"Huft, aku tidak mengerti. Mengapa ayah dan ibu begitu antusias menjodohkan aku dengan kak Ars?" Eliana mengomel sendiri di kamarnya.
"Aku tau kak Ars baik, dewasa, berpendidikan, bahkan fisiknya tidak memalukan. Malahan jadi idola para wanita, yang baru melihatnya saja sampai tak bisa mengedipkan matanya." Gerutu El kembali. Itulah panggilan Eliana.
*
Suara langkah terdengar pelan menuju kamar El, terlihat sosok wanita dewasa berparas anggun membawa nampan makanan untuk putrinya, dia adalah Bu Ratna.
Kreeeet ....
Bu Ratna membuka pintu kamar El dengan perlahan, dia takut mengganggu putrinya yang sedang beristirahat, karena sakit. Akan tetapi ada kecurigaan di benak Bu Ratna.
"kenapa setiap El akan bertemu dengan keluarga Ars, dia mendadak selalu sakit, tapi kondisinya memang benar-benar sakit. Ah, entahlah. Semoga kali ini tidak gagal."
"El ... Ibu pikir kamu sedang istirahat, kok malah baca sambil tiduran? nanti mata kamu lelah. Ayo duduk dengan benar!"
El membetulkan posisinya dengan malas-malasan.
"Ayo makan, agar kamu lekas sembuh! Rencana kali ini jangan sampai gagal. Jangan kecewakan ayahmu, dia sudah bekerja keras dengan apa yang kita nikmati sekarang. Hargai ayahmu sedikit saja. Ibu tau kamu tidak sebenci itu terhadap Arsya, kan?" Bu Ratna mencoba bersahabat dengan putrinya.
"Dari mana Ibu tau, aku tidak membenci kak Ars? bahkan, aku tidak suka perjodohan ini."
"Apa kamu lupa ...? kamu begitu akrab dengan Ars ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, dan ketika SMP kau memilih untuk satu sekolah denganya, bahkan ketika itu Ars sudah duduk di bangku SMA. Kamu bilang, kak Ars itu orang yang baik, bisa menjagamu dan membantu pelajaran yang tidak dipahami. Iya, kan?" Bu Ratna membelai rambut putrinya sambil tersenyum.
"Iya, itu benar. Tapi aku ngga suka jika dipaksa." El menjawab sekenanya masih sambil membaca buku yang berada di tanganya.
"Oya, Ibu mau bertanya, tapi kamu harus menjawab dengan serius. Kenapa setiap kita akan pergi ke tempat Ars, kamu selalu mendadak sakit?"
"Stress ...."
"Apa?"
Jawaban sekenanya yang diucapkan El, membuat Bu Ratna terkejut.
"Yang sopan bicaramu, Nak!"
"Benar Bu, aku stress. Aku harus bagaimana di hadapan mereka? bahkan, setelah 2 tahun ini aku tidak pernah komunikasi sama sekali dengan kak Ars. Apa yang harus aku lakukan? aku tidak ingin semua direncanakan, biarkan saja jika memang kami berjodoh biarkan berjalan apa adanya." Kali ini El bicara terlihat serius dan melepaskan buku yang sejak tadi berada di tangannya.
"Ya sudah, sudah ... makanlah dulu. Anggap saja pertemuan kali ini memang hanya untuk bersilaturahmi antara ayahmu dan keluarga Pak Sanjaya. Kamu hanya ikut karena kami sekeluarga akan pergi. Tidak mungkin Ibu meninggalkan kamu sendirian di rumah, meski ada mba Inah dan pak Agus."
Mba Inah dan pak Agus adalah pelayan di rumah itu.
"Makanlah ... agar kamu memiliki tenaga untuk berpikir lebih dewasa." Lanjut Bu Ratna, kemudian mengecup kening El sebelum pergi.
Eliana adalah seorang gadis berparas manis, manja, ceria dan menggemaskan. Penampilannya selalu santai dan sederhana, bahkan dia masih seperti anak remaja di usianya yang menginjak 19 tahun.
Postur tubuh Elina standar dan tidak begitu tinggi, bahkan dengan adik lelakinya yang bernama Doni, hampir sama tingginya.
Jika El bersanding dengan kakaknya yang bernama Dion, dia hanya di bawah bahunya saja.
Rambut Eliana hitam, lurus dan tebal. El sering kali mengikat rambutnya ke belakang, supaya simple katanya. Kulitnya tidak begitu putih, tapi El memiliki kulit tubuh yang terawat, sehingga siapa saja yang melihatnya akan terpesona, El memiliki daya tarik tersendiri.
***
El menyantap makanan yang tadi dibawa oleh ibunya, sambil mengenang masa-masa ketika satu sekolah dengan Ars.
El ingat, ketika di sekolah dasar Ars selalu mengganggu dirinya, tapi Ars selalu menjadi dewa penolongnya ketika dia diganggu teman yang lain. Apalagi anak-anak nakal yang memang sengaja ingin membuat El menangis.
Entah mengapa, sepertinya Ars sangat suka jika mengganggu Eliana, apalagi jika sahabat kecilnya itu kembali mengejar dirinya. Semakin semangat sepertinya Ars mengganggu Eliana sampai lelah.
Akan tetapi, El paham itu hanya bercanda seorang anak kecil. Ars tidak serius membuat El tidak tenang dengan hari-harinya. Mungkin dengan cara itu Ars bisa lebih dekat dengan El.
"Ah ... namanya juga masih kecil. Kami masih begitu polos untuk membuat segalanya menjadi serius." Dalam pikir El saat ini.
Kemudian El juga mengingat kembali ketika Ars berubah menjadi lebih tenang dan terlihat dewasa ketika duduk di bangku SMA. Dia jarang sekali ke kantin pada saat istirahat tiba. Bukan karena tidak mampu untuk hanya sekedar jajan, menghabiskan uang saku yang diberi oleh orang tuanya. Ars lebih senang menghabiskan waktu di perpustakaan.
Saat itu, malahan El yang sering merepotkan Arsya. Hampir setiap hari El meminta bantuan dalam pelajaran yang dirasa sulit olehnya. Jika El tidak menemukan Arsya di kelasnya, sudah pasti dia berada di perpustakaan.
Pernah suatu hari, Eliana merasa Arsya bersikap aneh. Ars seperti tidak ingin Eliana mendekati dirinya. Bahkan, dengan jelas terlihat Ars pergi ketika Eliana mencoba menghampiri. Tentu saja, Arsya berharap apa yang dilakukannya itu tidak terlihat karena dia sengaja menghindar.
Akan tetapi, perasaan wanita pastinya lebih peka, El tau bahwa kak Arsya menghindar dari dirinya.
Sebenarnya mereka tidak satu tingkatan, tepatnya saat itu Eliana kelas 2 SMP dan Arsya kelas 3 SMA. Tapi mereka satu sekolah yang sama. Jadi mereka bisa bertemu setiap hari. Bahkan hampir tidak pernah terlewat Arsya membonceng El, hanya untuk pulang dan berangkat bersama.
Tapi memang akhir-akhir ini mereka tidak terlihat pulang bersama, menambah rasa penasaran di hati El. Kenapa Arsya seolah benar-benar tidak ingin melihat dirinya lagi. Bahkan memberi alasan sebelumnya pun tidak.
*
El tidak bisa menjadi tenang jika ada sesuatu mengganjal di hatinya. Suatu ketika El berkunjung ke rumah Arsya. Di mana El tau bahwa Arsya sedang tidak ada di rumah. Jadi dia leluasa untuk mencari keingin tahuanya dari bu Winda, ibunya Arsya.
El beramah-tamah dengan Bu Winda sebelum membahas hal yang sangat amat mengganjal di hatinya.
Singkat cerita, El tau dari penjelasan bu Winda bahwa Arsya ingin lebih fokus dengan belajarnya karena sebentar lagi akan menghadapi ujian.
*
Tapi ada hal yang membuat Eliana tetap tidak paham saat itu. Ketika di sekolah, El melihat Arsya begitu ringan bercanda dengan temanya, tapi tidak dengan dirinya meski dalam hari yang sama, kenapa mood Arsya berubah buruk jika Eliana akan mendekat. Padahal sebelumnya tidak seperti itu.
El bukan gadis yang ceroboh menyimpulkan sesuatu secara mendadak. Dia mengamati setelah beberapa hari ini, dia menyusun rencana agar bisa membahas hal ini dengan Arsya.
Kebetulan waktu itu jam pelajaran ke-2 di kelas El kosong dan jam berikutnya adalah waktu istirahat. El pergi ke perpustakaan SMA secara diam-diam, karena memang perpustakaan SMP dan SMA berbeda letaknya. Untungnya petugas perpustakaan sudah akrab dengan El, karena sebelumnya dia sering ke tempat itu untuk belajar bersama Arsya.
Hampir seluruh sekolah tau, bahwa Arsya dan Eliana layaknya seperti adik kakak, kandung. Jadi orang-orang biasa saja melihat kedekatan Arsya dan Eliana dalam setiap keadaan.
Rencana El berhasil, Arsya datang dan duduk tepat di sebelahnya. Arsya tidak menyadari bahwa di meja sebelahnya adalah El, karena di setiap sisi meja perpustakaan itu ada papan pembatas agak tinggi yang saling menutupi satu sama lainnya. Bahkan Arsya tidak menyadari bahwa yang berada di sampingnya itu seseorang berseragam putih biru.
Arsya mulai fokus membaca buku yang sudah dipilihnya.
El sedikit berhati-hati untuk menegur Ars.
"Kak Ars ...!" Suara Eliana pelan sambil menarik-narik lengan baju Arsya.
Ars menoleh dan terkejut, air mukanya tiba-tiba berubah, tidak setenang seperti ketika saat tiba di perpustakaan.
BERSAMBUNG....
Arsya kikuk melihat El sudah berada di dekatnya, seperti biasa El bersikap manja layaknya adik kepada kakaknya. Sekali lagi El menarik lengan baju Arsya karena dia tak bergeming.
"I-iya, El ... kau di sini?" Arsya gugup.
"Iya, ini aku Eliana. Kak Ars tak mengenaliku? apa kakak sedang amnesia, kenapa seperti itu melihat aku di sini?"
"Tidak, bukan begitu. Nanti orang lain lihat kau di sini akan jadi masalah. Ini bukan perpustakaan SMP." Ars sudah bisa mengendalikan keterkejutannya.
"Kak Ars ... kamu ini kenapa? seperti baru kali pertama saja aku ke perpus ini. Sudah, sudah, ngga usah lagi banyak debat. Aku kesal sama Kakak akhir-akhir ini." El memasang muka kecewa.
Arsya semakin tak karuan jika melihat adik ketemu gede ini, sudah bersikap manja. Semakin mengganggu pikiran dan perasaannya yang selama ini sedang berusaha untuk di netralisir dengan sendirinya. Dia merasa perasaan ini sudah berbeda, bukan perasaan sebagai kakak lagi, meski seringkali Ars menepis sangkaanya itu. Tapi Ars sudah dewasa sekarang, dia mengerti perasaan biasa atau spesial itu seperti apa.
"De, kamu kesal kenapa?" hanya itu yang bisa keluar dari mulut Arsya.
Arsya seakan-akan tidak tahu apa yang terjadi. Padahal dia mengerti, pasti Eliana merasakan kalau akhir-akhir ini dirinya menjaga jarak karena takut tidak bisa menahan perasanya.
"iiih ...." El gemas dan mencubit lengan Ars.
"Kakak ini pura-pura bodoh atau memang benar amnesia? jelas-jelas Kakak seperti hantu akhir-akhir ini. Atau aku yang menakutkan, sehingga Kakak terus menghindar. Aku bukan anak kecil lagi, yang tidak memikirkan dan tidak merasakan segalanya. Sekarang aku sudah besar dan dewasa, aku paham yang terjadi di sekitarku. Aku tidak bisa dibodohi. Kalau aku punya salah, seharusnya Kak Ars bilang, kalau Kak Ars sibuk ya bilang juga, atau Kak Ars punya masalah tak ingin terganggu atau Kak Ars punya pacar, takut pacar Kakak cemburu, atau ... em ...."
Arsya mendekap mulut El karena dia sudah terlalu banyak bicara.
"Ssst ... kamu sudah membuat keributan di perpustakaan ini. Sebentar lagi bel masuk, ayo kembali ke kelas !" pinta Arsya.
"emm ... emm ..." El mencoba bicara.
"kamu bicara apa?" Arsya tak mengerti.
El menunjuk ke arah mulutnya yang masih di bekap.
Arsya baru sadar bahwa tangannya masih menempel pada mulut gadis itu, juga menjadi gerogi dan baru sadar telah merasakan kelembutan bibir El yang menempel lekat di tangannya.
"eh, o iya ... aku mau masuk kelas, ada tugas belum selesai." Arsya benar benar gugup dan bangkit dari tempat duduknya kemudian pergi.
El melempar buku ke arah Arsya dan mengenai punggungnya. Kemudian Arsya menoleh dan menunjukkan wajah penuh tanya.
gadis ini kenapa sih? dia semakin membuatku jadi bodoh jika di dekatnya. Aku sering melakukan hal-hal di luar nalarku.
"Kakak jangan pergi sebelum menjelaskan kenapa sikap kakak akhir-akhir ini?"
Arsya terkejut lagi karena El telah berdiri di dekatnya, namun dia berusaha untuk terlihat tenang.
"Bukanya kemarin Ade ke rumah, dan menanyakan hal ini pada ibu?"
"Iya benar, dan tante bilang, katanya kak Ars sedang ingin fokus karena akan menghadapi ujian. Tapi perasaanku ngga seperti itu, berlebihan sekali. Memangnya Aku mengganggu Kakak seperti apa? main ke rumah jarang, ngga setiap hari, bertemu di sekolah hanya jika aku meminta kakak untuk ajari aku, terus aku juga ngga pernah sering nelepon kak, kirim pesan atau minta kakak antar kesana kemari ... "
El Masih nyeroscos bicara, sementara itu Arsya memperhatikan gerak bibir El yang menggemaskan. Bibir itu sangat imut, apalagi jika sudah maju-maju ngga jelas karena kesal.
"hihihi ...." Arsya malah tertawa terkikik.
"kenapa Kak Ars malah tertawa?" El terhenti dari bicaranya yang banyak tadi.
Arsya menyentil hidung El dan berkata, "kamu sarapan apa tadi pagi, bicaramu banyak sekali bahkan tanpa titik atau koma. Tidak cape apa ?"
"Habisnya Kak Ars ..." El kesal.
"Sudah ayo, kembali ke kelas! perasaan kamu itu aneh, aku memang sedang ingin fokus belajar. Sudahlah jangan mikir yang aneh- aneh." Arsya melingkarkan tangannya di pundak El sambil berjalan, hal itu biasa seperti layaknya perlakuan kepada teman yang lainya.
Agar Eliana merasa yakin dengan jawaban Arsya, dia mengantarkan El sampai ke area sekolah SMP, sambil menambahkan sepatah dua patah kata untuk menetralisir ketidak nyamanan El kepada dirinya.
"Sudah sampai adik manisku, silakan belajar dengan baik ya ...!" Arsya mengacak-ngacak rambut El seperti biasanya jika sudah gemas.
El tersenyum, tanda semuanya sudah baik-baik saja. Kemudian dia pergi menuju kelasnya.
Arsya masih menatap Eliana yang semakin jauh darinya.
De, jika kamu tau perasaan ini telah berubah, aku tidak tau apakah kamu masih bisa semanis ini terhadapku. Jadi lebih baik aku menjaga perasaan ini untuku sendiri. Arsya
Di sisi lain terlihat sosok wanita yang terlihat tidak suka dengan kejadian ini. Dia menggerutu kesal.
***
Berikut adalah sebuah kejadian dimana Eliana kesal yang amat sangat terhadap Arsya. Sehingga Eliana belum bisa memaafkan Arsya sampai mereka berpisah karena orang tua El pindah ke kota lain.
Ketika sore hari hujan lebat. Di rumah El hanya tinggal dia sendiri. Seluruh anggota keluarga pergi ke acara pernikahan saudaranya. Pak Agus dan ba Inah juga ikut.
Bu Ratna meminta Arsya untuk menemani El sampai mereka kembali. Keluarga mereka sudah saling percaya satu sama lain, layaknya saudara.
Suana semakin gelap dan menuju malam, Arsya menyalakan lampu di setiap ruangan, sedangkan El memeriksa setiap jendela dan menguncinya.
"De, Persiapan lilin takut listrik padam. Petirnya bergelegar terus menerus!" Arsya meminta kepada El.
Eliana bergegas menuju laci di dekat dapur, karena biasanya lilin berada di sana.
Ketika El baru beberapa langkah, kemudian listrik padam dan El terkejut. Dia berteriak tak beranjak dari berdirinya sambil gemetar.
"De, kamu di mana?" teriak Arsya.
"Aku disini kak, ke arah dapur." El menjawab dengan sedikit menangis karena ketakutan.
Eliana pobhia gelap sejak kecil, ketika lampu padam atau apapun dalam kegelapan, El merasa tak bisa bernapas. Hitam pekat tak terlihat, tak bisa berpikir bahkan seolah tak ada udara. Sehingga karena itu, El akan selalu panik jika keadaan gelap.
Arsya berjalan menuju arah dapur, ketika sudah dekat dengan El kemudian menenangkanya. Arsya tidak berani menyentuh El sedikitpun, bahkan menyentuh tangannya saja tidak pernah, meski mereka seprti adik kakak.
Arsya tau, meskipun El seorang gadis yang pandai bergaul, memiliki banyak teman, tapi dia sangat menjaga jarak dengan yang namanya pria, kecuali dirinya.
Arsh hanya memegang kedua bahu El, "Sudah, ngga usah takut. Aku di sini tenanglah. Tunggu sebentar, aku akan mencari lilin ...."
Tapi El malah mengekor mengikuti langkah Arsya di belakangnya, sambil memegang baju Arsya agar tidak terlalu jauh jaraknya.
DUARRR .... JEDER .... Suara petir menggelegar disertai kilat.
El berteriak dan reflek memeluk Arsya dari belakang.
Arsya pun terkejut, tapi bukan karena suara petir itu, tapi karena pelukan Eliana.
Ars bingung, apa yang harus dilakukanya, menyentuh tangan El dia ragu, atau membalikkan badan untuk menangkan El?
Akhirnya Arsya membalikan badan tanpa melepas tangan El yang dengan erat memeluk pinggangnya.
Ars memegang bahu El, "sudah De, aku disini. Itu hanya petir, kita aman di dalam rumah."
El malah semakin erat memeluk Arsya sambil terisak. Arsya semakin bingung dengan gadis yang berada di hadapannya ini. Tangannya tidak bisa berbuat apa-apa, dia ragu dan serba salah.
Udara semakin dingin karena hujan semakin deras disertai angin kencang yang menembus fentilasi rumah. Tapi, tidak dengan Arsya yang semakin tidak bisa mengontrol suhu tubuhnya. Tanpa El sadari, Arsya berkeringat dan terasa gerah, jantungnya berdetak kencang.
Arsya ragu, dia mengangkat tangannya perlahan untuk membalas pelukan El, tapi takut El tidak menerimanya. Akan Tetapi, jika hanya seperti ini saja membuat El semakin memeluk dirinya dengan erat.
Perlahan tangan Ars bergerak dan mencoba memeluk El agar tenang. Pelukannya berhasil, El tidak menghindar sedikitpun.
"Sudah, ayo kita ambil lilin sama-sama, kemudian duduk sambil menikmati teh hangat." Ars mengusap punggung Eliana dengan lembut agar dirinya merasa tenang.
El geleng kepala.
"Lalu, sekarang Ade mau apa?" Arsya masih dengan suara lembutnya.
"Jangan kemana-mana, aku takut menginjak sesuatu, ada kodok, tikus atau ular. Ini gelap sekali, aku seperti tidak berada di bumi. Telepon Ibu saja, kapan pulang. Aku takut sekali."
"Baiklah, ..." Arsya mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
DUARRR ... DUARR ... JEDERRR ...
Ponsel di tangan Ars jatuh, karena El terkejut dan semakin erat memeluk Ars.
"Waduh, kau menjatuhkan ponselnya. Bagaimana aku bisa menghubungi ibumu?"
"Biar seperti ini saja sampai lampu menyala." Suara El sedikit tidak jelas karena tangisnya.
Beberapa saat suana hening, tanpa sadar tangan Ars bergerak dan mengusap air mata El yang masih memeluknya. El hanya diam saja, karena dia fokus akan takut yang di rasakannya.
Arsya mengangkat wajah Eliana yang sejak tadi terbenam di dadanya. Kedua tangannya memegang kedua pipi El sambil mengusap air matanya.
"Usap air matamu, agar kau merasa lebih tenang. Lihat bajuku sudah basah karena ulahmu!" Arsya berusaha membuat suasana tidak hening, karena itu bisa membuat El merasa ketakutan.
Tangan El tetap memegang pinggang Arsya dengan erat. El membiarkan Arsya mengusap air matanya.
Wajah El terlihat sembab dan rasa takut terlihat di sana. Cahaya rembulan yang tembus membuat Ars bisa melihat wajah El meski samar.
Arsya melihat bibir El masih bergetar, "kamu masih takut?"
El hanya mengangguk.
Arsya terus membersihkan air mata El yang turun dengan perlahan melewati pipinya, sampai tanpa disengaja, jari Arsya menyentuh sudut bibir El.
Bukan hanya bibir El yang bergetar karena takut, tapi tangan Arsya pun bergetar saat ini, tapi bukan karena takut. Arsya tak dapat menguasai dirinya lagi, gadis manis di hadapannya membuat kepalanya tak dapat berpikir jernih.
Arsya mengangkat wajah Eliana dengan perlahan, irama nafas dan detak jantung Arsya tidak karuan. Wajah mereka semakin mendekat, bibir Arsya dan bibir milik Eliana berhasil saling menempel. Arsya memeluk El dan menarik tubuh gadis itu lebih dekat ke dalam dirinya.
Bibir Arsya bergetar merasakan kelembutan bibir seorang gadis yang selama ini di ingingkannya. Arsya belum memainkan bibir Eliana karena dia masih setengah sadar dalam dirinya. Antara harus melakukan ini atau ada penolakan dalam dirinya.
Tapi Arsya pria normal yang jika menghadapi situasi seperti itu, tidak mungkin untuk menolak hasratnya, apalagi di hadapannya adalah gadis yang ia sukai.
Arsya memberanikan untuk menikmati suasana itu, El hanya diam saja, entah apa yang dia rasakan dalam benaknya.
Ketika Arsya akan menikmati bibir El, kemudian listrik menyala.
Arsya terkejut, terlebih Eliana yang kemudian mundur beberapa langkah dari hadapan Arsya. Mereka sekarang dalam kondisi sepenuhnya sadar.
Eliana bingung, harus marah atau bagaimana. El mengusap bibirnya dan menutup dengan tangannya.
"Kak Arsya, berani melakukan hal itu?" suara El lirih.
"Tidak De, bukan seperti itu." Ars mendekat pada El akan menjelaskan. Tapi El mundur masih dengan memegang mulutnya.
Ars akan bicara kembali, tapi suara klakson mobil terdengar dari luar. Itu pertanda keluarga El telah pulang. Mereka saling bertatapan dan membuat suasana normal.
Tanpa bicara atau melakukan perjanjian apapun, mereka sepertinya sudah saling mengerti. Bahwa kejadian ini tak perlu ada yang tau, termasuk ibu dan ayah mereka.
*
Sejak hari itu, Eliana jarang menemui Arsya. Bahkan hampir tidak pernah, kalau saja bukan karena ibu menyuruh mengantarkan sesuatu ke rumah Arsya, atau karena ada acara keluarga mereka.
Sampai Arsya tamat sekolah SMA, kemudian melanjutkan kuliahnya di kota lain. El tidak peduli dan tidak pernah bertemu lagi sampai saat ini ...
Apakah El semarah itu?
***
Arsya Putra Sanjaya namanya. Dia putra tunggal keluarga Sanjaya sahabat dari ayahnya Eliana.
Arsya memiliki postur tubuh yang standar seperti pria kebanyakan, tidak begitu kekar ataupun atletis. Tapi dia terlihat sangat tenang dan dewasa, penampilanya yang sederhana, aktif dalam organisasi sekolah dan menjadi murid kesayangan Guru ketika SMP ataupun ketika SMA.
Arsya memiliki kulit sawo matang, dengan tinggi yang ideal. Bermata teduh, dengan rambut lurus yang hitam dan murah senyum, meski cenderung pendiam dibanding teman-temannya yang suka iseng dan banyak bercanda.
Saat ini Arsya duduk di bangku kuliah semester terkahir, usianya menginjak 22 tahun. Usianya memang hanya berbeda 3 tahun dengan Eliana.
BERSAMBUNG....
Sebut saja keluarga Sanjaya dan Permana, mereka berteman sejak duduk di bangku SMP. Sebenarnya Sanjaya adalah murid baru di sekolah itu, karena orang tuanya pindah dinas dalam pekerjaannya.
Seiring waktu bergulir, mereka begitu akrab bahkan seperti saudara. Karena kebetulan rumah mereka tetanggaan. Mereka sering berdiskusi tentang kegiatan sekolah, pelajaran, bahkan masa depan mereka.
Singkat cerita, mereka harus berpisah karena akan melanjutkan kuliah di kota yang berbeda. Tapi mereka berjanji tidak akan lepas komunikasi bahkan mungkin persahabatan ini akan terus berlanjut selama usia mereka.
Waktu begitu cepat berlalu, Permana telah berkeluarga dengan menikahi seorang wanita bernama Ratna Sedangkan Sanjaya menikahi teman kampusnya sendiri ya itu, Winda.
Sanjaya dan Winda adalah orang tua dari Arsya, sedangkan Permana dan Ratna adalah orang tua dari Eliana.
Kisah keluarga ini sederhana, bahkan usaha mereka saja bukan seperti dalam kisah-kisah yang menceritakan seorang pengusaha kaya raya bak seorang Raja.
Permana memiliki kantor percetakan di beberapa daerah. Sedangkan Sanjaya bergerak di bidang otomotif, katakan saja bengkel mobil dan kendaraan sejenisnya.
***
Permana dan Sanjaya bertemu kembali dalam sebuah acara reuni sekolah. Mereka berbincang-bincang melepas rindu dan saling membahas keluarga masing-masing. Kebetulan mereka juga akan menempati rumah yang dulu di masa kecilnya.
Mereka bukan tidak mampu memiliki rumah sendiri, akan tetapi hanya mereka yang mampu untuk bersedia menempati kembali rumah orang tua mereka, dibandingkan saudara-saudara mereka yang benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaan untuk ke kampung halaman.
Singkat cerita Permana dan Sanjaya bertetangga kembali, bedanya saat ini mereka telah berkeluarga. Sampai akhirnya lahirlah Arsya Putra Sanjaya dan Eliana Putri Permana.
***
Tapi ketika Eliana lulus SMA, Keluarga Permana harus pindah ke luar kota karena membukaan anak cabang percetakan di kota tersebut, dan untuk menyingkat waktu dalam kerjanya jadilah keluarga Permana pindah, sekaligus Eliana masuk universitas di kota itu.
Kisah Eliana dan Arsya sudah diceritakan pada bab sebelumnya, dari sini mereka benar-benar berpisah selain karena kejadian malam itu.
Eliana dan Arsya sama sekali tidak pernah saling menghubungi, meskipun mereka menyimpan nomor ponsel masing-masing. Entahlah, apa yang ada dalam perasaan mereka masing-masing.
Apakah Arsya merasa bersalah, atau El sakit hati, atau keduanya saling menjaga gengsi untuk saling menghubungi?
Entahlah ...!
***
Sanjaya dan Permana memang menjodohkan Arsya dan Eliana, tapi mereka tidak memaksakan jika anak-anak mereka tidak ingin menjalani hubungan itu. Perjodohan ini juga bukan tanpa dasar, Sanjaya dan Permana melihat kedekatan Arsya dan Eliana barulah terpikir untuk menjodohkan mereka, tidak ada salahnya bukan?
Arsya dan Eliana mengetahui perjodohan ini, sudah jelas Arsya menaruh hati pada El sejak di bangku SMA. Tapi bagaimana dengan El? apakah memiliki perasaan yang sama terhadap Arsya?
Entahlah, hanya El yang tau tentang perasaannya seperti apa. Meski begitu, El tidak pernah menolak atau mendebat putusan orang tuanya, tapi tidak juga meng iya kan keinginan orang tuanya.
Bahkan sampai saat ini El tidak memiliki pacar. Dulu Eliana sempat hampir menjalani sebuah ikatan ketika duduk di bangku SMP, tapi entah mengapa hatinya selalu tak memiliki selera terhadap pria lain. Tak ada rasa nyaman, tak bisa membuat hari-harinya ceria, tak ada semangat sepertinya. Untungnya waktu itu tidak ada komitmen apapun di antar El dan pria itu, mereka hanya menjalani pertemanan mereka yang mungkin saja bisa terjalin komitmen. Tapi komitmen itu tak pernah terjadi sampai mereka berpisah untuk melanjutkan sekolah masing-masing.
El belum menyadari bahkan tak terpikirkan sama sekali apakah rasa itu untuk Arsya, atau memang El tipe wanita yang tak ingin buang-buang waktu hanya dengan pacaran. Entahlah, kita akan menemukan jawabanya setelah menyelami perasan Eliana dalam cerita berikutnya.
***
Dari sisi Arsya, dia pemuda yang termasuk pendiam, tidak sering bercanda atau iseng, tapi bukan pria menyebalakan juga yang hanya bisa serius. Arsya memiliki karakter yang sewajarnya saja, tidak menonjol dalam salah satu karakter saja.
Setelah perpisahanya dengan El karena jarak dan kejadian malam itu, Arsya lebih sering menghabiskan waktunya di kamar, membaca buku, belajar bahkan mulai membantu bengkel milik ayahnya, dan selalu sibuk dengan laptopnya. Karena hanya dialah satu-satunya yang akan meneruskan usaha milik ayahnya, meski Arsya memiliki impian lain, tapi tak jauh beda dari yang di geluti ayahnya. Arsya ingin membuka showroom mobil, karena mungkin itu bisa dikerjakan sambil mengelola bengkel syahnya, tidak jauh beda dalam mengatur management, menurutnya.
Kenapa Arsya ingin membuka showroom mobil? karena dia juga ingin mandiri, memiliki penghasilan hasil jerih payahnya sendiri yang dikelola dari nol. Bukan sukses hanya tinggal menikmati hasil dari kerja keras orang tuanya.
***
Kita lihat, apakah perjodohan Arsya dan Eliana akan berhasil? atau ada sosok cinta lain diantara mereka berdua.
Semoga episode selanjutnya semakin membuat para pembaca merasa terhibur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!