"Ayahmu masuk rumah sakit, kamu langsung ke Jakarta sekarang"Eva mengerutkan keningnya ketika pesan dari nomor yang tidak dikenalnya masuk, pesan ini membuat jantungnya berdebar tak nyaman.
Ting
Sebuah notifikasi tiket pesawat yang sudah dipesan muncul setelahnya, semakin membuat jantung Eva tak karuan. Penerbangan jam empat sore, Eva menatap jam di dinding, sekarang sudah mau masuk waktu Dzuhur.
Eva berusaha menghubungi nomor cantik pemberi kabar tak menyenangkan itu tapi tidak diangkat, dia juga berusaha menghubungi nomor ayahnya tapi nihil, hanya operator yang menjawab dengan setia.
"Kenapa Va?"Sandy menatap wanita yang bengong dengan tatapan di ponselnya penuh kekhawatiran."Va... Eva"Eva tersadar dari lamunannya begitu suara Sandy meninggi.
"San, aku harus ke Jakarta sekarang, ayahku masuk rumah sakit.."Tiba-tiba Eva panik, ayahnya adalah keluarganya satu-satunya, kemarin mereka masih melakukan komunikasi bahkan ayahnya masih sempat bercanda dengannya, mengapa sekarang malah masuk rumah sakit?
"Ayahmu... Pak Irawan?"Sandy membolakan matanya tak percaya.
"I'iya... Aku baru saja mendapat kabarnya..."Eva makin gugup, bangun dari kursi dengan tergesa-gesa, matanya sudah berkaca-kaca."Aku menelpon taksi dulu, siapa kira-kira yang siap berangkat sekarang"Tangan Eva gemetar.
"Tenang Va... Jangan panik, aku yang akan antar kamu ke bandara, yaa... Kamu tenangkan diri dulu"Bujuk Sandy melihat Eva yang panik.
"Ya... Ya sekarang San, pesawatnya jam empat sore, kita harus berangkat sekarang agar tidak terjebak macet"Desak Eva
"Kamu sudah pesan tiket?"Sandy terkejut
"Bukan... Tiketnya sudah dipesan dari sana"
"Gimana bajumu, kita ke rumah dulu buat ambil bajumu, gimanapun juga pasti kamu bakal tertahan beberapa hari disana kan?"
"Udah nggak sempat San, kita keburu macet. Sekarang sudah setengah satu dan aku sudah harus naik pesawat jam empat. Kamu tau kan macetnya perjalanan "
"Baik-baik, kita berangkat sekarang. Tapi apa kamu nggak perlu mandi dan ganti baju?"Sandy menatap penampilan Eva yang begitu santai.
"Nggak sempat lagi, kita berangkat sekarang masalah baju akan dipikirkan nanti"Eva menolak.
Sandy hanya bisa menghela nafas berat, beginilah sifat Eva jika sedang memburu waktu, dia akan lupa dengan penampilannya dan masa bodoh dengan itu.
Keluar dari rumah makan, mereka langsung menuju sebuah mobil berwarna pink muda dengan kapasitas empat penumpang itu dan meninggalkan pelataran rumah makan.
"Apakah bisa sampai sebelum jam empat?"Tanya Eva panik
"Serahkan padaku, sebaiknya kamu tidur. Aku nggak tau apa kamu masih bisa tidur disana atau akan begadang karena menjaga ayahmu"Saran Sandy namun Eva hanya menggeleng pelan.
Bagaimana dia bisa tidur sementara kondisi ayahnya belum dia tau seperti apa. Nomor yang menghubunginya tadi sepertinya sedang dimatikan karena tidak ada jawaban sama sekali.
Benar-benar orang yang menyebalkan, dia memberi kabar yang menggantung perasaan Eva hingga membuatnya menderita.
***
Rumah sakit terasa sunyi dan dingin begitu Eva memasuki ruang ICU, lelah karena perjalanan tidak dirasakannya karena kekhawatiran melampaui rasa lelahnya.
Pandangannya menyapu wajah yang begitu familiar, Irawan... Yaa.. Itu adalah ayahnya, pria yang terbaring tanpa bergerak itu adalah cinta pertamanya.
"Nona.. Maafkan kami. Sudah mengupayakan yang terbaik untuk ayah anda, tapi kuasa Tuhan tidak bisa kami hindari, kondisi Tuan Irawan sangat parah"Dokter dan perawat yang berada diruangan menunduk penuh penyesalan..
Eva terdiam cukup lama, tidak bisa merespon dengan jelas maksud perkataan dokter sampai salah satu perawat menepuk bahu Eva dengan lembut.
"Maafkan kami."Ucapnya pelan"Kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya"
Hati Eva seperti dipukul sesuatu, begitu sakit hingga nyeri itu menembus bagian belakangnya membuat nafasnya sesak, ada sebuah beban berat yang menindihnya hingga tiba-tiba dia tak sadarkan diri.
Para dokter yang tidak mengetahui kondisi Eva, sontak terkejut begitu melihatnya sudah dalam dekapan seorang pria yang begitu mereka kenal masuk bertepatan dengan jatuhnya Eva.
"Tuan Aksa.."Dokter menyapa takzim.
"Siapkan kamar untuknya"Dingin suara Aksa
"Mari Tuan..."
Masih dalam pelukan pria yang mereka sebut Tuan Aksa, dia membawa Eva keluar dari ruang ICU dan berjalan menuju ruangan lain.
"Tuan... Baringkan saja dia disini"Seorang perawat menunjuk salah satu brankar yang kosong.
Ekspresi Aksa tak berubah begitu meletakkan Eva di tempat tidur, dokter membuka kancing atas kemeja Eva agar membuatnya lebih leluasa bernafas, membuat Aksa memalingkan wajahnya.
"Nona ini sepertinya shock dan kelelahan, kondisi tubuhnya lemah"Ucap dokter wanita itu memecah kesunyian.
"Rawat dia hingga pulih lebih cepat"Nada Aksa terdengar dingin dan datar.
"Akan saya usahakan Tuan"
"Pindahkan ke kamar lain yang lebih baik"Lagi-lagi dokter itu mengiyakan.
Aksa keluar dari ruang perawatan Eva lalu kembali ke ruang ICU dimana jenazah Irawan masih disana. Berbagai peralatan medis yang sebelumnya terpasang, kini sudah dilepas semuanya.
Aksa menatap pria yang terbaring kaku itu dengan tatapan rumit, begitu banyak kenangan bersama sosok yang kini telah tiada, baginya Irawan merupakan sopir terbaik di keluarganya, dia begitu setia hingga rela mengorbankan nyawa demi menyelamatkan dirinya.
Andai Irawan tidak meminta sesuatu yang keterlaluan diakhir hidupnya dia akan menganggap Irawan sebagai pria yang paling berjasa. Tapi kejadian pagi tadi menghapus semua rasa hormatnya, bagaimana pria yang sekarat itu bukan hanya meminta dia menjaga putri satu-satunya tapi malah memintanya agar dijadikan istri.
Bagi Aksa, semuanya tidak keterlaluan jika Irawan memintanya memberi santunan kepada putrinya, dia siap memberikan jumlah yang bisa membuat putrinya hidup enak selama sisa hidupnya.
Tapi menikah...
Sialnya lagi, ayahnya yang pemilih itu bahkan ikut memaksa dan memberi restu.
"Nikahilah putri Irawan seperti permintaanya, dia telah menukar nyawanya untukmu dengan pernikahan ini"Ucap Tuan Faisal pagi tadi.
"Bagaimana papa bisa begitu mudah menyetujuinya? Pa..menikah bukan perkara yang bisa diputuskan secepat ini"Protes Aksa.
Tuan Faisal menepuk bahu putranya seraya menghela nafas."Papa tau keputusan menikah ini seperti hidup dan matimu, tapi ini permintaan orang yang sekarat, sekarang begini saja dulu nanti kedepan akan dipikirkan kembali"
Klek
"Tuan... ambulance untuk membawa jenazah sudah siap"Danar, sopir keluarga yang lain memberi tahu. Membuyarkan lamunan Aksa pada peristiwa pagi tadi.
"Tunggu sampai putrinya bangun"Sela Aksa. Gadis itu baru saja tiba beberapa menit yang lalu dan langsung pingsan begitu melihat ayahnya sudah tiada. Gadis yang wajahnya belum dia lihat dengan jelas, gadis dengan penampilan yang begitu biasa saja dan gadis yang sama yang telah dia nikahi beberapa jam yang lalu.
Sungguh takdir yang datang bagai sebuah lelucon, dia yang kemarin berusia dua puluh sembilan tahun, yang dikatakan jomblo akut, tiba-tiba saja sudah beristrikan gadis desa putri dari sopir keluarganya.
Apa nanti kata dunia jika berita ini tersebar?
"Ayah...."Pintu tiba-tiba terbuka dan suara lirih perempuan memenuhi pendengaran Aksa membuat darahnya berdesir seketika dan tubuhnya menegang.
Aksa menoleh dan mendapati wajah gadis yg begitu terpukul, air mata berderai di pipinya tanpa bisa ditahan.
"Ayah..."Sekali lagi panggilan lirih dari bibir Eva yang disertai dengan isakan tertahan memenuhi ruangan.
Eva berjalan dengan langkah goyah, kakinya serasa diseret paksa, dia harus mendapati kenyataan bahwa ayahnya telah tiada.
"Ayah bangun..."Eva memegang ujung selimut yg menutup tubuh ayahnya dengan erat. Buku-buku jarinya memutih dan tubuhnya gemetar."Ayah...." Dia sangat ingin mengatakan banyak hal, ingin protes, ingin curhat, tapi pria itu sudah tidak merespon dirinya lagi.
'Ayah... Apa yang harus aku lakukan? Ayah berjanji akan melindungi ku dengan segenap jiwa, Ayah berjanji akan menjagaku selamanya... Tapi mengapa jadi begini? Aku telah kehilangan orang yang aku cintai, lalu mengapa ayah juga akhirnya pergi?
Ayah... Mana janjimu?
Mengapa ingkar janji padaku?
Eva ingin menyuarakan banyak keluhan, tapi semua tertahan di tenggorokannya Hinga dia hanya bisa terisak.
"Non... Jenazah ayah non, sudah harus dibawa pulang"Danar menyela tangisan Eva setelah hening selama beberapa saat. Barulah saat itu Eva menyadari jika ada orang lain selain dirinya dan ayahnya di ruangan itu.
"Pak.. Ayah saya mau dibawa kemana? Disini dia tidak punya rumah. Aku... Aku akan membawa ayahku pulang ke Manado, aku..."Eva tiba-tiba sadar bahwa dia harus mengurus kepulangan ayahnya.
Yaa... Ayahnya harus pulang ke kampung halamannya, neneknya harus diberitahu bahwa ayahnya sudah tiada dan perlu menyiapkan prosesi pemakaman.
"Di... Dimana ponselku?"Eva mencari dengan bingung begitu menyadari bahwa tas selempang dan ponselnya entah berada di mana.
"Nona..."Danar memanggil tak berdaya melihat Eva yang bingung, dia melirik Tuan Aksa yang hanya diam sambil menatap Eva dengan raut dingin seperti biasanya.
"Pasti diruangan yang tadi..."Eva keluar dengan cepat menuju ruangan dimana dia tidur tadi.
"Ayahmu akan dimakamkan di sini"Suara bariton menghentikan gerakan Eva yang saat ini sedang membuka ponselnya " Dia akan dimakamkan di pemakaman keluarga Permana"
Eva menatap pria tampan namun dingin di depannya. Pria itu tinggi menjulang dan dia hanya sebatas dada pria itu hingga dia harus mendongak. Mereka saling menatap selama beberapa waktu.
"Saya adalah satu-satunya keluarganya, tidak ada yang akan menziarahinya jika saya kembali ke Manado"Sela Eva pelan.
Aksa menatap tajam gadis didepannya yang saat ini berstatus istrinya, dia mendengus benar-benar tak menyangka dia harus memiliki istri dadakan dibawah standar. Jika bukan karena pesan ayahnya bahwa Irawan harus dimakamkan di pemakaman keluarga, Aksa pasti tidak akan capek-capek mengurus hal ini.
Bagaimanapun juga kematian Irawan karena dirinya. Kalau di pikir-pikir ada bagusnya juga putrinya membawa pulang, dengan demikian mereka telah putus hubungan. Tapi dia bukan pria bajingan yang akan ingkar dengan janjinya.
"Pemakaman keluarga sudah ada yang mengurus, jadi makam Pak Irawan terjamin kebersihannya"Ucap Aksa akhirnya dengan sedikit masam.
Hati Eva agak tak nyaman melihat sikap Aksa, pria itu terlihat tidak ikhlas menawarkan diri untuk mengurus ayahnya, tapi auranya yang mendominasi membuatnya sulit untuk membantah.
Lagi pula dia belum tau berapa biaya pengiriman jenazah dari Jakarta ke Manado. Dia sendirian di kota besar ini dan akan sulit mengurusnya seorang diri.
"Pak Irawan sudah berjasa kepada keluarga kami... Lagi pula kuburnya sudah siap, besok beliau akan dimakamkan. Aku harap tidak ada perdebatan disini"Aksa menambahkan lagi seolah memiliki ke khawatiran lain jika dia tidak menjelaskan.
Eva menghela nafas berat, dia mengangguk setuju. Dia bukan orang keras kepala yang mendahulukan egonya, jika dimakamkan di pemakaman keluarga Tuan ayahnya adalah yang terbaik, maka dia tidak akan berebut dengan hal itu.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!