NovelToon NovelToon

Terjebak Pernikahan

Bab 1: Terjebak Pernikahan

Perasaan Ralina sejak tadi tidak bisa tenang. Ia masih duduk di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Siapa yang menyangka di usianya yang baru memasuki 20 tahun, ia sudah resmi menyandang status sebagai istri orang.

Tidak pernah sedikitpun terbersit dalam pikirannya untuk menikah muda. Cita-citanya ingin menyelesaikan kuliah S1 yang baru ia tempuh empat semester, lalu lanjut S2 dan S3 di luar negeri. Tapi, dalam semalam ia tiba-tiba harus menikah.

Semua gara-gara Karina, kakak kandungnya. Entah mengapa tepat di hari pernikahan sang kakak memutuskan untuk kabur hanya dengan meninggalkan secarik surat permintaan maaf. Padahal, hari-hari sebelumnya, Karina tampak antusias dengan rencana pernikahannya.

Karina yang cerewet menceritakan seluruh perasaannya pada Ralina, betapa tidak sabarnya ia untuk menikah dengan seorang pengusaha muda sukses bernama Tristan Alfred. Hadiah-hadiah mewah, perhiasan, serta gaun pengantin yang indah dipamerkan kepada Ralina.

Sebagai adik yang baik, Ralina turut senang dengan kebahagiaan kakaknya. Ia juga berharap bisa menikah dengan lelaki idamannya kelak seperti sang kakak.

Entah mengapa saat prosesi pernikahan tiba, kakaknya mendadak menghilang. Aneh ... Sangat aneh ...

Kakaknya sangat menyukai Tristan. Janggal jika Karina kabur dengan alasan tidak menginginkan pernikahan itu seperti yang tertulis di surat.

Ayah Ralina hampir pingsan mengetahui putrinya kabur. Orang tua Tristan juga marah karena merasa dipermalukan. Apalagi pesta pernikahan yang mereka gelar dihadiri oleh orang-orang penting dari kolega bisnis kedua keluarga. Jika sampai pernikahan itu gagal, sudah dipastikan akan berpengaruh terhadap kerjasama bisnis mereka.

Dalam situasi yang memanas itu, Tristan bersuara. Ia meminta Ralina menggantikan Karina untuk menyelamatkan nama baik kedua keluarga.

Ralina tidak bisa berkata-kata. Apalagi menyaksikan ibunya yang terus menangis dan memohon agar dia mau menggantikan kakaknya. Dengan terpaksa, ia menyetujuinya. Menikahi lelaki yang seharusnya menjadi suami kakaknya.

Ralina terkejut saat mendengar suara pintu kamar terbuka. Tampak lelaki berperawakan tinggi masuk dan menutup kembali pintu yang dibukanya.

Ralina menghela napas. Kedua tangannya menggenggam gaun pengantinnya. Ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Kegelisahannya bertambah.

Tristan melangkah dengan pasti sembari melepas jas dan meletakkannya di sofa. Ia menghampiri wanita muda yang baru resmi menjadi istrinya.

"Kamu belum tidur?" tanyanya.

Sudah hampir larut malam. Tristan baru bisa menemui istrinya setelah menyapa semua tamu yang hadir. Ia tak bisa mengabaikan tamu-tamu penting yang hadir, mengingat mereka semua adalah koleganya.

"Aku mau pulang," ucap Ralina lirih.

"Orang suruhanku belum selesai membereskan apartemen yang akan menjadi tempat tinggal kita. Untuk sementara kita tinggal di sini dulu," jawab Tristan.

"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku."

Tristan mengernyitkan dahi mendengar jawaban Ralina. Sorot matanya fokus menatap wanita yang terus tertunduk tak berani menatapnya.

"Maksudnya apa ini?" tanya Tristan memastikan. Rasa lelah menghadapi tamu belum hilang, kini ada ucapan yang membuatnya merasa kesal.

"Kamu mau meninggalkan aku? Meninggalkan suamimu?" sambungnya.

Ralina mengumpulkan segenap keberaniannya. Ia mengeratkan cengkraman tangannya pada gaun sembari perlahan mengangkat kepala, menatap lawan bicara yang ada di hadapannya. Raut wajah serius yang Tristan perlihatkan sebenarnya semakin membuat nyalinya semakin ciut. Lelaki bertubuh tinggi besar itu seperti menara yang memaksanya untuk mendongak maksimal untuk bisa menatapnya.

"Kita ... Kita menikah bukannya sekedar untuk menjaga nama baik kedua keluarga? Jadi, pernikahan ini palsu, kan?"

Tristan menyeringai. "Palsu katamu?"

"Pernikahan kita disaksikan banyak orang, digelar dengan meriah, kamu bilang palsu?"

"Orang gila mana yang mau melakukan pernikahan main-main dengan mengundang banyak orang penting dan menghabiskan biaya milyaran?"

"Tapi yang seharusnya jadi pengantin wanita itu Kak Karina," kilah Ralina.

"Siapa yang peduli dengannya, hah? Dia sendiri yang memilih kabur!"

Tristan tampak emosi. Wajahnya merah padam ketika nama Karina disebut.

"Memang mungkin niatnya ingin menghancurkan nama baikku dan juga mempermalukan keluargaku di hadapan umum. Luar biasa menang kelakuannya!"

Ralina menggelengkan kepala. Ia sebenarnya takut dengan respon Tristan tentang kakaknya.

"Aku yakin ini hanya salah paham. Kakakku tidak mungkin seperti itu. Dia sangat mencintai Kak Tristan!" Ralina kembali mencoba menyangkal perkataan Tristan.

Tristan kembali menyunggingkan senyumannya yang tampak seram. Ia maju selangkah, membungkukkan badannya tepat di hadapan Ralina. Wanita itu terlihat sedikit kaget dan reflek memundurkan badan menghindar.

Tristan yang provokatif semakin mendekatkan wajahnya hingga Ralina jatuh terlentang di bawahnya. Mau menghindar pun tak bisa, kedua tangan Tristan tepat di samping kanan kirinya.

"Bukankah kamu sudah membaca sendiri suratnya?" tanya Tristan mengintimidasi.

Ia seperti menikmati kelakuannya yang menakut-nakuti wanita di bawahnya.

"Kalau dia sangat mencintaiku, untuk apa dia kabur dari pernikahan ini?"

Sorot mata Tristan tak bisa lepas dari Ralina. Wanita itu tampak menggemaskan, apa lagi saat ketakutan. Ingin rasanya ia segera menerkamnya seperti seekor serigala yang kelaparan.

"Mungkin ... Kak Karina ada alasan lain. Kita harus menemukannya dan menanyakan langsung alasannya kabur," ujar Ralina.

Ia berusaha menyingkirkan kedua tangan Tristan, namun terlalu kuat seperti kayu. Ia merasa terjebak. Degup jantungnya semakin kencang. Tidak pernah ia sedekat itu dengan seorang lelaki sekalipun itu pacarnya sendiri.

"Itu tidak perlu. Lagipula kamu kan sudah jadi istriku."

Ralina melebarkan mata. Ia tidak menyangka Tristan akan memberikan respon seringan itu.

"Tidak bisa begitu ... Aku kan hanya menggantikan kakakku!"

Ralina semakin kuat berusaha menyingkirkan tangan lelaki itu. Namun, Tristan tak bisa dilawan. Kedua tangannya justru dipegangi oleh Tristan agar diam.

"Benar ... Kamu sendiri yang sudah memutuskan untuk menggantikan kakakmu sebagai istriku."

"Jadi, bertanggung jawablah dengan keputusanmu!" kata Tristan tegas.

"Kak Tristan, tolonglah ... bukan aku yang seharusnya menikah denganmu."

Ralina yang pasrah berusaha memohon. Tristan benar-benar membuatnya takut.

"Aku tidak peduli. Siapapun yang aku nikahi, berarti itu istriku!"

"Aku tidak bisa menempati tempat yang seharusnya menjadi tempat kakakku."

Tristan semakin bersemangat melihat wajah lugu dan takut Ralina. Sangat mempesona dan menantang.

"Buktinya sekarang kamu bisa, kan?"

"Menjadi pahlawan untuk kakakmu ... Juga untuk ayahmu yang tadi sempat hampir pingsan."

"Aku yakin ayahmu akan benar-benar pingsan jika mendengar anaknya minta pulang."

Ralina seketika terdiam mendengar perkataan Tristan.

"Susah payah aku meluruskan situasi kacau yang kakakmu lakukan, menjelaskan kepada satu per satu tamu undangan sampai aku kelelahan ...."

"Sekarang kamu mau mengacaukannya lagi?"

"Kamu mau keluarga kita benar-benar hancur dan malu?"

"Kalau itu memang maumu, ayo kita lakukan ... Kamu mau pulang, kan?" Tantang Tristan.

Ralina tidak bisa menjawab. Pikirannya kacau. Ada banyak hal yang dia pertimbangkan dan membuatnya sakit kepala.

Ia masih bertanya-tanya, kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Kenapa dia bisa terjebak dalam pernikahan yang tak pernah dibayangkannya?

Bab 2: Desakan Menikah

3 bulan sebelumnya ....

Kesibukan di pagi hari sudah terlihat di mansion milik Keluarga Leonardo. Para pelayan kesana kemarin melakukan pekerjaan yang sudah menjadi bagiannya. Ada yang menyapu, mengepel, mengelap kaca, menyiram tanaman, hingga mempersiapkan sarapan untuk pemilik rumah.

Emili, wanita yang masih tampak cantik di usianya yang sudah lebih dari 50 tahun. Pagi-pagi ia sudah berdandan anggun mengenakan dress ruffle warna marun dengan rambut yang dicepol rapi. Dialah nyonya rumah yang selama ini berjasa mengatur mansion sebesar itu.

"Selamat pagi, Sayang ...."

Emili mengalihkan pandangannya ke arah tangga.

Tampak sang suami, Tuan Leonardo, telah berpakaian rapi turun menghampiri. Ia menyambut suaminya dengan senyuman manis dan memberinya pelukan hangat.

"Selamat pagi, Sayang. Aku telah menyiapkan sarapan kesukaanmu, steak tenderloin," tutur Emili dengan penuh antusias.

Meskipun ada banyak pelayan di rumah, namun Emili selalu ikut turun langsung memasak makanan untuk keluarganya. Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan untuk menyajikan langsung makanan dengan tangannya.

"Dimana putra kesayanganmu? Tumben belum turun," tanya Leon.

"Aku sudah menyuruh pelayan untuk memintanya sarapan bersama. Mungkin sebentar lagi dia turun."

Emili menghidangkan steak yang dibuatnya di hadapan sang suami. Tak lupa ia juga mengambil piring hidangan miliknya. Mereka duduk berdampingan dan mulai menikmati steak yang ada di dipiring masing-masing.

"Morning, Mom, Dad ...."

Putra mahkota yang mereka tunggu akhirnya turun menyusul kedua orang tuanya di ruang makan. Ketika ia duduk bergabung di sana, seorang pelayan langsung cekatan menghidangkan menu sarapan pagi beserta segelas teh hangat.

Tristan Alfred. Begitulah nama indah yang diberikan oleh Emili dan Leon kepada putra semata wayang mereka.

Muda, tampan, kaya, dan cerdas. Empat kata itu agaknya mampu mewakili deskripsi tentang Tristan yang kini telah menginjak usia 29 tahun. Calon pewaris tunggal raksasa bisnis milik Keluarga Leonardo.

Ejak kecil hidupnya sudah penuh kemewahan. Segalanya bisa ia dapatkan termasuk fasilitas pendidikan yang mampu mengantarkannya sebagai seorang pengusaha muda dan terkenal sekarang. Wajahnya beberapa kali muncul menghiasi halaman utama majalah bisnis.

Dia tidak hanya mengandalkan nama besar keluarganya. Tapi, dia memang punya kompetensi di bidang bisnis sesuai dengan jurusan kuliah yang ditempuhnya di Australia.

"Kamu baru pulang dari Shanghai tadi malam, sekarang sudah mau berangkat ke kantor lagi?" tanya Emili melihat penampilan putranya yang telah rapi seperti sang suami.

"Ya, Mom. Ada rapat penting yang tak bisa aku tinggalkan. Jadi, aku akan datang ke kantor," jawab Tristan sembari menyantap sarapannya.

"Seharusnya kamu ambil waktu istirahat. Biarkan Regis yang menggantikan pekerjaanmu sesekali. Kenapa hidupmu selalu disibukkan kerja dan kerja? Kamu kan masih muda ...," ujar Emili sedikit menggerutu.

Sebenarnya ia merasa kehilangan sosok putranya yang seperti sangat ambisius dengan pekerjaan. Padahal, suaminya sendiri tak sesibuk Tristan. Semenjak lulus S2 dari Australia, Tristan sibuk merintis bisnisnya. Anak itu tidak mau meneruskan bisnis keluarga. Padahal, tanpa bekerja keras juga hidup Tristan sudah enak.

"Selama di Shanghai, Regis sudah bekerja keras membantuku, Mom. Jadi aku memberinya waktu libur."

Emili menghela napas. "Orang lain kamu beri liburan. Tapi kamu sendiri tidak ada libur," sindirnya.

"Mommy kesepian, Tristan," sahut Leon yang memahami perasaan istrinya.

"Hahaha ... Bukankah sudah ada Daddy yang setiap hari di rumah, Mom? Aku bukan anak kecil lagi sekarang," timpal Tristan.

"Kamu ini anak mommy satu-satunya! Kalau tidak bisa selalu di rumah, setidaknya cepat menikah dan berikan mommy beberapa cucu yang lucu!"

Tristan memperlambat kunyahannya mendengar ucapan sang ibu. Entah mengapa selera makannya tiba-tiba hilang.

"Nanti kalau sudah waktunya juga aku akan menikah, Mom. Sekarang aku masih sibuk dengan pekerjaan."

Sudah tiga tahun belakangan memang ibunya selalu mendesaknya untuk menikah. Tapi, ia sendiri belum terlalu memikirkan ke arah sana.

"Kamu masih bisa terus bekerja meskipun nanti sudah menikah. Lalu kenapa masih ditunda-tunda?"

"Bagaimana dengan lamaranmu untuk putri Keluarga Arthur? Kamu juga sudah menggantungkannya selama satu tahun tanpa kepastian."

"Atau kamu batalkan saja lamaran itu! Mommy akan mencarikanmu calon istri dari keluarga lain."

"Jangan, Mom!" Tristan menolak dengan cepat keinginan ibunya.

"Sebenarnya Mommy kurang suka dengan Karina. Apa yang kamu suka dari wanita seperti itu?"

"Keluarganya juga punya banyak masalah, perusahaan mereka pasti sudah bangkrut kalau kamu tidak membantunya."

"Cari saja wanita lain dari keluarga yang lebih baik! Dari pada nanti banyak masalah muncul gara-gara keluarga mereka!"

Emili sudah berusaha mengenalkan banyak gadis cantik untuk putranya. Tentu saja mereka yang ia kenalkan bukan dari kalangan biasa, melainkan para anak pengusaha yang setara dengan mereka.

Tristan tak pernah tertarik dengan satupun dari mereka. Sampai Emili khawatir jika putranya tidak menyukai wanita.

Tapi, satu tahun yang lalu, tiba-tiba Tristan mengutarakan ketertarikannya kepada putri dari seorang pengusaha restaurant yang hampir bangkrut. Tidak bisa disangkal jika Karina Elizabeth Arthur itu memang wanita yang cantik. Namun, menurut Emili, Karina terlalu centil dan manja. Ia tidak bisa membayangkan memiliki menantu seperti Karina.

"Aku hanya mau menikah dengan putri Tuan Arthur, Mom."

"Kalau Mommy tidak menyukainya, tidak apa-apa jika aku tidak harus menikah," jawab Tristan dengan santainya.

Emili tertegun kehabisan kata-kata. Jawaban Tristan langsung mampu mendiamkannya.

"Biarkan Tristan memilih calon istrinya sendiri, Sayang. Lagi pula, membantu sedikit keluarga mereka juga tidak akan membuat keluarga kita jatuh miskin," sambung Leon.

Emili merasa sendiri. Bahkan suaminya juga berada di pihak putranya. Ia semakin tak berdaya.

"Terserah kamu saja kalau begitu, Tristan. Setidaknya, Mommy bisa melihatmu menikah dan memiliki anak," ucap Emili penuh kepasrahan.

Tristan terlihat mengulaskan senyum.

"Kalau kamu memang serius ingin menikah dengan Karina, tahun ini kalian harus menikah! Mommy tidak mau tahu!"

Tristan kembali tertegun. Ibunya kalau sudah punya kemauan tidak bisa dibantah.

"Luangkan waktumu untuk membahasnya dengan Karina dan keluarganya. Mommy tidak mau mengulur-ulur lagi."

"Kalau bisa minggu ini kita adakan pertemuan keluarga. Mommy akan mengatur semuanya."

Tristan menghela napas dalam-dalam. Ia meletakkan alat makannya. "Mom, aku sudah selesai sarapan. Aku berangkat ke kantor dulu," pamitnya seraya bangkit dari tempat duduknya.

"Tristan!" seru Emili yang kaget tiba-tiba putranya pergi begitu saja dari hadapannya.

"Sudahlah, Sayang. Jangan terlalu mengatur. Tristan sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusannya sendiri," kata Leon menasihati sang istri.

Sementara, Tristan berjalan dengan langkah cepat menuju halaman depan. Di sana sudah terparkir mobil Audi hitam dengan sopir pribadinya.

"Selamat Pagi, Pak Tristan," sapa Hansan, sopir pribadi Tristan.

"Selamat pagi." Tristan menjawab sapaan sang sopir ketika memasuki kursi belakang mobil itu.

"Apa Pak Tristan ingin langsung ke kantor?"

Tristan terdiam sejenak.

"Tidak."

"Antar dulu ke kediaman Tuan Arthur!"

Bab 3: Mengantar ke Kampus

Mobil yang Tristan naiki berhenti di halaman sebuah rumah berlantai dua bercat putih, rumah kediaman Keluarga Arthur. Hansan membukakan pintu mobil. Tristan keluar membawa sebuah buket bunga yang sempat ia beli di jalan serta sebuah paperbag kecil berwarna coklat.

Kedatangannya langsung disambut seorang pelayan yang memandunya untuk langsung memasuki rumah.

"Oh, Tristan .... "

Seorang wanita paruh baya menyambut kehadiran Tristan dengan senyuman.

Tristan memeluk wanita yang merupakan calon ibu mertuanya, Laurent Arthur.

"Sudah lama sekali kamu tidak mampir ke sini. Ayo, duduk dulu!" ajak Laura.

"Tante dengar dari Karina kamu ke Shanghai?"

Tristan mengangguk. Ia menyodorkan paperbag yang dibawanya ke hadapan Laura.

"Saya belikan set perlengkapan teh dari sana untuk Tante. Katanya Tante Laura sangat suka minum teh."

Mata Laura berbinar melihat hadiah yang Tristan bawakan. Ia mengintip isi paperbag itu dan mengulaskan senyuman. Benda itu seperti yang diinginkannya selama ini.

"Kamu memang sangat pengertian, Tristan. Tante sangat menyukainya. Terima kasih," ucapnya.

"Oh, bunga itu juga cantik sekali ...." Laura memperhatikan buket bungan yang Trian bawa. Buket mawar merah yang indah.

"Itu pasti untuk Karina, ya?" tanyanya memastikan.

Trian menjawabnya dengan senyuman dan anggukkan kepala.

"Sayang sekali, Karina masih belum pulang. Sejak kemarin dia pergi katanya mau merayakan ulang tahun temannya. Apa dia tidak mengabarimu?"

Tristan menggeleng.

"Saya juga tidak mengabarinya kalau akan datang. Niatnya mau membuat kejutan."

Laura menampakkan raut kecewa terhadap putrinya. Jarang-jarang Tristan bisa berkunjung ke rumah dan Karina kebetulan sedang tidak ada. Dalam hati ia menggerutu.

"Ah, coba nanti kamu hubungi Karina lagi. Atau nanti kalau dia pulang, tante akan suruh dia menghubungimu."

Tristan mengangguk setuju.

"Mama ...."

Suara lembut seorang wanita mengalihkan perhatian mereka.

Ralina tak jadi meneruskan kata-katanya ketika melihat seorang tamu yang tengah berbicara dengan ibunya. Ia tentu kenal dengan tamu itu, Tristan, tunangan kakaknya.

"Hai, Kak Tristan," sapanya dengan sedikit canggung.

Tristan mengulaskan senyum membalas sapaan itu.

"Ralina, tadi kamu mau bicara apa?" tanya Laura.

"Ah! Itu ... Apa Kak Karina belum pulang? Nomornya tidak bisa dihubungi, Ma," jawab Ralina.

"Kakakmu belum pulang. Hari ini kamu ke kampus naik taksi saja dulu, mobilnya kan dibawa Karina," usul Laura.

Ralina hanya bisa menghela napas pasrah. Lagi-lagi kakaknya memakai mobilnya dengan seenaknya.

"Mobil Karina masih di bengkel, Tristan. Jadi dia memakai mobil adiknya dulu. Minggu kemarin Karina sempat mengalami kecelakaan, mobilnya ditabrak dari belakang. Tapi untung saja dia masih selamat, hanya mobilnya yang sedikit penyok."

Tristan melirik ke arah Ralina yang tampak murung dan kesal.

"Mobil yang untuk mengantar Rafael boleh aku bawa, Ma?" tanya Ralina ragu.

Laura memberikan lirikan tajam ke arah putri keduanya. "Mobilnya belum kembali. Nanti juga mau mama pakai untuk menghadiri acara."

"Apa susahnya kamu sehari saja ke kampus naik taksi?"

Laura berusaha menahan kekesalannya di hadapan Tristan. Baginya, Ralina anak yang sangat menyusahkan dan tidak tahu situasi. Seharusnya Ralina langsung pergi saja mencari taksi di depan kompleks perumahan. Lagipula, Ralina juga sudah tahu kalau mobil satunya biasa untuk mengantar Rafael, putra bungsunya yang masih duduk di bangku SMP kelas 3.

Ralina mengepalkan kedua tangannya. "Kalau begitu, aku berangkat dulu, Ma," pamitnya.

Ia melangkah pergi meninggalkan ibu dan Tristan. Hatinya merasa kesal namun tidak bisa berbuat apa-apa. Seakan takdirnya memang harus selalu mengalah dengan semua orang, baik kakak maupun adiknya.

Ralina menatap jalanan kompleks perumahan mewah yang tergolong sepi itu. Mungkin dia satu-satunya penghuni yang paling sering berjalan kaki sampai pos masuk yang jaraknya 1 kilometer.

Kakaknya sering merusakkan mobil dan sebagai imbasnya, mobil Ralina yang sering dipinjam.

"Kali ini aku pasti akan telat. Seharusnya tadi aku bangun lebih pagi," gumamnya sembari berjalan.

Pagi ini ada mata kuliah yang dosennya terkenal disiplin. Jika mahasiswanya datang terlambat lebih dari 5 menit, maka akan diusir. Ia tidak tahu kalau mobilnya dibawa kakaknya. Karina meminjam secara diam-diam tanpa sepengetahuannya.

Setelah berjalan sekitar 300 meter, sebuah mobil berhenti di depannya. Mobil itu yang tadi terparkir di halaman rumahnya. Mobil milik Tristan.

Tiba-tiba sang sopir keluar dan membukakan pintu mobil. Tampak ada Tristan di dalamnya.

"Ralin, masuk!" pinta Tristan.

Ralina tersenyum kikuk. "Tidak usah, Kak. Aku jalan kaki saja." Ia menolak dengan sopan.

"Masuk!" pinta Tristan sekali lagi.

"Aku akan mengantarmu ke kampus."

Memikirkan konsekuensi yang diterima jika ia telat, Ralina akhirnya mau masuk dan duduk di samping Tristan dengan perasaan yang sangat canggung.

Sesaat setelah Ralina masuk, mobil kembali berjalan. Ralina hanya tertunduk, tak berani menatap ke arah lelaki di sebelahnya.

"Bagaimana kuliahnya? Lancar?"

Ralina mengangguk. Entah mengapa ia merasa sangat tidak nyaman. Meskipun sudah beberapa kali bertemu, ia masih saja risih dengan keberadaan lelaki yang akan menjadi kakak iparnya.

Mereka sudah saling kenal sejak lama. Dulu mereka sempat bertetangga. Selain jarak usia mereka yang cukup jauh, kepribadian Tristan yang pendiam juga membuat mereka tidak dekat. Dulu Ralina akrab dengan adik Tristan yang bernama Teressa. Namun, Teressa sudah meninggal 7 tahun yang lalu.

"Aku dengar kamu berhasil mendapatkan beasiswa penuh," ucap Tristan.

"Ah, kebetulan iya, Kak." Ralina berusaha menjawab meskipun sebenarnya ia tidak ingin ditanya-tanya. Suasana terasa semakin tidak nyaman.

"Hebat."

"Susah untuk lolos beasiswa penuh di kampus X."

"Artinya kamu sangat cerdas," puji Tristan.

"Itu ... Aku rasa hanya kebetulan saja." Ralina berusaha merendah.

"Ini!"

Tristan menyodorkan sebatang coklat impor. Ralina akhirnya mau mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah lelaki yang menyodorkan coklat itu padanya.

"Kamu suka coklat, kan?

"Aku membelinya waktu di Shanghai."

"Itu mengingatkanku pada adikku."

"Seandainya dia masih hidup, dia pasti sudah sebesar kamu."

"Mungkin juga kalian masih jadi teman baik sampai sekarang."

Ralina mengulurkan tangannya menerima coklat pemberian Tristan. "Terima kasih, Kak," ucapnya.

"Kamu nanti kuliah sampai jam berapa?" tanya Tristan.

"Sampai jam satu siang, Kak. Memangnya kenapa?"

"Mau makan siang bersama?"

Ralina tertegun tiba-tiba diajak makan siang. "Aduh ... Bagaimana, ya?" ia ingin menolak tapi tidak tahu alasan yang tepat.

"Aku mau kamu membantu memilihkan hadiah untuk Karina. Sepertinya hanya kamu yang paling tahu seleranya."

Ralina semakin bingung untuk menolak.

"Kalau kamu tidak bisa, ya mau bagaimana lagi ... Niatnya aku ingin membelikan cincin untuknya."

"Aku ingin membahas pernikahan dengannya."

Mendengar perkataan Tristan, Ralina tampak tertarik. Kakaknya memang sangat ingin segera menikah dengan lelaki itu, namun Tristan selalu mengulur waktu dan terkesan ingin menghindar.

"Ya, sepertinya aku bisa membantu Kak Tristan," jawab Ralina.

Tristan mengulaskan senyum. "Jam satu aku akan menjemputmu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!