Suara napas yang menderu usai pergulatan bibir itu membuat sang pria menyeka bibir basah gadis di depannya.
“Manis, seperti biasa. Tapi … aku kepingin yang lebih. Sudah seminggu ini aku tidak mendapatkan jatah darimu,” ucap pria dengan mata sipit itu.
“Ah, jangan sekarang, Sayang! Aku sedang halangan,” tolak gadis berambut lurus panjang.
“Ah, padahal aku sedang ingin ….” Ucapan pria dengan rambut hitam legam itu berhenti, saat melihat gadis cantik berdiri di ambang pintu.
Brak
Rantang nasi jatuh di lantai. Semua isi di dalamnya berhamburan, suara gaduhnya itu membuat perempuan dalam dekapan sang pria menoleh.
“Apa dia kekasihmu, Sayang?” tanya gadis berambut panjang itu tanpa malu.
“Mas Artha, aku tidak menyangka, di belakang aku, kamu bermain gila.” Air mata gadis berambut sebahu itu hampir tumpah. Tak peduli dengan masakannya yang berantakan di bawah sana.
“Inara? Sejak kapan kamu di-di sana?” Artha melerai pelukannya. “Diah, kamu ke belakang dulu.”
Diah dengan santainya mengangguk, lalu pergi ke belakang. Lantas, Artha sendiri mendekati kekasihnya.
“Aku sasma dia—“
“Kalian berhubungan, kan, Mas? Dia bukan sepupu kamu.”
Artha tersenyum miring. Sebelah tangannya masuk di saku sakunya. “Jadi, gimana? Selama ini, kamu tidak bisa memberikannya padaku, lantas, apa salahnya aku meminta pada perempuan lain?”
Plak
Tamparan yang begitu keras mendarat di pipi Artha. Napas Inara terlihat menderu. Dengan air mata yang luruh.
“Bisa-bisanya kamu giniin aku, Mas? Kita sudah bertunangan dan hampir menikah, kamu justru—“
“Kamu yang tidak percaya sama aku, Inara! Jadi, jangan salahkan aku jika aku meminta kepuasan pada perempuan lain.”
Dada Inara begitu sesak. Calon suaminya begitu sangat tega. Tanpa meminta maaf, malah menyalahkannya balik. “Kamu kenapa jadi playing victim kaya gini, sih, Mas?”
Artha tersenyum miring, tangannya mengusap peluh di dahi. “Kenapa? Gak suka? Kita batalin aja pernikahan kita itu.”
Inara buru-buru melepas cincin pertunangan mereka, lalu dilempar ke wajah Artha. “Aku kecewa sama kamu. Aku pastiin, kamu bakalan menyesal!” Dengan amarah yang menggebu, Inara pergi dari rumah Arta.
Gadis itu berlari sekuat tenaga. Hatinya begitu sakit melihat kebohongan sang kekasih selama ini.
‘Harusnya aku sadar, dia memang tidak pernah serius. Nyatanya, dia selalu mengundur-undur pernikahan. Tapi, Aku bersyukur bisa melihat seuanya.’ Inara tak peduli, ia terus berlari hingga suara klakson mobil yang keras membuatnya berhenti.
Bruk
Tubuh ramping Inara ambruk. Limbung dan terjatuh di tepi jalan. Pelipisnya membentur trotoar, ponsel yang ada di tangan terlempar dan jatuh di selokan. Inara merasakan pening, dengan telinga berdengung, sayup-sayup terdengar seruan seseorang, dan perlahan suara itu memudar dengan cahaya putih pula memudar bergantikan hitam, gelap. Inara tak mendengar apapun.
“Hey, bangun!” Pria jangkung dengan hidung besar mengguncang tubuh ringkih Inara. Keningnya mengkerut, menandakan kekhawatiran yang mendalam. Wajah cantik dengan muka sembab tak sadarkan diri. “Inara … kamu harus bangun.”
Setelah tolah-toleh, tak ada seorangpun yang ada di sana. Pria dengan tahi lalat di bibir atas itu mengangkat gadis yang ia kenal itu.
“Gadis bodoh! Selalu saja sembrono.” Setelah membaringkan Inara di jok belakang, pria berambut hitam legam itu buru-buru memasuki mobilnya. Meminta sang supir untuk lekas menjalankan mobil.
“Di bawa ke rumah sakit apa rumah utama, Tuan Argha?” tanya sang supir dengan khawatir.
“Ke rumah saja. Kita tidak ada waktu. Biar dokter keluarga yang mengurusnya,” jawab Artha dengan cepat.
Mobil mewah itu melaju dengan cepat menuju rumah utama keluarga Winata. Membelah jalanan ibu kota.
Sampai di halaman mansion, dengan cepat Argha turun dari mobilnya. Menggendong sendiri gadis yang terserempet mobilnya itu. Deretan pelayan berbaris menyambut kehadirannya.
Pun dengan beberapa ajudan. Yang mengikutinya dari belakang.
Di kamar tamu, seseorang membukakan pintu, Argha membaringkan Inara di atas ranjang.
“Panggil Dokter Edo untuk memeriksa dia,” titah Argha yang kemudian pergi dari kamar itu.
“Baik, Tuan.”
Argha masuk ke dalam ruang kerjanya, ia duduk dengan gusar. Sebelah tangannya mengepal dengan kuat. Latas, memukul meja kebesarannya dengan kuat.
Brak!
“Brengsek. Bisa-bisanya dia mengacaukan semuanya. Anak sama ibu tidak ada bedanya!”
Tok tok tok
Mendengar ketukan pintu, Argha langsung menoleh. Pria berhidung bangir itu menatap tajam seorang wanita yang memerikan anggukan kecil.
“Pak Argha, Mbak Inara sudah siuman.”
Argha bangkit dari tempat duduknya. Ia memberikan anggukan. “Di mana Dokter Edo? Apa sudah memeriksa Inara?”
“Sudah, Pak. Mbak Inara hanya mengalami syok dan kaki kirinya terkilir.”
Argha kembli mengangguk, pikirannya kembali pada ekpresi Inara ketika sebelum pingsan. Gadis itu tampak seperti habis menangis. “Kamu siapkan makanan untuk dia. Sebentar lagi saya akan ke sana.”
“Baik, Pak.”
Argha mengigit bibir bagian bawahnya. ‘Apa dia sudah tahu semuanya?’
Tak ingin berlama-lama, Pria jakung itu langsung menuju ruang tamu. Ia ingin memastikan sendiri, keadaan Inara. Pun ingin tahu hal yang terjadi pada gadis itu.
Klek
Inara mengangkat wajahnya, bibirnya mendesis karena merasakan sakit yang luar biasa di kakinya itu. Namun, ia berusaha untuk menahannya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Argha dengan dingin, seperti biasa.
“Ba-baik. Saya harus pulang, Pak.” Inara berusaha untuk bangkit, namun buru-buru Argha menahannya. Pria taman dengan hidung bangir itu duduk di sebelahnya. “Pak, saya—“
“Kenapa kamu bisa lari-larian di jalan?”
Inara mengerjab beberapa kali, seperti biasa, pertanyaan Argha tak terbantahkan. Di kantor, Argha adalah orang yang paling ia takuti, meski statusnya adalah kekasih Artha sekalipun. Namun, ingatan akan penghianatan Artha, membuat Inara menundukkan kepala.
“Apa kamu melihat Artha selingkuh?”
Mata Inara terbelalak. Gadis itu tak menyangka. Orang kaya memang selalu mempermainkan hati orang miskin. Harusnya, Inara sadar diri sejak lama. Bisa jadi, Argha memang melindungi Artha, mengingat keduanya adalah kakak-beradik.
“Tinggalkan dia,” lanjut Argha.
Inara mengangguk. Sudah pasti, dia tidak akan mengemis, karena ia sudah benar-benar dibuang. Beruntungnya, ia belum menyerahkan kesuciannya pada iblis itu. “Anda jangan khawatir, Pak. Saya akan memutuskan hubungan saya dengan Mas Artha.”
Argha menatap tajam Inara, ide gila terbesit dalam benaknya. ‘Aku tahu, Argha tak benar-benar melepaskan mainannya.
“Pernikahan itu akan tetap terjadi.”
Inara mengangguk. Tentu Artha akan menikah, dengan wanita bernama Diah itu. Ia menghela napas panjang. Jauh dari lubuk hati yang terdalam, ia masih belum bisa move on. Wlau bagaimana pun juga, Artha adalah pria manis yang selalu memperlakukannya dengan baik. Hanya saja, pria itu memiliki napsu yang begitu tinggi.
“Biarkan saja mereka menikah. Saya sudah tidak [eduli lagi.”
“Bukan Artha, tapi kamu.”
“Ha? Sa-saya?” Inara menunjuk hidungnya sendiri. Melihat Argha mengangguk, perempuan dengan mata lebar itu menelan ludah perlahan. “Kenapa saya?”
“Saya yang akan menjadi mempelai prianya.”
Demi apapun, mata Inara langsung mendelik sempurna. “Ba-bapak? Pak, ini bukan—“
“Sudahlah Inara. Saya yakin, orang tua kamu pasti yang akan malu jika pernikahan itu dibatalkan. Saya yang akan menjadi mempelai prianya. Saya akan memperlakukan kamu dengan baik, dan kamu akan mendaptkan semestinya. Dan perlu kamu ingat, saya bukan tipe pria yang suka berselingkuh.”
Gluk
Inara menelan ludahnya kasar. ‘Demi apa? Gue nikah sama pria yang kabarnya Gay? Tidak … ini tidak mungkin.”
“Kenapa muka kamu begitu? Aturannya kamu harus bersyukur bisa saya nikahi, kan?”
“Ta-tapi.”
“Aturannya kamu senang. Kamu bisa membalas dendam kamu sama Artha juga. Kamu bisa menjadi Nyonya Winata yang sesungguhnya. Karena saya adalah pewarisnya, bukan Artha.”
Berpikir mengenai tawaran pernikahan dengan seseorang yang menyukai sesama jenis. Inara benar-benar tidak habis pikir.
Inara menggelengkan kepala. “Pak, apa Bapak juga akan membuktikan sama orang, kalau Bapak ini bukan Gay?” Buru-buru Inara membungkam mulutnya sendiri. Merasa sial karena telah kelepasan mengatakan itu. ‘Duh, kalau dipecat, bisa berabe gue.’
“Jadi, selama ini kamu anggap saya sebagai Gay?” Argha mendelik. Bahkan berita itu telah menyebar ke mana-mana. Ia sendiri kualahan. Ia tak akan mengampuni siapaoun yang menyebarkan berita bohong itu. Pria berwajah tirus itu menggulung kemejanya sampai siku. “Saya bukan seperti itu.”
Inara beringsut mundur, saat Argha mencondongkan tubuhnya.”Ma-maaf, Pak. Saya hanya dengar dari gossip.”
“Dari gossip, ya? Apa kamu mau saya buktikan sekarang, seberapa perkasanya saya?”
Inara seakan lupa cara bernapas dengan baik, dengan jarak sedekat ini dan wajah tampan yang selalu dingin itu membuatnya benar-benar menggigil. Aroma maskulin pada pria ini benar-benar membuatnya gila. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Ia tidak akan memberikan hal berharganya pada siapapun. Entah kekuatan dari mana, Inara langsung mendorong dada Argha untuk menjauh, dan memalingkan wajah. “Ya, saya kan tahu cuma dari gossip.”
“Gosip murahan dari Artha. Huh! Dia tidak mau bersaing sama saya. Ini kesempatan terakhir buat kamu, mau balas dendam dengan menikah sama saya, atau—“
“Oke! Saya setuju.” Tanpa berpikir panjang, Inara langsung menyetujui. Ia akan membalas rasa sakit hatinya dengan menjadi kakak iparnya Artha. Ya. Cara itu yang bisa ia pakai dengan berbalas dendam. Bukankah selama ini mereka sering putus-nyambung? Kali ini, ia tak ingin menerima permohonan maaf sedikitpun dari pria itu.
“Kamu tidak mau berpikir lagi?”
“Tidak. Tapi, apa jaminannya kalau Bapak hanya memperalat saya?”
Argha mengendurkan ikatan dasinya. “Sebagian harta saya, akan jadi milik kamu. Tenang saja.”
‘Woah … ini, sih berkah! Gak dapat adeknya, dapat abangnya yang sarang duit. Soal tampang, Pak Argha memang jauh lebih menawan, meski agak kurang normal juga, sih. Ah, bodo amat! Kalaupun dia gak nyentuh aku, seenggaknya aku bisa beli apapun yang aku mau. Gue selama ini capek selalu dihina matre, sekarang, aku tunjukan ke orang-orang, sebagaimana matrenya aku. Sebel banget aku.’
Argha menjentikkan jarinya di depan wajah Inara. Gadis bermata lebar itu berjengit. Kini di hadapannya ada pria tampan yang ia sebut tak normal itu. “Apa yang kamu pikirin?”
“Ehem. Tidak. Saya setuju.”
Argha manggut-manggut, lantas bangkit dari tempatnya duduk. “Baiklah. Istirahat saja. Saya masih ada urusan. Fokuskan pada kesembuhan kaki kamu, saya tidak mau tahu, kamu harus cepat pulih. Dan saya akan menggelar pesta pernikahan yang mewah.”
“Sebentar, Pak!” sergah Inara dengan menarik tangan Argha. “Ma-maaf.” Inara melepaskannya karena merasa telah melampaui batas. Gadis itu nyengir karena merasa bersalah.
Ia menggigit bibir bawahnya. Argha terlihat sabar menunggu. Pria tampan itu bersedekap dada.
“Bagaimana dengan keluarga Bapak mengenai ini?” tanya Inara hati-hati. Mengingat hubungannya dengan Artha saja sebelumnya dilarang. Lantas, bagaimana dengan Argha yang kabarnya pewaris?
“Saya tidak butuh pendapat mereka. Soal papa saya, itu akan jadi urusan saya. Kamu, cukup persiapkan diri.”
Inara mengangguk. Ia tahu bagaimana kerasnya hati seorang Arghantara Winata. Pria berusia 32 tahun itu memang sangat arogan, dingin dan jarang tersenyum. Selama ia bekerja di perusahan keluarga Winata, tak pernah ia melihat sosok Argha tersenyum. Wajahnya selalu datar.
“Jadi, apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?”
Inara menggelengkan kepala. Semuanya sudah terasa jelas.
“Baiklah, istirahat dengan benar. Supaya kakimu iyu cepat sembuh.” Argha memutar tumit, lantas pergi dari kamar Inara.
Inara mengembuskan napas dengan kasar. Sepertinya ini benar-benar sulit untuk dimengerti.
“Sebenarnya, apa yang sedang Pak Argha rencanakan?”
Tok tok tok!
Seorang wanita membawakan nampan berisikan makanan. Wanita itu berjalan mendekat. “Permisi, Nona, saya Ami. ART di sini. Tuan Argha menyuruh saya untuk mengantarkan makanan untuk Anda.”
Ami meletakkan satu nampan berisikan nasi dan air putihnya di atas nakas. “Apa langsung mau dimakan, Nona? Anda butuh sesuatu?”
Inara menggelengkan kepalanya. “Em, tidak. Terima kasih Mbak Ami.”
“Sama-sama, Nona. Oh, ya. Kalau begitu saya pamit keluar.”
“Sebentar, Mbak,” sergah Inara. Gadis itu benar-benar sangat penasaran mengenai keluarga Winata. Barang kali, ia bisa menemukan informasi mengenai keluarga itu.
Dengan sedikit meringis, Inara menurunkan kakinya yang sakit ke bawah. “Apa kamu lihat ponsel saya?”
Ami menggelengkan kepalanya kuat. “Sejak Anda dibawa ke mari, saya tak melihat ponsel, Nona.”
Inara menepuk kepalanya. “Apa jatuh di got ya?”
Ami terlihat bingung. Ia hanya meringis. “Jadi, apa Anda butuh sesuatu?”
“Em, Mbak. Pak Argha itu kakaknya Mas Artha, kan? Apa Mas Artha sering pulang ke sini?”
“Jarang sekali, Nona. Pak Artha jarang ke sini. Kecuali kalau Tuan dan Nyonya besar di rumah. Pak Argha sebenarnya juga jarang di sini.”
Mata Inara mengerjab beberapa kali. Tak habis pikir dengan keluarga yang tak kompak ini. Matanya mengedar ke penjuru ruangan. “Rumah sebesar ini jarang dihuni?”
“Iya, Nona. Tuan Artha dan Tuan Argha memiliki apartemen masing-masing.”
Tentu Inara tahu kalau soal itu. Siapa yang tak tahu Arghantara Winata yang memiliki banyak uang. Satu apartemen itu hanya barang kecil. Ia yakin, Argha memiliki lebih dari itu.
“Em, kenapa Pak Argha dan Mas Artha kelihatan tidak akur, ya, Mbak?” tanya Inara pada intinya.
Wajah Ami berubah pias. Gadis itu resah dan meremas ujung seragamnya. “Em, maaf, Nona. Kalau soal itu saya tidak tahu. Lagi pula, itu bukan kapasitas saya untuk berbicara.”
Inara mengerti. Kalaupun Ami mengatakan yang sebenarnya, tentu itu akan mempengaruhi pekerjaan gadis itu di sini kan? Ah, Inara merasa tidak enak hati. Ia meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Jadi, apa ada lagi yang ingin Nona tanyakan?”
Inara menggelengkan kepala. “Tidak. Itu saja, Mbak. makasih ya, sudah membawakan makanan untuk saya.”
Ami mengangguk dengan sopan. “Sama-sama, Nona. Oh, yam obatnya jangan lupa di minum ya. Beberapa saat lagi saya akan datang untuk mengambil lagi nampannya.”
Inara mengangguk dan Ami pun pergi dari kamarnya.
Inara menoleh pada makanan yang sudah disiapkan oleh Ami. Makanan yang terbilang mewah baginya yang biasanya hanya memakan nasi bungkus dan mie instan di tanggal tua seperti ini.
“Mama bakalan marah gak ya? Masa aku mau nikah sama abangnya, setelah putus dari adiknya. Apa kata dunia? Ah, bodo, ah! Lagian, siapa sendiri selingkuh!”
Dua jam dalam perjalanan, Argha telah sampai di Singapura. Sengaja ia datang untuk menemui sang papa, Alan Aji Winata. Tujuannya adalah membahas mengenai pernikahannya.
Kedatangan Argha disambut oleh Heru, asisten pribadi papanya. Mereka menuju ke ruang kerja Pak Alan.
“Tuan, Tuan Muda telah datang,” kata Heru dengan sedikit membungkukkan badan.
“Suruh dia masuk.” Pria dengan rupa persis seperti Argha menurunkan kakinya, ia menegakkan tubuhnya yang menyender pada kursi kebesarannya itu, menunggu sang putra.
“Pa.”
Senyum manis terbit di bibir Alan. Sudah sangat lama ia tak melihat sang putra. Dua bulan ini ia menetap di Singapura, belum punya waktu untuk pulang.
“Argha. Tumben kamu datang mencari papa. Ada yang kamu ingin bicarakan? Kesepakan waktu itu apa kamu masih ingat?” Mendatanginya adalah sebuah anugerah yang besar. Sejak lama, putra sulungnya ini memang sangat irit dalam bicara. Ia hanya mengatakannya lewat telepon. Sementara sekarang ini, putranya datang menemuinya. Padahal, tidak ada jadwal untuk Argha datang ke Negara ini.
“Aku mau nikah.”
Mendengar hal itu, hati Alan bergemuruh, bahkan matanya sampai berkaca-kaca. Ia tak menyangka, lebih tepatnya terharu. Namun, detik berikutnya keningnya mengkerut. “Sama perempuan, kan?’
Mata Argha mendelik. ‘Sialan Artha. Candaannya justru membuat gue jadi kaya enggak ada harga dirinya.’
“Papa pikir, Argha ini apa? Jelas aku menikah dengan perempuan. Bukan makhluk astral atau jadi-jadian.”
Alan berdeham. Ia merasa telah salah bicara, dan kini terlihat kikuk sendiri. “Maaf. Perempuan beruntung mana yang akan kamu nikahi?”
“Inara Ambar Pratiwi.” Argha mengatakannya dengan lugas.
Mata Alan mendelik sempurna. “In-inara? Bukankah itu pacarnya Artha?”
Seperti biasa, ekspresi wajah Argha tak terbaca, ekpresinya selalu datar. “Iya. Mantan pacaranya Artha lebih tepatnya,” jawabnya dengan menekankan kata ‘mantan pacarnya’ hal ini membuat Alan kebingungan.
Jujur, Alan memang tidak menyetujui hubungan Artha dengan gadis itu. Alasannya gossip mengatakan, jika Inara adalah wanita matre. Atau memang ia menginginkan putra bungsunya itu menikah dengan wanita terhormat. Namun, untuk Argha, ia sama sekali tidak memaksa standard seperti apa pun. Terpenting, putranya itu mau menikah dengan seorang wanita saja sudah cukup bagus. Mengingat aduan dari Artha jika Argha menyukai sesama jenis, Alan memang merasa ketakutan. Terlebih, trauma yang dialami oleh Argha, membuatnya kualahan sendiri.
“Pa?”
Alan berdeham. Lamunannya buyar seketika, “jelaskan sama papa, kenapa kalian bisa giliran. Maksudnya … kenapa Inara malah mau nikah sama kamu, sementara dia yang sudah dilamar oleh adikmu itu.”
Argha menghela napas. Ia tak mau, jika Inara adalah sebuah alibi dan juga ajang untuk melukai hati adiknya itu. Ia menggigit bibir bawahnya. “Em, dia … dia adalah perempuan yang aku cintai sejak lama. Kebetulan, Artha juga menghianatinya, mereka putus, ya sudah aku maju.”
Alan membungkam mulutnya sendiri. “Kok bisa gitu ya? Lantas, kenapa Inara mau? Kenapa dia tidak—“
“Aku yang maksa dia.”
“What?!” Alan memijat kepalanya yang mendadak pening. “Argha, kamu tidak bisa—“
“Apapun bisa aku lakukan, Pa. Dari pada keluarganya malu karena gagal nikah, kan? terpenting, aku nikah. Dan itu, kan yang papa mau? Menikah dan memberikan penerus keluarga kita?”
Alan mengangguk dengan pelan. Merasa cukup masuk akal.
“Apa jangan-jangan Papa justru percaya dengan fitnah dari Artha mengenai aku?”
Alan menggeleng dengan kuat. Ia tak ingin, putra sulungnya itu semakin marah. “Bukan itu.”
“Jadi, apa papa merestui hubungan kami?”
Alan menghirup udara dalam-dalam untuk mengisi oksigen dalam paru-parunya yang seolah menipis. “Oke.”
Klek
Alan dan Argha kompak menoleh. Wanita berusia 50 tahun tampak tersenyum lembut dengan membawakan sepiring kue.
“Eh, Argha kapan datang?”
Wajah Argha berubah menjadi sangat dingin. Namun, ia tak ingin merusak suasana. Mengalah, bukan berarti kalah, kan? Ia berusaha untuk bersikap biasa, “barusan.”
“Dela, Argha akan menikah,” ucap Alan kepada istrinya itu.
“Ah, sungguh? Dengan siapa?” Dela terlihat sangat senang mendengar kabar itu, meski Argha sama sekali tak pernah menganggapnya.
Saat Alan hendak menjawab, ponsel Dela berbunyi. Terlihat nama rumah sakit di layar ponselnya. “Sebentar ya, Mas, Argha, ada telepon dari rumah sakit. Mungkin ada hal penting.” Dela langsung menjauh seraya mengangkat teleponnya. Argha tak menghiraukan, ia tak suka berlama-lama interaksi dengan ibu tirinya itu.
“Ga.”
Argha mengangkat wajahnya. Wajah dinginnya itu terlihat sangat lelah. Menunggu kelanjutan papanya berbicara.
“Istirahatlah. Kita bisa makan malam sama-sama nanti,” titah Alan.
“Tidak, Pa. Makasih. Argha akan kembali ke Jakarta saja. Kasihan Inara di rumah. Dia sedang sakit.”
“Kalian satu rumah?” Alan tak habis pikir, sebegitu pesat kemajuan putranya itu. Meski pun demikian, ini adalah hal baik bukan? Setidaknya rumor putranya gay itu tidak benar. Ia sama sekali tak menyangka, putranya itu bisa secepat ini dekat dengan perempuan.
Argha mengangguk tanpa beban. Matanya mengerjab beberpa kali, mirip seperti anak kecil yang begitu polos. “Kenapa memangnya?”
“Ti-tidak. Ya sudah. Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menginap. Dengan kamu datang saja, papa sudah sangat senang. Semoga pernikahan kalian lancar. Papa akan pulang sebelum acara lamaran. Kapan kamu akan datang ke rumah keluarga Inara?”
Kening Argha mengkerut. “Bukankah dulu papa tidak mau melamar Inara untuk Artha?”
“Ini pengecualian, Argha. Sejarah besar ini. Perlu dirayakan.”
Argha menghela napas. ‘Sialan rumor, buat orang semuanya menjadi repot,’ batinnya. “Ya sudah. Argha pulang. Permisi.”
Alan geleng-geleng kepala. ‘Takdir macam apa ini? Sejak dulu, mereka memang tidak pernah akur.”
“ Tunggu! Gha, bagaimana dengan Diana? Bukankah dia menyukai kamu, Gha?” Mengingat Diana itu putra rekan bisnisnya, Alan berharap Argha akan mempertimbangkan ini. Toh, gadis itu juga menyukai putranya, kan?
“Diana? Sejak dulu aku sama sekali tidak menyukai dia. Kenapa Papa tiba-tiba membahas dia? Sudah beberapa kali aku menolak ini, kan, Pa?” Argha mengendurkan ikatan dasinya yang seakan mencekik, apa lagi ini membahas mengenai Diana. Hal yang sangat ia tidak sukai sama sekali.
“Baiklah. Papa minta maaf. Papa enggak bermaksud. Dengan kamu mau menikah saja, itu sudah cukup, kok.”
Ah, andai kalau tidak ada berita itu, mungkin Argha juga akan bernasib sama dengan Artha, yang diberikan standar yang tinggi untuk calon istrinya.
“Argha harus pulang, Pa. Permisi.” Argha benar-benar pergi dari ruang kerja papanya itu. Ia masih harus meyakinkan kedua orang tua Inara, berharap semua tujuannya akan berhasil semua, termasuk memberikan Artha pelajaran. Pria tampan itu menyeringai, sampai mengabaikan sapaan dari beberapa anak buah papanya di luar.
“Artha, kamu akan mendapatkan pelajaran yang setimpal.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!