Bab 1-
"Dasar anak nakal!"
Gadis berambut hitam yang diikat kuda itu hanya bisa menghela nafas mendapati ibu tirinya kembali marah-marah karena kelakuan adik perempuannya yang gemar sekali mencuri.
"Ini semua salah ibu! Seandainya ibu tidak menikahi pria itu, mungkin kita masih bisa hidup tanpa kekurangan seperti ini!"
Lagi dan lagi, entah berapa lama Rere bisa mendengar perkataan yang seolah-olah menyindir dirinya. Selama ini Rere tidak mengenal dengan baik siapa ibu kandungnya, namun Ayahnya menikah lagi dengan janda satu anak bernama Julie.
Awalnya keluarga mereka tidak berada diambang kemiskinan seperti ini. Karena sang Ayah adalah pengusaha tembikar sukses, namun karena Ayah terserang penyakit uang mereka justru habis karena berobat, bisnis tembikar mereka juga terpaksa tutup karena tidak ada yang bisa mengelolanya.
Rere bangkit setelah memasang kembali sepatunya. Yah, dia sudah biasa menjalani hidup seperti ini. Suatu hari nanti, dia tidak akan tinggal bersama Julie dan Hanah.
Rere juga sadar diri untuk terus tidak merepotkan mereka. Sembari melirik jam tangannya yang sudah usang, Rere langsung berlari menyadari dirinya sudah terlambat untuk bekerja.
"Rere!"
Gadis itu menghentikan langkahnya, kemudian menyengir mendapati seorang pria paruh baya menatap sengit ke arahnya.
Mister Collin geleng-geleng kepala.
"Akhir-akhir ini kamu sering sekali terlambat ya Re."
"I-itu tidak benar pak, saya tadi jatuh dan kaki saya terkilir-"
"Alasan klasik, mana ada orang yang setelah terjatuh dengan kaki terkilir, bisa berlari sekencang itu?"
Rere menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kalau sudah ketahuan seperti ini, maka dia tidak bisa lagi menyembunyikannya lebih lama.
"Maafkan saya pak, saya menyadari kesalahan saya, dan berjanji tidak akan terlambat."
Mister Collin menghela nafas, "Sudah, kamu bisa kembali bekerja disana."
Rere menganggukkan kepalanya semangat kemudian bergegas mengambil barang-barang yang harus dia antar. Menekuni pekerjaan sebagai kurir pos seperti ini sudah biasa bagi Rere.
"Hari ini Eros tidak masuk, jadi kamu akan menggantikannya mengirim paket serta surat di sekolah luar biasa yang ada di pinggir kota."
Rere hendak protes, pinggir kota Spans? Itu jauh sekali, dan bahkan bahan bakar kendaraannya tidak akan cukup untuk kesana, kecuali Rere mengisinya kembali.
"Ada uang bensin tambahan?"
"Tidak ada! Gaji kamu saja saya potong karena sering terlambat," balas Mister Collin galak.
Mau tidak mau Rere hanya bisa mengalah. Kemarin dia tidur terlalu larut setelah menyelesaikan shiftnya di minimarket dekat rumah, sehingga dia sering sekali datang terlambat.
Sudah jatuh, tertimpa tangga, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi dari Rere. Gadis itu tanpa sengaja hampir menabrak seorang pria yang berjalan menggunakan tongkatnya.
"Aduh, maaf sekali, maafkan saya. Tadi saya terlalu terburu-buru sehingga-"
Pria yang mengenakan kacamata hitam itu mengangkat tangannya, seolah-olah meminta Rere untuk diam.
"Tidak apa-apa," balasnya dingin.
Saat Rere hendak berbalik, barulah dia sadar kalau pria itu tidak bisa melihat. Pria di depannya ini buta. Rere terkejut bukan main karena menabrak pria buta.
Namun saat kacamata hitam pria itu terjatuh, Rere terdiam sejenak dengan wajah terpesona. Pria itu tampak tampan dengan iris mata berwarna abu. Tatapannya lurus dan kosong, tangannya bergerak mencari kacamata hitam saat menyadari sesuatu membuat matanya terganggu.
"A-anda tampan sekali," ucap Rere tanpa sadar.
Pria itu berkedip sejenak, "Kembalikan kacamata saya."
"Maaf," balas Rere kemudian memberikan kacamata hitam milik pria itu langsung di atas tangannya.
"Lutut anda terluka, mau saya obati dulu?"
"Tidak perlu, tinggalkan saya segera," balas pria itu dingin.
Rere bergidik, tidak disangka kalau pria tampan yang berhasil membuatnya terpesona ini, mempunyai sifat yang dingin seperti kulkas satu pintu. Namun saat melihat pria itu menjauh, entah kenapa Rere merasakan sesuatu yang aneh dari dalam dirinya. Jantungnya berdebar, dan setelah itu Rere terus memikirkan pria tadi.
Iris mata berwarna abu-abu selalu berhasil membuat Rere terpesona. Apalagi saat dia mengetahui bahwa pria tadi adalah salah satu guru kontrak di sekolah luar biasa yang terletak di pinggir kota.
Sungguh sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka. Rere jadi semakin penasaran dengan pria itu, karena ketika dia mengajar, dia justru terlihat seperti pria yang baik dan perhatian, apalagi dihadapkan dengan anak-anak.
"Rere, sedang apa kamu disana?" Seseorang menegur Rere yang sedang mengamati bagaimana pria itu mengajar murid-muridnya.
"Ah, selamat pagi ibu kepala sekolah," sapa Rere ramah, namun terdengar sedikit kikuk.
Dia baru saja ketahuan sedang memata-matai pria tampan yang menjadi salah satu pengajar di sekolahnya.
"Sa-saya ingat ada paket yang belum saya kirimkan. Jadi saya harus mengirimkannya sekarang," ucap Rere yang untungnya langsung dipercaya oleh sang ibu kepala sekolah.
Rere memilih kembali bekerja, namun saat jam istirahat tiba, dia akan kembali mampir untuk melihat pria itu.
Saat ini Rere bisa melihat pria itu duduk di bawah pohon rindang, dengan sekotak bekal yang ada di tangannya.
Seseorang tiba-tiba lewat, "Re, sedang apa kamu disini?"
Rere terkejut bukan main, apalagi mendapati Eros, rekan kerjanya ternyata sedang mengantarkan paket ke sekolah ini.
"Ho astaga! Kamu membuatku terkejut Eros," ucap Rere.
Eros mengernyit, kemudian mengikuti arah pandangan Rere. Tidak lama setelah itu Eros terkekeh menyadari siapa pria yang berhasil menjadi incaran hati si gadis tengil seperti Rere.
"Dia Pak Rion, salah satu guru disini yang punya kondisi khusus."
Mata Rere seketika berbinar, "Namanya indah sekali, pantas saja dia sangat tampan."
"Yah, setahuku dia adalah orang pendiam yang hanya ramah terhadap anak-anak," ungkap Eros yang entah kapan sudah mengambil tempat disamping Rere.
Duduk sambil menikmati lemon tea dingin di cuaca panas begini, memang sesuatu yang sangat menyenangkan. Namun baru saja Eros duduk, gadis yang tidak lain adalah Rere itu langsung bangun.
"Hei, kamu mau kemana?"
"Aku akan melihatnya mengajar!" Balas Rere yang kini tersenyum kemudian mengikuti kemana pria bernama Rion itu pergi.
Sudah seminggu lamanya Rere mengamati gerak-gerik Rion tanpa ketahuan. Namun saat ini Rere tidak bisa mengelak lagi, ketika Rion sendiri yang menodong Rere dengan tongkatnya dan mengeluarkan kata-kata tidak bersahabat.
"Siapa kamu, dan apa yang kamu ingin dapatkan dari mengintaiku selama ini!"
"Ah, Hehe, Hai namaku Rere."
Sejenak pria itu mengernyitkan dahinya, namun dengan cepat mendekat ke arah Rere. Gadis itu menahan nafas ketika wajah pria tampan yang selalu dia pikirkan, terus mendekat ke arahnya.
"Rere?"
"A-aku gadis yang tidak sengaja menabrakmu," ungkap Rere dengan perasaan gugup.
Setelah mengungkapkan identitasnya, barulah pria bernama Rion itu menjauh. "Apa yang ingin kamu lakukan dengan mengintaiku sepanjang hari?"
"Kamu tau itu?"
"Aku tidak mungkin, tidak mengetahui seseorang yang sedang memperhatikanku seperti hendak memangsaku."
"Itu tidak benar!"
"Aku memang tidak ingin memangsamu, namun aku ingin kita berteman."
Awalnya Rion terlihat ragu, namun setelah itu dia seolah memberikan lampu hijau untuk Rere yang ingin berkenalan dengannya.
"Arion."
Rere tersenyum kemudian menyambut tangan Arion dengan senang, "Namaku Rere."
Semenjak saat itu Rere dan Arion menjadi dekat. Awalnya mereka adalah teman, namun semakin lama, Rere merasa dia sudah menaruh hati pada Arion.
Meski terlihat dingin, Pria itu adalah pria yang sopan, baik, dan perhatian. Dia jarang tersenyum, namun sekali memberikan senyum tipis, jantung Rere akan berdebar tidak karuan.
"Keluar dari rumah inil
Rere terkejut bukan main saat Julie sang ibu tiri, memintanya untuk pergi dari rumah saat itu juga, usut punya usut ternyata Julie akan menikah lagi dengan saudagar kaya raya, sehingga sudah tidak ada alasan bagi Julie untuk menampung kehadiran Rere di rumah itu.
Rere menghela nafas, kemudian mengangkut barang-barangnya untuk pergi, termasuk foto mendiang sang Ayah dan foto sang Ibu yang terletak di liontin usang miliknya.
Saat itu hujan, Rere tidak tau harus berteduh dimana ketika dia terusir dari rumah kecil yang menjadi kenangan terakhir antara dirinya dan sang Ayah.
Saat itu Rere duduk di depan sekolah luar biasa tempat Arion mengajar. Dia tidak tau dimana Arion, dia juga tidak punya teman dekat lain selain Arion. Karena rekan-rekan kerjanya tidak mungkin bisa menampungnya.
Keesokannya ketika pagi sudah tiba. Rere bangun dengan keadaan tubuh demam dan menggigil, saat melihat Arion datang, saat itu Juga Rere berlari ke arahnya dan memeluk Arion.
Namun belum sempat Rere berkata sesuatu, tubuhnya sudah limbung dan terjatuh ke dalam pelukan pria itu.
Ketika membuka mata, Rere tersadar bahwa dia sudah ada di sebuah rumah sederhana bergaya kuno yang letaknya pasti di pinggir hutan.
Tidak lama setelah itu, Arion datang membawakan sup dan obat untuk Rere. "Arion," panggil Rere dengan suara lemah.
"Kamu pasti lelah, ini minumlah."
Rere dengan cepat membantu Arion mengambil nampan itu dan meletakkannya di atas nakas.
"Maaf karena sudah merepotkanmu."
Arion tersenyum tipis, tangannya berusaha menyentuh puncak kepala Rere, namun karena Rere mendongak tanpa sadar dia malah menyentuh bibir Rere.
Arion terkejut, namun dengan cepat menarik tangannya. Sayang Rere kembali menahan tangan Arion dan mengelusnya pelan.
"Arion, bagaimana ini?"
"Sepertinya aku mencintaimu."
Arion tidak membalas, namun dia menarik Rere ke dalam pelukannya. "Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi Arion." Air mata Rere luruh begitu saja, kemudian menangis sesenggukan dalam pelukan Arion.
Namun berkat pengakuan cinta Rere malam itu. Hubungan mereka yang semula hanya teman biasa, kini berubah menjadi sepasang kekasih.
Rere sadar, dia sangat mencintai Arion, terlepas pria itu baru dikenalnya dengan singkat dan mungkin Rere tidak mengetahui siapa Arion sebenarnya.
Namun Rere tidak peduli.
Dia rela terjebak pada pusara kebodohan dan ketidaktahuan jika menyangkut soal Arion. Cinta membuat Rere memberikan segalanya untuk Arion.
"Ah."
Rere membiarkan Arion bermain ditubuhnya. Wanita itu bersandar pada dada bidang sang pria, bergerak naik turun tidak beraturan dengan rambut yang disampirkan kesamping, sementara Arion yang memangkunya terus menghirup aroma leher Rere, yang sudah menjadi candu untuknya.
"A-aku mencintaimu Arion."
Bibir Rere dibungkam paksa oleh Arion. Benda tidak bertulang itu mulai membelit pasangannya, hingga cairan saliva terus merembes membasahi tubuh mereka.
Rere sudah tidak bisa menahannya lagi, rasa lelahnya datang ketika empat hari ini selalu dikurung oleh Arion.
Namun sampai saat itu dia belum kunjung mendengar kalimat yang dia tunggu-tunggu. Bahkan ketika Arion menyelimutinya dengan pelan.
Meskipun Rere sadar bahwa kecupan di dahi Rere, adalah bukti yang tidak bisa disandingkan dengan kata-kata. Bukti bahwa Arion juga mencintainya.
Bab 2 -
"Rere, aku pulang."
Wanita itu tersenyum sumringah mendapati sang kekasih pulang dengan buah-buahan permintaannya. Rere mendekat untuk memeluk Arion, dan pria itu membalasnya.
"Kenapa kamu lama sekali? aku merindukanmu."
Arion hanya tersenyum tipis dan mengelus kepala Rere dengan lembut. Sudah sekitar satu bulan lamanya mereka bersama. Setiap kali Arion pulang dari sekolah, maka Rere akan menyambutnya.
Sementara Rere akan berkebun di halaman kecil yang terletak di belakang rumah mereka. Rere menanam berbagai macam tanaman yang bisa diubah menjadi makanan, tentunya untuk menghemat pengeluaran mereka.
"Ah, bagaimana ini! Aku harus memastikan supnya tidak hangus," ucap Rere yang melepaskan pelukan Arion kemudian bergegas menuju dapur.
"Berhati-hatilah."
"Iya!"
Setelah itu mereka menikmati makan malam dengan khidmat, sebelum akhirnya Rere kembali terkurung dalam kukungan tubuh Arion, meskipun saat itu dia segera menahan agar Arion tidak menerkamnya.
"Malam ini sepertinya tidak bisa, karena aku sedang datang bulan."
Arion tidak membalas ucapannya melainkan mengecup pelan bibir Rere, tidak lama setelah itu dia meraba dan menarik selimut untuk tubuh Rere.
"Uh, perhatiannya aku jadi ingin segera menikah denganmu."
Lagi-lagi Arion tidak menjawab, namun Rere tidak akan mempermasalahkannya. Karena dia merasa dia sudah mengenal gerak-gerik Arion, pria itu tidak mengucapkannya lewat kata-kata, melainkan dengan tindakan.
"Arion, aku benar-benar mencintaimu." Rere mengucapkannya dengan mudah kemudian memeluk pria itu.
"Aku sangat beruntung bisa bertemu denganmu. Di dunia ini, hanya dirimu yang bisa aku andalkan. Terimakasih karena sudah menjadi bagian dari hidupku." Rere bersungguh-sungguh ketika mengatakannya.
Namun Arion hanya membalasnya dengan senyum tipis, "Tidurlah," ucapnya kemudian memeluk Rere.
Kalau Rere menunjukkan kasih sayangnya dengan kata-kata, maka Arion memperlihatkan kesungguhan hatinya dengan sebuah tindakan, setidaknya itulah yang Rere pikirkan.
Sampai suatu hari, ketika Rere sedang mempersiapkan makan siang untuk dia bawa ke sekolah tempat Arion mengajar. Rere merasakan perutnya mual bukan main, dia segera berlari menuju wastafel hanya untuk memuntahkan cairan bening saja.
Tunggu, dia baru ingat kalau dirinya hanya datang bulan sehari. Rere merasa itu kondisi yang tidak wajar, belum lagi mual-mual yang saat ini dia rasakan.
Sepertinya siang ini, setelah mengantarkan bekal makanan untuk Arion, Rere akan pergi memeriksakan kondisinya ke rumah sakit.
Diam-diam ada yang saat ini tengah mengawasi Rere dari kejauhan. Seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam, kemudian menghela nafas dengan ekspresi kesal.
Siang harinya, Rere menunggu kelas Arion selesai. Kemudian saat pria itu keluar kelas, Rere langsung menghampiri dan memeluknya, toh Arion tidak bisa melihat, jadi dia tidak akan masalah kalau banyak orang yang saat ini memperhatikan mereka.
"Arion, aku membawakan bekal makan siang untukmu," ucap Rere.
"Terimakasih, Rere."
"Apapun untukmu Arion," balas Rere kemudian mengecup singkat bibir ranum pria itu.
"Ah, aku akan pergi sebentar ke kota. Mungkin akan pulang malam, apa tidak masalah?" Tanya Rere yang sengaja izin terlebih dahulu dengan Arion.
Kemudian pria itu membalasnya dengan anggukan singkat, "Hati-hati dijalan."
"Iya, Arion."
Sebenarnya Rere ingin Arion juga ikut menemaninya. Namun Rere sadar kalau Arion pasti akan kelelahan, belum lagi Arion punya kondisi khusus, dan Kota adalah tempat yang ramai, Rere takut Arion tidak nyaman.
Setelah sekian lama akhimya Rere kembali lagi ke kota. Jalanan Kota Spans begitu ramai meskipun belum jam pulang kantor.
Sejenak Rere mampir ke rumahnya dulu. Namun sekarang rumah tersebut kosong dengan tanda bertuliskan "Rumah Dijual." Sudah pasti Julie akan menjual rumah tua dan sempit ini.
Sayangnya Rere tidak berdaya untuk mengambil hak atas rumah ini. Mengingat sang Ayah meninggalkan mereka dengan segunung hutang, Rere masih sadar diri untuk tidak menyebut-nyebut bagiannya saat sang Ayah meninggal, maupun saat dirinya di usir.
Rere berdebar ketika mendengar sesuatu yang dia sangat tidak sangka sama sekali. "Selamat Nyonya, anda hamil."
"Usia kandungannya masih tiga minggu, masih sangat rentan keguguran. Flek merah yang anda kira sebagai menstruasi hanya bukti bahwa saat itu anda terlalu lelah."
Rere menyentuh permukaan perut ratanya dengan sebuah senyum yang mengembang. Dia benar-benar terharu sekaligus bahagia. Saat ini dia mengandung bayi Arion. Buah hatinya dengan Arion.
Rere kemudian ingat, bahwa besok adalah hari ulang tahun Arion yang ke dua puluh lima tahun. Rere merasys akan menyimpan kabar membahagiakan ini sampai hari ulang tahun Arion besok tiba.
Rere tidak bisa membayangkan, bagaimana Arion bereaksi terhadap kehamilannya. Apakah pria itu juga akan bahagia dan menangis terharu seperti dirinya, atau hanya tersenyum tipis dan mengucapkan sepatah kata, seperti yang selalu dia lakukan.
Namun setidaknya Rere bersyukur, dengan adanya buah hati dia dan Arion. Maka lengkap juga kebahagiaannya, sayang sekali karena mungkin Arion tidak akan melihat bayi ini akan mirip dengannya atau dengan Rere.
Ah, Rere jadi tidak sabar memberitahu Arion berita bahagia ini. Sampai ketika malam tiba, Rere terus mendusel manja pada leher Arion.
Sementara pria itu terus memeluknya dan mengelus puncak kepalanya dengan lembut.
"Kenapa hari ini kamu begitu manja, heum?"
Rere terkekeh, "Aku memang selalu ingin manja denganmu."
"Aku selalu ingin memelukmu, menciummu, dan aku selalu ingin berada disampingmu."
Hening
Rere sadar kalau Arion tidak mungkin membalas ucapannya, namun pria itu langsung menarik dagunya kemudian mencium bibir Rere dengan rakus, seolah-olah sedang mengatakan bahwa Arion juga mencintainya.
Saat itu Rere berpura-pura untuk tidur karena dia akan menunggu pukul dua belas malam, kemudian mengejutkan Arion dengan kue yang sudah dia persiapkan dan berada dalam kulkas.
Rere berdebar bukan main saat menyadari dirinya tidak sabar untuk memberitahu Arion tentang kehadiran bayi mereka.
Namun saat sedang berpura-pura tertidur itu, Rere justru mendengar sesuatu yang tidak seharusnya dia dengar.
"Salam sang penguasa muda, Arion De Espencer."
Rere masih terus diam, entah kenapa dia merasa seolah-olah pergerakannya tidak terdeteksi oleh Arion maupun pria yang baru saja berbicara tadi.
"Apa yang dilakukan oleh Rere tadi?"
"Beliau pergi ke rumahnya dulu, dan juga pergi ke rumah sakit."
"Dia sakit?"
"Sepertinya begitu tuan muda."
Rere bisa mendengar helaan nafas Arion. Kemudian elusan tangan Arion di puncak kepala Rere membuat tubuh Rere entah kenapa merasa tenang.
"Besok sudah waktunya berangkat?"
"Itu benar tuan muda. Yang mulia Raja Arthur dan Ratu Liliana sudah menanti kehadiran tuan muda."
Rere bungkam, meskipun dia ingin sekali saat ini membombardir Arion dengan banyak pertanyaan, namun Rere harus menahannya lebih dulu.
"Kamu sudah membawa barang yang aku minta?"
"Sudah tuan muda."
"Ramuan kontrasepsi dan juga ramuan pelupa ingatan."
Rere terkejut bukan main. Saat itu dia menyadari bahwa Arion tidak pernah ingin memiliki anak dengannya. Ramuan kontrasepsi, dan ramuan pelupa ingatan?
"Aku tidak ingin dia melupakannya, namun aku harus membuatnya melupakan apa yang pernah kami lalui. Sebagai seorang putra mahkota wilayah Taewon, aku tidak boleh membuat keputusan yang gegabah."
"Apa tidak sebaiknya anda pergi malam ini juga?" Tanya kesatria itu lagi.
"Tidak bisa."
"Besok malam, aku pasti akan melupakannya. Maka dari itu, aku ingin menghabiskan satu malam lagi bersama dengannya.
Seolah tidak mendengar apapun semalam, Rere bisa merasakan kalau gerak-gerik Arion sangat aneh. Dia menjadi sosok yang lebih penyayang dan lebih lembut dari biasanya..
Namun Rere selalu murung, dia ingin bertanya. Sebenarnya siapa sosok Arion? Tapi Rere begitu pengecut dan takut, jika Arion akan meminumkannya ramuan itu saat ini juga.
Maka yang Rere bisa lakukan adalah menikmati waktu singkat ini bersama dengan Arion, Mulai dengan membuat kue ulangtahun, mendekorasi ruangan tengah kecil, dan juga berkebun bersama.
Saat sinar matahari mulai surut, hati Rere berdebar-debar dengan derai air mata yang tidak berhenti untuk mengalir. Namun dia selalu mengusapnya ketika ada kesempatan.
Mereka duduk berdua di ayunan belakang rumah, yang menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Rere mengalihkan pandangannya ke sebuah gelas berisi air berwarna ungu pekat yang Rere bisa tebak, adalah air ramuan yang dimaksud Arion semalam.
"Arion, aku sebenarnya penasaran."
"Heum?" Arion masih terus merangkul Rere.
"Siapa dirimu sebenarnya?
Arion tersenyum tipis, "Konon di dunia ini ada dua negeri yang hidup saling berdampingan. Satu adalah negeri yang diberkati Tuhan, dan satu lagi adalah negeri yang damai tanpa ada campur tangan berkat Tuhan."
"Lalu?"
"Negeri Luminos adalah negeri yang diberkati oleh Tuhan. Tempat itu dihuni oleh lima klan yang masing-masing menguasai satu wilayah, dan aku adalah putra mahkota dari wilayah yang bernama Taewon."
Arion penasaran, karena tidak ada jawaban dari sebelahnya.
Namun tidak lama setelah itu dia terkekeh kecil.
"Bercanda."
Rere menghela nafas, dia masih cukup terkejut dengan ucapan Arion sekarang. Itu semua adalah hal baru untuknya.
"Aku merasa, kamu terdengar seperti tidak bercanda Arion."
Arion hanya diam, meski setelahnya tangan besar itu meraba ke area samping dan membawa gelas berisi ramuan pekat berwarna keunguan itu ke arah Rere.
"Seperti apa warna langit saat ini re?"
Rere tersenyum kecut, "Warnanya jingga ke unguan."
"Aku ingin setelah matahari benar-benar terbenam, kamu bisa langsung meminum obat ini re."
"Apa minuman obat yang kamu bawa itu?"
"Hanya obat untuk mengurangi rasa mualmu," balas Arion.
Rere menangis lirih, "Kamu bohong Arion. Sayangnya Arion memang tidak mendengar lirihan pelan Rere.
Dadanya terasa sesak, namun dia terlalu takut untuk protes. Seolah-olah momen ini sudah ditunggu oleh Arion, Rere juga yakin kalau saat ini di belakangnya, pasti ada orang-orang yang siap menjemput Arion.
"Tapi sebelum itu, aku ingin kamu mengatakan kamu mencintaiku, sambil mengelus perutku."
"Kenapa?"
"Agar rasanya lebih enak saja."
Arion tersenyum tipis, "Pasti saat ini kamu sedang mual?"
"Iya."
"Minumlah obat itu."
"Iya Arion, jadi tolong lakukan permintaanku."
Pria itu mengalah dan saat ini mengelus perut rata Rere, kemudian mengucapkan kata-kata yang ingin sekali Rere dengar.
"Aku mencintaimu."
Rere menganggukkan kepalanya pelan kemudian berpura-pura terlihat sedang meminum ramuan itu padahal sebenarnya, dia menumpahkan ramuan itu ke tanah.
"Aku sudah meminumnya."
"Kemudian beristirahatlah," ucap Arion.
"Arion," panggil Rere.
"Iya?"
"Selamat ulangtahun, dan aku mencintaimu."
Arion mengecup bibir Rere lembut, kemudian dia bisa merasa tubuh Rere limbung ke dalam pelukannya. Arion terdiam dengan air mata yang tiba-tiba mengalir.
Namun saat itu semua pasukan kesatria bayangannya sudah berkumpul membentuk lingkaran. Seolah-olah sedang menanti Arion untuk bersiap kembali ke kerajaan mereka.
Dengan berat hati Arion mengecup pelan kening Rere, dan menggendong Rere menuju kamar, setelah itu dia keluar dari pondok kecil tersebut.
Ketika malam bulan purnama tiba, kepala Arion mendadak sakit.
Semua memorinya ketika berada di dunia manusia hilang begitu saja.
Iris matanya yang berwarna Abu, kini berubah menjadi warna biru.
Sejenak dia menatap bangunan kecil yang ada di belakangnya.
"Ayo kembali."
Diam-diam Rere menyaksikan itu semua dari balik tirai jendela.
Hatinya saat itu hancur melihat Arion perlahan bergerak menjauh darinya kemudian benar-benar pergi meninggalkannya.
Rere mengulurkan tangannya untuk menyentuh perutnya yang rata, "Nak, Ayahmu telah meninggalkan kita."
Bab 3 -
Konon suatu masa, Dunia ini dibagi menjadi dua. Satu dunia yang diberkati oleh Tuhan, dan satu adalah dunia yang hidup damai tanpa berkat Tuhan.
Kisah ini biasanya hanya akan menjadi dongeng semata, yang berkembang pesat dikalangan para masyarakat modern yang menghuni dunia damai tanpa berkat Tuhan.
Negeri Luminos adalah negeri yang hidup atas berkat Tuhan. Negeri yang tidak terlalu modern namun mengandalkan sihir serta alkimia di dalam pilar pembangunan setiap wilayahnya.
Wilayah Luminos dibagi menjadi lima. Satu Wilayah Taewon, kemudian Wilayah Tierse, Wilayah Taegong, Wilayah Tiorse dan Hutan Sihir Lumina.
Masing-masing wilayah dikuasai oleh Klan Suin terkuat. Mereka adalah perwujudan manusia setengah hewan yang memiliki kekuatan berkat Tuhan. Untuk melindungi wilayah mereka masing-masing.
Namun dari sekian wilayah yang ada di Negeri Luminos, Wilayah paling besar saat ini adalah Wilayah Taewon, Wilayah yang terkenal makmur dan damai.
Wilayah yang dihuni oleh para suin serigala. Mereka yang merupakan keturunan kerajaan, adalah suin serigala salju.
"PUTRA MAHKOTA, ARION DE ESPENCER MEMASUKI AULA SINGGASANA."
Raja dan Ratu yang saat ini duduk berdampingan di singgasana, tersenyum dengan sumringah menyambut kehadiran putra semata wayang mereka yang pergi dua puluh tahun lamanya, berkelana di dunia manusia.
Tidak lama setelah pintu terbuka, sosok gagah dengan pakaian seragam lengkap dengan banyaknya lencana. Terlihat memasuki aula singgasana. Semua mata tertuju pada sang Putra Mahkota yang menghilang dua puluh tahun lamanya karena ketentuan.
Ratu Liliana tidak bisa menahan tangisnya melihat bayi kecil yang dulu sering merengek, kini tumbuh menjadi pria dewasa yang kelak akan menjadi pemimpin baru Wilayah Taewon.
"Salam saya kepada Matahari dan Bulan, sang penguasa wilayah Taewon." Arion memberikan salam dan sapaannya, kemudian mendekat ke arah sang Ratu sebelum akhirnya memeluk wanita paruh baya itu.
"Anak nakal! Kenapa kamu jarang memberikan kabar untuk ibumu ini? Bagaimana keadaan Nenek Sun disana?"
Arion tersenyum, "Maafkan aku ibunda. Karena aku mengurangi intensitas pertemuan dengan kesatria penjaga," balas Arion,
"Lalu untuk Nenek Sun, saat aku berusia sembilan belas tahun, Nenek Sun berpulang ke pangkuan Tuhan. Saat itu aku tidak bisa memberitahu Ibunda karena keadaan istana sedang tidak kondusif," tambahnya.
Raja yang melihat pemandangan itu, hanya tersenyum tipis kemudian berdehem untuk memisahkan keduanya. Masih ada waktu untuk mereka bernostalgia nanti.
Ratu Liliana segera melepaskan pelukan untuk putranya. Kemudian Putra Mahkota diberikan titah untuk beristirahat sebelum mereka melaksanakan pertemuan non resmi di meja makan untuk makan malam.
Tentu saja Arion pamit undur diri kemudian ajudan setianya, Victor. Mengikutinya dari belakang. Sudah dua puluh tahun lamanya setelah Victor yang berusia lima tahun, bertemu dengan sosok putra mahkota yang saat itu juga berusia lima tahun.
"Victor, kenapa aku tidak melihat keberadaan Arliana?"
"Putri sedang berpetualang," balas Victor singkat.
Padahal dia begitu merindukan saudari kembarnya. Namun ternyata hobi Putri Kerajaan satu-satunya itu adalah berkelana dan mencari banyak pengalaman.
Sebenarnya dia merasa agak hampa, padahal momen ini adalah momen yang selalu dia tunggu-tunggu. Sejak kecil, Arion selalu merindukan keberadaan keluarganya, namun karena peristiwa Maros yang harus dilalui oleh para generasi penerus selanjutnya, maka Arion tidak berdaya.
"Apa anda ingin sesuatu tuan muda?" Tanya Victor.
"Santai saja padaku, kamu adalah temanku Victor."
"Ah, Apa kabar kawan!" Victor tersenyum kemudian memeluknya, "Kamu semakin tampan saja, entah apa yang sudah terjadi padamu sehingga kamu malah terlihat semakin tampan."
Arion hanya berdehem pelan, "Calix, dimana dia?"
"Sedang melapor ke Raja, terkait pengintaiannya terhadapmu selama ini," balas Victor.
Calix adalah kesatria penjaga yang ditugaskan untuk mengawasi dan menjaga keberadaan Arion di dunia manusia sana.
Saat ini pria itu melaporkan apa saja yang sudah dilalui oleh Arion. Calix memberitahu Raja apapun tentang orang-orang yang dekat dan baik dengan Putra Mahkota kerajaan mereka itu.
Termasuk memberitahu tentang keberadaan wanita yang sangat mencintai Tuan muda mereka. Wanita yang sengaja tidak Calix sebutkan namanya, atas permintaan Arion sebelum ingatannya tentang dunia manusia terhapus secara alami.
Entah mengapa Ratu Liliana terlihat sedikit khawatir. Dia menatap ke arah sang Raja, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya paham. Kurang lebih, kisah Arion adalah kisah masa lalu keduanya.
"Apakah wanita itu sudah melupakan Arion?"
"Saya sudah memastikan dan melihatnya meminum ramuan itu, yang mulia."
"Ramuan apa?" Kali ini Ratu Liliana yang bertanya pada Calix.
"Ramuan Kontrasepsi dan juga Ramuan penghilang ingatan."
Saat itu raut wajah Raja dan Ratu tampak suram. Terutama Ratu yang terlihat gelisah dan cemas. Dia seolah-olah tidak ingin kisah lama terulang kembali, namun disatu sisi dia sungguh merasa kasihan dengan wanita yang sudah tulus mencintai Arion, putranya.
"Calix, kembalilah ke dunia manusia. Kemudian perhatikan wanita itu. Jika ada sesuatu yang aneh, segera laporkan padaku."
Calix berlutut sembari menyatukan kedua tangannya, "Calix, siap melaksanakan perintah yang mulia Raja."
Sementara itu disisi lain, Arion memandang ke arah matahari terbenam. Entah kenapa dia begitu familiar dengan warna jingga keunguan.
Perasaan Arion hampa, dan karena ketidaktahuannya. Dia jadi membenci perasaan hampa yang begitu menyiksa ini.
"Victor."
"Saya disini tuan muda."
"Sparring denganku."
Victor membuka mulutnya lebar, tunggu dulu. Padahal tidak lama setelah Tuan mudanya ini datang, namun sekarang dia mengajak Victor untuk sparring?
"Yang benar saja? Yang mulia meminta anda untuk beristirahat, lalu kenapa anda malah meminta saya untuk sparring dengan anda?"
Arion menarik satu sudut bibirnya, "Kamu takut?"
"Tentu saja tidak tuan muda."
"Lalu ambil pedangmu dan kita sparring sekarang."
Semua mata tertuju pada Tuan muda mereka yang baru kembali, dan juga pada tuan Victor yang terlihat kewalahan mengimbangi kemampuan berpegang sang tuan muda.
Meskipun sudah lama waktu berlalu, namun kemampuan sang Tuan muda tidak perlu diragukan lagi. Apalagi saat sang tuan muda menyerang tanpa ampun ke arah Victor.
"Hei hentikan! Kamu hanya ingin sparring denganku, bukan benar-benar ingin membunuhku," pekik Victor.
Saat itu juga Arion tersadar dan menjatuhkan pedang kayu yang digunakan untuk sparring. Seandainya Arion mengenakan pedang asli, mungkin saja Victor sudah mati saat ini.
"Ada apa denganmu!" Pekik Victor yang sudah kelelahan karena mengimbangi lawan kuat seperti Arion.
Arion juga tidak paham, kenapa hatinya begitu sakit, seolah-olah sudah pernah terluka. Arion merindukan sesuatu yang tidak Arion ketahui.
Namun dia ingat, kalau ini hanya Effect dari kebiasaannya yang ada di dunia manusia, sehingga harus ditinggalkan ketika sudah berada di Wilayah Taewon.
Ya, begitulah pikiran Arion. Dia yakin bahwa perasaan ini hanya bersifat sementara. Karena sesungguhnya, Arion tidak diperbolehkan mencari tau apa yang sudah terjadi di dunia manusia, demi kenyamanan mereka bersama.
Seolah tidak ingin larut dalam kesedihan. Rere mau tidak mau harus tetap menjalani kehidupannya seperti biasa. Diliriknya sebuah peti besar yang berisi banyak kepingan emas, jika dijual maka dia akan punya banyak uang.
Rere berdecih, "Kamu jahat Arion, kamu memberikan banyak keping emas ini seolah-olah menjadi kompensasi untuk hati dan jiwaku yang terguncang olehmu!" Kesal Rere ketika melihat banyaknya kepingan emas itu.
Sebenarnya Rere memutuskan untuk tidak tinggal lagi di rumah ini. Namun dia akan meninggalkan rumah ini ketika bayinya sudah lahir, karena meksipun Arion sudah pergi meninggalkannya ke suatu tempat, setidaknya kenangan Arion di rumah ini masih tertinggal.
Sinar pagi menyinari daerah pedesaan yang terletak di perbatasan antara hutan dengan perkotaan itu. Rere berangkat menuju sungai untuk sekedar menikmati waktu pagi.
Namun siapa sangka, saat itu dia bertemu dengan seorang kakek-kakek yang terduduk di pinggir sungai, dan terlihat tidak berdaya.
Dengan segera Rere mendekati Kakek tersebut untuk membantunya, "Apa yang sudah terjadi pada Kakek?"
"Ah, aroma ini. Aku sudah lama tidak mencium aroma ini." Kakek tersebut langsung sadar begitu menghirup aroma familiar yang bercampur dengan aroma sesuatu yang berbahaya.
Pria tua baya itu tiba-tiba saja menatap ke arah Rere dengan tajam, sampai Rere kesulitan untuk bernafas.
"Ka-kakek."
Tidak sampai disana, keterkejutan Rere terpancar jelas saat melihat bola mata pria tua baya itu berubah menjadi warna ruby yang indah.
Tidak lama setelah itu Kakek itu bergumam, "Setengah bangsa peri dan manusia, mengandung bayi serigala."
Rere terkejut bukan main, dia langsung menjauh dari kakek tersebut dengan ekspresi ketakutan. Namun sang Kakek justru tersenyum, bola mata yang berwarna Ruby itu berubah menjadi kecoklatan setelah Rere menjauh.
"Pantas saja aku harus datang ke dunia ini lagi, ternyata kamu yang memanggilku untuk datang kemari, anak istimewa."
"Ba-bagaimana anda mengetahuinya!"
Pria tua baya itu terkekeh, "Oh jadi kamu sudah mengetahui bayi apa yang sedang kamu kandung itu?"
"Lantas kamu pasti mengetahui kalau bayimu berada dalam bahaya."
Rere terlihat bingung, "A-apa maksud anda? Kalau memang anda berniat untuk menakut-nakuti saya, maka tolong hentikan!"
"Ah, jadi kamu tidak tau ya?"
"Bayi itu, tidak akan bertahan lama jika berada jauh dari Ayahnya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!