NovelToon NovelToon

FAMILY PORTRAIT Anggun Si Gadis Hebat

SATU

Hi reader... author mau bermain-main di genre yang berbeda. kali ini sedikit lebih mencoba mengintip dunia gelap, yang pada kenyataannya akhir-akhir ini sering terjadi di sekitar kita.

So, silahkan membaca perlahan,semoga bisa dinikmati.

Salam author Yoshua Satrio,

🍄Semoga semua berbahagia 🍄

🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾

“Nggun, jika kamu tidak bisa menyicil uang kegiatan, kali ini terpaksa kamu tidak bisa mendapatkan kartu test. Tolong sampaikan surat pemberitahuan ini pada Ayahmu ya.”

“Ya Bu.” Dengan perasaan getir dan takut, Anggun menerima amplop berwarna putih berbentuk persegi panjang itu dari tangan sang wali kelas.

“Maafkan Bu Yayuk ya, ibu hanya menyampaikan pesan dari Bu Sri selaku kepala sekolah.” Dengan iba, Bu Yayuk menggenggam kedua telapak Anggun, berharap sang murid kesayangan akan mendapatkan jalan keluar.

“Iya Bu, saya mengerti,” ucap lirih Anggun menahan air matanya.

“Ya sudah, mari kembali ke kelas, jam pelajaran ibu hampir dimulai.” Menyadari kegetiran sang murid, Bu Yayuk mengalihkan pembicaraan. “Ah iya, bantu membawa sebagian buku tugas teman-temanmu ya.”

Tanpa banyak bertanya, Anggun mengambil sebagian buku tulis yang tertumpuk di meja sang guru, lalu berjalan mengekor Bu Yayuk menuju ke kelas XB, tempat Anggun belajar di sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal di kota M.

“Apa yang akan terjadi padaku jika aku tidak bisa ikut tes kenaikan kelas? Oh … aku akan tetap di kelas ini. Ah … bagaimana nanti …” batin Anggun semakin gemetar, ketika bayangan-bayangan nasib buruk menghampiri pikirannya membuat semakin tak bisa fokus.

“Nggun, nanti sepulang sekolah ke ruang BP sebentar ya, ada yang mau bapak sampaikan!” seru Pak Tono dari depan ruangan BP yang tepat berada di seberang kelasnya Anggun.

Anggun yang tadinya hendak melangkahkan kaki memasuki ruang kelas, menoleh sesaat pada pak Tono, lalu mengangguk sebagai tanda hormat dan menyetujui ucapan guru BP nya itu.

“Apa kamu melakukan pelanggaran?” Bu Yayuk menghampiri Anggun seraya menelisik penampilan Anggun yang menggeleng dengan wajah bingung. “Oh, ya sudah, mungkin kabar baik.”

“Memangnya kabar baik apa yang biasanya disampaikan guru BP?” batin Anggun masih bingung dan bersungut-sungut mencari-cari kesalahan yang mungkin saja dilakukannya tanpa sengaja.

Selama jam pelajaran, Anggun tak bisa lagi menahan kekhawatirannya, ia mendesah berulang kali, “Darimana aku bisa mendapatkan uang satu juta.” Pertanyaan yang sama terus berulang dalam pikiran Anggun, membuatnya tak bisa fokus mendengarkan materi pelajaran dari Bu Yayuk hingga kelas pun berakhir.

“Nggun, pulang sekolah pada mau ngerjain tugas kelompok bahasa indo di rumahku. Kamu bisa dateng dong ya?" Thalia, teman sebangkunya mengingatkan Anggun.

“Oh, iya Tha, aku nyusul nanti ya, aku harus ngambilin wadah-wadah titipan es kuncirku dulu, tapi sebelumnya aku dipanggil ke BP dulu.”

“Oh, ya sudah, nggak apa-apa, tapi jangan lama-lama ya.”

“Iya Tha, aku usahakan.”

“Lagian tumben amat kamu dipanggil BP? Emangnya kamu bikin pelanggaran apa?”

“Entahlah Tha, aku juga nggak tahu.”

“Ya sudah, aku mau pulang dulu, kalau ada es kuncirmu yang sisa, bawa ke rumahku aja, nanti aku borong semua sisanya. Lumayan bisa buat kita camilan bareng-bareng sambil ngerjain tugas kelompoknya kan?”

“Terimakasih Tha. Kamu memang teman terbaikku.”

“Iya, biasa aja lah Nggun.”

Setelah berpamitan dengan Thalia, anggun menuju ke ruang BP dengan lunglai, disertai jantung yang berdebar tak menentu. Tak lupa Anggun menenteng termos kecil tempatnya membawa es kuncir bikinannya yang ia jajakan di sekolah, setelah mendapatkan ijin dari kepala sekolah.

Anggun menghela napas, mengetuk pintu ruangan BP. Keringat dingin membasahi dahinya, membuat poninya semakin berantakan.

“Masuk Nggun!” Terdengar suara pak Tono dari dalam ruangan.

Anggun membuka pintu perlahan seraya menahan napas. Tak dipungkiri ia juga merasa takut karena guru BP satu ini terkenal galak dan tak kenal ampun untuk semua bentuk pelanggaran.

“Permisi, Pak,” ucap Anggun melangkahkan kaki dengan berat.

“Taruh dulu bawaanmu di meja, duduklah di sana!” ucap pak Tono menunjuk meja di samping pintu, lalu berganti menunjuk sebuah kursi di sisi ujung ruangan yang tak begitu luas itu.

Dengan tertunduk. Takut, Anggun berjalan menuju ke kursi lipat berwarna hitam yang ditunjuk pak Tono. Suara bising AC tua di ruangan itu membuat anggun sedikit merinding, ditambah dengan udara yang tiba-tiba terasa seperti berada di kutub. 

Dengan canggung Anggun duduk lalu menelisik ke seluruh ruang yang tampak lengang, hanya beberapa meja guru lengkap dengan tumpukan buku, dan peralatan tulis. Serta papan tulis besar tertempel di tembok tepat di belakang Anggun.

Setelah menyelesaikan kegiatannya, Pak Tono berjalan menuju pintu, entah kenapa tapi yang Anggun lihat, sepertinya pak Tono mengunci pintu ruangan BP itu.

“Aku dengar kamu belum melunasi uang kegiatan sekolah?” tanya Pak Tono seraya menenteng sebuah kursi kayu meletakkannya di depan Anggun, lalu duduk di sana.

“Iya, Pak,” sahut Anggun dengan sangat takut. “Kenapa dia mengunci pintu? Apa aku akan dihukum karena belum lunas uang kegiatan itu?” pikir Anggun semakin panik,diiringi detak jantung yang semakin membuatnya terasa sesak.

“Jika kamu tidak melunasinya hingga hari Selasa, kamu tidak diizinkan ikut tes kenaikan kelas, atau tes penjurusan. Betul kan?” ucap Pak Tono setelah menyulut sebatang rokok yang terselip diantara jarinya.

“Iya, Pak,” jawab Anggun singkat seraya tertunduk.

Pak Tono menarik kursi anggun semakin mendekat padanya, membuat Anggun terkejut dan semakin takut.

“Bapak punya solusinya, tapi janji dulu ini rahasia kita berdua,” ucap pak Tono sedikit berbisik tepat di telinga Anggun, membuat bulu kuduk anggun merinding saat itu juga.

“Tapi, Pak ….” Suara Anggun semakin bergetar, pikiran buruk mulai menyambangi batinnya, tatkala pak Tono menyibak poni Anggun yang berantakan.

“Kamu itu murid teladan yang cerdas, juga cantik.” 

Anggun semakin merinding takut dengan perlakuan pak Tono yang terlihat tak biasa. “Ayah, tolong aku.” batin Anggun berteriak.

“Pak, maaf … saya akan mengusahakan membayarnya,” sahut Anggun dengan suara yang semakin gemetar.

Anggun bangkit berusaha menjauh dari pak Tono. Tapi terlambat, pak Tono dengan sigap mencengkeram lengan Anggun, menariknya hingga gadis kelas sepuluh SMA itu terduduk di pangkuan pak Tono.

Sialnya, kedua lengan pak Tono melingkar dengan cepat di pinggang Anggun. “Jangan menolak bapak, Anggun. Akan aku berikan jalan keluar tercepat dari semua masalahmu.”

Anggun berusaha memberontak, ia tahu apa yang diinginkan guru BP nya itu. Kedua lengan mungil Anggun mendorong keras tubuh pak Tono, namun perbedaan kekuatan justru membuat anggun semakin terjebak dalam pelukan maut pria perih baya itu.

“Jangan harap kamu bisa melepaskan diri dariku. Akan aku berikan uang yang banyak untukmu. Kamu bisa melunasi bahkan uang kegiatan untuk kelas dua nanti," ucap pak Tono masih memeluk Anggun. 

“Nggak mau Pak! Ini dosa! Saya nggak mau seperti ini!” berontak Anggun.

“Hahaha … kamu tidak bisa mengelak! Lihatlah di sana, ada kamera yang sengaja aku siapkan. Jika kamu menolakku, video ini akan bapak sebar dengan keterangan kamu yang merayuku. Coba bayangkan apa yang akan orang-orang katakan!” ancam pak Tono.

Anggun semakin frustasi, ia tak punya pilihan. Bahkan ketika tangan pak Tono semakin bertamasya menggerayangi tubuhnya, Anggun hanya bisa menangis tertekan.

“Saya mohon jangan lakukan ini, Pak. Saya berjanji akan melunasi uang kegiatan dengan segera. Hiks … hiks … hiks ….” isak Anggun lemah tak berdaya dengan cengkeraman pak Tono.

...****************...

To be continue....

DUA

Mendengar tangis Anggun, bukannya menghentikan aksinya, pak Tono justru menyeret anggun mendekat ke meja, lalu menyalakan sebuah radio dengan suara sedikit kencang. Lalu kembalii membawa Anggun ke meja di ujung ruangan.

“Pak … tolong lepaskan saya!” teriak Anggun merasa kesakitan di kedua lengan tangannya.

Melihat Anggun memberontak, Tono semakin terpancing emosi, lalu menampar keras wajah Anggun, hingga membuatnya terhuyung tak seimbang.

“Ampun Pak hiks …hiks ….”

Isak tangis dan derai air mata di wajah Anggun menjadi pemandangan memilukan tatkala ia tak memiliki daya untuk memberontak, bahkan saat sang guru BP menarik paksa kemeja seragam yang Anggun kenakan. Beruntung anggun mencengkeramnya dengan segera, meski sebagian dada mungilnya tetap terlihat oleh mata mesum sang guru BP.

“Arrrkk!!! Tolong!” Anggun semakin histeris, namun entah kenapa tak ada seorang pun yang mendengar teriakannya.

“Teriaklah sekeras kamu bisa, tak akan ada yang mendengarmu! Tempat ini kedap suara, kamu lupa hal itu, hey anak sok jagoan!”

“Hiks … hiks … apa yang bapak maksud?”

“Wah, kamu lupa?” Tono melepaskan ikat pinggangnya lalu mencambukkannya ke udara, menimbulkan suara yang menggetarkan seluruh keberanian Anggun. “Gara-gara laporanmu, anakku harus mendekam di penjara! Dan aku harus menebus dengan uang yang banyak, kamu lupa itu?!”

“Aku tidak tahu, Pak! Maafkan aku! Hiks … hiks ….”

Mendengar jawaban polos Anggun, membuat Tono semakin kalap. Dicambuknya kaki anggun dengan ikat pinggang itu, hingga meninggalkan bekas luka memerah di sana.

“Tidak perlu takut, hey anak miskin! Kamu cukup melayaniku sekali saja, maka akan aku bebaskan kamu dari semua tagihan. Dan juga aku maafkan atas yang kamu lakukan pada anakku.”

“Ampun, Pak! Dosa itu Pak … saya mohon … hiks …hiks ….”

Namun rintihan dan permohonan maaf dari anggun seakan tak didengar baik oleh Tono. Dengan beringas, ia menampar, menjambak, bahkan tak segan menyakiti beberapa bagian tubuh Anggun.

Gadis belia itu sekuat tenaga merangkak menjauhi Tono, dengan lengannya yang memerah karena cambukan bertubi, dan bekas cengkeraman keras dari Tono.

“Arrrkk! Sakit Pak, ampun!” teriak Anggun saat beberapa tendangan Tono mendarat di beberapa bagian tubuh Anggun.

Melihat Anggun yang mulai kesakitan dan melemah, Tono mulai kembali menggerayangi tubuh gadis belia itu.

“Tak ada jalan keluar, hey gadis miskin! Menyerahlah saja, maka kamu bisa mencapai semua cita-citamu nanti,” sumpah serapah Tono diantara deru napsu yang tak terbendung lagi, tatkala matanya mulai menjajaki bagian-bagian tubuh gadis belia itu.

“Tolong ….” Begitu lirih kata yang keluar dari mulut Anggun yang tak lagi memiliki kekuatan untuk menggerakkan tubuhnya yang telah terkunci oleh Tono yang mulai menindih tubuh belia itu.

Nafsu liar sang guru BP tak terbendung lagi, dengan sesuka hati menjelajahi dan melampiaskannya dengan bebas pada gadis malang yang hampir tak lagi mengenakan busana itu.

BRAK!!! BRAK!!! BRAK!!!

Seorang pria berdiri diambang pintu, setelah berhasil mendobraknya. Dengan ekspresi marah ia berjalan mendekati Tono, meraih tubuh polos Tono dan melemparkannya menjauhi Anggun.

Dengan sigap, si pria meraih sebuah taplak meja, untuk menutupi tubuh belia Anggun. “Bangunlah perlahan, pakai kembali bajumu dengan segera.”

“Dasar anak kurang ajar! Apa yang kamu lakukan!” gertak pak Tono.

“Harusnya aku yang bertanya, Yah?! Apa yang ayah lakukan pada murid ayah sendiri?!” gertak balik sang pemuda dengan berani.

Hal tak terduga, putra sulung Tono, Deni yang juga teman sekelas Anggun, justru yang memergoki kelakuan bejat sang ayah.

“Dia tidak bersalah, Yah. Memang aku yang kemarin memukul si Ryan. Jadi pantas jika aku ditahan polisi karena tawuran itu.”

“Tapi ayah yang membayar dendamu!” sergah Tono seraya mengenakan kembali pakaian dinasnya.

“Tapi yang Ayah lakukan ini juga tak benar! Bagaimana jika pihak sekolah tahu apa yang Ayah lakukan? Ayah bisa dipecat!” terang Deni.

“Tahu apa kamu! Semua sudah aku atur sedemikian rupa, gara-gara kamu semua rencanaku gagal!”

“Jangan bicara keras-keras, Yah. Bukan begitu caranya membalas yang telah ia perbuat,” ucap Deni setengah berbisik.

Anggun bangkit perlahan, mengenakan kembali seragamnya, dengan gemetar dan air mata yang tak mau terhenti, anggun membenahi penampilannya, seraya menahan sakit di sekujur tubuhnya.

Menyadari hal itu, Deni mendekat, berpura-pura mempertontonkan drama simpatinya. “Kamu baik-baik saja? Mari aku bantu untuk bangkit.”

Anggun sedikit menarik diri, trauma dan rasa takut masih terlihat jelas di wajah pucatnya.

“Nggun! Ada apa ini?” Thalia tiba-tiba berdiri dengan ekspresi bingung di ambang pintu, lalu melangkah perlahan menghampiri Anggun yang masih bersimpuh di lantai.

“Anggun terbukti mencuri uangku, tapi karena tidak mau mengaku, jadi ayah sedikit emosi dan tak sengaja memberikan hukuman baginya.” Dengan enteng Deni membuka kebohongan baru.

Anggun tak menyangka dengan apa yang disampaikan Deni. Meskipun di sisi lain ia bersyukur karena Deni telah menyelamatkannya dari keinginan bejat sang guru BP yang kebetulan juga adalah ayah kandung Deni.

Anggun kembali menitikkan air mata, dibantu Thalia ia bangkit dengan wajah tertunduk.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi, Pak. Tapi apa benar yang dikatakan Deni? Rasa-rasanya agak mustahil kalau Anggun melakukan hal seperti itu.”

“Semua orang bisa saja berubah, Tha. Keadaan yang membuat Anggun terpaksa melakukannya, dia belum lunas uang kegiatan, jadi terpaksa mencuri untuk melunasinya biar bisa ikut test kenaikan kelas.” Sangat lancar dan tanpa merasa bersalah, sang guru BP membenarkan ucapan Deni.

Anggun tak sanggup lagi membela diri, ia tertunduk pilu dengan air mata tak henti berderai. Beruntungnya Thalia tetap berada disisinya dan memapahnya.

“Bolehkah saya bawa Anggun untuk pulang, Pak?” ijin Thalia.

“Terimakasih,Thalia.” Deni menyahut sebelum ayahnya.

Thalia menuntun Anggun meninggalkan ruangan BP. Entah kenapa suasana sekolah sudah sangat sepi tak seperti biasanya. “Kamu duduk dulu di sini ya, aku ambil motor dulu di parkiran.” Thalia berlari segera, merasa tak tega melihat sahabat baiknya masih terlihat kacau.

Tak disangka Deni mengikuti keduanya, Lalu duduk di sisi Anggun. “Maaf ya aku tadi berbohong di depan Thalia. Daripada kamu dipermalukan karena hampir diperkosa, aku rasa masih sedikit lebih baik dituduh menjadi seorang pencuri,” ucap Deni menatap lembut ke arah Anggun yang masih tertunduk dalam tangisnya.

“Aku minta maaf mewakili ayahku, keluarga kami sedang berada di masa sulit, mungkin itu yang membuat ayahku khilaf. Aku jamin hal itu tak akan terulang lagi, aku janji akan melindungimu.”

Mendengar ucapan Deni yang terdengar tulus, Anggun justru semakin sesenggukan, tubuhnya kembali gemetar, ingatannya begitu jelas terlintas bagaimana sang guru BP mencambuk, menyiksa serta menggerayangi tubuhnya.

“Huwaaa … hiks … hiks ….!!!”

Anggun kembali histeris, meremas bagian seragamnya, tangan kirinya memukul-mukul kepala dan menjambak rambutnya sendiri. Teriak histerisnya menggema di lobi depan gedung sekolah yang entah kenapa sangat sepi hari itu.

...****************...

To be continue...

TIGA

Thalia yang telah kembali dari tempat parkir, segera meninggalkan motornya sejenak, dan menghambur memeluk sang sahabat.

“Apa yang kamu lakukan?! Masih kurangkah siksaan dari ayahmu?! Ingat Deni! Aku akan mencari tahu kebenaran ucapanmu!” gertak Thalia tak merasa takut sedikitpun pada Deni yang adalah putra dari guru mereka.

“Aku hanya menyampaikan permintaan maaf Tha, sumpah! Aku nggak ngapa-ngapain.”

“Aku nggak mau pulang Tha … bawa aku kemana saja! Hiks … hiks ….” Anggun membenamkan wajahnya dalam pelukan Thalia.

Thalia mengelus perlahan punggung sang sahabat, “Hmm, ayo ke rumahku, istirahat dulu disana, kita pulang sekarang.” Thalia melepas jaketnya, lalu memakaikannya pada Anggun.

Dengan perlahan Thalia memapah Anggun menuju motor yang ia tinggalkan begitu saja di halaman utama sekolah. "Aneh sekali! Tak biasanya sekolah langsung sepi setelah bel pulang sekolah!" gerutu Thalia.

Sementara Anggun masih gemetar tak bisa melupakan hal buruk yang baru saja menimpanya, rasanya ia ingin segera meninggalkan lingkungan itu.

Rumah Thalia tak begitu jauh dari sekolah, lima belas menit mengendarai motor cukup membawa keduanya sampai di sebuah rumah mewah berlantai dua yang terletak di pinggir persawahan, di lingkungan perumahan elit itu.

Seorang pegawai bahkan membukakan pintu pagar agar Thalia dengan mudah memasukkan motornya ke halaman rumah yang bisa terbilang luas dengan taman bunga epik tertata rapi di setiap sudutnya.

"Sudah pulang, Non?" sapa sang pegawai paruh baya dengan setelan babydoll sederhana bermotif batik.

"Iya Mbok, terimaksih dibukakan pintu." begitu halus dan sopan tutur kata Thalia, tak sungkan mengapresiasi pekerjaan kecil pegawai keluarganya.

"Istirahat dulu di sini ya, aku ambil minuman dulu sama camilan," ucap Thalia setelah mengantar Anggun masuk ke kamar Thalia yang luasnya jangan ditanya, sudah pasti mungkin tiga kalinya kamar Anggun.

Anggun mengangguk, duduk merosot dilantai yang beralaskan karpet bulu berwarna coklat susu tepat di tengah-tengah kamar menghadap layar televisi besar.

Ini bukan kali pertama Thalia mengajak Anggun ke rumahnya, jadi anggun pun sudah terbiasa dengan semua kemewahan yang tersaji di sana.

Tak lama Thalia kembali muncul membawa sebuah nampan besar dengan dua gelas jus dan segelas air putih serta sepiring camilan yang sepertinya dibuat langsung oleh tangan si asisten rumah tangga.

"Minum dulu air putihnya, buat dirimu nyaman sebelum teman-teman lainnya datang." Thalia meletakkan nampan di meja di sisi Anggun, lalu kembali bangkit menuju laci di meja tempat televisi tertata disana.

"Aku bantu oles luka-lukamu ya." melihat bekas memerah di hampir sekujur tubuh sahabatnya, Thalia tak mampu menyembunyikan embun yang menggenang di ujung matanya. "Kejam sekali manusia itu!" umpatnya.

Anggun kembali terisak seraya menahan perih saat jemari lembut sahabatnya itu menyentuh luka-luka di beberapa tempat di kaki, pinggang, dan lengan tangannya. "Bagaimana aku bisa pulang dalam kondisi seperti ini, Tha ... hiks ... hiks ...."

"Aku tetap percaya apa yang kamu ucapkan, Nggun. Kita berteman sejak SMP. Aku tahu persis kamu teman seperti apa. Jangan takut, ceritakan semua sebelum teman yang lain datang. Kita hadapi bersama, ya?" Thalia membantu membenahi kembali kemeja seragam Anggun.

Rasa hancur dan terhina kembali membuat tubuhnya gemetar, Anggun membungkus wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang tak luput dari cambukan sang guru bejat, kali ini tangisnya yang sedari tadi tertahan, kembali pecah begitu pilu dan menyayat.

Thalia pun tak tega melihat betapa terpukul dan menderitanya sang sahabat, dipeluknya kembali dengan penuh rasa peduli.

"Lepaskan Nggun, luapkan semuanya, kita cari jalan keluarnya sama-sama. Aku percaya kamu kuat," ucap Thalia dengan suara bergetar, tak sadar air mata tulusnya menyatu dengan kegetiran yang dirasakan sang sahabat.

"Bagaiman aku bisa pulang Tha ... aku bersumpah tidak melakukan seperti yang mereka tuduhkan!" teriak histeris Anggun seraya kembali memukul-mukul dadanya, berharap sesak itu segera pergi. "Aku tidak seperti itu Tha!"

Thalia mempererat pelukannya pada sang sahabat, "Aku percaya! Aku percaya kamu Nggun!" Kedua sahabat baik itu tak mampu menahan tangis sesenggukan.

"Rahasiakan ini dari semua orang, Tha. Aku nggak mau ayah dan ibuku merasa terbebani, aku tak bisa membayangkan bagaimana mereka akan hancur jika tahu aku diperlakukan seperti ini, hiks ... hiks ...," pinta puli Anggun diantara isaknya.

"Enak saja! Bagaimana jika guru sialan itu akan mengulanginya lagi? Aku nggak mau hal yang lebih buruk akan menimpamu, Nggun!" Tak tega rasanya, Thalia menelan kekhawatiran itu karena rasa sayang dan pedulinya pada Anggun.

"Enggak Tha ... akan lebih sulit menghadapi bagaimana reaksi keluargaku. Aku tak tahan melihat ayah dan ibuku akan semakin menderita karenaku. Aku akan mencari cara lain Tha ... aku mohon rahasiakan ini ... hiks ... hiks ...." pinta Anggun membungkus ketakutannya.

"Di saat seperti ini, kamu bahkan begitu mengkhawatirkan orang tuamu." Thalia kembali memeluk sang sahabat. "Terus, gimana kamu pulang dengan luka-luka ini? Apa yang akan kamu katakan pada orang tuamu, Nggun?!" Dengan pilu, Thalia kembali memandangi luka-luka memerah di lengan tangan Anggun.

"Bisakah kamu membantuku berbohong sekali lagi?" pinta Anggun lirih seraya membersihkan wajahnya dari airmata menggunakan tisu yang telah disiapkan Thalia sejak tadi.

thalia menatap kelu pada sahabatnya, "Hmmm ... apa itu?"

"Katakan aku jatuh tak sengaja karena berjalan mengantuk, atau terserempet mobil karena aku berjalan terlalu menengah ke jalan raya, atau apapun itu Tha, asal ayah dan ibuku tak mengkhawatirkan banyak hal, hanya untuk meyakinkan mereka, please ... aku mohon lakukan itu untukku, Thalia."

Thalia menghela napas dalam, rasa tak percaya akan begitu kuat sahabatnya itu, membuat air matanya kembali menetes tanpa ijin. Kedua sahabat itu kembali saling berpelukan untuk kesekian kalinya.

"Akan aku usahakan seperti maumu, Nggun. Tapi berjanjilah mulai sekarang jangan berkeliaran sendirian. Apalagi disekolah, kamu harus mengajakku kemana pun kamu pergi. Berhentilah menjadi budak para guru yang sesuka hati sering menyuruhmu membawa ini dan itu, atau mengambil ini dan yang lainnya. Mulai sekarang aku yang akan melakukannya untukmu."

Dilema memang, Anggun termasuk murid teladan yang membuatnya sedikit lebih dekat dengan para guru, tak jarang memang Anggun dimintai tolong menggantikan tugas guru untuk menyampaikan pelajaran di saat guru sedang ada keperluan dinas.

.

.

.

.

Sementara itu di ruang BP, pak Tono masih beradu argumen dengan putranya sendiri.

"Aku kecewa dengan caramu, Yah! Apa selama ini kamu dengan mudah mengkhianati ibu seperti itu?" protes Deni dengan wajah memerah karena menahan amarah.

"Jangan ngawur! Ayah tadi hanya menggertaknya saja! Nggak bermaksud mengganggunya, lagian dia itu apa, dari sisi manapun tetap lebih cantik ibumu."

"Menggertaknya?! Ayah bilang hanya menggertak?!" Emosi Deni mulai memuncak. "Ayah! Aku nggak buta! Dan aku bukan anak kecil lagi! Aku tahu bagaimana itu birahi! Aku tahu apa yang ayah lakukan tadi!"

"Memangnya apa yang kamu lihat?! Jangan sok pintar kamu!"

"Ayah!"

PLAK!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Deni. Kali ini justru pak Tono yang lepas kendali.

...****************...

To be continue....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!