“Bunaa… Zena berangkat dulu ya.”
Pamit Zena di depan pintu, ia tengah menggunakan sepatu.
Alana menghampiri putri bungsunya itu yang berada di depan pintu, dengan celemek masak yang masih dikenakannya.
“Bekalnya udah di bawa nak?” Alana memastikan, karena ia tahu putri bungsunya itu selalu lupa.
“Harusnya sih udah Zena masukin ke tas ya Bun.” Zena membuka tasnya untuk memastikan kembali.
Alana yang memperhatikan putrinya itu, hanya menggeleng kepala.
“Nah kan lupa lagi.” ucapnya, ia mencubit pelan pipi putrinya dengan gemas.
“Hehee… lupa Zena masukin ternyata Buna.” jawab Zena dengan terkekeh pelan.
“Tunggu sebentar, Buna ambil dulu di meja makan.”
“Ok Buna.”
Sambil menunggu, Zena melanjutkan kembali menggunakan sepatunya yang sebelah kiri. Tidak lama, Alana menghampiri Zena dengan membawakan bekal untuk makan siang.
“Sini tas nya, Buna masukin bekalnya, kamu lanjutin pake sepatunya.” Alana memasukan bekal makan siang pada tas Zena. Zena kembali melanjutkan menggunakan sepatunya itu.
“Makasih Buna bekal makan siangnya.”
“Zena berangkat ya Buna.” tidak lupa Zena mencium tangan dan mencium kedua pipi Alana.
itulah kebiasaan Zena di setiap pagi ataupun berpergian, bisa dibilang itu sebuah rutinitas yang tidak boleh ia lewatkan.
Alana membalas dengan memeluk dan mencium pipi putri bungsunya itu.
“Hati-hati ya sayang, inget pesan Buna?”
Jawab Zena sambil menggunakan helmnya “Jangan kebut-kebutan, biar pelan yang penting selamat.”
“Jangan lupa kalau udah sampai kasih kabar Buna.” sambung Alana.
“Iya. BUNA BAWEL KU SAYANGGG.” Zena mencubit pelan pipi Bunanya itu dengan bercanda.
“Kamu nih ya dasar, udah sana berangkat nanti telat.” jawab Zenna dengan terkekeh.
“Yaudah Zena berangkat ya Buna, Assalamualaikum.” pamit Zena dengan menjalankan motornya.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya nak.” setelah menutup pintu pagar, Alana pun masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan kembali memasaknya.
*Meja Makan *
Aksa yang sedang asik menyantap sarapan pagi di meja makan, ditemani dengan handphone di tangan kirinya, Aksa tidak menyadari bahwa Bunanya itu sudah duduk di meja makan bersebrangan dengannya.
Aksa adalah putra sulung Alana, yaitu Abangnya Zena.
“Kalau lagi makan taruh dulu handphone nya Bang.” titah Alana pada putra sulungnya. Dengan memotong sayuran untuk di masak siang nanti.
“Ehh.. Buna.” Aksa sedikit terkejut karena Alana tiba-tiba saja ada di hadapannya. Alana yang melihat itu, hanya menggelengkan kepalannya dengan tersenyum tipis.
“Oh iya Buna, nanti Abang pulangnya agak malam, Buna jangan nunggu Abang pulang ya.” jelas Aksa.
“Hari ini Abang ada lembur lagi di kantor?” Alana memastikan.
“Enggak Bun, pulang kerja Abang ada acara reuni SMA.” Lanjut jelas Aksa “Nanti kunci aja ya Bun, Abang bawa kunci rumah kok.”
“Jangan lupa nanti kasih kabar Buna ya kalau udah sampai.” pinta Alana pada putra sulungnya, meskipun Aksa anak laki-laki dan sudah remaja berusia 24 tahun, rasa sayang dan perhatian Alana tetap sama, dulu hingga sekarang.
“Siap Buna.” ucap Aksa.
“Zale udah berangkat Buna?”
Zale adalah panggilan Aksa kepada Zena, ia ambil nama belakang Zena untuk panggilan sayangnya. Hanya Aksa yang memanggil dengan sebutan Zale.
“Udah, beberapa menit yang lalu.” sambung Alana lagi “Adik kamu tuh Bang, pelupa banget duuuhh.”
“Lupa apa lagi emang dia Bun?” Tanya Aksa, dengan penasaran.
“Biasa bekal makannya, padahal setiap hari kalau Zena lagi sarapan, Buna selalu bawel jangan lupa bekalnya bawa.” jelas Alana dengan ekspresif.
“Deuh… si Zale kebiasaan banget, tenang Bun nanti Abang ceramahin.” katanya dengan terkekeh.
“Kamu nih Bang ada-ada aja.” jawab Alana dengan tersenyum. Aksa melanjutkan kembali menyantap sarapannya.
*Halaman Sekolah*
Zena baru saja sampai di parkiran halaman sekolah, tidak lupa ia bawa Helmet kesayangan nya yang akan ia titipkan pada Pak Satpam.
“Pagi pak Hendra.” sapa Zena pada penjaga
sekolah dengan ramah.
“Pagi juga nak Zena.” jawab pak Hendra dengan menghampiri Zena.
“Mau titip lagi Helmnya di dalam?” tanya pak Hendra dengan nada lembut dan senyum yang ramah.
Sudah terbiasa Zena menitipkan Helm pada Pak Hendra, sebenarnya di samping Pos Satpam sudah di sediakan tempat penyimpanan Helm, tetapi Zena sudah terbiasa menitipkan Helm kesayangannya pada Pak Hendra, karena Zena pernah kehilangan Helm saat ia taruh di tempat penyimpanan.
“Hehe.. iyaa Pak, Maaf ya Pak kalau Zena sering titip Helm di dalam Pos.”
Sebenarnya Zena tidak enak kalau harus sering kali menitipkan Helm nya di dalam Pos, tidak di tempat penyimpanan. Itu karena, Zena tidak mau kejadian kehilangan Helmnya terulang kembali. Padahal sekolah sudah memfasilitasi tempat penyimpanan Helm, untuk semua Siswa/Siswi yang membawa Motor.
“Ya gapapa toh nak, sini simpan saja di dalam Pos.” Pak Hendra mengulurkan tangannya, untuk menggambil Helm yang masih berada di tangan Zenna.
“Makasih banyak ya Pak, maaf Zena jadi ngerepotin Bapak.” sungkan Zena dengan memberikan Helmnya pada Pak Hendra.
“Sama-sama nak, tidak merepotkan sama sekali, dari pada nanti terkena marah lagi oleh Papah nak Zena gimana?” tanya kembali Pak Hendra pada Zena.
Zena hanya bisa tersenyum malu. Karena apa yang di ucapkan Pak Hendra memang benar. Saat itu Zenna sempat bercerita sedikit kepada Pak Hendra, Dimana kejadian Helmnya yang sempat hilang, membuat ia terkena marah oleh Papahnya. Dari situlah ia selalu menitipkan pada Pak Hendra.
~Sedikit cerita tentang Pak Hendra.~
Pak Hendra adalah Satpam di sekolahku, yang sangat ramah, dia tidak hanya ramah pada lingkup sekolah saja. Diluar lingkup sekolah pun, Pak Hendra selalu ramah pada siapa pun. Umur Pak Hendra terbilang sudah setengah abad, tetapi jiwa semangatnya tidak pernah pudar.
Dia selalu semangat bekerja untuk menafkahi istrinya. Pak Hendra sempat mempunyai seorang anak, tetapi takdir berkata lain. Anak Pak Hendra sudah lebih dulu dipanggil oleh yang Maha Kuasa, tidak tahu penyebab anak Pak Hendra meninggal karena apa. Zenna tidak berani untuk menanyakannya, karena saat menceritakan tentang anaknya mata Pak Hendra selalu berkaca-kaca. Zenna tidak mau membuat Pak Hendra menjadi sedih, karena mengingat kembali mendiang anaknya.
Zenna sudah menganggap Pak Hendra seperti orang tuanya dan sebaliknya, Pak Hendra pun sudah menganggap Zenna seperti anaknya. Dia bilang anaknya mirip dengan Zenna, dari sikap, sifat dan karakternya sama seperti Zenna.
Pak Hendra bilang, dia tidak pernah sama sekali membentak ataupun memarahi anaknya, dia sesayang itu dengan putrinya. Saat kehilangan anak semata wayangnya itu. Pak Hendra sedih dan hancur, hingga dia masuk rumah sakit.
Saat itu Zenna menjenguk dengan teman-teman kelas, dan Guru-guru. Pada saat Pak Hendra jatuh sakit, Satpam di sekolah sempat digantikan oleh Pak Dedi, saudara Pak Ghandi Guru BK, hanya untuk sementara waktu saja, hingga keadaan Pak Hendra sudah membaik dan kembali bekerja di SMA BAKTI.
Turut prihatin melihat betapa hancurnya Pak Hendra kehilangan putri semata wayangnya itu, karena begitu sayang dan cintanya Pak Hendra pada putrinya. Dan Betapa beruntungnya anak Pak Hendra di sayangi dan dicintai dengan hebat oleh seorang Ayah seperti Pak Hendra.
Zenna sempat merasa iri, saat mendengarkan Pak Hendra menceritakan tentang putrinya itu.
Tetapi ia merasa beruntung bisa kenal beliau, karena beliau adalah figur seorang Ayah yang baik untuk keluarganya. Pak Hendra selalu mengingatkan dan menasehati Zenna tentang hal-hal baik. Banyak sekali pelajaran yang di dapat dari kehidupan dan pribadi beliau.
****
Zena melirik jam tangan yang ia kenakan, waktu menunjukan pukul 06.45 WIB. Zena sudah memasuki ruang kelasnya XI IPA 1.
“Zenaaa.” panggil Sabrina yang memanggilnya saat masuk ruang kelas.
Zena melambaikan tangannya, dengan senyum ceria, terlihat samar lesung pipinya itu.
“Tumben banget baru dateng jam segini, biasanya lo selalu lebih awal nyampe kelas.” tanya Sabrina penasaran.
“Semalam gue baru bisa tidur jam 1, terus kesiangan deh bangunnya.” jawab Zenna dengan menyimpan tasnya di kursi.
tanya lagi Sabrina, dengan menatap Zena yang tengah berdiri di depannya. “Lo ngapain baru bisa tidur jam segitu?” tanyanya penasaran.
Zena tidak langsung menjawab, ia sempat diam sejenak, untuk memikirkan alasan apa yang harus ia jawab.
Sabrina menjentikkan jarinya di depan wajah Zena, “Hehh..-malah bengong."
ALZENA
ALANA
AKSA
.........
Terimakasih yang sudah membaca, semoga kalian suka..
sebelumnya...
Zena tidak langsung menjawabnya, ia sempat diam sejenak, untuk memikirkan alasan apa yang harus ia jawab.
Bukan Sabrina namanya jika tidak penasaran.
Sabrina menjentikkan jarinya di depan wajah Zena, "Hehh..-malah bengong gue tanya."
“Biasalah anak muda, apalagi kalau bukan bergadang.” kata Zena dengan nada bercandanya.
“Gayaan lo bergadang.” ucapnya lagi, “Lo bohong ya?” tanya Sabrina, dengan mata yang menyipit.
Kening Zena berkerut. “Lah kok bohong?”
“Soalnya tadi pas gue tanya lo malah diem.” jelas Sabrina.
“Sse-sengaja... seneng aja liat muka panik lo itu.” jawab Zena dengan tertawa kecil.
Sabrina mencubit pelan tangan sahabatnya itu, “Seneng ya lo bikin gue panik.” katanya lagi, “Gak ada yang lo sembunyiin lagi kan?”
Sabrina memastikannya, karena dia tahu sahabatnya itu pintar sekali menyembunyikan sesuatu, bila terjadi hal tidak mengenakan pada dirinya.
“Gak ada Sabsab... nih liat gue baik-baik aja.” jelas Zena, untuk meyakinkan Sabrina agar tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Syukur deh kalau lo baik-baik aja. Inget ya kalau ada apa-apa lo cerita sama gue, jangan lo pendem sendiri.” pinta Sabrina pada sahabat nya itu.
“Aman, gue pasti cerita ko.”
“Halah, lo mah pasti cerita pasti cerita, ujungnya gak cerita.” ketus Sabrina.
“Mana ada kaya gitu, gue cerita ya.”
“IYAA CERITA, tapi pas kejadiannya udah lewat. Bener-bener lo ya suka banget bikin orang khawatir.” jelas Sabrina dengan ekspresif.
Zena hanya bisa tertawa mendengar tutur Sabrina yang terlihat kesal padanya.
Tidak lama Freya dan Naura tiba di dalam kelas, mereka bergabung dengan kedua sahabatnya itu yang asik mengobrol.
“Ajak-ajak dong ngerumpi nya, lagi pada bahas apaan sih?, asik banget.” ucap Freya, ia duduk
di sebelah Zena.
Freya adalah teman satu bangku Zena. Di susul dengan Naura, dan ia duduk di sebelah Sabrina. Tempat duduk mereka ber-empat, berada di posisi baris ke dua dari depan, sebelah dinding atau dekat dengan jendela, yang bisa terlihat langsung lapangan sekolah.
Timpal Naura “Iya nih gak seru, gak nungguin kita ngerumpinya ya, Re.”
“Gak ada ngerumpiin apa-apa guys.” jelas Zena pada kedua sahabatnya itu.
“Bohong pasti, masa gak ngerumpiin apa-apa, kok, lo ketawa-ketawa.” Ucap Freya, dengan menunjuk Zena.
“Beneran gak bohong guys, biasalah calon Ibu Psikolog kita, kalau udah ngomel kaya gimana.” jawab Zena dengan terkekeh.
“Hadeuhh.. masih pagi loh IBU, kok udah ngomel-ngomel sih.” Naura menyenggol tangan Sabrina pelan.
“Kalau jadi Ibu Psikolog tuh gak boleh ngomel-ngomel, harus senyum, tenang, dan sabar, gimana sih.” timpal Freya sambil tertawa.
“Kalian ya bener-bener. Malah ngatain gue, mau gue cubit satu-satu?” jawab Sabrina. Dan ia pun ikut tertawa, karena kelakuan sahabat-sahabatnya itu.
Bel masuk berbunyi. Jam pelajaran pertama di mulai dengan pelajaran Matematika, pelajaran yang paling tidak disukai kebanyakan Siswa/Siswi di sekolah.
“Pagi anak-anak.”
Sapaan ceria Bu Merry, sejujurnya mereka curiga, dengan sapaan ceria yang diberikan Bu Merry pagi ini.
“Pagi Buu..” jawab mereka semua, ada yang menjawab dengan semangat, dan adapun juga yang menjawab dengan malas.
“Hari ini Ibu akan mengadakan Quiz, untuk tambahan nilai kalian, jika nilai ujian tengah semester kalian kurang bagus, Ibu akan tambahkan dari nilai Quiz hari ini.”
Jelas Bu Merry dengan santai nya, yang membuat sekelas membisu bersamaan, yang saling tatap satu sama lain dengan teman sebangkunya.
“Bu, kok dadakan sih Quiz nya?” celetuk salah satu murid.
“Yang bener aja Bu, masa dadakan gini?, kita belum persiapan belajar.” sudah pasti Sabrina akan protes. Ya, tentu mereka semua juga akan protes dengan ketidak siapan Quiz ini.
Kelas mulai ribut, saling saut menyaut satu sama lain melakukan protes, karena Quiz dadakan yang dibuat oleh Bu Merry. Itulah Bu Merry, ia adalah guru yang mengajar semua kelas XI, gebrakan nya selalu diluar nalar, dan selalu serba mendadak, tanpa memberitahu murid-murid nya. Seperti sekarang, tiba-tiba saja mengadakan Quiz.
Zenna sudah sering dengar dari kelas lain, tentang Bu Merry. Ada yang memberi julukannya BuMerDak, yang kepanjangannya Bu Merry Dadakan. Ada yang lebih parah lagi, BuMerLat yang kepanjangannya Bu Merry Tahu Bulat. Zenna tidak mengerti dengan konsep mengajar beliau seperti apa, tapi menurutnya ada plus minusnya.
Plus nya, mengajari semua murid untuk selalu belajar tanpa harus menunggu saat ujian tiba, ataupun di adakannya Quiz. Minus nya, begitulah, serba selalu mendadak tanpa memberi tahu terlebih dahulu, supaya murid-muridnya bisa mempersiapkan lebih maksimal saat mengikuti Quiz.
“Sudah-sudah jangan ribut!” katanya tegas.
sambungnya lagi “Ibu beri waktu 20 menit, untuk mempelajari kembali materi minggu kemarin.”
“Baik Buu..!” jawab mereka serentak dengan malas.
Waktu menunjukan pukul 09.10 WIB, bel tanda istirahat pertama berbunyi.
Zena dan sahabat-sahabatnya tidak pergi keluar kelas, mereka membawa bekal masing-masing dari rumah. Biasanya mereka ber-empat, akan makan bekalnya diwaktu jam istirahat ke-dua.
Di karenakan jam pelajaran pertama sangat menguras energi dan pikiran, butuh asupan makanan berat, agar energi mereka ber-empat kembali.
Gerutu Sabrina. “Sumpah ya, otak gue ngebul banget.”
“Emang bener-bener Bu Merry nih, selalu diluar nurul!” timpal Freya, gerutunya sambil membuka bekal makan.
Seperti sudah kehilangan tenaga untuk berkomentar, Zena dan Naura hanya menyimak gerutuan kedua sahabatnya itu, sambil menyantap makanan bekal mereka masing-masing.
“Aduuh, gue lupa bawa minum lagi.” celetuk Freya, dengan kesal.
“Ada yang mau ikut ke kantin gak?" tanya Freya pada ke tiga sahabatnya itu.
jawab serentak mereka ber-tiga “Enggak!”
Freya berjalan sendiri menuju kantin, sebenarnya Freya malas kalau harus ke kantin di jam istirahat pertama. Sudah terlihat jelas antrian panjang yang akan di hadapinya itu,
**KANTIN**

“nah kan..”
“yaa, tuhan.. panjang banget antrian nya.” melas Freya, yang kini sudah masuk antrian bersama para Siswa/Siswi dari berbagai kelas.
*Ruang Kelas*
“Permisi, ada yang namanya Zena?” Suara lantang dari arah depan pintu.
Murid-murid semua di kelas menatap ke arahnya. Zena yang baru saja menyuapkan makanan pada mulutnya itu, terhenti ketika kedua mata Sabrina dan Naura tertuju padanya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Tuh... lo dicariin.” Jawab Sabrina sambil menunjuk ke arah pintu, yang di susul juga oleh Naura menunjuk ke arah yang sama.
“Gg-gue?” ia menunjuk dirinya sendiri, dengan kebingungan. Karena Zena terlalu fokus pada handphone, hingga ia tidak menyadari ada yang memanggil namanya.
“Iya. Lo, siapa lagi di kelas ini yang namanya Alzenaaa?” ucap Sabrina dengan menekankan nama Zena.
Zena hanya tersenyum malas, setelah mendengar ucapan Sabrina itu.
Ia pun berdiri dengan mengangkat tangannya, untuk menjawab murid yang berada di depan pintu kelasnya. “Gue. Ada apa ya?”
**SABRINA**

**FREYA**

**NAURA**

**BU MERRY**

sebelumnya....
Ia pun berdiri dengan mengangkat tangannya, untuk menjawab murid yang berada di depan pintu kelasnya.
"Gue. Ada apa ya?"
“Lo di panggil Bu Fanya, disuruh ke ruang Guru sekarang.” Ucap murid itu.
“Oh, Ok. Makasih.” Jawab Zena dengan tersenyum tipis. Di balasnya dengan anggukan, oleh seorang murid yang di minta untuk memanggilnya.
“Ngapain Bu Fanya manggil lo, bukan manggil KM?” tanya Naura penasaran.
“Entahlah, gue kesana dulu.” Jawab Zena dan pergi keluar kelas.
Zena sebenarnya malas untuk ke ruang Guru, karena ia harus melewati ruang kelas XII, yang sudah pasti Kakak kelas menongkrong di depan kelasnya masing-masing, di saat jam istirahat.
Saat ia melewati ruang kelas XII.3, ternyata cukup banyak Kakak kelas yang berada di depan kelas.
Jiwa *introvert* Zena mode on, sudah pasti ia gugup jika berada di keramaian, ia mencoba untuk tetap terlihat tenang dan menundukkan kepalanya, bersikap sopan saat melewati Kakak tingkatnya. Padahal di sekolah Zena tidak ada aturannya senior dan junior, semua murid di sekolahnya sama, tetapi Zena tetap akan melakukan hal itu kepada yang lebih tua di atasnya.
Zenna fokus berjalan dengan menunduk, ia di kejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba saja berhenti di depannya. Kepala Zena sedikit bertubrukan dengan seseorang di depannya itu. Ia sedikit mengangkatkan kepalanya, untuk melihat siapa yang baru saja berhenti di depannya.
Dan ternyata dia seorang Siswa laki-laki, yang menatapnya dengan tatapan dingin tanpa ekspresi.
“M-mmaaf Kak.” Jawab Zena dengan mengangguk, ia permisi melewati Kakak kelas tersebut.
Siswa tersebut tidak menanggapi Zena, ia hanya memperhatikan Zena yang pergi begitu saja, dengan satu tangan yang dimasukan ke dalam saku celananya. Siswa tersebut sempat bingung, dan baru pertama kalinya ia bertemu Zena, tetapi tanpa ada ekspresi apapun padanya. Yang biasanya kebanyakan Siswi di sekolahnya akan salting dan kegirangan bila berhadapan dengannya. Tetapi kali ini Zena berhasil membuat Siswa tersebut penasaran.
Zena mempercepat langkahnya, agar ia lebih cepat sampai menuju ruang Guru, sesampainya di depan ruang Guru. Zena terlebih dahulu mengatur nafasnya yang mulai terengah-engah, di sebabkan ia berjalan terlalu cepat atau bisa dibilang ter gesa-gesa.
*Tok tok tok*
Diketuknya pintu ruang Guru, yang membuat di dalam ruangan tersebut mengarah pada arah pintu.

“Ya, silahkan masuk.” Terdengar jawaban salah satu Guru yang ada di dalam.
“Permisi Pak/Bu.” Ucap Zena sopan dengan tersenyum, menyapa Guru-guru yang ada di dalam ruangan tersebut.
“Iya, mau bertemu dengan siapa?” tanya salah satu Guru di ruangan itu.
“Mau bertemu dengan Bu Fanya. Pak, tadi saya di panggil oleh Bu Fanya.” Jawab Zena dengan santun.
“Oalah, silahkan silahkan, itu disana meja Bu Fanya.” Katanya, dengan menunjuk meja Bu Fanya yang berada di pojok belakang dekat jendela.
“Baik Pak, terimakasih.”
Jawab Zena, ia menghampiri meja Bu Fanya.
“Permisi Bu, tadi Ibu panggil saya?” tanyanya.
“Ah iya, kamu Zena XI IPA 1 ya?”
tanya Bu Fanya, untuk meyakinkan, takutnya ia salah memanggil murid.
“Iya, betul Bu. Saya Zena kelas XI IPA 1”
“Ibu mau minta tolong, nanti jam setelah istirahat bagian Ibu kan ya.” Jelasnya, sambungnya lagi.
“Ibu kebetulan berhalangan hadir untuk mengajar di kelas kalian, karena Ibu ada perlu dulu, jadi Ibu titip sama Sekretaris kelas, untuk mencatat tugas di papan tulis ya.”
“Kamu sekretaris kelas XI IPA 1 kan?” tanyanya lagi, setelah menjelaskan ketidak hadirannya dalam mengajar.
“Maaf Bu sebelumnya, tapi bukan saya Sekretarisnya.” Jelas Zena.
“Oalah Ibu salah panggil toh?”
“Bukanya kamu ya Zena Sekretarisnya?” tanyanya lagi.
“Bukan Bu, kalau Sekretaris kelas, namanya Dena.” Jawab Zena dengan tersenyum malu.
“Oalah Dena toh.. Zena dan Dena hampir mirip nama kalian tuh. Yasudah, pokonya Ibu titip sampaikan ke Sekretaris kelas kamu, apa yang ibu sampaikan tadi ya, ini bukunya.” Jelas lagi Bu Fanya.
Ternyata Bu Fanya salah memanggilnya, yang harusnya Dena Sekretaris kelas, tetapi yang di panggil adalah Zena. Memang nama Zena dan Dena seringkali tertukar oleh sebagian Guru.
“Baik Bu, nanti saya sampaikan pada Dena.”
“Iya, terimakasih ya, maaf Ibu salah panggil ternyata.” Ucapnya dengan terkekeh.
“Iya Bu tidak apa-apa, saya permisi izin ke kelas lagi.” Jawab Zena, dengan menyalami tangan Bu Fanya.
\*\*\*\*
Saat Zena akan menuju kelasnya, ia melihat Freya dari kejauhan, berjalan dengan melamun, ide jahilnya muncul begitu saja.
“Darr!”
“Astagaa!”
“Ihh.. Lo ya Ze, ngagetin gue aja.” Ucap Freya, dengan mencubit lengan Zena.
Zena meringis kesakitan, karena cubitan Freya yang seperti kepiting. “Aw..aw..aw.” sambungnya lagi. “Ihh cubitan lo kaya kepiting, panas banget rasanya tangan gue.”
“Habisnya lo ngagetin sih, ya refleks gue jadi nyubit.”
“Lo, ngapain jalan sambil ngelamun sih?” tanyanya penasaran.
“*Gak mungkin kan gue jelasin disini ke Ze soal tadi di kantin?, atau gue jelasin aja ya?, aahh… tuh Kakak kelas bikin gue repot aja*.” Monolog batin Freya.
“Lah malah makin ngelamun.” Senggol Zena pada lengan Freya. Sambungnya lagi. “heh, lo kenapa?”
“Oh… ga-gakpapa, pengen aja ngelamun.” Jelasnya dengan terbata.
Zena hanya mengangguk, seperti paham apa yang terjadi pada sahabatnya.
Zena yakin, pasti ada sesuatu terjadi pada sahabatnya itu, ia tahu betul gerak-gerik sahabatnya yang bisa dibilang tidak seperti biasanya. Tetapi Zena tidak mau terlalu ikut campur, ia tidak mau sahabatnya merasa rishi bila dia menanyakan lebih lanjut.
…..
*Di sisi lain, seorang Siswa yang Tengah sibuk dengan handphone ditangannya, ia terus mengetik, entah dengan siapa ia berbalas pesan, dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa tanpa melihat arah jalannya, seperti tahu arah langkah yang akan dia bawa. Dari menuruni anak tangga hingga lantai dasar. Dan tak sadar kini ia menjadi pusat perhatian Siswa/Siswi lain yang berlalu lalang*.
……
“Eh, lo habis darimana, bawa buku paket?” tanya Freya penasaran.
“Dari ruang Guru, di panggil Bu Fanya.”
“Kenapa lo di panggil Bu Fanya?”
“Nih.” Sambil menunjukan buku paket. Sambungnya lagi. “Bu Fanya berhalangan hadir, ada perlu katanya, jadi dikasih tugas.”
“Lah, terus kenapa lo yang di panggil?, harusnya sekretaris kelas kan?” tanya Freya heran.
“Ini sih kocaknya.” Jawab Zena dengan tertawa kecil.
“Kocak?, maksudnya apasih?”
“Bu Fanya kira gue Dena, terus beliau bilang, nama kita hampir sama, cuman beda huruf depannya aja.” Jelasnya.
“Lah, si Ibu, masih aja belum bisa bedain nama Dena sama lo.” Ucap Freya dengan tertawa kecil.
*Brugh*…
Buku paket yang Zena pegang jatuh berserakan. Karena di dalam buku paket tersebut, ada beberapa kertas yang disediakan Bu Fanya untuk mengerjakan tugas.
.......
**Bu Fanya**

........
Terimakasih sudah membaca, semoga kalian suka 🫶🏻.
Mohon dukungannya yaa🫶🏻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!