima dirinya dianggap curang oleh wanita berambut sebahu itu.
"Angela bohong pak. Saya hitung lompatan Angela baru sampe sembilan puluh lima kok. Kurang lima lompatan lagi pak." Mutia mengadu pada pak Heru guru olahraga mereka.
"Huuuu..." Seru anak-anak yang lainnya menyoraki perdebatan diantara Angela dan Mutia.
"Sudah, sudah! Kalian ini apa-apaan sih! Kok malah jadi pada ribut begini? Angela ayo lompat lima kali lagi!" perintah pak Heru.
"Tapi pak..." Gadis cantik berwajah blasteran Amerika Indonesia itu tak terima dengan perintah pak Heru. karna itu artinya dia dianggap curang oleh semua orang, terutama oleh gurunya sendiri.
"Cepat lakukan! Atau bapak akan menambah hukumanmu jadi 50 kali lagi." Ancam pak Heru yang mulai hilang batas kesabarannya.
"Iya pak, maaf. Saya akan lompat 5 kali lagi." Patuh Angela walau dalam hati merutuki Mutia dan pak Heru.
Satu...dua...tiga...
Dengan terpaksa Angela menuruti perintah gurunya tersebut. Senyum licik serta penuh kemenangan tersungging dari wajah Mutia.
***
***
Sampai jam pelajaran usai kemarahan masih menyelimuti hati Angela. Gadis cantik itu menunggu angkutan umum di tepi jalan dengan wajah ditekuknya.
"Sayang, pulangnya lewat sana saja ya!" Titah Mutia pada Kenan kala melihat Angela sedang berdiri di pinggir jalan.
"Loh, rumah kamukan ke arah sana." Kata Kenan sembari mengerutkan dahinya.
"Aku mau beli sesuatu dulu di arah sana." Ucap Mutia.
Senyum licik tersungging dari bibir tipis gadis itu kala Angela menatap ke arah dirinya dan juga Kenan. Mutia sangat tahu kalau Angela menyukai Kenan, jadi ia sengaja meminta Kenan untuk lewat di depan Angela dengan tujuan untuk memanas-manasi gadis itu.
"Dasar perempuan licik, bagusnya orang seperti lo mati aja!" umpat Angela kala melihat tingkah Mutia yang sangat menguji kesabarannya hari ini.
BRAAAKKKK!!!!
"AAAAAAKKKK"
Suara jeritan melengking sangat keras, mereka terkejut saat melihat motor yang dikendarai Kenan dan Mutia terlindas oleh sebuah truk tronton besar.
Angela dapat melihat motor yang Mutia dan Kenan kendarai ringsek tak berbentuk lagi dari tempatnya berdiri saat ini. Suasana pulang sekolah yang biasanya menyenangkan, kali ini berubah menjadi mencekam karna tragedi yang terjadi di jalan depan sekolah.
"Ya ampun, ada apa ini?" Angela melangkahkan kakinya menerobos lautan manusia yang berkerumun di sekitar area tempat terjadinya kecelakaan.
"Akkk. Tolong..."
Rintih Kenan kesakitan. Kaki sebelah kiri pria itu berlumuran darah disertai tulang keringnya menyembul keluar, menerobos celana abu yang Kenan kenakan. Sepertinya pria itu terluka cukup parah.
Angela mengalihkan pandangannya ke arah dimana Mutia berada, tubuh gadis itu sudah tergeletak tak berdaya di atas aspal jalanan. Bahkan seragam sekolahnya yang berwarna putih kini telah berubah menjadi merah karna noda darah.
***
***
Sesampainya di rumah, Angela langsung menuju kamarnya kemudian bersembunyi di balik selimut.
"Astagfurullahalazim. Ini pasti cuma kebetulan. Mereka kecelakaan bukan karna ucapan aku." Gumam Angela dengan tubuh yang gemetar ketakutan.
"Angela kamu sudah pulang nak? Kok gak ngucapin salam dulu?" tanya Emily keheranan karna melihat sikap putrinya yang tak seperti biasa.
Biasanya putri cantik Emily itu akan merengek minta makan saat pulang sekolah, bahkan sampai rebutan lauk dengan Jacob sang adik.
"Kamu gak makan dulu nak? Nanti lauknya habis sama adik kamu loh." Ucap Emily lagi.
Namun tak kunjung mendapat jawaban dari Angela, membuat ibu dua anak itu menjadi semakin khawatir dengan kondisi sang putri.
"Angela kamu kenapa nak, apa kamu sakit?" Emily menyibak selimut yang menutupi tubuh Angela.
Terlihat wajah Angela sangat pucat serta keringat sebesar biji jagung membasahi wajah gadis cantik itu.
"Gakpapa kok mah, aku cuma sedikit pusing aja kok. Nanti juga baikan." Balas Angela.
Angela mencoba bersikap tenang karna tak mau membuat sang mama khawatir.
"Ya udah kamu istrirahat ya, nanti mama buatkan bubur untuk kamu." Emily kembali menyelimuti tubuh Angela, kemudian berlalu meninggalkan kamar sang putri.
Drrrd....drrrd....ponsel Angela bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Khalisa sahabat Angela.
"Halo Lis, ada apa?" sapa Angela setelah menerima panggilan telepon dari sahabatnya itu.
"Angela, kamu udah baca info terbaru di grup sekolah belum?" Tanya Khalisa berapi-api.
"Belum, memangnya kenapa?" Sejak pulang sekolah Angela memang belum sempat memeriksa ponselnya karna masih shock dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kenan dan Mutia kecelakaan di depan sekolah. Kenan terluka parah, kakinya sampai patah. Sedangkan Mutia meninggal di lokasi" Beritahu Khalisa dengan suara bergetar.
Bersambung.
"Benarkah?" Angela bersikap seolah tidak tahu apapun, padahal kecelakaan tersebut terjadi tepat di depan matanya sendiri.
"Beneran Angel, masa aku bohong. Kalau kamu gak percaya cek aja di grup WA sekolah" Ucap Khalisa.
"Ok, aku cek grup WA dulu ya Lis, bye." Angela menyudahi teleponnya dengan Khalisa secara sepihak. Kemudian gadis itu memberanikan diri untuk membuka grup WA sekolah. Ada ratusan pesan yang belum terbaca di sana.
Hal pertama yang Angela lihat adalah foto Mutia yang terkapar di aspal jalanan dengan pakaian seragam yang sudah berlumuran darah. Persis dengan apa yang Angela lihat di lokasi terjadinya kecelakaan.
Sebagian besar isi chat tersebut adalah pesan turut berduka cita serta doa untuk Mutia agar meninggal dalam keadaan khusnul khotimah.
"Ini bukan salahku! Ini cuma kecelakaan biasa! Lagipula mana mungkin ucapanku menjadi kenyataan. Aku tidak sehebat itu."
Angela mencoba meyakinkan dirinya sendiri, jika semua yang terjadi adalah murni karna kecelakaan. Tidak ada kaitannya dengan sumpah serapah yang Angela ucapkan.
***
***
Keesokan harinya...
"Angela bangun nak, ini sudah pagi. Kamu gak sekolah?" ucap Emily sembari membuka tirai-tirai yang masih menutupi jendela kamar Angela. Perlahan cahaya matahari mulai menerobos masuk dan tepat mengenai wajah cantik gadis berambut coklat itu. Angela mengerjap-ngerjapkan matanya karna kesilauan.
"Kayaknya aku gak sekolah dulu mah, kepala aku pusing." lirih Angela dengan suara paraunya.
Emily meletakan telapak tangannya di atas dahi sang putri, memang suhu tubuh Angela terasa panas.
"Ya sudah hari ini kamu istrirahat saja di rumah, kalau belum membaik juga nanti kita ke rumah sakit." Kata Emily.
"Iya mah." Balas Angela.
Setelah membenarkan posisi selimut sang putri yang sedikit berantakan, Emily kembali meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam kamarnya.
Namun Angela tidak bisa kembali tidur, pikirannya di selimuti rasa gelisah. Gadis itu kembali membuka grup WA sekolah, di grup Wa tersebut banyak siswa yang mengupload foto sedang melayat ke rumah duka.
"Apa ini?" Angela memperbesar tampilan salah satu foto yang dikirimkan salah satu teman sekelasnya ke dalam grup.
"Inikan Mutia?" Lirih Angela saat melihat sosok Mutia berada di antara kerumunan para pelayat.
"Tapi kenapa punggungnya berdarah dan berlubang?" Tanya Angela dengan dahinya yang mengkerut.
"Seingatku yang terluka itu kepalanya bukan punggungnya." Gumam Angela lagi.
Tidak ada rasa takut sedikitpun saat Angela melihat penampakan sosok arwah Mutia yang tertangkap di salah satu foto yang di upload di grup WA sekolah. Karna Angela sudah terbiasa melihat penampakan mahluk tak kasat mata sedari kecil.
***
***
"Kalian ini tetangga macam apa? Masa sama tetangga sendiri perhitungan?!"
Suara teriakan seorang wanita paruh baya menggema di seisi rumah berukuran besar tersebut hingga sampai ke telinga Angela yang baru saja mengambil air minum di dapur.
"Bukan begitu bu Ratih. sebentar lagi Angela akan masuk kuliah, kami butuh banyak biaya. Jadi mohon maaf untuk kali ini kami tidak bisa meminjamkan uang untuk bu Ratih." Emily mencoba memberi pengertian pada sang tetangga yang hendak meminjam uang kepadanya, namun wanita itu tak mengindahkan ucapan Emily.
"Halah! Emang dasar kalian pelit! Aku sumpahin kalian jatuh bangkrut!" Ratih menyumpahi Emily dan keluarganya karna keinginannya untuk meminjam uang sebesar 30 juta tidak terpenuhi.
Emily bukannya pelit, tapi yang sudah-sudah jika wanita itu meminjam uang berarti sama halnya dengan meminta. Karna setiap uang yang telah Emily pinjamkan kepada Ratih tidak pernah dikembalikan sepeserpun. Yang ada wanita itu terus meminjam lagi dan lagi tanpa ingat untuk mengembalikannya sama sekali.
"Astagfirullah bu Ratih, mulut anda itu jahat sekali! Selama ini aku dan suamiku selalu memberikan uang tiap anda memintanya, bahkan kami tidak pernah mengharapkan uang itu kembali." Ucap Emily di tengah kesabarannya yang masih tersisa.
"Tapi untuk kali ini kami tidak bisa meminjamkan uang pada anda karna kami benar-benar membutuhkan uang tersebut untuk biaya kuliah Angela yang tidak sedikit karna putri kami akan masuk fakultas kedokteran." lanjut Emily lagi masih tetap dengan nada yang tenang, tak terpancing amarahnya sedikitpun oleh tingkah Ratih.
"Angela! Angela! Alasan saja. Aku sumpahin anak itu jadi perawan tua!" Rutuk Ratih.
Mendengar namanya disebut-sebut, Angela mengurungkan niatnya yang semula akan kembali ke kamar. Kemudian Angela mengintip ke arah ruang tamu dari kejauhan.
"Anda jahat bu Ratih! Tega anda menyumpahi putriku sekeji itu!" pekik Emily dengan air matanya yang mulai mengalir karna mendengar ucapan Ratih.
Angela tak terima melihat sang mama menangis, hingga tanpa sadar gadis itu mengucapkan sesuatu dalam kemarahannya.
"Harusnya manusia seperti bu Ratih tidak bisa berbicara, karna setiap ucapannya hanya bisa menyakiti hati orang lain saja!" ucap Angela. Gadis itu terus memperhatikan perdebatan antara sang mama dengan tetangga mereka yang tak tahu diri itu.
"Sebaiknya anda pulang saja bu Ratih, percuma anda berkata apapun karna kami tidak akan memberikan uang yang anda minta. Apalagi uang itu akan anda gunakan untuk membeli sepeda motor untuk Iqbal. Biaya kuliah Angela jauh lebih penting daripada itu. Lagi pula Iqbal itu baru kelas tiga SMP, tidak semua keinginannya harus anda turuti!" ucap Emily sembari mengelus dadanya sendiri.
"Terserah anda saja! Memang dasarnya kalian pelit!" umpat Ratih sebelum meninggalkan kediaman keluarga Anderson.
Bersambung.
Suasana rumah menjadi sunyi usai Ratih pergi dari kediaman keluarga Anderson. Karna Emily dan Angela tengelam dalam pemikiran mereka masing-masing.
Hingga tanpa terasa hari mulai berganti gelap dan tibalah waktu untuk makan malam. Seperti biasa Angela dan Jacob akan berebut ayam goreng buatan sang mama tercinta hingga suasana makan bersama keluarga kecil itu kembali terasa hangat.
"Kakak, itu punyaku!" Jacob tak terima kala sang kakak berhasil mendapatkan paha Ayam yang menjadi incarannya.
"Siapa cepat dia yang dapet! We..." ledek Angela sembari menjulurkan lidahnya ke arah Jacob, Angela tak pernah tahan untuk menggoda adik kesayangannya itu.
"Angela, Jacob. Makan yang benar sayang! Jangan berisik di meja makan! Tidak sopan!" nasehati Emily dengan mata yang mebelalak tajam pada kedua anaknya yang sudah seperti Tom and Jerry. Namun bukannya takut kedua kakak beradik itu malah gemas saat melihat sang mama marah dengan wajahnya yang memerah.
"Mama tambah cantik deh kalau lagi marah." ucapan Angela berhasil menerbitkan kembali senyuman yang sempat hilang di wajah cantik ibu dua anak itu.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum..."
Suara ketukan pintu menghentikan canda tawa mereka.
"Itu kayak suaranya si Iqbal, mau ngapain dia malam-malam datang ke rumah kita?"
Angela sangat hapal dengan suara anak tetangganya yang paling nakal di kompleks tersebut.
"Mau minta paha ayam kali kak." sahut Jacob sembari tertawa cengengesan.
"Hust! kalian itu!" Peringati Edward yang baru saja tiba di ruang makan.
"Kalau ada orang mengucapkan salam kalian harus menjawabnya, karna hukumnya wajib. Ini malah asik sendiri!" nasehati pria berahang tegas itu pada kedua buah hatinya.
"Maaf pah." sesal Angela dan Jacob sembari menundukan kepalanya.
"Bukain pintunya gih!" titah Angela kepada sang adik Jacob Anderson.
"Dih ko aku? Kakak aja sana!" balas Jacob dengan kesal, karna Angela selalu bertingkah so bossy terhadapnya.
"Sudah! sudah! Biar mama saja yang buka pintunya. Kalian jangan bertengkar lagi ya!" Emily bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju pintu utama.
Ceklek
Emily membuka pintu berbahan kayu jati dengan ukirannya yang indah itu untuk melihat siapa tamu yang datang.
"Iqbal, ada apa malam-malam datang ke sini nak?" tanya Emily dengan ramah pada bocah berusia 14 tahun itu.
"I-ibu tante, d-dia mendadak sakit saat sedang m-makan malam." jawab Iqbal dengan terbata.
"Sakit? Bukannya tadi siang bu Ratih terlihat sangat sehat. Bahkan ia bisa menyumpahi keluarga kami dengan lantangnya." Gumam Emily dalam hati.
Emily malah melamun, membayangkan kejadian tadi siang saat Ratih marah-marah dan menyumpahi keluarganya terutama Angela.
"Ibu kamu sakit apa nak?"
Tanya Edward yang kini sudah berdiri di samping sang istri yang masih asik merenung.
"Gak tau om dokter, sakitnya aneh. Aku disuruh bapak untuk memanggil om dokter ke rumah untuk memeriksa kondisi ibu." Ucap Iqbal dengan napas terengah-engah.
"Lebih baik kita lihat kondisi bu Ratih secara langsung ke rumahnya aja pah." saran Emily, dan langsung disetujui lewat anggukan kepala oleh Edward.
"Baiklah, papa ambil peralatan kedokteran dulu." kata Edward. Setelah mengambil alat kedokterannya, Emily dan Edward bergegas menuju rumah Ratih yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari rumah mereka.
"Tunggu aku ikut." Teriak Angela seraya berlari menyusul kedua orang tuanya.
"Eh kak, ko aku ditinggalin sendiri sih!" Jacob bergidik ngeri saat menyadari kalau hanya tinggal dirinya saja yang masih berada di ruang makan tersebut.
"Siapa bilang kamu sendiri, tuh ada si Junior kok yang nemenin kamu di rumah." Cicit Angela sembari tertawa renyah.
"Iihhh ngeri..." pekik Jacob. Bulu kuduknya terasa merinding semua kala kakaknya itu menyebut nama Junior. Junior adalah hantu penghuni rumah dengan wujud anak kecil keturunan belanda yang menjadi teman gaib sang kakak sedari kecil. Dan tentunya hanya Angela yang mampu melihat Junior.
***
***
Tak sampai lima menit kini Edward dan keluarganya telah sampai di kediaman Ratih. Tetangga yang lain juga sudah lebih dulu ada di sana untuk melihat kondisi wanita paruh baya itu secara langsung.
"Pak Irwan, bu Ratih sakit apa?" tanya Edward kepada Irwan suaminya Ratih.
"Gak tau pak dokter, tiba-tiba sudah begitu." jawab Irwan sambil menunjuk ke arah sang istri yang sedang terbaring lesu di atas sofa dengan mulut yang miring seperti orang terkena gejala stroke.
"Ratih mendadak tidak bisa bicara, padahal sebelum makan malam dia terus mengoceh tak ada hentinya" Irwan menjelaskan kondisi sang istri pada Edward.
"Apa? Terjadi lagi!" Batin Angela dengan mulutnya yang menganga.
Gadis bermata biru itu menatap kondisi Ratih dengan penuh tanya.
"Apa mungkin bu Ratih seperti ini karna ucapanku tadi siang?" Tanya Angela pada dirinya sendiri.
"Gak mungkin. Ini pasti cuma kebetulan aja." Jawab Angela pula.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!