Bab 1: Pertemuan di Tengah Malam
Angin malam menusuk kulit, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu jalan yang suram memantulkan bayangan panjang di atas trotoar basah. Langkah kaki pria itu terdengar pelan, berat, seolah setiap langkahnya dipenuhi beban yang tak terlihat.
Namanya Arya. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, ia mencari pelarian dari kebisingan pikirannya. Kafe kecil di pinggir kota itu menjadi tempat favoritnya—bukan karena kopi atau musiknya, tapi karena kesunyian yang ditawarkannya. Di sana, ia bisa duduk berjam-jam, menatap kosong ke luar jendela tanpa ada yang peduli.
Setelah memesan kopi hitam, Arya mengambil tempat di sudut, seperti biasa. Ia mengeluarkan buku catatannya, membuka halaman kosong, berharap bisa menuangkan sesuatu. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya menatap lembaran putih itu tanpa tahu harus menulis apa.
Pintu kafe kembali berderit, membawa udara dingin dan suara langkah sepatu yang lembut. Arya melirik sekilas, tidak berniat memperhatikan, hingga matanya menangkap sosok wanita itu. Ia tampak berbeda dari pengunjung lainnya—tidak terburu-buru, tidak sibuk dengan ponsel, hanya berdiri sejenak di pintu, mengamati ruangan.
Wanita itu, Reina, baru saja selesai dengan hari yang panjang. Langkahnya membawanya ke kafe kecil itu tanpa rencana, hanya keinginan sederhana untuk menikmati secangkir teh hangat. Namun, saat pandangannya bertemu dengan pria yang duduk di sudut, ia merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran rasa penasaran dan ketertarikan aneh yang bahkan tidak ia mengerti.
Reina mendekati meja Arya, berhenti di depannya. "Boleh saya duduk di sini?" tanyanya, lembut namun penuh keyakinan.
Arya mengangkat pandangannya. Untuk sesaat, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ada sesuatu pada wanita itu yang membuatnya merasa seperti tengah membaca sebuah buku yang baru saja dibuka, penuh misteri di setiap halaman awalnya. “Silakan,” jawabnya akhirnya, sambil menunjuk kursi di depannya.
Reina tersenyum kecil, lalu duduk. Saat ia melepas mantelnya, Arya sempat melihat sedikit percikan air di ujung rambutnya, sisa dari gerimis di luar. Mereka terdiam sejenak, keheningan yang tidak canggung namun penuh makna. Saat pelayan datang, Reina memesan teh melati, dan Arya hanya memperhatikannya tanpa sadar.
“Kamu sering ke sini?” tanya Reina, memecah keheningan.
Arya mengangguk. “Hampir setiap malam. Tempat ini... menenangkan.”
Reina mengangguk pelan, lalu menatap keluar jendela. “Kadang kita butuh tempat seperti ini, ya. Tempat di mana kita bisa merasa sendiri, tapi tidak kesepian.”
Kata-katanya membuat Arya tersenyum kecil. "Kamu seperti memahami tempat ini lebih baik dari orang yang sering datang ke sini," jawab Arya, mencoba mencairkan suasana.
Reina tertawa ringan, suara tawanya terdengar seperti denting halus di tengah musik latar kafe yang lembut. "Mungkin karena aku juga sering mencari tempat seperti ini. Tapi ini pertama kalinya aku masuk ke kafe ini. Biasanya, aku hanya lewat."
Arya tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, mencoba membaca sesuatu di balik sorot matanya yang sendu. "Jadi, apa yang membuatmu akhirnya masuk malam ini?" tanyanya setelah beberapa detik.
Reina terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang baru saja dihidangkan. "Aku tidak tahu," ujarnya jujur. "Mungkin... karena aku merasa ada sesuatu yang menunggu di sini."
Arya tidak tahu harus menjawab apa. Namun, ada sesuatu dalam kata-katanya yang terasa akrab, seperti mereka berbagi kerinduan yang sama, meski tanpa pernah saling mengenal sebelumnya.
Di luar, hujan mulai turun kembali, deras namun menenangkan. Di dalam kafe, percakapan mereka terus berlanjut—perlahan, hati-hati, namun tanpa disadari semakin dalam. Dua orang asing yang berbagi malam, dihubungkan oleh sesuatu yang tak terucap.
Dan begitulah, malam itu menjadi awal dari sebuah kisah yang akan terus mereka kenang. Sebuah pertemuan singkat, namun penuh dengan misteri dan harapan.
Bab 2: Rahasia yang Tersirat
Hujan semakin deras, memukul-mukul kaca jendela kafe dengan irama yang nyaris menenangkan. Di sudut ruangan, Reina dan Arya masih duduk saling berhadapan, percakapan mereka mulai mengalir lebih lancar, seolah keheningan sebelumnya adalah jembatan untuk saling memahami.
“Kamu suka menulis?” tanya Reina, menunjuk buku catatan yang terbuka di meja Arya. Halaman itu kosong, hanya ada pena yang tergeletak di sampingnya.
Arya tersenyum samar. “Suka, tapi entah kenapa belakangan ini rasanya sulit menulis sesuatu.”
“Kenapa?”
Arya mengangkat bahunya, pandangannya tertuju pada cangkir kopinya yang hampir habis. “Mungkin karena terlalu banyak hal di kepala. Terkadang, saat kamu punya terlalu banyak untuk dikatakan, justru sulit menemukan kata-kata yang tepat.”
Reina mengangguk, memahami perasaan itu. “Mungkin karena kamu terlalu memikirkan hasilnya. Coba saja tulis apa pun yang terlintas, tanpa peduli bagus atau tidak.”
Arya tertawa kecil, suara tawanya terdengar hangat meski sedikit getir. “Mudah diucapkan, sulit dilakukan.”
“Kamu menulis tentang apa biasanya?” tanya Reina lagi, penasaran.
“Hidup. Perasaan. Hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian orang,” jawab Arya. Ia menatap Reina sejenak sebelum melanjutkan, “Seperti malam ini. Jika aku bisa menulis, mungkin aku akan menulis tentang pertemuan kita.”
Reina tersenyum mendengar itu, tapi ada sesuatu di balik senyumnya—seperti kenangan yang tiba-tiba menyeruak. “Pertemuan singkat bisa jadi cerita panjang, ya?” ujarnya pelan.
Arya mengangguk. “Kadang pertemuan singkat justru meninggalkan kesan yang lebih dalam.”
Mereka terdiam lagi, tapi kali ini keheningan itu terasa nyaman, seperti keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Reina menatap ke luar jendela, memperhatikan air hujan yang mengalir di kaca, membentuk pola acak yang sulit dipahami.
“Aku suka hujan,” katanya tiba-tiba, memecah keheningan. “Entah kenapa, hujan selalu membawa kenangan.”
“Kamu juga punya kenangan yang sulit dilupakan?” tanya Arya, penasaran.
Reina tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap tertuju ke luar, tapi matanya tampak kosong, seperti sedang melihat sesuatu yang hanya ada dalam pikirannya. “Semua orang punya, kan? Kenangan yang terus mengikuti, meskipun kita berusaha melupakannya.”
Arya ingin bertanya lebih jauh, tapi ia merasa ada tembok yang tak kasat mata di antara mereka. Reina terlihat seperti seseorang yang menyimpan banyak hal, tapi memilih untuk tidak membaginya.
“Bagaimana denganmu?” tanya Reina, tiba-tiba berbalik menatap Arya. “Apa yang membawamu ke sini setiap malam?”
Arya terdiam sesaat, mempertimbangkan jawaban yang tepat. “Mungkin aku juga sedang berusaha melupakan sesuatu,” ujarnya akhirnya.
Reina mengangguk, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. Ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, tapi justru itu yang membuat percakapan mereka terasa begitu alami. Dua orang yang membawa luka masing-masing, menemukan pelipur lara dalam keheningan malam.
Di luar, hujan mulai mereda, meninggalkan jalanan yang berkilauan oleh pantulan lampu kota. Kafe mulai sepi, hanya tinggal beberapa pengunjung yang masih asyik berbincang.
“Sepertinya aku harus pergi,” kata Reina, suaranya terdengar pelan namun pasti.
Arya mengangguk, meski ia merasa belum ingin pertemuan ini berakhir. “Hati-hati di jalan.”
Reina tersenyum kecil, lalu bangkit dari tempat duduknya. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh kembali ke arah Arya. “Mungkin kita akan bertemu lagi. Atau mungkin tidak. Tapi, terima kasih untuk malam ini.”
Arya hanya bisa membalas dengan senyum. Ia memperhatikan Reina berjalan keluar, menghilang di balik pintu kafe yang tertutup.
Malam itu, Arya kembali membuka buku catatannya. Ia menulis satu kalimat sederhana, yang terasa seperti awal dari sesuatu yang baru:
“Beberapa pertemuan singkat tidak perlu alasan, hanya keajaiban.”
Bab 3: Jejak yang Tertinggal
Pagi itu, udara terasa lembab dengan sisa hujan semalam. Jalanan masih basah, memantulkan cahaya matahari yang berusaha menembus awan tipis. Arya duduk di balkon apartemennya sambil menyeruput kopi hangat. Pandangan matanya tertuju pada gedung-gedung yang berjejer di kejauhan, namun pikirannya masih melayang pada pertemuan semalam.
Ia membuka buku catatannya dan membaca ulang kalimat yang ia tulis malam sebelumnya. “Beberapa pertemuan singkat tidak perlu alasan, hanya keajaiban.” Kalimat itu terasa sederhana, tetapi entah kenapa ia terus memikirkannya. Pertemuan dengan Reina semalam terasa seperti sesuatu yang sulit dijelaskan, seperti perasaan yang tak bisa ia pahami meski ia mencoba mencari jawabannya.
Arya menghela napas. Ini bukan pertama kalinya ia merasa seperti ini—merasakan ketertarikan yang muncul tanpa rencana, tanpa penjelasan yang bisa diterima logika. Tapi ia tahu ia tak bisa terus memikirkan ini. Perasaan seperti ini hanya akan mengganggu ketenangannya yang biasa ia cari di malam hari.
“Ah, mungkin ini hanya semacam khayalan,” gumamnya pada dirinya sendiri sambil menyeruput kopi lagi.
Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya khayalan semata.
Reina duduk di kursi kerjanya, menatap layar komputer sambil jemarinya dengan cekatan mengetik. Pekerjaan di kantornya selalu memerlukan konsentrasi, namun semalam terus menghantuinya. Pertemuan dengan Arya seperti menorehkan luka kecil yang tak ia pahami.
Kata-kata mereka semalam masih terngiang-ngiang di kepalanya. “Kadang kita butuh tempat seperti ini, ya. Tempat di mana kita bisa merasa sendiri, tapi tidak kesepian.”
Reina menarik napas panjang. Apa yang ia rasakan semalam bukan hanya kebetulan. Ada sesuatu tentang Arya yang ia rasakan familiar, seperti ia pernah mengenalnya sebelumnya—meskipun ia tahu itu mustahil. Perasaannya ini, perasaan yang datang tanpa sebab, membuatnya bingung dan gelisah.
“Kenapa harus semalam?” bisiknya pada diri sendiri.
Telepon berdering di mejanya, memutuskan lamunan Reina. Ia segera meraih telepon itu dan kembali tenggelam dalam tugas-tugasnya, namun perasaan semalam masih bersemayam di benaknya.
Reina tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk mengusir perasaan itu. Ia telah cukup lama menjalani hidup dengan memisahkan diri dari hal-hal yang bisa membuat hatinya terganggu. Namun, Arya seolah datang tanpa permisi, membuat segalanya menjadi kompleks.
Beberapa hari setelah malam itu, Arya kembali menghabiskan waktu di kafe yang sama. Ia mulai menulis lebih banyak, mencoba menemukan kata-kata untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Namun, setiap kali ia menulis, pikirannya selalu kembali kepada Reina.
Ia mulai bertanya-tanya tentang dirinya—siapa wanita itu sebenarnya? Mengapa ia merasakan ikatan yang sulit ia jelaskan? Arya mulai memeriksa ingatannya, mencoba mengingat detail-detail kecil tentang pertemuan mereka, tentang senyumnya, tatapannya, serta keheningan yang aneh namun begitu berarti.
Arya sering kali berusaha memaksa dirinya untuk tidak memikirkan hal ini. Namun, semakin ia berusaha, semakin ia merasa bahwa Reina memiliki sesuatu yang menarik perhatian hatinya.
Setiap kali ia menulis, ia selalu menulis kalimat yang sama:
"Kau seperti bayang-bayang yang tak pernah bisa kusentuh, namun selalu ada."
Dan ia menulis kalimat itu berkali-kali, seakan mencoba memahami makna dari perasaannya sendiri.
Di sebuah taman kecil dekat pusat kota, Arya sedang duduk sambil membaca buku. Udara cerah, dan anak-anak bermain riang di sekitar taman. Arya sedang menikmati ketenangan itu ketika ia melihat seseorang mendekat. Jantungnya berdebar tanpa ia pahami.
Reina muncul di hadapannya, senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Arya?” tanyanya dengan nada lembut.
Arya mendongak, tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Reina?”
Reina mengangguk sambil memegang secangkir kopi. “Kita bertemu lagi, ya?”
Arya tersenyum pelan, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Ternyata tak hanya semalam yang membawa kita bertemu.”
Reina duduk di sebelahnya tanpa bertanya lebih jauh, seolah memahami bahwa tak perlu penjelasan panjang. Angin berhembus lembut di sekitar mereka, membawa aroma kopi dan daun yang baru saja gugur.
“Aku pikir ini kebetulan,” kata Reina sambil menatap jauh ke taman yang berwarna hijau.
Arya menggeleng. “Atau mungkin ini takdir.”
Mereka berdua terdiam lama, saling menikmati keheningan dan udara yang sejuk. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Perasaan itu sudah cukup—ada ikatan yang muncul tanpa kata, seakan-akan mereka memang sudah ditakdirkan untuk bertemu.
Hujan semalam, perbincangan di kafe kecil, dan perasaan yang mengambang tanpa jawaban kini membawa mereka ke perjumpaan ini.
Arya tahu bahwa ini baru awal dari sesuatu yang lebih besar, dan ia siap untuk mengejar apa yang tersisa di balik senyuman dan pandangan Reina yang penuh teka-teki.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak takut untuk menjelajahi perasaannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!