NovelToon NovelToon

After Office

After Office

Mia Andani hanya bisa mendengus kesal, dengan pekerjaan yang menumpuk di mejanya. Andai saja tetangga kubikel sekaligus sahabatnya tak mengundurkan diri, mungkin hal ini tidak akan terjadi.

Lagi dan lagi, dia kembali lembur sore ini, alhasil sudah hampir satu Minggu Mia pulang terlambat, dan baru tiba di rumah sekitar pukul dua puluh tiga.

"Lembur lagi, Mbak Mia?" tanya salah satu office girl yang biasa dipanggil Mak Jum.

"Ya gitu deh." Sahut Mia, dia fokus pada angka-angka di layar komputernya.

"Bukannya sudah ada pengganti Mbak Gita." Mak Jum sedang mengambil sampah di masing-masing kubikel staf accounting.

"Yang namanya masih baru ya gitu deh."

"Bukannya mbak Raisa itu bagian keuangan di pabrik Bandung, Mbak Mia?"

"Kan beda, Mak! di sini kerjaannya lebih banyak, dan rumit."

Perempuan bertubuh tambun itu, menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Apa Mbak Mia mau, saya sediakan camilan?" tawarnya.

Mia menggeleng, "Nggak dulu deh, Mak! saya masih kenyang, tadi Mas Haris bawain kue."

"Ya udah, saya turun dulu. Kalau ada perlu, Mbak Mia bisa wa saya."

Mia menunjukkan jempolnya. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya, agar dirinya segera pulang.

Ruangan divisi accounting sudah sepi, begitu juga dengan ruangan divisi pemasaran yang berada di sebelah. Sekarang Mia benar-benar sendirian di lantai tempat divisinya berada, dia sudah terbiasa.

Takut? Tidak sama sekali, dia lebih takut penghasilan bulanannya berkurang, karena tak lembur. Sebagai generasi sandwich alias tulang punggung keluarga, dia harus lebih bekerja keras.

Cicilan rumah, biaya makan keluarganya, sekolah adik-adiknya, dan keperluan pribadinya, seperti ongkos transportasi. Tinggal di kota penyangga ibu kota, membuatnya harus nyambung menyambung alat transportasi.

Beruntung ada kereta listrik dengan ongkos murah, dan ojek online yang acap kali memberikan promo. Mia juga harus memutar otak agar semua kebutuhan keluarganya tercukupi.

Sudah beberapa tahun ini, ayahnya berpulang. Otomatis tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga berpindah padanya.

Sebagai anak tertua, seperti sudah hukum alam, untuk mengambil alih tugas kepala keluarga, dalam mencari nafkah, karena ibunya belum bisa berkerja, harus fokus mengurus adik bungsunya yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Sebuah deheman, mengalihkan atensinya. "Ada apa Pak Jaka? Kalau mau nanyain soal daftar gaji, besok sore baru saya kirim ke Pak Lukman, untuk diteruskan pada Pak Dimas. deadline-nya masih lusa, Pak!" Kata Mia kembali fokus pada layar di depannya.

Kursi beroda milik tetangga kubikel-nya di duduki pria berkemeja putih, dengan dasi yang tak lagi rapih. "Rekan kamu kemana? Dia nggak bantu kamu? Bukannya masalah gaji itu urusan dia?"

"Raisa masih keteter, Pak! Karyawan di sini lebih banyak kalau bapak lupa, dibandingkan di tempatnya dulu."

"Harusnya dia ikut lembur dong!"

"Nyeri bulanannya lagi parah, jadi saya suruh pulang." Mia berbicara tanpa melihat pria yang berprofesi sebagai sekertaris CEO. "Bapak kalau mau ngajak ngobrol, mendingan kapan-kapan aja deh, saya pengen cepet-cepet selesaikan ini."

"Ya udah sini aku bantuin." Suara yang biasa dingin perlahan melembut. "Mana laptop kamu?"

Mia mengeluarkan laptop dari tasnya, dan memberikannya pada pria di sebelahnya. "Bapak mau ngerjain yang mana?" tanyanya.

"Terserah kamu."

Mia mulai memilah map yang menumpuk di sudut kubikel. "Faktur aja, ya Pak? Deadline besok siang."

Keduanya mulai fokus pada pekerjaannya masing-masing, tak ada yang bicara, hanya terdengar suara jari beradu dengan keyboard serta embusan pendingin ruangan.

Bermenit-menit berlalu, Mia berhasil menyelesaikan satu pekerjaannya, dia meregangkan tangan nya, jari-jarinya terasa kaku, pinggangnya pegal serta matanya yang lelah, karena harus terus beradu tatap dengan layar. "Bapak udah selesai?" tanyanya seraya melirik pada kubikel sebelah.

Pria pemilik alis tebal itu, menunjukan tumpukan dokumen di sebelahnya. Mia mengikuti arah yang ditunjuk, dia mendelik begitu melihat, tumpukan dokumen yang seharusnya dia kerjakan nanti hingga besok, sudah berpindah, artinya semuanya sudah dikerjakan oleh sekretaris CEO itu dalam waktu singkat.

Mia bahkan memeriksa satu persatu, "ini seriusan udah selesai semua?" tanyanya tak percaya.

"Seperti yang kamu lihat." Pria itu tersenyum.

"Emang beda ya, staf biasa sama staf khusus. Jam terbang juga lebih tinggi." Mia memberikan pujian. "Terima kasih banyak ya, pak! Akhirnya nggak telat lagi pulangnya."

"Masalah gaji, kamu suruh yang bersangkutan. Itu di luar job desk kamu, jadi jangan jadi pahlawan kesiangan. Ngerti!" mode dingin pria itu kembali.

"Bukannya sesama rekan kerja harus saling bantu, ya Pak? Lagian saya dapat tambahan uang lembur, lumayan buat nambah pemasukan."

"Terserah kamu lah, sekarang karena kamu sudah selesai, ayo temani aku makan malam."

Mia yang sedang membereskan mejanya, menghentikan kegiatannya. "Gajian masih seminggu, Pak! Saya harus hemat, jadi jangan minta traktir, sebagai imbalan karena bapak bantuin saya, kan bapak yang tadi nawarin, bukan saya minta bantuan."

Jaka mendesis, "memangnya tadi aku bilang, aku minta traktir ke kamu?"

"Kayaknya sih enggak, tapi kan bapak bantuin saya."

Jaka bangkit dari duduknya, "Tunggu aku di parkiran, aku ambil tas dulu." dia berlalu dari sana.

Mia memanyunkan bibirnya, dan lanjut membereskan meja kerja, dan sedikit touch-up, setidaknya wajah lelahnya bisa tersamarkan.

Dia menuju elevator setelahnya, Mia mendongak menatap angka yang sedang berada di lantai ruangan CEO. "Pak Jaka ngajak makan di mana ya? Mudah-mudahan nggak jauh dari stasiun." Monolognya.

Pintu besi itu terbuka, terlihat asisten dan sekertaris CEO berada di sana. Mia menunduk seraya menyapa kedua atasannya.

"Baru balik, Mi?" tanya asisten CEO yang baru mulai bekerja beberapa pekan ini.

"Iya Pak Ryan." sahut Mia sambil memencet tombol tutup.

"Udah makan malam belum?"

"Belum, Pak." Mia melirik sekilas pada Jaka.

"Mau nggak temani saya makan malam?" tawar Aryan.

"Mm ..." Mia meremas tali tas ranselnya.

Jaka berdecak, "Nggak usah mulai, Aryan!"

"Apaan sih, Ka? Nggak boleh banget temen usaha." sahut Aryan. "Mia masih jomblo, kan?"

Jaka menarik rekan kerjanya, agar bertukar tempat dengannya, "Nggak usah ditanggapi cowok player kayak dia," katanya pada Mia.

Pintu elevator terbuka di parkiran basemen, Aryan keluar terlebih dahulu, diikuti Jaka dan Mia.

Mobil kedua pria itu terparkir bersebelahan. "Mi, hati-hati sama Jaka, diam-diam ganas! Awas di kokop!" teriak Aryan sebelum keluar dari mobil.

Jaka yang sedang membukakan pintu untuk Mia, hanya bisa memejamkan matanya, agar tak mengumpat sekarang. Bisa rusak citranya.

"Bapak mau ajak saya makan di mana?" tanya Mia.

Jaka menatap gadis yang duduk di sebelahnya, lalu tatap matanya, tertuju pada sesuatu. Dia mulai mendekat.

Mia otomatis menahan napasnya, begitu pria berkemeja putih itu mendekat, jarak mereka begitu dekat, sehingga dirinya bisa merasakan embus napas hangat di sekitar wajahnya, juga aroma wangi yang khas. Mia sampai memejamkan matanya, saking gugupnya, padahal ini bukan kali pertama, mereka berdekatan tapi tetap saja, membuatnya selalu salah tingkah.

"Kamu belum pasang sabuk pengaman, bahaya!"

Suara klik membuat Mia kembali membuka matanya, namun matanya langsung melebar begitu melihat wajah pria itu berada begitu dekat dengan wajahnya, mungkin hanya beberapa Senti saja.

"Kamu kenapa tutup mata?" tanya Jak

Bola mata Mia bergerak ke kiri dan kanan, dia gugup sekali. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Jaka bertanya lagi, dengan posisi sama.

Mia menggeleng, "Nggak mikir apa-apa kok, tadi saya kelilipan, iya kelilipan, makanya saya merem."

"Ya udah sini aku bantu tiup." Tanpa menunggu persetujuan, Jaka meniup kedua mata Mia secara bergantian.

Mia hanya bisa menggigit bibir bawahnya, dia gugup luar biasa, apalagi jantungnya berdetak lebih cepat dari normalnya. Mia berharap agar pria itu tak mendengar suara detak jantungnya.

"Kamu kenapa gigit bibir?" Jari jemari Jaka, menyentuh bibir milik gadis yang hari ini mengenakan kemeja salur. "Aku cium, boleh?"

Tubuh Mia rasanya kaku, begitu jemari panjang pria itu menyentuh bibirnya, bahkan saat Jaka meminta izin untuk menciumnya, dia tak bisa berkata-kata, seolah lidahnya kelu.

Dan selanjutnya, Mia bisa merasakan benda kenyal itu menyatu dengan bibirnya. Secara otomatis dia memejamkan matanya, seraya menikmati gerakan lembut di bibirnya.

Sialnya suara klakson mobil sebelah, mengganggu kegiatan mereka. Alhasil tautan bibir itu terlepas.

Jaka berdecak kesal, dia kembali ke tempat duduknya, sambil menggerutu kesal. Rekan kerjanya benar-benar usil, dan merusak kesenangannya.

Perjalanan Pulang

Mia merasakan canggung luar biasa, bagaimana bisa dia bisa berciuman dengan pria dingin itu? Rasanya seperti mimpi di siang bolong.

Memang ini bukan pertama kali mereka berdekatan, tapi kedekatan keduanya hanya sebatas urusan pekerjaan, dan teman perjalanan.

Mia ingat, berbulan-bulan yang lalu pernah cukup dekat dengan pria itu, karena liburan bersama ke luar kota, yang ternyata adalah acara pernikahan antara sahabat kubikelnya.

Saat itu Mia tak menyangka jika liburan itu, hanyalah akal-akalan Fero sang asisten CEO, yang akan menikahi Anggita.

Dia dan Jaka duduk bersebelahan di kereta, meski tak banyak obrolan, tapi Mia sempat menyandarkan kepalanya di bahu pria itu, ketika dirinya ketiduran.

Setelah itu, keduanya hanya berinteraksi sebatas urusan pekerjaan. Jaka juga kembali bersikap dingin dan irit bicara padanya.

Tapi pernah salah satu rekan kerja satu divisinya menanyakan tentang hubungannya dengan sekertaris CEO, tentu saja Mia berujar, jika dirinya sama sekali tak memiliki hubungan apapun.

"Halo, ada yang bisa saya bantu, Pak?" Dari balik kemudi, Jaka mengangkat panggilan dari CEO tempatnya bekerja.

"Masih di kantor nggak, Ka?"

"Saya lagi on the way makam malam, pak!"

"Oh ya sudah kalau begitu, saya pikir kamu masih di kantor."

"Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Nggak jadi deh, tapi besok tolong datang ke kantor lebih pagi, kita harus periksa ulang surat kontrak, klien minta revisi."

"Baik pak." Panggilan berakhir setelahnya.

Mia hanya diam, dia menatap jalanan yang masih saja tersendat, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua puluh lewat.

"Kamu biasanya makan malam dengan menu apa?" tanya Jaka, seraya melirik sekilas pada gadis di sebelahnya.

"Saya makan masakan ibu saya." Sahut Mia tanpa menatap lawan bicara.

"Apa kamu mau mencoba masakan ku?"

"Memangnya bapak bisa masak?"

"Saya pernah ikut kelas memasak bersama Pak Dimas dan Fero."

Mia melihat ke arah pergelangan tangannya, "Lain kali aja, Pak! Udah malam, saya mau pulang saja."

Mobil berhenti saat lampu lalulintas berwarna merah. Jaka menyodorkan ponselnya, "Ketik alamat rumah kamu, aku akan antar."

Mia mendorong benda pipih itu. "Rumah saya di Cikarang, Pak! Mending Bapak antar saya ke stasiun saja." Tolaknya.

Lampu berubah menjadi hijau, Jaka kembali melajukan mobilnya. Tapi alih-alih mengantarkan Mia ke stasiun, Pria itu justru mengemudikan mobilnya memasuki jalanan bebas hambatan.

"Bapak apa-apaan sih? Kan saya bilang, rumah saya di Cikarang, jauh banget, mana macet lagi. Lagian motor saya ada di parkiran stasiun." Mia melontarkan protes.

Jaka tak menanggapi, pria itu justru menambah volume radio, untuk menemani perjalanan mereka.

Merasa percuma, Mia memilih menatap jalanan yang dilaluinya. Sudah enam tahun berkerja di perusahaan, dia sudah tak kaget lagi, dengan sikap pria dingin itu.

"Kalau kamu capek, kamu bisa tidur, nanti aku bangunkan, atau kamu mau menurunkan sandaran, supaya kamu lebih nyaman?"

"Nggak usah, saya nggak ngantuk." tolak Mia mentah-mentah.

"Terserah ..."

Nyatanya selang beberapa menit kemudian, Mia merasakan matanya mulai memberat. Kebiasaannya usai pulang kerja, saat sudah duduk, dia pasti akan tertidur. Apalagi mobil yang ditumpanginya, lebih nyaman, tak ada suara berisik penumpang kereta listrik, plus aroma wangi yang menenangkan, membuatnya dengan cepat memejamkan matanya.

Jaka tersenyum tipis, seraya melihat gadis yang sudah diincarnya sejak lama. Kesibukannya sebagai sekertaris CEO, membuat nya tak bisa leluasa mendekati salah satu staf keuangan di kantor tempatnya bekerja.

Sempat patah hati karena mendapati Mia bergabung dengan para cewek-cewek pengagum CEO mereka, tapi begitu Dimas menikah dengan Rumi. Jaka mulai memperhatikan gadis itu secara diam-diam. Sayangnya kesibukannya tak mengizinkannya untuk memikirkan perasaan pribadinya.

Semenjak Dimas menikah, atasannya itu sering kali pulang cepat, menyesuaikan jam pulang Rumi yang saat itu bekerja sebagai staf pemasaran. Alhasil dia dan Fero yang terkena imbasnya.

Seolah memang dirinya yang hanya sekertaris, tak diperbolehkan memikirkan urusan pribadinya.

Sempat ada kesempatan dirinya untuk dekat dengan Mia, saat mereka hendak menghadiri pernikahan dadakan antara Fero dan Anggita. Namun lagi-lagi itu hanya sebatas duduk bersebelahan di kereta selama beberapa jam, itupun mereka isi dengan tidur.

Tak sampai di situ, semenjak Rumi melahirkan, Dimas lebih banyak bekerja dari rumah, lagi-lagi Dia dan Fero terkena imbasnya.

Bahkan setelahnya, seolah takdir tak menghendaki mereka untuk dekat secara pribadi, karena kembali dia disibukkan dengan urusan pekerjaan.

Namun setelah Fero resmi mengundurkan diri dan digantikan oleh Aryan, Jaka memiliki jeda sejenak. Karena walau Fero mengundurkan diri, pria itu masih membantunya untuk urusan kerja sama dengan klien luar negeri. Sehingga pekerjaannya lebih ringan.

Sudah beberapa hari kebelakang, diam-diam dia memperhatikan gadis itu. Rasa yang sempat dia lupakan, kini hadir kembali mengisi relung hatinya. Kali ini Jaka berharap, dia berhasil merajut hubungan kasih dengan gadis pencuri hatinya.

Jaka tertawa sendiri, membayangkan hal indah yang akan terjadi di masa depan, dan berharap semuanya akan berjalan sesuai harapannya.

Sempat menemui beberapa kali kemacetan di jalan bebas hambatan, akhirnya mobilnya berhasil keluar dari pintu tol. Sayangnya dia lupa jika tempat yang ditujunya, terkenal dengan lalu lintas semrawut nya. Dia kembali menemui kemacetan beberapa ruas jalan yang dilaluinya.

Pantas saja tadi Mia protes, dan minta diantarkan ke Stasiun saja, karena waktu tempuh jelas lebih lama jika menumpang mobil.

Tapi tak apalah, demi sang pujaan hati, kemacetan akan Jaka terjang, yang penting dia bisa berduaan dengan gadis yang masih tertidur nyenyak di kursi sebelahnya.

Jaka kembali tersenyum kecil, mengingat kejadian tadi di parkiran. Astaga! untuk pertama kalinya, dia mencium seorang gadis.

Andai rekan kerjanya tak membunyikan klakson, mungkin dia bisa mencium Mia lebih lama.

Jaka melirik sekilas gadis yang tertidur dengan pulas nya, bahkan terdengar dengkuran halus dari sebelahnya. Sepertinya Mia benar-benar kelelahan.

Melihat di depan ada tempat pengisian bahan bakar, Jaka membelokan kemudinya, meskipun bahan bakarnya masih terisi banyak. Karena dia memiliki alasan untuk berhenti.

Jaka ingin mengambil foto gadis pujaannya, secara diam-diam, untuk dia pandangi nanti sebelum tidur.

Jaka mengambil ponsel pribadinya, dia bersiap dengan posisi mendekatkan kamera ponsel ke wajah gadis pujaannya. Karena suasana mobil gelap, otomatis ponsel mengeluarkan cahaya terang dan cekrek ... Sialnya dia lupa mematikan mode suara, alhasil Mia mengerjapkan matanya.

Gadis itu terlihat kebingungan, dalam hati Jaka berharap agar Mia tak menyadari tindakannya. Bisa-bisa imagenya rusak.

"Udah sampai, ya pak?" Mia mengucek kedua matanya sendiri.

Meski merasa gugup, karena takut ketahuan, tapi Jaka sebisa mungkin berusaha menutupinya. "Aku isi bahan bakar dulu, tapi udah masuk Cikarang kok." sahutnya.

Mia meregangkan tubuhnya, lalu melihat pergelangan tangannya, "hampir jam sepuluh," gumamnya. "Pasti macet, kan Pak? Makanya tadi saya bilang minta dianterin ke stasiun aja. Kayak gini bapak pulang lagi ke Jakarta gimana? Sampai jam berapa? Besok bapak harus berangkat lebih pagi loh!" dia mengomel.

"Aku lapar, bisakah kamu merekomendasikan makanan enak di sini?" tinggal satu mobil di depannya, maka gilirannya untuk mengisi bahan bakar.

"Bapak ih! saya ngomong malah dicuekin, nyebelin banget!" Mia menggerutu.

Bukannya menanggapi, Jaka kembali melajukan mobilnya, karena kini tiba gilirannya maju untuk mengisi bahan bakar. Dia keluar dari mobil dan menghampiri petugas pengisian bahan bakar.

Sambil menunggu, Jaka menunduk dan mengetuk kaca jendela mobil, di mana gadis pujaannya berada.

"Ada apa pak?" tanya Mia usai menurunkan kaca jendela.

"Pikirkan di mana tempat makan yang akan kita datangi, aku lapar sekali." Pengisian bahan bakar selesai, Jaka kembali ke sisi kemudi, dan melajukan mobilnya.

"Saya jarang jajan, Pak! Lebih sering makan di rumah. Jadi saya tidak terlalu paham makanan enak di sini."

"Bukannya kamu sudah lama pindah ke sini?" Tanya Jaka dari balik kemudi.

"Baru lima tahun, Pak!" jawab Mia, "Saya ini anak rumahan."

"Baguslah."

"Hah, maksudnya?" Mia mengernyit bingung.

"Ya baguslah, dari pada nongkrong nggak jelas."

"Dari pada nongkrong, mendingan saya tidur atau nonton Drakor di rumah. Nggak buang-buang duit, saya ini mesti hemat."

"Iya-iya staf keuangan memang beda ya, perhitungannya Matang. Tapi kenapa pas beliin dasi pak Dimas nggak pake mikir panjang, ya!" Mengingat kejadian itu, tanpa sadar Jaka mencengkram kemudinya. Gadis pujaannya mengidolakan CEO mereka.

"Apaan sih, jangan diungkit dong! saya malu. Apalagi sejak tau kalau Pak Dimas nikahnya sama Rumi." Mia tersenyum kecut. "Sampai sekarang saya nggak berani lihat wajah Rumi saking malunya, apalagi kita-kita cerita yang enggak-enggak."

"Memangnya cerita apa?" tanya Jaka penasaran.

Mia mulai menceritakan tentang obrolannya dengan rekan-rekan yang lain, tentang fantasi mereka pada sosok CEO.

Mendengar pengakuan gadis pujaannya, mendadak hatinya terasa terbakar. Jaka merasakan apa yang dinamakan cemburu.

Pantry

Sikap Jaka kembali dingin pada Mia, bahkan semalam rencana makan, tak jadi terealisasi, karena pria itu hanya mengantarkannya ke parkiran stasiun dan pergi begitu saja, tanpa berucap sepatah katapun.

Dan Mia kembali bertemu dengan Jaka, saat dirinya mengantarkan berkas menuju ruangan CEO. Pria itu bahkan tak menyapanya, seolah kejadian kemarin di parkiran, tak berarti apa-apa.

Mengingat hal itu, membuat mood Mia seketika menjadi memburuk, apalagi periode menstruasinya baru datang tadi pagi.

Sekembalinya dari ruangan CEO, Mia yang biasa ceria, memasang wajah masam, dan tak menanggapi guyonan rekan satu divisinya.

"Lo kenapa, gue perhatiin habis di ruangan Pak Dimas, Lo manyun mulu. Apa Lo abis kena semprot lagi? Kali ini gara-gara apa lagi? Apa mungkin bos belum dikasih jatah sama Rumi?" tanya Indah. Keduanya sedang makan siang bersama di pantry, menyantap bekal yang dibawa sendiri dari rumah.

"Tadi pagi baru mens, jadi males ngomong aja." sahut Mia sambil terus mengunyah makanannya.

"Kirain abis kena semprot lagi gara-gara tetangga."

Mak Jum sempat datang mengantarkan camilan untuk kedua perempuan penghuni divisi keuangan itu.

"Mbak, kayaknya gue mau cash bon lagi bulan depan."

"Nyambung-menyambung terus, ya! Kagak ada jedanya nih."

"Buat persiapan semesteran nya Nia, sama bayar kontrakannya, kan udah jatuh tempo."

Mia memiliki adik perempuan yang berkuliah di luar kota, dan satu adik laki-laki berusia sembilan tahun bernama Gio.

"Generasi roti lapis, Kayak kagak ada waktu buat napas, ya Mi?"

"Nggak apa-apa lah, yang penting keluarga bahagia, biar kita sendiri yang nangis diam-diam di pojokan."

Indah terkekeh di sela-sela makannya. "Yakinlah, suatu saat masa sulit ini akan berakhir, gue juga pernah ngerasain kayak Lo, walau sampai sekarang masih ngerasain juga, tapi nggak separah elo, sih!"

Di negara ini, sudah menjadi aturan tak tertulis. Jika anak pertama yang sudah bekerja, harus menopang ekonomi keluarga. Layaknya lingkaran setan yang tak akan pernah terputus.

Jangankan untuk menabung dana darurat, tidak gali lubang tutup lubang saja tiap bulan, sudah sangat bersyukur.

"Gue nggak masalah, mbak! Yang penting ibu dan adik-adik hidup dengan nyaman."

Pintu ruang pantry terbuka, sosok lelaki berkemeja cokelat muda datang membawakan kotak. "Hei ciwi-ciwi, gue cari di kantin, nggak taunya nangkring di mari." katanya seraya mencuci tangan, setelah meletakan kotak berwarna kekuningan dengan logo kue ternama.

"Dari mana, Go? Gue udah beli rujak lagi." Seru indah mulai membuka kotak.

Pria yang memiliki jabatan sebagai asisten manager itu duduk di kursi kosong di antara dua rekan satu divisinya. "Tadi gue abis ikutan meeting sama klien, di restoran mall, pas balik Jaka ngajak mampir, katanya pengen beliin donat buat staf keuangan."

"Tumbenan tuh muka lempeng, ada angin apaan? Apa kesambet gara-gara Fero keluar?" tanya Indah bingung.

Ringgo mulai membuka bungkusan potongan buah yang ada di depannya, dia mengambilnya satu yang berwarna merah dan memakannya. "Dia cuman ngomong, buat gantiin makan malam." Sahutnya santai.

Indah semakin heran, lalu menatap gadis yang memakai blus hijau tua, yang ditatap justru menaikan bahunya.

"Udah nggak usah dipikirin, yang penting divisi kita kenyang, banyak makanan terus." Sela Ringgo.

"Ya aneh aja, Go! Jaka si muka lempeng, kulkas empat pintu melebihi si Fero, bisa-bisanya kayak gitu. Seumur-umur kerja di sini, gue nggak pernah lihat dia ketawa, kok ini nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba kasih donat. Benar-benar kesambet setan itu orang."

"Ya mungkin kayak si Fero. Ingat nggak, waktu dia deketin Gita, hampir tiap siang, divisi kita dikirimin desert, Lo bahkan bisa bawa pulang." Ujar Ringgo.

"Ah masa sih?" Indah tak percaya. "Masa iya Jaka deketin Raisa? Nggak mungkin banget kayaknya, apa jangan-jangan Jaka lagi deketin ..." Mata Indah tertuju pada gadis berusia dua puluh delapan tahun di depannya.

Yang ditatap mendadak tersedak makanannya sendiri. Uhuk ... Uhuk ... Ringgo membukakan Tumbler dan memberikannya pada Mia, dia juga bangkit seraya menepuk punggung gadis itu.

Bersamaan dengan itu pula, seorang pria dengan setelan formal, datang membuka pintu pantry. "Ngapain Lo bang?" tanya dengan nada meninggi.

"Eh Ka! Ini si Mia keselek." Ringgo memberikan alasan.

"Tapi nggak usah pegang-pegang dong, kan ada Mbak Indah. Ingat Lo udah punya Raina." Jaka mendekat dan mengambil alih menenangkan Mia, yang belum pulih dari tersedak nya.

Ringgo menjauh seraya mengangkat tangannya, sementara Indah menganga tak percaya, dengan apa yang dilihatnya.

Sekertaris CEO yang terkenal dingin dan pelit senyuman, terlihat panik hanya karena salah satu staf tengah tersedak. Suara yang biasa terdengar sinis, sekarang melembut.

"Udah nggak apa-apa, kan? Kenapa bisa tersedak segala sih?" tanya Jaka khawatir, dia melihat makanan yang ada di hadapan gadis pujaannya, "Kamu keselek sambel rujak, astaga Mia!" tangannya tak henti-hentinya mengelus punggung itu.

Mia segera tersadar, dia menatap bergantian dua rekan divisinya. "Saya nggak apa-apa kok, Pak! Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya." Dia merasa canggung.

Jaka menarik kursi agar lebih dekat dengan gadis pujaannya. "Lain kali kalau mau makan rujak sambelnya jangan pedas-pedas, ya!" pesannya dengan nada super lembut. "Oh ya, aku beliin kamu donat, kamu suka toping apa? Aku ambilkan." Dia membuka kotak kekuningan itu, dan menyodorkannya pada Mia.

Dan sekali lagi, tatap mata Mia tertuju pada rekan divisinya, rasanya dia tak enak pada mereka. Mia takut mereka berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

"Ayo pilih, kok malah bengong?" desak pria berkulit sawo matang, tapi tampan.

Tatap mata Mia kembali tertuju pada pria yang tadi malam dan pagi mengabaikannya. "Nanti saya ambil sendiri, Pak!"

Jaka kembali meletakan kotak itu, lalu menopang dagunya, menatap gadis yang mengenakan blus hijau tua. "Ya udah, nanti di makan ya!" Dia kemudian bangkit, "Aku kerja dulu," sebelum beranjak, Jaka sempat mengelus kepala Mia.

Sepeninggal kulkas empat pintu. Tiba-tiba Ringgo mendesis, karena Indah mencubit lengannya. "Eh, beneran nggak mimpi." gumam perempuan beranak satu itu

"Nggak nyangka, Ndah! kayaknya bener kata Lo, si Jaka kesambet, masa iya dia bisa ngomong lembut sama orang. Benar-benar momen langka, harusnya gue rekam tadi."

"Apaan sih kalian? Nggak usah lebay deh, kan wajar atasan mengkhawatirkan bawahannya! Jadi nggak usah mikir yang enggak-enggak." Meski rasanya gugup, Mia berusaha bersikap biasa saja. "Mbak, Gue ambil rasa tiramisu sama matcha, ya!" katanya seraya mengambil dua potong kue, untuk dipindahkan ke kotak bekalnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!