"Dan aku berjanji tidak akan menyusahkanmu, bahkan di saat hari kematianku nanti. Itulah bentuk cintaku padamu, suamiku."
-------
"Aku hamil, mas."
Tak ada reaksi khusus dari laki-laki dihadapan Aira, membuat hatinya sakit bukan main. Suaminya duduk dengan tenang sembari menatap lembaran-lembaran yang selalu membuat laki-laki itu sibuk.
"Oke."
Hanya itu respon dari Aryan, setelah sekian detik Aira menunggu ucapan selamat ataupun ucapan kebahagiaan.
Suaminya tak senang ia hamil, padahal ini adalah anaknya juga
Tidak apa-apa.
Memangnya apa yang bisa Aira harapkan dari pernikahan tanpa dasar cinta ini. Pernikahan yang terjadi, karena sebuah pertanggungjawaban atas kecelakaan mobil yang disebabkan oleh Aryan.
Aira menjadi korban tabrakan, lalu di vonis tidak akan bisa beraktivitas seperti biasanya, karena sangking lemah tubuhnya. Bahkan, dokter menyarankan agar Aira kelak tidak mengandung, karena itu akan menambah derita tubuh yang bisa mengakibatkan Aira kehilangan nyawanya.
Aryan menikahinya, karena sebuah tanggung jawab. Siapa yang akan menikahinya, kecuali Aryan, disaat tubuhnya pun sudah sangat lemah. Bahkan hanya karena telat makan beberapa menit saja, ia akan merasakan sakit teramat di perutnya.
Masih teringat jelas, ketika awal-awal menikah dengan Aryan. Aryan yang notabennya sudah punya kekasih, harus meninggalkan pujaan hati demi tanggung jawabnya pada Aira, jika tak mau masuk penjara.
Sebagian keluarga senang, tapi sebagian juga tidak senang.
"Ingat ini, Aira. Kamu mencuri kebahagian putri saya, jadi, kamu gak akan bisa bahagia dengan pernikahan ini!" Aira kembali mengingat, saat ibu dari mantan kekasih suaminya menyumpahinya, disaat ia baru saja resmi menjadi istri Aryan. Bukannya kata-kata selamat dan doa, malah sumpah seorang ibu yang ia dapatkan.
Apa ia salah?
Ia tak punya maksud merebut Aryan.
Sebelumnya, ia juga tidak tau kalau Aryan punya kekasih. Ia tau semua itu, disaat hari pernikahan tiba, dimana seorang gadis cantik menangis tersedu-sedu menyaksikan Aryan melakukan ijab qabul. Orang-orang pun mulai menjelaskan, bahwa dia adalah Diana, kekasihnya Aryan yang harus di putuskan demi pernikahan ini.
"Selamat ya, mbak Aira. Jaga Aryan dengan baik, karena tugas ini udah berpindah ke tangannya mbak. Aryan itu gak suka pedas, dia gak suka makanan yang terlalu berminyak,-----" dan banyak lagi yang disampaikan Diana padanya, tentang kesukaan Aryan dan apa yang tidak Aryan suka.
Kenapa ia berada di posisi yang dipandang jahat di sini? Kenapa ia harus mengalami sakit di seluruh tubuhnya dan juga hatinya.
Mencintai Aryan bukanlah hal yang sulit. Meski laki-laki itu sangat pendiam, tetap saja perlahan-lahan Aira mencintai suaminya. Meski interaksi mereka pun hanya ala kedarnya saja. Aryan tak pernah bertanya hal yang tak penting dan jarang sekali menjawab dengan kalimat yang panjang.
Pada saat malam pertama, Aira merasa kaget sekaligus senang karena suaminya mau menyentuhnya. Aira kira, karena Aryan tak mencintainya, laki-laki itu pasti tak akan menyentuhnya, tapi ternyata Aira salah.
Aira senang, karena suaminya memperlakukannya seperti layaknya seorang istri yang dicintai, malam itu. Namun, kesenangan hanyalah sampai di waktu itu saja, karena Aira begitu kaget dan sedih, saat mendengar ucapan suaminya, setelah kegiatan mereka tadi selesai
"Nafkah batin ini adalah nafkah untuk seumur hidup kamu, Aira. Setelah ini, saya tidak akan memberikannya lagi. Selain nafkah batin, saya akan berikan setiap bulannya dan tidak akan telat. Saya harap, kamu bisa memaklumi itu. Ayo hidup damai, dengan kehidupan masing-masing. "
Aira benar-benar syok mendengar kalimat panjang yang pertama kali diucapkan suaminya.
Nafkah batin seumur hidup?
Itu berarti mereka tidak akan melakukan ini lagi dan ini adalah yang pertama dan terakhir, agar suaminya tak merasa bersalah padanya.
Mengingat kejadian 2 bulan yang lalu, benar-benar membuat Aira sakit.
Sekarang pun mereka seperti hidup di dunia masing-masing. Aryan yang sibuk bekerja dan jarang di rumah, Aira yang sibuk mencoba membuat Aryan menoleh ke arahnya, hanya untuk tersenyum tulus sekali saja.
"Uang bulanan kamu sudah saya transfer." Lamunan Aira seketika buyar saat mendengar suara suaminya.
Ia masih ada di ruang kerja suaminya, berdiri sembari menatap Aryan yang sibuk bekerja.
"Saya harap kamu sering ke rumah sakit setelah ini, apalagi kamu sedang hamil. Jangan lupa ajak bu Imas, supaya kamu gak kerepotan. Saya gak bisa temenin kamu, karena saya sibuk," ujar Aryan masih sibuk dengan berkas-berkas didepannya.
"Iya, mas."
"Jangan sakit, Aira. Saya benar-benar sibuk buat bisa rawat kamu. Kalau ada apa-apa bilang ke bu Imas," lanjut Aryan membuat Aira kembali mengangguk.
Iya.
Aira janji, ia tak akan sakit, agar suaminya tidak repot. Aira janji, ia akan sehat, supaya suaminya tidak kecewa padanya.
Keesokan harinya.
Pagi ini, saat suaminya baru saja selesai memakai pakaian kerja, Aira mendadak merasa mual. Aira pun langsung bergegas ke kamar mandi, lalu memuntahkan isi perutnya.
Rasanya sangat pusing dan juga sakit.
Setelah merasa lega, Aira keluar dari kamar mandi. Tak ia temukan keberadaan suaminya, yang ada hanya bu Imas saja.
"Non Aira baik-baik aja? Masih mual?" tanya bu Imas merupakan orang yang bekerja mengawasi dapur.
"Iya, Aira baik-baik aja, bu. Mas Aryan udah pergi kerja?"
Bu Imas tampak terdiam sejenak, membuat Aira langsung paham.
"Mungkin pak Aryan lagi ada meeting pagi ini, non. Makanya buru-buru," jelas bu Imas mengelus lembut punggung Aira. Aira tersenyum kecut, lalu mengangguk. Ini bukanlah pertama kalinya, ini sudah kesekian kalinya, jadi Aira sudah mulai terbiasa.
"Oh ya, non, tadi bu Elisa nelpon, katanya bakalan mampir ke sini."
"Mama mau ke sini? Kalau gitu Aira mandi dulu ya, soalnya siap muntah rada engap gitu," sahut Aira antusias.
Meski hidupnya setengahnya malang, tapi ia masih punya sisi keberuntungan, salah satunya memiliki mertua yang menyayanginya.
Kedatangan ibu mertuanya, ternyata untuk menjemputnya ke rumah mereka, karena ada acara makan malam bersama keluarga besar. Aira pergi dengan Mama Elisa, sedangkan Aryan nanti akan menyusul sepulang kerja.
Sesampainya di rumah mertuanya, Aira langsung diantarkan ke kamar untuk beristirahat. Orang-orang belum ada yang tau kalau ia sedang hamil, karena memang hanya suaminya dan bu Imas lah yang tau.
"Mama sama papa masuk ya, Ra."
"Iya, ma." Aira membuka pintu kamar, lalu mempersilahkan kedua mertuanya masuk.
"Gimana? Sehat?" tanya papa Heri, ayah mertuanya.
"Alhamdulillah, Aira sehat, Pa."
"Jadi, tadi katanya mau ngomong sesuatu ke Mama sama papa. Apaan tuh, mama penasaran nih," seru Mama Elisa penasaran. Aira pun tertawa pelan, lalu memperlihatkan testpack ke mertuanya.
"MasyaAllah, Aira hamil?" Aira langsung mengangguk, membuat Mama Elisa berteriak senang, lalu memeluk Aira.
"Aryan udah tau?" tanya papa Heri melihat testpack yang menunjukkan garis dua.
"Udah, Pa." Kening Aira seketika berkerut, saat melihat reaksi ayah mertuanya yang terlihat khawatir. "Papa kenapa?" tanya Aira membuat Mama Elisa menoleh ke arah papa Heri.
"Aira yakin mau lanjutin? Aira masih ingat kata dokter kan," tanya papa Heri. Aira terlihat tersenyum tipis, lalu mengangguk.
"Aira mau lanjutin, Pa. Aira janji bakalan sehat dan gak bakalan nyusahin lagi," sahut Aira dengan senyuman manisnya.
"Eh, siapa yang ngerasa di susahin. Kami gak pernah ngerasa susah karena Aira, ada-ada aja ngomongnya, " celetuk Mama Elisa kembali memeluk Aira.
Malam harinya.
Orang-orang sudah mulai berdatangan, termasuk Aryan. Laki-laki itu tampak memeluk keponakannya, mencium pipi anak kecil itu beberapa kali.
Terlihat Aryan tertawa gemas, saat anak perempuan itu memberontak. Aira seketika merasa iri.
Satu fakta yang ia mengerti, bahwa suaminya selalu tersenyum dan ramah ke orang lain, namum bersikap dingin bila dengannya.
"Katanya dia hamil." Aira yang sedang memperhatikan suaminya dari jarak jauh, mendengar bisik-bisik yang sengaja dibesarkan.
"Gak tau diri itu mah, udah tau penyakitan, gak boleh hamil, malah hamil. Nambah susah aja," sambung yang lainnya.
"Ngapain dipertahanin sih, palingan nanti anaknya cacat juga." Tak mau mendengar lebih banyak lagi, Aira pun bergegas pergi dari situ dan menghampiri kedua mertuanya.
"Aira, tante bawain ini buat Aira. Bagus banget buat kesehatan," ujar tante Arin memberikan buah tangan dari tempatnya.
"Alhamdulillah, makasih tante." Tante Arin adalah salah satu dari beberapa keluarga mertuanya yang menerimanya dengan baik.
"Ini bagus juga buat kesehatan janinnya Aira. Semoga Aira sama baby-nya sehat selalu ya," ucap tante Arin mengelus perut Aira yang masih rata.
Aryan yang melihat itu hanya diam saja, lalu menatap wajah Aira yang sedari tadi tersenyum. Wajah pucat yang menggambarkan si pemilik tubuh sangat lemah dan rapuh.
Tatapan keduanya bertemu, namun Aira langsung menatap tante Arin lagi. Aryan pun tampak tak peduli, lalu pamit ke kamar untuk berganti pakaian.
"Aira ke kamar dulu ya, mau nyiapin keperluannya mas Aryan," seru Aira saat melihat suaminya sudah berjalan menuju kamar mereka.
"Iya, sayang. Beruntungnya Aryan punya istri kayak Aira, selalu perhatian di tiap saat."
Aira hanya tersenyum tipis saja menganggapi itu, lalu pamit masuk ke kamar.
Sesampainya di kamar.
Aira melihat suaminya tengah membuka kancing kemeja, ia pun langsung menyiapkan handuk dan juga pakaian ganti.
"Kamu ngasih tau ke mereka kalau kamu hamil?" tanya Aryan setelah melepaskan kemejanya.
"Aku ngasih tau ke mama sama papa, mungkin mama sama papa yang ngasih tau."
"Oh ya, mas. Kata mama, besok kita harus cek kandungan, biar tau kondisi janinnya gimana," ujar Aira membuat Aryan yang hendak masuk ke kamar mandi, langsung berhenti.
"Saya kan udah bilang, kalau saya sibuk. Minta tolong sama mama buat nemenin kamu," sahut Aryan lalu masuk ke kamar mandi.
"Iya, mas." Aira mengangguk pelan, lalu mencoba tersenyum manis.
Aira harus mengerti, kalau suaminya sibuk, bukan sepertinya yang tidak punya pekerjaan. Ya, Aira harus mengerti semua kondisi suaminya.
Harus mengerti!
"Kata orang-orang, menikahlah dengan pasangan yang setara, cinta yang setara, sehingga kamu tidak akan merasakan derita."
--------
Malam semakin larut, tapi Aira tak kunjung tidur juga. Matanya mengantuk, tapi ia merasa tak nyaman dengan perutnya.
Ia berbaring di ranjang, menatap punggung suaminya yang mungkin sudah tertidur pulas dari 1 jam yang lalu.
Aira memilih bangun, lalu duduk di sofa yang ada di kamar. Ia membaringkan tubuhnya di sana, menyingkap baju tidurnya, hingga memperlihatkan perutnya yang masih rata.
Aira mengelus perutnya, berbisik dalam hati agar anaknya selalu baik-baik saja dan sehat.
Rasanya lebih nyaman berbaring di sofa yang tak luas, daripada berbaring di kasur yang luas namun penuh rasa canggung.
Saat matanya mulai tertutup, tiba-tiba saja kepalanya berdenyut nyeri. Ia pun mengubah posisi tidurnya, agar bisa membawa sakit yang ia rasa dalam tidur.
"Ya Allah," gumam Aira lirih sembari mengucek matanya yang berair.
"Lailahaillallah." Aira memilih duduk, lalu memijit pelan kepalanya. Kalau saja ia di rumah orang tuanya, ia pasti sudah memanggil ayahnya untuk memijit kepalanya.
Namun sekarang, Aira harus berjuang sendirian.
Ia akan selalu mengingat, jangan sampai menyusahkan suami dan mertuanya. Berjuanglah sendiri, sampai tubuh benar-benar tak sanggup lagi.
Aira pergi mengambil minyak kayu putih yang ada di atas nakas, lalu kembali ke sofa. Ia membaringkan tubuhnya di sofa, lalu mencium aroma minyak kayu putih.
Matanya yang sangat perih karena mengantuk, akhirnya tertutup juga. Perlahan, kesadarannya pun hilang.
Pukul 3 pagi, Aira terbangun. Ia kembali memijit kepalanya, lalu duduk dan termenung sejenak.
Aira menatap ke arah tempat shalat di sudut kamar, dimana suaminya sedang berdoa setelah shalat malam.
Melihat suaminya berdoa dengan khusyuk, membuat Aira tersenyum sendu. Suaminya selalu tak pernah lupa shalat malam, walau tidak pernah membangunkannya sekalipun.
Entah apa yang sedang diminta suaminya kepada Allah, sampai terkadang mata suaminya berair. Apa mungkin suaminya meminta sebuah kebahagiaan? Atau meminta agar jodohnya bisa di ganti?
Entahlah, tapi yang jelas bukan mendoakan Aira.
Ia yakin itu.
Daripada semakin menimbulkan pemikiran yang buruk tentang suaminya, Aira memilih ikut melaksanakan shalat malam juga, ada banyak yang ingin ia ceritakan pada sang Maha Pengasih, semuanya tentang kisahnya.
Pagi harinya.
Aira kini sudah berada di ruang makan, bersama kedua mertuanya, sembari menunggu yang lainnya datang.
"Aryan, hari ini kamu temenin Aira cek kandungan ya," seru Mama Elisa, menatap Aryan yang sedari tadi sibuk dengan ponsel.
"Mama aja, Aryan lagi ada kerjaan," sahut Aryan tanpa menatap sang ibu.
"Loh, kok gitu sih. Kerjaan itu bisa nanti, Yan, istrimu loh yang penting," celetuk Mama Elisa dengan raut wajah kesal. Melihat situasi mulai tak bagus, apalagi para sanak-saudara mulai bergabung di meja makan, Aira pun langsung menyela.
"Aira sama Mama aja ya. Sekalian kita mampir ke tempat makan waktu itu, udah lama juga kita gak pergi berdua kan," sela Aira membuat Mama Elisa menghela nafas, lalu mengangguk sembari tersenyum.
"Boleh sayang, nanti kita mampir kesana. Mama juga udah lama gak kesana," sahut Mama Elisa. Pembahasan tentang cek kandungan selesai dan semua anggota keluarga sudah berkumpul untuk sarapan.
Selesai sarapan, Aira kembali ke kamar untuk menyiapkan keperluan kerja suaminya.
Saat Aira hendak memasukkan ponsel suaminya ke saku tas kerja, notifikasi pesan muncul di layar kunci.
"Iyan, nanti bicaranya sepulang kamu kerja aja ya. Aku lagi ada urusan di kampus."
Hanya itu yang bisa Aira baca, karena isi pesan terpotong. Namun, Aira tau dari siapa pesan itu, karena tercantum nama 'Nana' disana.
Siapa lagi kalau bukan Diana, mantan pacar Aryan. Yang Aira tau, Diana sedang lanjut S2 hukum. Benar-benar wanita yang berpendidikan dan menarik.
Aira pun meletakkan ponsel suaminya di tempat biasa, lalu memilih mengganti pakaiannya, karena ia akan pergi bersama ibu mertuannya ke rumah sakit nanti.
Mengenai pesan itu, Aira sudah sering melihatnya. Aira tidak tau apakah suaminya masih memilki hubungan khusus dengan Diana, yang Aira tau suaminya masih sering bertemu Diana dan bertukar pesan.
Sakit?
Tentu saja sakit.
Wanita mana yang tak sakit, saat laki-laki yang sedang ia kejar cintanya, menatap wanita lain dengan penuh cinta.
Diana benar-benar wanita yang beruntung.
Setelah berpakaian, Aira keluar dari ruang ganti, lalu menatap suaminya yang sedang menatap ponsel. Suaminya terlihat tersenyum, senyuman tulus yang sangat Aira harapkan selama ini.
Kalau memang Diana kebahagiaannya, kenapa harus ia yang menjadi takdir suaminya?
Beberapa hari kemudian.
Acara keluarga yang dilaksanakan setiap 1 bulan sekali ini tampak berjalan dengan baik. Apalagi dengan kabar kehamilan Aira, smakin menambah suasana haru. Walaupun, masih ada beberapa anggota keluarga yang terus menggunjing Aira secara terang-terangan.
"Iya tau kalau dia pesakitan, tapi, setidaknya sadar diri gitu. Kan bisa cuma bantu-bantu motongin sayur atau nyuci buah. Kalau aja dia dari sononya anak orang kaya, kita maklumi sih, berarti dia di manja. Ini bukan dari keluarga kaya, tapi gayanya udah kayak Nyonya besar. Kita aja kerja, padahal lebih kaya kita daripada dia."
Bukan Aira tak mau kerja atau malas, hanya saja, saat ia masuk ke dapur, sudah pasti langsung ada yang menyuruhnya untuk istirahat saja.
Mau melawan? Mana bisa. Mereka yang atur, Aira yang taati. Status Aira hanya menantu di sini, jadi, ia ikuti saja aturannya.
Tidak apa-apa, toh itu hak mereka mau bicara apa tentangnya. Acaranya juga sudah selesai, meskipun bulan depan akan terulang lagi.
"Gak mau nginep sehari lagi gitu? Mama masih kangen loh sama Aira," seru Mama Elisa. Hari ini, Aryan dan Aira akan kembali pulang, meskipun anggota keluarga lain belum semuanya pulang.
"Gak bisa, Ma. Aryan banyak kerjaan di kantor. Kalau dari sini jaraknya jauh," sahut Aryan memasukkan koper pakaiannya dan Aira ke bagasi mobil.
"Yaudah kamu aja yang pergi, kan kamu yang kerja. Biar Aira di sini aja. Lagipula, kamu juga gak perhatian sama dia," ucap Mama Elisa membuat Aryan hanya terdiam saja.
"Ma, gak boleh gitu. Dimana Aryan tidur, di situ Aira juga tidur. Nanti kan kita bisa ke sana, sesekali. Biarin Aira pulang ya," ujar Papa Heri.
Setelah membujuk dengan berbagai cara, akhirnya Mama Elisa pun mengizinkan Aira pulang.
Di perjalanan.
Aira memilih menutup matanya, tak ingin melihat jalanan yang ramai. Apalagi suaminya mengemudi dengan kecepatan tinggi, membuat kepalanya pusing.
Suara ponsel milik Aryan berbunyi, Aryan pun mengurangi kecepatan mobil, lalu mengangkat panggilan itu.
"Iya, Na?"
Seketika kedua mata Aira kembali terbuka, lalu menoleh ke arah suaminya. Suara suaminya yang lembut saat bicara, membuat hatinya terasa perih.
"Lagi dijalan pulang dari rumah Mama."
Lagi, suaminya menjawab dengan ramah dan juga lembut. Apa itu Diana? Karena tadi ia mendengar suaminya menyebut 'Na'.
"Oke, nanti sore ya. InsyaAllah bakalan kesana, sampein ke tante aku bakalan datang." Setelah mengatakan itu, Aryan pun mengakhiri panggilan.
Laki-laki itu kembali mengemudi dengan fokus dan kecepatan tinggi, tanpa memperdulikan istrinya yang sedang bertarung dengan pikiran buruknya.
Ingin bertanya, tapi Aira merasa ia tak punya hak. Sedari awal, Aryan sudah memperingatinya, bahwa mereka akan hidup dengan dunia masing-masing.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, akhirnya pasangan suami-istri itu pun sampai di rumah.
"Saya ada kerjaan di luar, kamu masuk dan istirahat aja duluan," ujar Aryan mengeluarkan barang bawaan mereka.
Aira pun memegang tangan Aryan, membuat laki-laki itu terkejut.
Sebelumnya, untuk kontak fisik mereka sangat jarang melakukan itu. Palingan kalau ada keadaan darurat saja.
"Kenapa?" tanya Aryan menutup bagasi mobil, setelah mengeluarkan semua barang bawaan.
"Eum, kalau nanti mas gak sibuk, boleh gak sesekali temenin aku cek kandungan," pinta Aira menundukkan kepalanya. Menyentuh Aryan saja sudah membuatnya sangat gugup, apalagi ditambah menatap mata suaminya.
"Iya, nanti saya usahakan." Aira tersenyum manis, lalu melepaskan tangan suaminya.
"Makasih, mas." Aryan mengangguk, lalu masuk ke mobil.
"Hati-hati, mas." Mobil pun melaju, keluar dari pekarangan rumah.
Semoga saja suaminya menepati janjinya.
Malam harinya.
Aryan tak kunjung pulang, padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aira juga sudah mencoba menghubungi ponsel suaminya, tapi tak kunjung diangkat.
Membuat khawatir saja.
"Telepon lagi aja deh," gumam Aira kembali menghubungi nomor telepon suaminya.
Berdering, tapi tak kunjung di angkat. Rasanya ingin menyerah saja, tapi Aira langsung bersemangat saat panggilan sudah terhubung.
"Assalamualaikum, Mas. Mas kenapa belum pulang? Mas gak kenapa-kenapa kan di jalan?" tanya Aira saat panggilan terhubung.
"Wa'alaikumussalam, mbak Aira. Ini aku, Diana. Mas Aryan masih di rumah mama aku, Mbak. Kebetulan lagi ada acara ulang tahunnya mama. Bentar-bantar lagi kayaknya mas Aryan bakalan pulang. Itu dia lagi makan."
Seketika tubuh Aira terasa lemas, matanya terasa memanas dan dadanya terasa sesak. Kenapa Diana bisa memegang ponsel suaminya dengan mudah? Apa benar mereka masih punya hubungan?
"Maaf ya, mbak. Nanti aku kasih tau ke mas Aryan mbak nelpon. Aku tutup ya, mbak, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, " balas Aira dengan suara yang tercekat.
"Ya Allah." Aira menyeka air matanya, lalu meletakkan kembali ponselnya di atas nakas.
Aira memilih membaringkan tubuhnya, membawa rasa sakitnya dalam tidur. Mana tau nanti ia bermimpi indah, biarlah mimpi itu menjadi penawar rasa sakitnya.
"Nyatanya, yang membuatku terluka adalah diriku sendiri, harapanku pada orang yang hatinya bukan untukku."
--------
Pagi harinya.
Semalam Aira tak menyadari kepulangan suaminya, mungkin karena terlalu lelah menangis, jadi ia tidur dengan nyenyak.
Di meja makan, Aryan maupun Aira tak ada yang bicara. Biasanya, meski hubungan mereka dingin dan kaku Aira tetap menyapa, tapi kali ini tidak ada sapaan.
"Maaf, pak, ada temen bapak di luar," ujar bu Imas menghampiri Aryan yang baru saja selesai sarapan.
Aryan mengangguk, lalu bergegas menemui teman yang dimaksud bu Imas.
"Siapa, bu?" tanya Aira penasaran. Tidak biasanya ada yang berkunjung pagi-pagi begini.
"Eum, itu, mbak Diana mau ketemu pak Aryan, " jawab bu Imas ragu. Aira pun memilih menyudahi sarapannya, lalu pergi untuk melihat. Ia ingin tau, seperti apa sebenarnya hubungan Aryan dan Diana.
Di luar sana, Diana tampak ingin menyentuh tangan Aryan, namun laki-laki itu langsung memundurkan langkahnya.
"Maaf, Iyan. Aku gak ada maksud apa-apa kok. Aku cuma pengen ngejelasin sama mbak Aira, biar dia gak khawatir."
"Aku udah pernah bilang, Na, bahkan kamu kayaknya masih ingat prinsip aku kan. Jangan pernah sentuh barang pribadi aku, termasuk ponsel aku. Kamu bicara ke istri aku, disaat aku pulang telat. Dia lagi hamil, kalau dia syok atau mikir aneh-aneh, nanti dia sakit, aku juga yang susah." Aira yang mendengar itu dari balik pintu mencoba menahan air matanya.
Aira kira, Aryan sedang memikirkan perasaannya karena ia adalah istri laki-laki itu, tapi ternyata Aira terlalu percaya diri.
"Iya, aku tau. Makanya aku ke sini mau minta maaf sama mau ngejelasin ke mbak Aira, " sahut Diana dengan suara yang memelas.
"Gak perlu, yang ada nanti situasi makin kacau. Mendingan kamu pulang aja sekarang."
"Aku tadi naik taksi," ucap Diana sembari merapikan hijabnya. "Aku mau ke kampus, tapi ke sini dulu buat minta maaf. Mobil di pakai sama papa, ke rumah sakit," lanjut Diana terlihat menundukkan kepalanya.
Aryan terlihat menghela nafas, lalu menoleh ke arah pintu. Untung Aira memilih tempat yang strategis, jadi suaminya pasti tidak bisa melihatnya.
"Masuk ke mobil, tunggu di sana, biar aku anterin."
"Makasih, Iyan." Diana tersenyum manis, lalu pergi ke mobil Aryan yang akan di pakai ke tempat kerja.
"Bu Imas, kita ke kebun belakang yuk," ajak Aira mengusap kedua matanya.
"Ayo, non. Kayaknya cabe yang waktu itu juga udah berbuah, mungkin ada yang bisa di panen," sahut Bu Imas menggengam tangan Aira. Mungkin dengan melakukan aktivitas lain, bisa membuat Aira menenangkan pikirannya.
Halaman belakang.
Aira memindahkan bibit cabe dari tempat penyemaian, ke pot yang besar. Air matanya tak kunjung berhenti mengalir meski ia mencoba mengalihkan pembicaraan. Dadanya terasa sesak, karena menahan tangis tanpa suara.
"Kalau lelah, non berhak kok buat nyerah. Toh yang rugi juga pak Aryan," tutur bu Imas mengelus punggung Aira dengan lembut.
"Kalau nyerah, berarti Aira kalah dong," sahut Aira tertawa pelan, lalu menghapus air matanya yang membasahi pipinya.
"Pak Aryan kemari, non," seru bu Imas. Tumben sekali laki-laki itu menyusul Aira, padahal sebelumnya Aryan akan pergi kerja meski tanpa pamit padanya.
"Saya berangkat kerja dulu, kamu jangan lupa minum obatnya," ujar Aryan setelah sampai di dekat Aira.
"Gak usah khawatir, mas. Aku bakalan minum obat biar gak sakit, biar gak nyusahin mas sama yang lain," sahut Aira tanpa menatap suaminya yang ada di belakangnya.
"Baguslah kalau gitu." Setelah mengatakan itu, Aryan pun pergi meninggalkan Aira dan bu Imas di halaman belakang.
"Non? Non Aira, kenapa?" tanya bu Imas panik saat melihat Aira seperti menahan sesuatu. Seketika bu Imas berteriak memanggil orang-orang, termasuk Aryan yang baru saja sampai di pintu utama, saat Aira jatuh tak sadarkan diri.
"Dia kenapa, bu Imas?" tanya Aryan langsung menggendong Aira. Diana bahkan ikut keluar juga dari mobil karena penasaran.
"Saya gak tau, pak." Tanpa banyak tanya lagi, Aryan langsung membawa Aira ke mobil, untuk dibawa ke rumah sakit.
"Aku ikut, Iyan," pinta Diana saat Aryan sudah memasukkan istrinya ke mobil.
"Kamu diantar pak Amir aja, Na. Bu Imas yang bakalan ikut," sahut Aryan membuat Diana langsung cemberut.
"Iyan."
"Maaf ya." Setelah itu Aryan langsung masuk ke mobil, lalu melajukan mobil menuju rumah sakit.
"Ck!"
Beberapa jam kemudian.
Aira baru saja membuka matanya dan yang ia lihat pertama kali adalah mama Elisa, ibu mertuanya
"Pa, Aira udah bangun," panggil mama Elisa. Papa Heri pun bergegas mendekati tempat tidur Aira, lalu meminta bu Imas memanggil dokter.
"Ada yang sakit, nak?" tanya papa Heri khawatir.
Semua terlihat khawatir dengan keadaannya, tapi ia merasa sedih karena suaminya tak ada di dekatnya.
"Mas Aryan dimana, ma?" tanya Aira dengan suara pelan. Kepalanya benar-benar pusing rasanya, membuat ia sesekali memejamkan mata.
"Aryan tadi pamit bentar, Ra. Dia ada rapat pagi ini, makanya minta mama sama papa buat datang nemenin kamu di sini," jelas mama Elisa lembut. Aira pun menghela nafas pelan, lalu kembali memejamkan matanya.
Sepenting apa sih rapat itu? Kenapa suaminya selalu rapat setiap hari. Apa benar-benar rapat membahas kerja atau mungkin, rapat dengan Diana membahas masa depan mereka.
Ingin berpikir positif pun rasanya sangat sulit.
Siang harinya.
Aira kini tengah makan di bantu mama Elisa. Karena kondisi Aira sangat lemah, jadi Aira disarankan untuk di rawat inap sementara waktu.
Pintu kamar rawat terdengar di buka, Aira dan mama Elisa langsung menoleh ke arah pintu. Di sana, terlihat Aryan masuk dengan membawa tas kerjanya. Wajah Aryan terlihat murung, dengan bekas luka di sudut bibirnya.
"Muka kamu kok kayak habis di pukul, Yan. Itu bibir juga kok bisa luka? Kamu habis berantem tadi?" tanya mama Elisa dengan kening yang berkerut. Aryan ingin menjawab, namun papa Heri langsung menyela saat baru saja masuk ke ruang rawat.
"Papa yang pukul, ma." Sontak hal itu membuat kedua wanita tadi kaget. Ada apa gerangan sampai papa Heri memukul putranya sendiri.
"Kenapa, pa? Aryan salah apa?" tanya mama Elisa penasaran, begitu juga dengan Aira ikut penasaran.
"Entah! Coba tanya Aryan, apa kesalahannya sampai papa pukul," sahut papa Heri meletakkan pakaian ganti Aira yang ia ambil dari rumah. Pakaian itu sudah di siapkan art di sana, sebelum papa Heri tiba di rumah.
"Kamu ngelakuin apa sampai papa kamu marah, Yan?" tanya mama Elisa menatap Aryan yang sedari tadi hanya diam.
"Dia ketemu sama mantannya, padahal istrinya lagi sakit! Katanya rapat, tapi malah ngapelin mantan ke kampus, " jelas papa Heri geram karena Aryan hanya diam.
Sontak mendengar itu, mama Elisa langsung menatap tajam putranya. Aira pun hanya bisa menghela nafas saja dan memilih membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya.
"Ikut mama!" Mama Elisa menarik tangan Aryan keluar dari ruang rawat.
Satu tamparan kembali melayang di pipi kiri Aryan, menambah rasa perih di sudut bibirnya.
"Kamu bilang, kamu bakalan ngejauhin dia, Yan! Tapi ini apa? Disaat Aira berjuang dengan rasa sakitnya, kamu malah ketemuan sama dia!" Mama Elisa mencengkram kuat baju Aryan, melampiaskan amarahnya. Tidak habis pikir dengan tingkah putranya ini.
"Aryan bener-bener rapat, ma. Tapi, sewaktu jalan mau ke sini, Diana nelpon Aryan, katanya dia gak ada mobil, jadi gak bisa pulang," jelas Aryan membuat Mama Elisa semakin geram, begitu pula dengan papa Heri yang sudah ada di dekat mereka.
"Kampus Diana itu bukan di hutan, Aryan! Kampus dia ada di tengah kota, jadi, taksi pasti selalu lewat di sana. Dia juga bukan orang miskin, sampai mobil atau motor gak punya! Dia bisa nelpon saudaranya buat jemput dia! Ini semua cuma alasan kalian berdua biar bisa bareng lagi kan!" teriak mama Elisa tertahan. Rasanya sangat kecewa melihat tingkah putranya yang semena-mena begini.
"Maaf," ucap Aryan pelan. Mama Elisa pun melepaskan cengkramannya, lalu lanjut menatap sinis putra semata-wayangnya itu.
"Kamu yang setuju sama pernikahan ini dan mutusin Diana. Kami gak pernah maksa kamu buat nikahin Aira dan mutusin Diana. Kamu kan bisa milih masuk penjara aja, daripada nikahin Aira. Kamu yang memilih, jadi kamu yang harus bertanggung jawab. Kalau sampai kami dengar kamu masih berhubungan dengan Diana lagi, mama gak akan anggap kamu sebagai anak! Jangan cari mama, walaupun mama udah mati! Camkan itu!" Setelah mengatakan itu, mama Elisa pun memilih masuk kembali ke ruang rawat.
"Minta maaf ke Aira, kalau kamu memang laki-laki," ucap papa Heri, lalu ikut masuk juga menyusul istrinya.
Aryan pun menatap pintu yang sudah tertutup, lalu menghela nafas berat. Ia tidak bermaksud menjalin hubungan lagi dengan Diana, hanya saja ia tak bisa berhenti peduli dengan wanita yang pernah mengisi hatinya dan mungkin masih ada di hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!