NovelToon NovelToon

Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

bab1

Bab 1: Akar Persahabatan

Hari itu, matahari pagi menyapa dengan hangat, membiaskan sinarnya melalui jendela kamar Sasa. Ia berdiri di depan cermin, membenarkan kerudungnya dengan hati riang. Di meja rias, seikat bunga mawar putih dari Arman masih segar. Hari ini mereka merayakan ulang tahun pernikahan ketiga, dan meski kesibukan sering kali menyita waktu mereka, Arman selalu punya cara untuk menunjukkan cinta.

“Arman memang sempurna,” gumam Sasa, mengingat betapa sabarnya pria itu mendukungnya selama mereka pacaran dulu. Hidupnya terasa lengkap, terlebih lagi dengan persahabatan sejati bersama Caca. Sasa selalu percaya, tidak ada yang bisa menggantikan sahabat yang sudah seperti saudara itu.

Di sisi lain kota, Caca memandang keluar jendela apartemennya. Kehidupan yang terlihat mewah dengan mobil dan pakaian bermerek nyatanya tidak mampu menghapus rasa kesepiannya. Malam-malamnya sering dihabiskan dengan pekerjaan atau sekadar menatap kosong ke dinding. Usia yang terus bertambah membuat ia semakin gelisah, terlebih ketika teman-temannya satu per satu menikah.

“Kenapa aku masih sendiri?” tanyanya pada bayangannya sendiri. Ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama Sasa muncul di layar.

“Caca, kamu sibuk hari ini? Aku mau ketemu, sekalian ada sesuatu buat kamu,” suara ceria Sasa terdengar.

“Enggak sibuk kok, ada apa?” jawab Caca sambil mencoba terdengar antusias meski hatinya berat.

“Ketemu di kafe biasa, ya. Aku tunggu jam 2,” kata Sasa sebelum menutup telepon.

***

Pukul dua tepat, Sasa sudah duduk di pojok kafe favorit mereka. Aroma kopi menguar di udara, membawa kenangan masa-masa SMA mereka. Caca datang beberapa menit kemudian, mengenakan blazer hitam dan sepatu hak tinggi, tampilannya selalu elegan.

“Sasa, aku datang,” sapanya sambil tersenyum tipis.

Sasa bangkit dan memeluk sahabatnya erat. “Aku kangen banget, Ca. Lama kita enggak ngobrol panjang.”

Obrolan mengalir ringan di antara mereka, membicarakan pekerjaan, kenangan lama, dan tentunya kehidupan rumah tangga Sasa.

“Arman itu baik banget, Ca. Aku bersyukur banget punya dia,” kata Sasa dengan mata berbinar. “Kalau saja kamu bisa ketemu orang seperti dia...”

Hati Caca bergetar mendengar nama itu. Ia pernah bertemu Arman beberapa kali, dan pria itu memang memikat. Sifatnya yang tenang, penuh perhatian, dan selalu sopan membuat Caca merasa iri pada Sasa, bahkan sejak awal.

“Tapi ya, Ca, aku ngerasa dia akhir-akhir ini sering sibuk banget. Kayak ada yang dipikirin, tapi aku enggak tahu apa,” lanjut Sasa, tidak menyadari tatapan kosong Caca.

Caca mengangguk ringan, menyembunyikan gelombang rasa bersalah yang perlahan merayap ke hatinya.

***

Pertemuan itu berlalu begitu saja, tetapi meninggalkan perasaan berbeda pada masing-masing hati. Sasa merasa bahagia karena bisa berbagi cerita dengan sahabatnya, sementara Caca merasa semakin terjebak dalam perasaan yang salah.

Beberapa hari kemudian, saat hujan turun dengan deras, Caca bertemu dengan Arman secara tak sengaja di sebuah kafe. Arman sedang menunggu kliennya, sementara Caca singgah untuk menghindari hujan.

“Caca? Sendiri saja?” sapanya ramah.

Caca tersenyum tipis. “Iya. Kamu juga? Tumben sendirian.”

Obrolan ringan mereka mengalir begitu saja, dimulai dari hal-hal sederhana hingga lebih pribadi. Arman bercerita tentang pekerjaannya, sedangkan Caca menceritakan kekosongan hidupnya. Ada rasa nyaman yang aneh di antara mereka, dan tanpa disadari, pertemuan itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih dalam.

Sejak saat itu, mereka mulai sering berkomunikasi. Awalnya hanya sekadar bertanya kabar atau berbicara soal Sasa, tetapi perlahan-lahan, batas antara sahabat istri dan pria yang sudah menikah itu mulai kabur.

***

Di rumah, Sasa semakin merasa ada jarak yang tak kasat mata dengan Arman. Meski suaminya tetap perhatian, ada momen-momen di mana Arman tampak menghindar atau terlalu sibuk dengan ponselnya.

“Mas, ada yang kamu pikirin?” tanya Sasa suatu malam.

“Enggak kok, sayang. Cuma kerjaan aja lagi banyak,” jawab Arman, menghindari tatapan Sasa.

Namun, Sasa tidak pernah menduga bahwa sebagian besar perhatian Arman kini mulai beralih pada sahabat yang selama ini ia percayai.

Di sisi lain, Caca mulai terjebak dalam dilema besar. Hubungannya dengan Arman yang awalnya hanya sekadar obrolan telah berubah menjadi sesuatu yang lebih intens. Ia tahu bahwa apa yang dilakukannya salah, tetapi perasaan yang terus tumbuh sulit ia kendalikan.

“Caca, kenapa ini harus terjadi?” gumamnya suatu malam sambil menatap pesan terakhir dari Arman yang membuat hatinya bergetar.

***

Kisah mereka bertiga kini bagai bunga yang layu, terhimpit oleh pengkhianatan dan perasaan yang tak termaafkan. Sasa, yang masih percaya pada sahabat dan suaminya, tidak pernah tahu bahwa dua orang yang paling ia cintai perlahan-lahan menghancurkan dunianya.

---

persimpangan takdir

Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang tak jauh berbeda. Bagi Sasa, kebahagiaannya adalah membangun rumah tangga bersama Arman. Ia tak pernah ragu akan kesetiaan pria itu, meski akhir-akhir ini ia merasa ada jarak yang perlahan muncul. Namun, ia memilih mengabaikannya, percaya bahwa semua itu hanya akibat kesibukan pekerjaan.

Di sisi lain, Caca menjalani hidupnya dengan kepura-puraan. Senyumnya di media sosial, pakaian mewah, hingga perjalanan dinas ke luar kota, semua itu hanyalah topeng untuk menutupi kekosongan di dalam hatinya. Sebagai wanita karier yang sukses, ia sering dipuji karena penampilannya yang anggun dan mandiri. Tetapi, hanya ia yang tahu bahwa rasa iri terhadap Sasa kian tumbuh dalam hatinya.

***

Pagi itu, Caca menerima undangan untuk makan malam bersama rekan-rekan bisnisnya. Acara itu bertempat di sebuah hotel mewah di pusat kota, dan ia tahu Arman akan hadir karena proyeknya berkaitan dengan perusahaan yang bekerja sama dengan Caca.

Saat Caca tiba di ballroom hotel, suasana sudah ramai. Para tamu berbicara dengan penuh antusias sambil menikmati hidangan pembuka. Ia mengenakan gaun hitam sederhana, rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan. Ia melangkah ke dalam ruangan dengan percaya diri, meski hatinya berdebar saat matanya menangkap sosok Arman di sudut ruangan.

Arman sedang berbincang dengan beberapa kolega. Penampilannya yang rapi dalam setelan jas membuatnya tampak berwibawa. Saat pandangan mereka bertemu, Arman tersenyum dan melangkah mendekat.

“Caca? Senang lihat kamu di sini,” sapanya hangat.

Caca tersenyum kecil. “Kebetulan sekali, ya. Kamu kelihatan sibuk.”

“Lumayan. Tapi selalu menyenangkan bertemu teman,” jawab Arman, memandangnya sejenak.

Percakapan mereka dimulai dengan obrolan ringan, seperti membahas proyek dan rencana kerja. Namun, semakin lama mereka berbicara, suasananya terasa lebih personal. Arman menceritakan betapa ia merasa terkadang terlalu sibuk untuk memberikan perhatian penuh pada Sasa, sementara Caca mendengarkan dengan seksama, menawarkan pandangannya sebagai seorang sahabat.

“Kamu tahu, Sasa selalu cerita kalau dia sangat bangga sama kamu,” kata Caca dengan senyum yang terasa getir di hatinya.

Arman menghela napas. “Aku tahu. Sasa itu istri yang luar biasa. Aku hanya khawatir, aku enggak selalu bisa ada untuknya.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Caca ingin menenangkan Arman, tetapi ia sadar, ada batas yang tidak boleh ia lewati.

“Kalau aku boleh bilang,” ujar Caca perlahan, “kadang kita terlalu keras sama diri sendiri. Kamu udah jadi suami yang baik, Arman. Aku yakin Sasa tahu itu.”

Arman tersenyum, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia merasa ada ketulusan di mata Caca yang berbeda dari orang lain.

***

Beberapa hari setelah acara itu, hubungan antara Caca dan Arman mulai berubah tanpa mereka sadari. Mereka bertukar pesan, awalnya hanya soal pekerjaan atau Sasa, tetapi perlahan-lahan topiknya mulai lebih pribadi.

Caca merasa ada seseorang yang akhirnya mendengarkan dirinya, memahami perasaan sepinya. Di sisi lain, Arman merasa nyaman berbagi pikiran dengan Caca, sesuatu yang ia anggap tak berbahaya karena ia percaya Caca adalah sahabat istrinya.

Sementara itu, Sasa tetap tak menyadari apa yang sedang terjadi. Hari-harinya dipenuhi oleh kegiatannya di rumah dan sesekali mengunjungi orang tuanya. Ia merasa hidupnya berjalan dengan baik, meski perasaan aneh tentang perubahan Arman masih menghantui.

“Mas, kapan kita liburan lagi? Sudah lama kita enggak pergi berdua,” tanya Sasa suatu malam saat mereka makan malam bersama.

Arman tersenyum tipis. “Boleh. Mungkin setelah proyek ini selesai.”

Namun, bahkan saat mengatakan itu, pikirannya melayang ke pesan terakhir yang ia terima dari Caca. Ia merasa bersalah, tetapi sekaligus tak mampu menghindar dari rasa nyaman yang mulai tumbuh.

***

Sebuah kesempatan lain mempertemukan mereka di luar kendali Sasa. Saat itu, Caca sedang berada di kantor Arman untuk membahas kerjasama baru antara perusahaan mereka. Setelah rapat selesai, Arman menawarkan untuk mengantarnya pulang karena hujan turun dengan deras di luar.

“Kamu enggak keberatan, kan?” tanya Arman saat mereka masuk ke mobil.

Caca menggeleng. “Enggak, malah aku senang. Rasanya lama enggak ngobrol santai.”

Di dalam perjalanan, percakapan mereka semakin hangat. Mereka tertawa mengenang beberapa momen lucu dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Namun, di balik tawa itu, ada ketegangan yang sulit dijelaskan.

“Caca,” ujar Arman tiba-tiba, suaranya lebih serius. “Terima kasih karena selalu ada untuk Sasa. Dia sering cerita tentang betapa pentingnya kamu dalam hidupnya.”

Hati Caca mencelos. Kata-kata itu seharusnya menjadi pengingat baginya untuk menjaga jarak, tetapi entah mengapa, justru menambah rasa sakit di dalam hatinya.

“Sasa itu... sahabat terbaik yang pernah aku punya,” jawab Caca pelan.

“Dan aku bersyukur dia punya kamu,” balas Arman, tanpa sadar menatapnya lebih lama dari seharusnya.

Saat itu, mereka berhenti di lampu merah. Hujan masih mengguyur kaca mobil, menciptakan suasana yang begitu sunyi di antara mereka. Caca merasakan debaran di dadanya, dan ia tahu, ia sedang berada di persimpangan takdir yang berbahaya.

***

Beberapa minggu setelah kejadian itu, perasaan bersalah terus menghantui Caca. Ia mencoba menjauh dari Arman, tetapi pesan-pesan singkat darinya membuat usaha itu sia-sia.

“Caca, ada yang salah?” tanya Arman dalam salah satu pesannya.

Caca mengetik jawaban, tetapi menghapusnya berulang kali. Akhirnya, ia hanya menulis, “Enggak, aku cuma butuh waktu.”

Namun, waktu yang ia butuhkan justru membawa mereka semakin dekat. Setiap interaksi, setiap percakapan, semakin mempererat ikatan yang seharusnya tak pernah ada.

Di sisi lain, Sasa mulai merasa sesuatu yang aneh. Arman sering pulang lebih larut dari biasanya, dan meski ia selalu punya alasan, Sasa merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Mas, kamu yakin enggak ada apa-apa?” tanya Sasa suatu malam.

Arman memandang istrinya sejenak sebelum menggeleng. “Enggak ada, Sayang. Cuma kerjaan aja.”

Sasa mencoba mempercayainya, tetapi hati kecilnya mulai ragu.

...****************...

Akan kah mereka berhenti sebelum semuanya terlambat? Atau justru takdir akan membawa mereka melewati garis yang tak seharusnya dilanggar?

Batas yang Memudar

Malam itu, Sasa duduk di ruang tengah dengan secangkir teh di tangan. Arman belum pulang, dan ia hanya mengirim pesan singkat yang mengatakan akan lembur. Sasa menatap ponselnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia ingin percaya bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi kebiasaan baru Arman—pulang larut, sering termenung, dan lebih sering memeriksa ponsel—membuat pikirannya tak tenang.

“Enggak, aku enggak boleh suudzon,” gumamnya pelan sambil menyesap teh yang sudah mulai dingin.

Namun, di sudut hatinya, ada rasa gelisah yang tak bisa ia abaikan.

***

Di tempat lain, Arman sedang duduk di sebuah kafe bersama Caca. Pertemuan mereka tidak direncanakan, tetapi terasa seperti sesuatu yang tak bisa dihindari. Hujan deras di luar membuat suasana kafe terasa lebih intim, hanya diiringi suara denting cangkir dan percakapan pelan para pengunjung.

“Kenapa kita ada di sini, Arman?” tanya Caca pelan, matanya menatap lurus ke cangkir kopinya.

Arman terdiam. Ia tahu Caca tidak bertanya tentang tempat itu, tetapi tentang situasi yang mulai berkembang di antara mereka.

“Caca, aku... aku enggak tahu. Aku merasa nyaman sama kamu. Bukan berarti aku enggak sayang sama Sasa,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat.

“Jangan bawa-bawa Sasa,” potong Caca. “Dia sahabatku, dan aku enggak mau jadi orang yang menyakitinya.”

“Tapi aku juga enggak bisa bohong sama perasaan ini,” balas Arman, matanya memancarkan kejujuran yang membuat hati Caca semakin kacau.

Caca menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredam gejolak emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia tahu perasaan ini salah, tetapi setiap kali bersama Arman, ia merasa ada bagian dari dirinya yang selama ini kosong akhirnya terisi.

“Arman, kita enggak boleh kayak gini,” katanya, hampir seperti berbisik.

Arman mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, ia tahu kata-kata itu tidak cukup untuk mengubah apa yang sedang terjadi.

***

Keesokan harinya, Sasa memutuskan untuk mengejutkan Arman di kantornya. Ia membawa bekal makan siang yang ia buat dengan penuh cinta, berharap ini bisa sedikit memperbaiki jarak yang ia rasakan di antara mereka.

Ketika sampai di kantor Arman, ia melihat pintu ruangannya sedikit terbuka. Ia mendekat dengan langkah ringan, berharap melihat suaminya yang sibuk bekerja. Namun, suara percakapan dari dalam membuatnya berhenti.

“Arman, kita harus berhenti,” suara itu jelas suara Caca, dan nada bicaranya terdengar penuh emosi.

“Aku tahu, Ca, tapi—”

Sasa tidak mendengar sisanya. Tubuhnya kaku, seakan terpaku di tempat. Ia tidak berani masuk atau menunjukkan keberadaannya. Dengan tangan gemetar, ia menahan napas, mendengar sisa percakapan itu.

“Enggak ada tapi, Arman. Ini salah, dan kamu tahu itu. Kita harus menjaga jarak, demi Sasa.”

Kata-kata itu seolah menjadi cambuk bagi Sasa. Ia ingin masuk dan meminta penjelasan, tetapi kakinya terasa berat. Akhirnya, ia memilih pergi, meninggalkan kantor Arman dengan hati yang penuh tanda tanya dan rasa sakit.

***

Malam itu, Sasa duduk di kamar sambil memeluk lututnya. Ia tidak tahu harus berbicara dengan siapa. Air matanya mengalir pelan, tetapi ia berusaha menahan suara isakannya agar tidak terdengar oleh Arman yang baru saja pulang.

“Sayang, kamu tidur?” tanya Arman dari balik pintu.

Sasa menghapus air matanya dan mencoba menjawab dengan nada biasa. “Iya, Mas. Lagi ngantuk banget.”

Arman tidak masuk, hanya berkata, “Selamat tidur, ya.”

Namun, saat langkah Arman menjauh, Sasa merasakan hatinya semakin hancur.

***

Di hari-hari berikutnya, Sasa mencoba bersikap seperti biasa. Ia tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan, meskipun hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah antara Arman dan Caca. Ia bahkan mengundang Caca untuk makan siang di rumah, mencoba mencari tahu kebenaran di balik kecurigaannya.

Ketika Caca datang, Sasa menyambutnya dengan senyum hangat. “Akhirnya kita bisa ngobrol santai lagi. Aku kangen banget sama kamu.”

Caca tersenyum, meski ada rasa bersalah yang ia sembunyikan. Ia tahu kedatangannya hanya akan membuat rasa bersalahnya semakin besar, tetapi ia tidak ingin menolak undangan Sasa.

Selama makan siang, Sasa memperhatikan gerak-gerik Caca dengan seksama. Ia mencoba mencari petunjuk, tetapi Caca terlalu pandai menyembunyikan emosinya.

“Ca, aku mau tanya sesuatu,” ujar Sasa tiba-tiba.

Caca menghentikan suapannya. “Apa, Sa?”

“Kamu pernah merasa Arman berubah enggak akhir-akhir ini? Kayak... ada yang dia sembunyikan?”

Pertanyaan itu membuat Caca terpaku. Ia mencoba bersikap tenang, tetapi Sasa bisa melihat ada sedikit keterkejutan di wajah sahabatnya.

“Enggak, kok. Mungkin dia cuma sibuk sama kerjaannya,” jawab Caca akhirnya, berusaha menghindari tatapan langsung dengan Sasa.

Sasa tersenyum kecil, meski hatinya tahu jawaban itu tidak sepenuhnya jujur.

***

Malam harinya, Sasa akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan Arman. Mereka duduk di ruang tengah, suasana terasa dingin meski cuaca di luar cerah.

“Mas, aku mau ngomong sesuatu,” ujar Sasa, suaranya pelan tapi tegas.

Arman menatapnya. “Apa, Sayang?”

Sasa menarik napas panjang. “Aku cuma mau tanya, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku?”

Arman terdiam. Pertanyaan itu seperti pukulan telak baginya. Ia tahu ini adalah saatnya untuk jujur, tetapi ia juga takut menghancurkan hati Sasa.

“Enggak ada, Sa. Aku enggak pernah bermaksud menyembunyikan apa-apa,” jawabnya akhirnya, meski suaranya terdengar ragu.

Sasa menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kebenaran di balik kata-kata itu. Tetapi ia hanya menemukan keraguan.

“Mas, kalau kamu ada masalah atau sesuatu yang mengganggu, tolong bilang sama aku. Aku istri kamu,” katanya, hampir seperti memohon.

Arman mengangguk, tetapi dalam hatinya, ia tahu ia sedang berdiri di tepi jurang yang berbahaya.

***

Akankah Sasa menemukan keberanian untuk menghadapi kebenaran? Atau justru ketiga hati ini akan tenggelam dalam perasaan yang tak termaafkan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!