NovelToon NovelToon

My Lovely Step Brother

01 : Prolog

...- happy reading -...

...***...

"Joan, liat ayah sama bunda bawa siapa?"

Bunda Lexa membawa seorang anak kecil berusia 5 tahun yang sedang memegang lolipop kecil berbentuk hati di tangannya.

Joanna hanya menatap dingin anak laki-laki itu, tanpa berniat menyapanya sama sekali, tersenyum pun ia enggan. Melihat reaksi anaknya itu, Bunda Lexa menghela nafas. Sepertinya anak gadisnya itu tidak suka dengan kehadirannya.

"Dia akan jadi adik kamu sayang, namanya Juan. Kamu jadi punya temen deh dirumah. Kalau ayah sama bunda pergi kamu ada yang jaga ya."

Bunda Lexa tersenyum ke arah Joanna yang kini melambaikan tangannya ke arah Juan, tersenyum memamerkan deretan gigi susunya yang mungil.

"Joan ga butuh adik! Joan bisa jaga diri sekalipun ayah dan bunda pergi kemana-mana," ucap Joan dingin lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, membuat bundanya menghela nafas kecewa. Juan yang bingung pun menoleh ke arah bunda angkatnya.

"Bunda? Kenapa kakak Joan galak? Dia gak suka sama Juan ya?" tanya Juan polos. Bunda Lexa berjongkok dan tersenyum lembut lalu tangannya mengusap kepala Juan lembut.

"Gapapa sayang. Kakak kamu itu memang begitu, mending Juan makan habis itu tidur ya, besok baru ajak Joan main ya?"

Juan mengangguk setuju lalu dituntun oleh bunda ke arah meja makan. Tak lama ayah Bastian datang setelah memindahkan seluruh barang Juan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Joanna.

Juan makan dengan lahap, sementara bunda dan ayah angkatnya itu tersenyum menatap anak laki-laki itu mengunyah nasi. Keduanya tidak sadar dengan tatapan tidak suka dari Joanna yang kini menatap ketiganya dari tangga. Ia kembali naik menuju kamarnya dan mengunci pintu kamar.

***

Esok paginya—pagi ini Juan bersemangat bangun. Ia menatap ruang makan yang sudah tertata rapih oleh makanan enak yang jarang ia temui di panti asuhan. Ia mengambil tempat duduk di dekat Bunda namun tak lama Joan turun dan menatap Juan sinis. Juan berdiri di samping Joanna membuat bocah berusia 5 tahun itu kebingungan.

"Minggir!" ucapnya singkat. Bunda yang melihat itu pun paham.

"Juan sayang, tempat yang kamu duduki barusan itu tempat Joan biasanya duduk. Kamu pindah ke sebelah Ayah ya?" jelas bunda lembut. Juan hanya mengangguk lalu pindah ke sebelah Ayahnya.

Joan hanya menatap datar lalu mengambil kembali tempat duduk favoritnya yang hampir direbut anak pungut itu. Juan memperhatikan kakaknya itu dengan lekat. Bunda bilang Joan masih berusia 6 tahun lebih tua darinya.

"Kak Joan ga sekolah?" tanya Juan memecah keheningan.

Sementara yang di tanya hanya sibuk melahap makanannya tanpa meliriknya sedikitpun.

"Iya, kak Joan mulai sekolah hari ini, iya kan sayang?"

Bunda Lexa menatap putri nya itu sembari tersenyum namun hanya mendapat tatapan dingin dari putrinya. Bunda tersenyum canggung ke arah putranya.

"Maaf ya sayang. Kakak kamu memang jarang berkomunikasi, tapi dia tetap mau main sama Juan kan?"

Juan spontan mengangguk semangat lalu tersenyum, membuat siapapun akan merasa gemas dengan perilaku anak itu. Ayah Bastian bahkan sampai mencubit pipi gembul Juan berkali kali.

***

Sekarang hari sudah sore, jam menunjukkan pukul setengah empat, setelah puas bermain dengan mainan barunya, akhirnya Juan memutuskan keluar dari kamarnya. Saat anak itu berjalan menuju tangga bawah, ia menengok ke arah kamar Joan yang tertutup rapat. Apa kakaknya ada di dalam?

Juan menarik tuas pintu itu, membukanya perlahan dan menatap sekeliling kamar yang di penuhi warna biru, berbeda dengan kamarnya yang serba abu-abu dan hitam.

"Kak Joanna?" panggil Juan pelan, namun tak ada jawaban.

Entah kenapa Juan merasa kamar kakaknya itu terasa seram, belum lagi kamarnya lebih gelap daripada kamar miliknya. Cia menatap sekeliling, kini ia berada di tengah kamar.

"Ngapain disini?"

Juan tersentak saat sebuah suara terdengar dari arah belakang nya. la melihat Joanna yang menatapnya dingin, tak pernah berubah sepertinya. Anak itu mengelus dadanya dan menatap kakaknya tersebut.

"Kak Joan, ayo main. Juan punya mainan mobil." Juan memperlihatkan mainan mobilnya di tangannya, sementara Joan terlihat sebal.

"Jangan masuk kamar aku sembarangan! Sana keluar!"

Joan meninggikan suaranya, berharap Juan takut dan keluar dari kamarnya. Namun dugaannya salah, Juan malah tersenyum dah duduk di karpet kamarnya.

"Kakak akhirnya bicara panjang, hehe.. Juan jadi senang. Ayo main disini."

Joan menatap jengah sambil menghela nafas. Ia sangat tidak suka diganggu terlebih di kamarnya. Juan menatap Joan yang asik bermain game, perlahan ia mengamati wajah kakaknya itu, ia yakin pasti saat dewasa Joan akan tumbuh menjadi gadis yang cantik.

"Kalau kamu liatin terus, mending keluar," ucap Joanna datar.

Juan yang takut di usir kini mengalihkan perhatiannya dan memainkan mobil-mobilan itu sendiri.

***

Beberapa tahun kemudian

"Kakak! Lagi apa sih?"

Juan duduk di samping Joanna berusaha menarik ponsel itu namun Joanna malah menatapnya tajam. Sekarang usia Juan sudah 16 tahun dan Joanna 17 tahun. Juan dan Joanna satu sekolah. Tidak banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun ini.

Joanna yang tetap dingin dan berbicara secukupnya, dan Juan yang terus berusaha mengambil hatinya. Tapi sekarang Joanna sudah tidak terlalu terganggu dengan kehadiran Juan, mungkin terbiasa karena lelaki ini sangat bawel dan heboh.

"Kak.. Juan mau liat dong!" Juan mengintip ke arah ponsel Joanna namun gadis itu menjauhkan ponselnya. Tapi bukan Juan namanya kalau menyerah.

"Bundaaa! kak Joanna liat yang aneh aneh bun di ponselnya!"

Joanna sontak terkejut dan nampak panik. Ia lalu menutup mulut Juan dan berusaha menahan rasa kesalnya.

"Diem? Atau..." Juan menatap Joanna meledek.

"Atau apa Kak?"

"Atau semua mainan lo di kamar gue rusak?" Senyum jahil di wajah Juan menghilang sudah. Ia segera menjauh dari Joanna dan kembali ke kamarnya.

"Ga boleh ada yang sentuh mainan hadiah dari bunda dan ayah!"

Juan berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarnya, menyisakan Joanna yang tersenyum tipis lalu kembali memainkan ponselnya dengan fokus. Siapa bilang ia tidak pernah senyum? Dia cuma menyembunyikannya.

02 : Paparazi

...- happy reading -...

...***...

...This is Juan...

...And this Joanna...

Semilir angin menerbangkan rambut hitam legam milik Juan. Dengan senyum lebar ia menatap hasil lukisannya yang hampir jadi. Pipinya mengembang setiap ia mewarnai objek yang ia gambar.

"Yes.. selesai!"

Juan berlari masuk ke dalam rumah. Ia begitu bersemangat sekali menaiki tangga, menuju pintu bercat putih dengan nama Joanna yang terukir indah di pintu.

Pintu terbuka tiba-tiba, Juan menerobos masuk dan melihat Joanna yang asik dengan komputernya, masih belum sadar dengan kehadiran adiknya karena headphone yang ia pakai.

Dengan senyum mengembang, Juan membawa lukisan nya yang tadi ia buat menggunakan cat air.

"KAKAK!"

Juan berteriak sembari menepuk pundak Joanna membuat gadis itu melotot dan menatap Juan tajam. Terlihat sekali raut wajah emosi milik Joan, rahangnya mengeras. Joanna melepas headphone miliknya lalu berdiri. Juan yang menyadari perubahan ekspresi kakaknya itu memudarkan senyumannya.

Juan yang sadar akan raut wajah gadis itu berubah drastis perlahan mundur, sementara Joanna berjalan maju, memberikan tatapan mengintimidasi. Sontak Juan merinding di buatnya.

"Udah berapa kali gue bilang, jangan pernah masuk tanpa ketuk pintu!" bentak Joanna. Kali ini suara meninggi. Jantung Juan berdegup kencang, sungguh kakaknya selalu terlihat menyeramkan.

"T-tapi kakak kan ga denger." Juan masih menatap mata gadis itu. Sedang Joanna pun menghela nafas kasar.

"Lo mau nunjukin apa lagi?" tanya Joan dengan nada datar.

Juan yang awalnya ketakutan kini melebarkan senyumnya, lalu menunjukkan sebuah lukisan yang sedari tadi ia banggakan.

"Ini, bagus kan?" Dahi Joanna mengernyit lalu tak lama ia berbalik menuju ke arah komputernya.

"Kenapa lo masih kekanakan sih, Juan? Lo udah dewasa, bersikap sewajarnya kenapa?"

"Maksud kakak?"

"Jangan terlalu deket sama gue, tingkah lo bikin gue ilfil."

Joanna kembali memasang kembali headset nya, tidak peduli dengan ekspresi kecewa yang Juan tunjukkan. Laki-laki itu meremas buku sketsa nya sembari menahan air mata, sungguh ia tidak tahan lagi, kenapa kakaknya itu sangat membencinya?

"Kakak benci banget ya sama aku? Aku salah apa sih?"

Juan pun berbalik dan meninggalkan kamar kakaknya itu, tidak lupa dengan menutup pintu.

Karena lo orang asing di hidup gue

***

Pagi harinya, Joanna turun dari kamarnya, ia sudah siap dengan seragam yang melekat di tubuhnya. Seperti biasa, wajah dingin ia tunjukkan.

"Selamat pagi sayang," sapa ayah yang sudah duduk di depan meja makan dengan koran yang ia baca.

"Pagi ayah."

Langsung saja ia duduk di tempat biasanya, sementara bunda nya masih sibuk di dapur membantu pelayan memasak.

"Juan belum turun ya? Kamu panggilkan dulu adikmu sana..."

Joanna menatap ayahnya tak suka, namun tetap ia jalankan perintah ayahnya itu.

"Tck! ngerepotin aja..."

Dengan langkah malas Joan kembali menaiki tangga, lalu ia mengetuk pintu kamar Juan tak sabaran. Tapi kenapa tidak ada jawaban? Bahkan pintu tidak juga terbuka.

"Juan, cepat keluar!"

Hening, apa yang adiknya lakukan di dalam?

"Lo belum bangun?"

Masih juga hening hingga akhirnya Joanna memilih membuka pintu kamar adiknya itu.

"Kosong?"

Joanna terkejut lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Keadaan kamar rapih dan tidak ada Juan di dalam.

Lalu dengan langkah cepat ia turun dan menghampiri Ayah Bundanya di meja.

"Juan ga ada," ucap Joanna dengan nafas sedikit tersenggal.

"Oh, tadi Juan udah berangkat, buru buru banget katanya ada urusan di sekolah," jawab Bundanya dari dapur.

"Tumben, biasanya pagi pagi merengek minta aku anterin bun." Bundanya tersenyum tipis.

"Emangnya kamu mau nganterin? Biasanya kan adikmu harus mohon mohon dulu." Joanna terdiam, memang biasanya seperti itu, ujung ujungnya Juan berangkat bersamanya karena Joanna pasrah dengan ocehan bundanya.

"Lagian kan kalian satu sekolah, kenapa ga bareng aja?" ucap Bunda

"Udahlah bun, males bahas." Joanna duduk dan segera memakan sarapannya.

***

Bel berbunyi cukup keras, tanda jam sekolah telah berakhir. Joanna berjalan bersama teman-teman nya yang di sebut Girlvy. Kumpulan perempuan beranggotakan 25 orang yang populer seantero sekolah. Mereka populer karena dianggap elit dan memiliki visual di atas rata rata. Walaupun begitu, mereka juga termasuk berandalan di sekolah. Khususnya Joanna—leader dari Girlvy.

"Jo, lo ikut ngumpul kan di basecamp?" tanya gadis berambut sebahu dengan lesung pipi bernama Melisa. Joanna hanya mengangguk pelan.

"Gue nyusul nanti, kalian duluan." Kening Sisil mengernyit.

"Lo lagi nunggu cowok lo? Lo punya cowok ga bilang bilang ya..."

Sementara Joanna menatap tajam Melisa.

"Lo tau kan gue ga pernah pacaran?" Melisa hanya mengangguk dan menepuk punggung Joanna.

"Kalo gitu kita duluan, jangan telat." Melisa pun berlari menghampiri anak Girlvy yang lain.

"Kenapa Joanna? Dia ngga ikut lagi?" tanya Helga bingung.

"Nanti nyusul katanya, ada urusan paling. Dah kita duluan aja," balas Melisa dan ke 24 motor pun jalan beriringan.

Sementara Joanna duduk di dalam mobil yang ia bawa. Memang di antara anggota Girlvy yang lain hanya Joanna yang jarang menggunakan motor, ia lebih nyaman menggunakan mobil katanya. Hanya di event tertentu ia akan membawa motor.

"Tck! lama banget sih!"

Joanna menatap ke arah jam tangannya. Tidak lama kemudian kaca jendela di ketuk pelan. Ia pun menurunkan kaca dan melihat Juan berdiri disana.

"Lagi ngapain Kak?" tanya Juan basa-basi. Joanna pun menatap lelaki itu datar.

"Nunggu lo."

Juan terlihat terkejut, tidak biasanya kakaknya itu menunggunya dan memberi tumpangan. Juan lebih sering naik mobil.

"Ngapain diem? Cepat masuk sebelum ada yang liat, bisa ketauan nanti."

Juan mengangguk cepat lalu masuk ke dalam mobil. Mobil pun berjalan meninggalkan parkiran sekolah. Mereka tidak sadar ada orang yang memotret kejadian tadi secara diam diam.

03 : Marah

...- happy reading -...

...***...

Keadaan di dalam mobil sangat hening. Joanna merasa heran, tidak biasanya Juan diam seperti ini, tapi ia memilih diam dan tak memikirkannya. Selang beberapa menit Juan melirik Joanna yang sibuk menyetir.

"Kenapa kakak jemput aku?"

"Disuruh Bunda."

Hanya terhitung dua kali Joanna menunggu Juan. Setiap berangkat sekolah pun Juan selalu di turunkan 40 meter dari gerbang, sisanya gadis itu akan jalan kaki sampai kelas.

"Tumben kakak mau nungguin aku."

Juan menatap lurus ke arah jalanan, sementara Joanna melirik cowok itu sekilas. Apa yang salah kalau hari ini ia ingin menjemputnya?

"Kenapa lo? Ga suka?" ujar Joanna ketus.

"Bukan gitu, aku heran aja." Ekspresi dan gaya bicaranya sangat berbeda, tidak seperti biasanya.

"Lo ga suka gue tungguin? Yaudah lo turun di sini aja. Gak perlu repot-repot banyak omong."

Tidak lama setelah itu mobil berhenti di pinggir jalan. Juan melirik Joanna yang menatap lurus jalanan.

"Kak?" Juan menatap sedih.

"Turun."

Juan menghela nafas lalu turun dari mobil, setelah itu mobil pergi begitu saja meninggalkannya, sementara Juan harus berjalan cukup jauh menuju halte, agar bisa pulang naik bus.

"Aku salah apa sih?"

Juan menatap mobil milik Joanna berjalan menjauh, ia menatap sedih mobil itu dan menghela nafas kasar. Dengan terpaksa ia harus berjalan kaki cukup jauh untuk mencari halte terdekat.

Langit sudah mendung, ia tidak membawa payung karena seharusnya sekarang ia sudah sampai di rumahnya. Hingga hujan perlahan turun, membasahi jalan sehingga tercium aroma petrichor.

Sadar hujan sudah turun, Juan pun berlari sembari menutupi kepalanya dengan tangan, berharap halte sudah dekat namun tidak terlihat adanya halte di sekitarnya. Dengan terpaksa ia berteduh di depan mini market, cuaca semakin dingin dengan angin berhembus cukup kuat, ditambah lagi bajunya sudah basah.

Juan pun berjongkok dengan sesekali menadangkan tangan nya di bawah hujan. Tatapan nya sendu, bibirnya juga sedikit pucat.

Brukkk!

Sebuah payung mendarat tepat di hadapannya, payung berwarna hitam. Juan yang kebingungan pun mendongakkan kepala, seorang perempuan cukup tinggi tersenyum tipis padanya lalu menutupi kepalanya dengan hoodie dan berjalan cepat.

"Hei, payungnya!" Gadis manis itu hanya menengok ke belakang sekilas.

"Pake aja, lo lebih butuh gue lihat."

Juan menatap kembali payung itu lalu mengambilnya. Ia membukanya lalu berjalan melanjutkan perjalanan nya menuju halte bus. Setelah berjalan sekitar 300 meter, akhirnya ia menemukan sebuah halte dan pas sekali bus tujuan nya sudah datang. Dengan segera ia masuk dan duduk.

***

Sementara itu—Joanna datang dengan wajah kesal lalu duduk bergabung di antara Melisa dan Helga. Sementara seperti biasa Ruby paling heboh di sana.

"Wuih bos Jo dari mana aja? Makanan udah mau abis nih." Ruby mengunyah pizza yang dibawakan Helga setengah jam lalu.

"Ada urusan," jawab Joanna singkat lalu para anggota Girlvy sibuk berbicara dan saling melempar kentang goreng. Joanna menatap ke sekeliling, rasanya ada yang kurang diantara mereka.

"Mana Laras sama Lisa?" tanya Joanna.

"Dua duanya tadi misah sama rombongan, ada urusan katanya. Bentar lagi juga nyampe, nah tuh Laras..."

Laras berjalan santai dengan keadaan basah kuyup lalu duduk di tengah tengah mereka.

"Ih gila lo?! Basah kek gini jangan deket deket gua lah, anjir! Dalaman lo sampe nampak begitu." Ruby menepuk paha Laras dan berpindah tempat.

"Ya sorry. Gue kehujanan tadi, mana gue bawa motor kan, terobos aja lah."

"Ganti baju lo sana, gue ada hoodie di lemari," perintah Melisa.

Laras langsung tersenyum lalu menepuk pundak Melisa pelan.

"Emang lo paling pengertian bangat sayang sama gue."

Laras pun berjalan menuju lemari yang tidak jauh dari tempat mereka duduk, dengan segera ia berganti baju tidak peduli dengan pandangan semua orang padanya.

"Lo abis dari mana?" tanya Joanna.

"Bukan urusan lo," jawab Laras lalu duduk di samping Melisa.

"Kok lo nyolot sih? Ga usah memancing keributan deh."

"Sejak kapan lo peduli sama gue, hah?" Para anggota Girlvy yang sudah paham dengan situasi itu pun mulai tegang.

"Udah sih jangan ribut terus, kalian ga ingat tujuan kita ngumpul disini buat apa?"

Melisa berusaha menengahi, memang di antara anggota lain hanya Melisa yang berani menengahi perselisihan Joanna dan Laras setiap kali terdengar lontaran kalimat yang dingin, ketus dan tegas.

"Nih gue beli." Laras mengeluarkan sepuluh bungkus rokok dari plastik dan melemparnya ke arah meja.

"Mantap nih..." kata Chika.

"Taik! giliran urusan yang gratis lo duluan bangsat!" kelakar Laras. Sementara Joanna hanya diam sembari menatap sinis Laras.

***

Di tempat lain—

"Juan pulang Bunda!" Juan berjalan memasuki rumah yang megah itu lalu disambut dengan Bundanya yang menatap laki-laki itu khawatir.

"Kamu darimana aja sayang? Kenapa baru pulang? Ini juga kenapa bajumu basah?"

Bunda mengusap bahu Juan yang masih basah. Juan menatap ke arah jam di dinding pukul tujuh, wajar saja bundanya khawatir.

"Tadi Juan jalan bun ke halte bus, terus ga lama hujan. Makanya Juan neduh dulu." Bunda menghela nafas berat.

"Joanna pasti ini. Mentang mentang Bunda ga suruh dia pulang bareng, dia malah biarin kamu pulang sendiri."

"Jadi bunda ga nyuruh kakak buat pulang bareng?"

"Ngga, maaf ya sayang. Lagian Joanna juga ga akan jemput kamu, harusnya Bunda suruh supir tadi, tapi Pak Trisno lagi sakit."

"Iya gapapa bunda, Juan naik dulu ya? Mau mandi."

"Iya sayang, habis itu makan ya? Bunda udah masak." Juan mengangguk pelan lalu berjalan ke atas.

"Jadi Kak Joanna bohong ya? Katanya disuruh bunda nungguin gue. Harusnya kalo emang ga niat ga perlu nungguin, gue bisa ko naik bus sendiri."

Lima belas menit kemudian

Setelah mandi dan berganti baju, Juan turun ke bawah, melihat Ayah dan Bundanya yang sudah duduk di depan meja makan. Dengan segera ia mengambil tempat dan menatap hidangan di meja.

"Kak Joan mana yah, bun?"

Tidak lama suara pintu terdengar, nampak Joanna dengan seragam yang sudah lusuh itu berjalan melewati mereka. Sontak Ayah berjalan menghampiri Joanna.

"Dari mana aja kamu?" tanya Ayah tegas. Joanna menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ayahnya.

"Main." Lalu ayah menghirup bajunya.

"Kamu ngerokok?!" tanya Ayah lantang.

Shit, gua lupa pake parfum.

"Kalo iya kenapa, Yah? Apa Ayah peduli?"

"Joanna! Berani melawan?" tangan Ayahnya hampir melayang mengenai wajah anaknya, namun Juan berdiri di tengah keduanya.

"Ayah, jangan!" Dan pukulan tersebut terhenti. Juan berusaha mencegah Ayahnya dan memeluk Joanna.

"Ayah, kita duduk dulu ya? Makan dulu, Ayah pasti capek kan? Biar kak Joanna ganti baju."

Wajah Juan nampak khawatir, tapi hal itu berhasil membuat Ayahnya mengangguk pasrah. Setelah Ayahnya berbalik menuju meja makan, Juan menatap Joanna lalu melepas pelukannya.

"Kakak ganti baju dulu ya. Biar aku yang—" Joanna berjalan menjauh dengan acuh.

"Ayah seharusnya jangan kepancing emosi dulu, biar Joanna yang jelasin. Joanna ngga mungkin ngerokok Mas, dia anak perempuan." Bunda menatap Ayah, berusaha memberikan nasihat kepada suaminya.

"Joanna itu loh bun, semakin dewasa semakin jauh dari peraturan. Susah banget di aturnya. Ayah udah bilang berapa kali kalo ayah ga suka sama gengnya si Girlvy itu, mereka bawa pengaruh buruk!"

"Udahlah Yah, nanti bicarakan baik baik."

Setelah makan malam, Juan yang hendak masuk ke kamarnya terhenti, laki-laki itu lalu mengetuk kamar di sebelahnya

"Kakak, Juan masuk ya?"

Tak ada sahutan, hingga akhirnya Juan tetap masuk. Dapat ia lihat Joanna berdiri menghadap dirinya dengan bersidekap. Tatapan tajam itu berhasil membuat Juan takut.

"Ka-kakak!" Joanna mendorong Juan hingga punggung cowok itu menabrak pintu, pergelangan tangannya di cengkeram erat.

"K-kak sakit!"

"Ga usah berpura pura jadi pahlawan. Penyebab ini semua itu karena lo!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!