NovelToon NovelToon

Mind-blowing

Bab 1 Studio Ballet

Alice berdiri canggung di tengah ruangan studio ballet, mencoba meniru gerakan para gadis lain yang terlihat jauh lebih luwes. Kakinya terasa berat, seolah setiap langkahnya salah. Beberapa gadis senior mulai berbisik, lalu tawa kecil mereka mengisi ruangan.

"Lihat dia! Kaku sekali, seperti boneka kayu!" bisik salah satu gadis sambil tertawa pelan, cukup keras untuk didengar Alice.

Alice menundukkan kepala, berusaha mengabaikan ejekan itu. Dia anak baru di kelas ballet ini, dan dia tahu tubuhnya belum terbiasa dengan gerakan-gerakan yang rumit. Tapi rasanya tetap sakit mendengar tawa mereka.

Ketika waktu istirahat tiba, Alice berjalan perlahan ke toilet, berharap bisa menyendiri sejenak. Tapi ternyata, istirahat itu malah menjadi lebih buruk. Di sana, sekelompok gadis senior dari kelas ballet Cindy, termasuk yang tadi mengejeknya sudah menunggu.

"Hei, si boneka kayu! Apa kau yakin cocok ada di kelas ini?" salah satu dari mereka mengejek, sambil mendorong bahu Alice hingga dia terhuyung.

Alice mencoba membela diri, tapi suaranya gemetar. "Aku baru mulai belajar... Wajar kalau belum bisa."

Jawabannya hanya membuat mereka tertawa lebih keras. "Dengar dia! Sok pintar," ejek gadis lainnya sambil mencengkram tangan Alice.

Di saat itulah pintu toilet lain terbuka, dan Cindy keluar. Matanya langsung menangkap situasi itu. Dia tahu adiknya sedang diganggu, dan darahnya mendidih.

“Lepaskan adikku!” teriak Cindy, tanpa ragu langsung menarik rambut gadis yang mencengkram Alice dari belakang.

“Aduh! Sakit! Lepaskan aku!” Gadis itu menjerit kesakitan, mencoba melepaskan tangan Cindy yang mencengkeram rambutnya.

"Ini balasan karena berani mengganggu Alice!" Cindy berteriak dengan amarah membara.

“Cindy, hentikan! Jangan seperti mereka!” Alice memohon, matanya mulai berkaca-kaca.

Ketika gadis itu akhirnya melepaskan tangannya dari Alice, Cindy tidak membuang waktu. Dia menarik tangan Alice dan berlari keluar dari toilet, sementara kelompok gadis itu berteriak dan mulai mengejar mereka.

Namun, saat Alice terjatuh di lorong, kelompok itu hampir berhasil menangkapnya. Cindy, yang sudah lebih dulu di depan, langsung berhenti dan berbalik. Dengan suara lantang yang penuh keberanian, dia berteriak, "Daddy!"

Seruan itu membuat seluruh gadis berhenti, wajah mereka berubah pucat. "Apa yang kau bilang?" salah satu dari mereka bertanya dengan ragu.

"Daddy akan tahu semua ini!" Cindy melanjutkan dengan nada mengancam. "Kelakuan kalian akan aku laporkan. Siap-siap saja dikeluarkan dari kelas ballet ini!"

Mendengar ancaman itu, kelompok gadis itu mundur dengan ekspresi ketakutan. Cindy menggandeng Alice menuju ruang ganti, memastikan mereka tidak diikuti.

Benar saja, keesokan harinya, kelompok itu dipanggil ke kantor oleh pengelola kelas ballet. Mereka dipaksa meminta maaf kepada Cindy dan Alice di depan semua orang. Cindy, yang satu kelas dengan para pembully itu, memandang mereka dengan tatapan puas saat mereka meminta maaf.

Setelah itu, Alice tidak pernah diganggu lagi di kelas ballet. Namun, insiden itu membuat Alice menyadari satu hal, Cindy selalu menjadi pelindungnya, sahabat sekaligus kakak yang tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya.

Setelah insiden di toilet itu, Alice tetap merasa canggung setiap kali harus pergi ke kelas ballet. Meskipun para gadis yang pernah mengganggunya sudah meminta maaf, dia tahu mereka hanya melakukannya karena takut pada Cindy, bukan karena tulus.

Cindy, di sisi lain, menyadari betapa tidak nyamannya Alice. Setelah beberapa hari memikirkannya, dia memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih besar.

Suatu sore, Cindy menghampiri Mommy yang sedang membaca di ruang keluarga. Dia duduk di sebelahnya, menatap Mommy dengan mata yang dipenuhi tekad.

"Mommy, aku ingin minta sesuatu," katanya sambil memainkan ujung pita di bajunya.

Mommy menurunkan bukunya, menatap Cindy dengan penuh perhatian. "Apa itu, sayang?"

“Aku ingin Alice pindah ke kelasku di ballet,” Cindy berkata langsung, tanpa basa-basi.

Mommy mengerutkan kening. "Kenapa? Bukankah lebih baik kalian belajar sesuai tingkat kemampuan masing-masing?"

"Lagipula aku sudah bertemu dengan orang tua mereka. Mereka semua meminta maaf dan berjanji kejadian seperti itu tidak akan terjadi lagi. Kau tau aku tidak akan membiarkan anak-anakku dilukai orang lain bukan? Tidak ada lagi yang akan mengganggu adikmu, sayang."

"No, Mommy," Cindy memotong cepat. "Aku bosan di kelasku. Tidak ada yang mau bicara denganku karena mereka takut. Dan lagi... aku ingin bisa menjaga adikku. Dia anak baru, Mommy, dan aku tahu dia merasa tidak nyaman."

Bab 2 Kakak Adik Bersama

Mommy menghela napas panjang, menatap Cindy yang jarang sekali meminta sesuatu dengan nada seserius ini. "Apa kamu yakin ini ide yang bagus? Bagaimana kalau itu justru membuat adikmu sulit berkembang? Dia perlu belajar dengan anak-anak di tingkatnya."

Cindy menggeleng. "Aku yakin, Mommy. Aku bisa membantu Alice belajar lebih cepat. Lagipula, aku tidak ingin dia merasa sendirian. Kami akan lebih kuat kalau bersama."

Mommy memandang Cindy untuk beberapa saat, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah. Aku akan berbicara dengan pihak ballet. Tapi hanya jika Alice juga setuju."

Mendengar itu, Cindy melompat dari duduknya dan memeluk Mommy erat. "Terima kasih, Mommy! Aku janji Alice akan belajar dengan baik!"

Beberapa hari kemudian, pihak ballet menyetujui permintaan tersebut. Alice dipindahkan ke kelas Cindy, dan untuk pertama kalinya, Cindy merasa benar-benar senang berada di kelas itu. Dengan Alice di sisinya, dia tidak lagi merasa bosan, dan Alice pun merasa lebih percaya diri karena memiliki kakaknya sebagai pelindung sekaligus partner latihan.

Hubungan mereka semakin kuat, dan meskipun terkadang Cindy terlihat dominan, Alice tahu bahwa Cindy selalu menginginkan yang terbaik untuknya.

...* ** * ** *...

Hai, I am Alice. Orang-orang terdekatku biasanya memanggilku, Al.

Aku akan menceritakan bagaimana kehidupanku bersama dengan orang-orang yang ada disekelilingku.

Hidupku dan Cindy adalah definisi sempurna dari kenyamanan. Kami adalah putri dari keluarga Swan. Kami memiliki segalanya, keluarga yang saling menyayangi, mansion besar yang terasa seperti istana, dan semua keinginan yang selalu terpenuhi tanpa perlu kami minta dua kali.

Aku merasa sangat beruntung karena memiliki keluarga seperti mereka, Cindy, Mommy and Daddy. Aku merasa mereka adalah alasan kebahagiaanku.

Mendapati kenyataan Cindy adalah kakakku, membuat aku merasa tidak membutuhkan orang lain lagi untuk menjadi temanku. Cindy bukan hanya kakakku, dia juga sahabatku, partner dalam segalanya. Hidup tanpa Cindy? Rasanya mustahil.

Namun, Cindy sering kali mengeluh bosan dan ingin kehidupan yang lebih seru. Seiring waktu, aku mulai menyadari dan setuju dengan yang dirasakannya, yaitu rasa bosan.

Aku menyadari hal itu, saat Kehidupan kami yang sempurna itu… terlalu sempurna. Tidak ada tantangan, tidak ada kejutan, dan semuanya terlalu mudah. Kami berdua merasakan hal yang sama, meskipun tidak pernah mengatakannya dengan lantang.

...* ** * ** *...

Cindy duduk bersandar malas di kursi, memainkan ujung rambutnya sambil menguap. Di seberangnya, Alice berkutat dengan dua lembar kertas soal yang masing-masing memiliki nama berbeda di bagian atasnya: satu miliknya, satu milik Cindy.

“Adikku tersayang, kau sudah selesai?” Cindy bertanya sambil melirik ke arah Alice dengan ekspresi berharap.

Alice mendesah pelan tanpa mengalihkan pandangan dari kertasnya. "Belum. Dan seharusnya kau yang mengerjakan punyamu sendiri."

Cindy menjulurkan lidahnya dan tertawa kecil. "Aku sudah terlalu bosan untuk duduk dan berpura-pura peduli soal ini. Dan kau, adikku tersayang lebih cepat menyelesaikannya daripada aku. Jadi, bukankah itu lebih efisien?"

Alice hanya menggeleng pelan, memilih tidak menanggapi lagi. Dia tahu percuma berdebat dengan Cindy yang sudah memutuskan untuk menyerah sejak awal.

Selesai mengerjakan tugas mereka berdua, Alice menyerahkan kertas jawaban ke meja pengawas. Sementara Cindy sudah pergi lebih dulu karena ada urusan mendadak katanya.

Sebagai tanda partisipasi, para peserta mendapatkan souvenir berupa buku, totebag, dan gantungan kunci.

“Evangeline Alice Swan...” seorang petugas memanggil.

“Yes, I am.” jawab Alice, menghampiri meja pengambilan hadiah, menunjukkan tanda pesertanya.

Petugas itu menyerahkan satu set souvenir ke tangan Alice, setelah ia menandatangani bukti pengambilan, "Bisakah aku mengambil punya kakakku juga? Dia ada urusan mendadak tadi."

Alice menunjukkan kartu peserta milik kakaknya, "Oh ya, ini kartu peserta miliknya." Petugas itu mengangguk “Tanda tangani namanya."

Lalu menambahkan, "Nona Swan, ini cukup berat jika kau membawa dua souvenirs sendirian. Mungkin lebih baik menunggu kakakmu kembali.”

Alice menatap tumpukan di tangannya dan menggeleng. Dia tidak ingin berada di tempat ini lebih lama. “Tidak perlu, aku bisa membawanya sendiri. Terima kasih.”

Alice keluar dari ruangan itu, melihat sekeliling, sopir sekaligus penjaga mereka tidak ada disekitarnya, mungkin bersama kakaknya.

Dia pun memaksakan diri membawa dua tumpukan souvenir yang cukup berat, berjalan perlahan menuju pintu keluar. Namun, baru beberapa langkah, suara nyaring memanggilnya.

"Alice!"

Bab 3 Dua Souvenirs

Alice menoleh, mendapati Cindy datang dengan wajah cerah sambil membawa dua cup minuman dingin di tangannya. Cindy melambai penuh semangat, seperti tidak sadar bahwa ia sudah bersusah payah membawa semua barang mereka.

"Cindy!" Alice memanggil dengan nada tidak senang. "Kau bilang ada urusan mendadak! Kau bohong?"

Cindy mengangkat kedua cup minuman di tangannya dengan bangga. "Aku tidak berbohong! Inilah urusan mendadak itu!"

Alice memandanginya dengan mata melebar. “Kau meninggalkan semua ini hanya untuk membeli minuman?”

"Tentu saja! Minuman ini baru buka, Alice. Semua orang bilang rasanya luar biasa, dan aku tidak mau ketinggalan!" Cindy menyeruput minumannya sambil tersenyum puas.

"Dimana sopir? Bukankah dia seharusnya ikut denganmu?" Tanya Alice, tidak melihat tanda adanya sopir disekitar Cindy.

"No, aku sengaja menyuruhnya membeli burger di sebrang sana. Agar aku bisa membeli ini sendiri."

Alice hanya menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus merasa marah, lelah, atau menyerah menghadapi Cindy yang selalu punya caranya sendiri untuk menghindar dari hal-hal membosankan.

Ini bukan kali pertama Cindy membebankan tugasnya pada Alice. Ketika Cindy sudah benar-benar bosan atau malas, Alice selalu menjadi penyelamat yang tidak bisa menolak.

Namun, Alice tidak pernah membenci Cindy karenanya. Walaupun Cindy sering bertindak seenaknya, Alice tahu bahwa Cindy adalah kakak yang selalu membawa energi ceria dalam hidupnya. Meskipun terkadang, energi itu terasa seperti badai kecil yang mengacaukan segalanya.

Alice terus melangkah dengan susah payah, menyeimbangkan dua tumpukan souvenir berat di tangannya. Sesekali dia menarik napas panjang, mencoba mengabaikan Cindy dan rasa pegal di lengannya.

“Alice, wait! Cobalah ini dulu!” Suara Cindy kembali terdengar, ia menyusul Alice.

Senyum cerah Cindy tidak berubah meskipun Alice memasang wajah kesal. "Ini rasa strawberry! Aku sengaja memesan rasa kesukaanmu!" Mengangkat cup minuman yang ada di tangan kirinya.

"Cindy!" Alice mendesis kesal, menghentikan langkahnya.

"Strawberry atau matcha?" Cindy mengangkat kedua tangannya, mempersilahkan dirinya untuk memilih. Ia terdiam sejenak, mengarahkan kepalanya ke kiri, yaitu rasa strawberry.

Cindy langsung menyodorkan minuman itu, menyuapinya. Saat ia meminumnya, "Didalamnya ada potongan strawberry. Kau pasti menyukainya, kan?" ucap Cindy mencoba menggodanya, memainkan alisnya naik turun.

Setelah mencoba minuman menyegarkan itu. Awalnya dia masih ingin marah, tetapi perlahan sudut bibirnya tertarik ke atas. "Kau memang tidak bisa serius, ya?"

"Aku tahu kau pasti butuh sesuatu yang menyegarkan setelah membawa barang-barang berat itu.”

“Ayo, serahkan saja barang-barang ini ke sopir. Dia sudah menunggu di depan.” Cindy berjalan dengan santai tanpa mengambil salah satu tumpukan souvenir yang dibawa Alice.

Cindy terkikik, menyuapkan minuman itu ke Alice, "Aku menyuapimu minuman ini. Dan kau membawa souvenirnya, okay?"

Mereka berjalan ke arah mobil, menyerahkan semua barang kepada sopir yang sudah siap membantu. Setelah itu, keduanya melanjutkan berjalan sambil menyeruput minuman masing-masing.

“Aku bertemu seorang gadis yang memakai bando berbentuk telinga kucing di tempat beli minuman tadi. Kau harus lihat ekspresinya waktu aku bilang kalau bandonya terlihat konyol!” Cindy bercerita sambil tertawa.

Alice menggelengkan kepala, ikut tertawa kecil. “Tentu saja kau akan mengatakan sesuatu seperti itu. Kau tidak pernah bisa menahan diri, kan?”

Cindy mengangkat bahu. “Apa boleh buat, aku hanya jujur.”

Mereka terus berjalan bergandengan, tertawa dengan cerita masing-masing. Meskipun sering kali mereka saling membuat kesal, Alice tahu bahwa Cindy adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa digantikan.

...* * *...

Saat usia kami menginjak 17 tahun, kami mulai memikirkan apa arti kebebasan. Apa jadinya kalau kami bisa hidup seperti orang lain?

Hidup tanpa nanny yang selalu menyiapkan semuanya, tanpa pelayan yang mengikuti di setiap langkah, dan tanpa aturan keluarga yang kadang terlalu kaku.

Keputusan itu datang di malam yang penuh bisikan rahasia di kamar Cindy. "Kalau kita tinggal di asrama, mereka tidak akan bisa memantau kita, kan?" Cindy berkata dengan sorot mata yang penuh semangat.

"Asrama?" aku bertanya, setengah ragu tapi setengah penasaran.

"Ya, anggap saja kita ingin fokus kuliah di kampus terbaik. Mereka pasti setuju!" jawab Cindy dengan nada percaya diri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!