NovelToon NovelToon

Pernikahan Luka

Tamu Perempuan Pagi-Pagi

Aji Pangestu selalu mengalihkan pembicaraan saat Dewi Sekar Sari Istrinya ingin mengajaknya pergi berlibur keluar kota.

"Mas ke Bali yuk," ajak Dewi, manja.

"Aku sibuk!" katanya seraya berlalu dari hadapan istrinya.

"Kan kita belum bulan madu. Katamu kita mau bulan madu ke Bali?"

"Kacau!" celetuk Aji. Kali ini ia melangkah pergi meraih kunci mobil yang ada di meja ruang tamu.

"Mas kemana!" teriak Dewi kesal.

Seharian Dewi menahan rasa kesalnya. Malam tiba, dan dia nggak berbicara sama sekali dengan Aji.

Meski seperti itu, Dewi mencoba berlapang dada. Menerima kenyataan bahwa suaminya memang sedang sibuk.

Bahkan tidur seranjang pun, Aji tak ingin menyentuhnya.

Lingerie warna pink yang dikenakan Dewi, mampu meluluhkan Aji. Disentuhnya pelan-pelan bagian sensitif milik Dewi.

Dewi tak menolak. Kali ini memang dia benar-benar mengharapkan pelukan hangat dari lelaki yang sudah 10 tahun menjadi pendampingnya itu.

Tak lama, hanya 10 menit, Aji membuai istrinya, lalu dia tertidur lelap di samping Dewi.

"Makasih ya sayang," Dewi mengecup kening suaminya.

Tapi, sepertinya Aji pura-pura terlelap.

***

Pagi-pagi, saat Dewi terbangun dari tidurnya, dia tak lagi mendapati Aji.

"Kemana dia?" gumam Dewi, yang masih tak ingin beranjak dari tempat tidurnya.

Ia tarik selimut, saat mengetahui jam dinding di kamarnya masih menunjukkan angka delapan.

Tak lama, dia mendengar bel rumahnya berbunyi. Pasti ada tamu.

Dewi pun bangkit dari tempat tidurnya, melangkah ke ruang tamu, untuk memastikan siapa gerangan yang datang sepagi ini.

Perempuan muda, dengan kondisi perutnya yang hamil.

"Siapa dia ya?" Dewi heran bercampur penasaran.

"Assalamu'alaikum, Kak." sapa perempuan muda itu pada Dewi.

Dewi pun menjawab salam perempuan itu, dengan santun dan ramah.

"Masuk, yuk!" ajak Dewi penuh persahabatan.

"Maaf ini saya boleh tahu, dengan siapa ya?" tanya Dewi to the point.

*Saya Putri," jawab perempuan itu.

"Maaf, Putri mau ada keperluan apa ya datang pagi ini ke rumah saya?" tanya Dewi lagi tak sabar ingin tahu siapa perempuan ini.

Lama, Putri menjawab pertanyaan Dewi.

Matanya terlihat berkaca-kaca, hingga terdengar suara tangisnya pecah.

"Lho kenapa menangis Mbak?" tanya Dewi Penasaran.

Perempuan itu kian tersedu-sedu. Dia belum ingin mengatakan apa-apa pada Dewi.

Melihat pemandangan aneh pagi ini, Dewi bingung dan penasaran. Siapa perempuan yang ada di hadapannya itu. Kenapa dia menangis?

Dewi berusaha menenangkannya. Secangkir teh hangat, disuguhkan untuk tamu misterius pagi itu.

"Minum yang hangat-hangat dulu, Mbak, biar tenang. Biar bisa bercerita," ucap Dewi pelan.

Sejenak dia memperhatikan perempuan muda yang ada di hadapannya itu.

"Perempuan hamil ini apa mau minta sumbangan ya?" tanya Dewi dalam hati.

"Tenangkan pikiran dulu Mbak, dengan minum teh hangat di pagi hari," ucap Dewi mencoba membujuk perempuan itu, agar menyeruput teh hangat yang sudah hampir dingin itu.

"Ayo diminum dulu Mbak, tehnya sudah mau dingin lho," bujuk Dewi lagi untuk kesekian kalinya.

Perempuan aneh. Dia masih saja menangis nggak jelas. Bahkan ditawari minum saja, perempuan itu masih kekeuh nggak mau.

Karena nggak sabaran, Dewi segera merogoh dompetnya. Dia berikan selembar uang lima puluhan ribuan yang tinggal satu-satunya di dompet miliknya.

"Nggak mau Mbak," jawab perempuan itu spontan menolak pemberian Dewi.

"Nggak banyak Mbak. Cuma sekedarnya saja. Buat pegangan Mbak," paksa Dewi.

Perempuan itu masih bersikeras dengan prinsipnya. Menolak pemberian Dewi.

"Lho.....ini kenapa menangis Mbak. Ini terima saja uang dari saya. Buat mbaknya beli makanan atau apa gitu," paksa Dewi sembari berusaha menyelipkan uang lima puluh ribuan itu, ke tangan perempuan yang menangis tersedu-sedu itu.

Perempuan itu masih menggenggam erat tangannya.

Dia ingin bercerita masalah yang sesungguhnya tapi batinnya sendiri belum siap.

"Bagaimana kalau Mbak cerita saja apa masalahnya," desak Dewi berusaha menghentikan tangis perempuan itu.

"Mbak..kalau mbaknya menangis terus kayak begini, saya jadi bingung mbak," dengan segala cara, Dewi berusaha menghentikan tangis perempuan itu.

"Oh ya.....maaf mbak..mbak ini tinggal dimana ya?"

Perempuan itu masih saja tak mau ngomong. Masih bisu seribu bahasa.

"Kalau nggak takut sama polisi, serasa mau aku siram sama teh di gelas ini," ucap Dewi, membatin kesal.

"Mbak....Maaf ya saya mau pergi sama suami saya..bisa nggak mbak nya kalau mau, datang saja lagi, besok. Soalnya saya ada janjian sama orang di luar," untuk kesekian kalinya Dewi membujuk perempuan itu supaya mau cerita atau paling nggak, dia segera beranjak pergi dari rumahnya.

Dewi menarik nafas panjang, sebagai bentuk meluapkan kekesalannya pada tamu asing perempuan tak jelas itu.

Tak lama, perempuan itu buka suara. Sebenarnya mbak. Saya ditinggal sama suami saya." ceritanya masih dengan tangis yang tersedu-sedu.

"Lho kenapa cerita ke aku. Sinting kali perempuan ini. Apa hubungannya dengan aku. Aduh. Dunia ini semakin banyak saja orang-orang gila yang baru," batin Dewi, sambil geleng-geleng.

"Suaminya pergi sama perempuan lain?" tanya Dewi coba menanggapinya, meski sebenarnya dia tak berminat menanggapi masalah perempuan aneh itu.

Perempuan itu menganggukkan kepalanya sekali tapi pelan.

"Terus apa hubungannya mbak, mbak datang ke saya mengadukan soal suami mbk yang pergi dengan cewek lain itu." Dewi setengah kesal mengatakan itu.

"Kami berencana menikah Mbak. Tapi gara-gara perempuan itu, saya jadi belum bisa dinikahi sama pacar saya itu." ceritanya.

"Wah nggak beres. Tadi katanya suaminya lari sama perempuan lain. Sekarang ngaku pacarnya. Ini pasti pasien yang baru keluar dari rumah sakit jiwa." Dewi ingin melepaskan tawanya tapi dia masih berpikir, takut orang gila yang ada di depannya ini ngamuk.

"Jadi, maksud kedatangan kamu ke rumah saya, apa Mbak. To the point saja Mbak. Saya soalnya mau buru-buru ada janjian sama orang di luar sana." tegas Dewi.

Perempuan itu masih bertele-tele.

"Kata pacar saya, istri dia itu belum diceraikannya. Jadi kami susah mau menikah," jelas perempuan sinting itu lagi.

Dewi semakin pusing mendengar cerita perempuan yang seperti benang ruwet.

"Kalau begitu, suruh saja ceraikan istrinya itu." Dewi memberi saran singkat.

"Itu dia Mbak, dia masih cinta sama istrinya. Sedangkan saya, sudah hamil ini. Bagaimana nasib anak saya, kalau tidak ada bapaknya." ungkap perempuan itu yang mulai menghentikan tangisannya.

"Mbak. Jujur, mbak ini sepertinya salah alamat. Kenapa harus datang ke rumah saya, kalau mau konsultasi soal rumah tangga Mbak. Saya bukan kantor pengadilan agama. Jadi, mbak. Sekali lagi, bisa nggak mbaknya pergi ke kantor agama saja, untuk melanjutkan konsultasinya. Saya benar-benar terdesak sudah ada janjian sama orang. Saya juga ada perlu mbak." Dewi ngotot berusaha mengusir perempuan itu dengan cara halus.

Parahnya, perempuan itu masih tak bergeming dari rumah Dewi.(***)

Kejutan Pagi

Sudah satu jam, perempuan asing itu ceritanya masih bertele-tele.

"Pusing juga dengarnya." batin Dewi masih kesal.

"Maaf ya..Mbak. Saya lupa. Tadi, namanya siapa ya?" tanya Dewi. Padahal, sebelumnya perempuan itu sudah menyebutkan siapa namanya.

"Putri, Mbak," jawabnya. Sepertinya dia sudah mencoba tak lagi menangis. Sapu tangan warna pink itu diusapkan berkali-kali ke pipinya. Dia berusaha menyapu bersih bulir-bulir air matanya.

"Jadi, kalau boleh tahu, apa ya Mbak inti cerita yang ingin mbak Putri sampaikan?"

Pertanyaan itu adalah sudah kedua kalinya dilontarkan Dewi.

Bukan dijawab, tapi dia malah menangis lagi. Rasanya Dewi ingin mengusir perempuan itu dari hadapannya. Karena kehadirannya pagi itu, benar-benar menguji kesabaran.

Dia mengelus-elus perutnya.

"Mbak. Sebenarnya aku sedang mengandung anak Mas Aji. Aku mau bilang, boleh nggak kalau Mas Aji, tinggal di rumah aku, sampai bayi di kandungan aku ini lahir?" katanya.

Pernyataan Putri, membuat Dewi bagai disambar petir di siang bolong.

"Maksudnya apa ya Mbak, saya kurang paham dengan apa yang Mbak katakan tadi?" tanya Dewi berusaha setenang mungkin. Padahal, hati Dewi sudah tak karuan, dadanya bergemuruh, karena menahan emosi.

"Mbak, jabang bayi yang ada di kandungan aku ini.....calon anak Mas Aji," kata Putri memperjelas pernyataannya ke Dewi.

"Anak ini...anaknya Mas Aji," tanya Dewi, semenit kemudian, dengan nada heran dan bercampur emosi.

Dewi benar-benar syok, pagi itu, mendengar pernyataan Putri.

"Mimpi apa, aku tadi malam dapat petaka ini." bibir gemetar mengatakan itu.

"Boleh ya Mbak. Aku mohon." pintanya penuh harap.

"Kalau boleh tahu, kamu sudah jadi istri Mas Aji ya?" tanya Dewi, berusaha tenang saat melontarkan pertanyaan itu.

Mendapat pertanyaan itu, Putri menganggukkan kepalanya.

"Ya Allah, benar-benar hancur mahligai rumah tangga aku." ucapnya pelan. Tapi, Putri tak peduli apa perasaan Dewi. Dia hanya berusaha keras minta persetujuan Dewi, agar Aji tinggal di rumah Putri.

"Hanya Mbak Dewi penolongku. Aku gantungkan harapan aku sama Mbak Dewi," kata Putri lagi seolah tak ada beban.

Entah kenapa, Dewi tak ingin melanjutkan percakapannya dengan Putri. Dia pun meminta Putri meninggalkan rumah.

"Mbak, tolong beri aku waktu. Jadi, kumohon tinggalkan aku sekarang juga!" dengan gemetar Dewi mengatakan itu.

***

Seperti tak ada masalah. Pagi itu, Dewi menyiapkan sarapan untuk suaminya, Aji.

"Senin aku berangkat ke Jakarta. Ada pertemuan dengan pengusaha tambang se-Indonesia." kata Aji, di depan istrinya.

"Ikutan dong!" canda Dewi. Tapi dia memang berharap Aji akan mengajaknya ke acara pertemuan itu.

"Aku kerja. Bukan jalan-jalan!" jawab Aji ketus.

Dewi benar-benar merasakan perubahan sikap suaminya, seratus delapan puluh derajat. Asal ngomong sama dia, tak ada lembutnya lagi. Kasar dan bengis. Tak ada perasaan sayang lagi.

"Mas. Kamu kenapa. Aku salah apa?" tangis Dewi pecah.

"Aku lagi sibuk. Kamu nggak usah aneh-aneh pertanyaannya." bentak Aji.

"Semua karena Putri ya!" ucap Dewi to the point.

"Kamu berubah setelah hadirnya Putri," tuding Dewi tanpa pikir-pikir lagi. Karena, dia tak sanggup lagi menahan emosi di benaknya.

"Kamu jangan macam-macam sama dia!" ancam Aji dengan mata yang membulat.

Hancur berkeping-keping hati Dewi, saat mendapati kenyataan bahwa suaminya lebih berpihak pada perempuan lain.

Aji berlalu dari hadapan Dewi.

***

Malam semakin larut, dan Aji belum pulang dari kantor.

Ada rasa was-was menghantui. Pikiran Dewi langsung tertuju pada sosok perempuan bernama Putri.

"Mungkin dia malam ini ada di pelukan Putri," batin Dewi, sembari menghela nafas panjang.

Dia coba menghubungi ponsel Aji. Sepertinya sia-sia. Karena Aji menonaktifkan ponselnya.

"Mas. Kamu nggak pulang ya malam ini. Hari ini aku ulang tahun. Kamu janji kalau ulang tahun, mau ajak aku jalan keliling kota."

Pesan itu dia kirim ke ponsel Aji. Tapi, rupanya sia-sia. Ponsel Aji belum aktif. Apalagi, malam semakin larut dan hampir jelang dini hari.

Dewi menangis sejadi-jadinya. Terbayang di otaknya, Aji dalam pelukan perempuan itu.

"Ya Allah......Mas kenapa kamu berubah. Dulu, kamu mengejar ku, sekarang kamu meninggalkan aku, bagai sampah tak berguna."

Dilihatnya foto pernikahan dia dan Aji. Baginya, foto itu tak berarti lagi. Sudah ada hati yang lain, bersemayam di benak Aji.

"Andai waktu bisa aku putar kembali, aku nggak mau berada di situasi ini. Aku nggak mau kamu campakkan begitu saja, Mas!" kata Dewi bicara sendiri.

"Aku memang nggak sempurna Mas. Nggak bisa memberimu malaikat kecil seperti yang kamu inginkan. Tapi, kamu nggak berhak mencampakkan aku begitu saja!"

Dewi membanting foto pernikahannya itu, hingga kaca dalam bingkai itu pecah, berserakan di lantai kamar tidurnya.

Tak hanya itu, peralatan make up yang ada di meja riasnya, dia hempaskan ke lantai. Kamarnya jadi berantakan.

Dia menangis. Meratapi nasib buruknya itu. "Semua harus berakhir gara-gara perempuan sialan itu." maki Dewi dalam hatinya.

"Kamu akan merasakan penderitaan yang sama, mas. Lihat saja nanti aku akan balas semua perbuatan kamu. Aku janji!" pekik Dewi di depan kaca.

"Kamu akan menyesal memperlakukan aku bagai sampah seperti ini Mas. Semua ada balasannya." ucap Dewi dengan sumpah serapahnya.

***

Keesokan harinya, Dewi masih tak bersemangat. Bahkan dia enggan keluar rumah.

Tapi, sahabatnya, Sindi bikin kejutan buat Dewi.

"Dewi. Dimana kamu?" tanya Sindi lewat chat.

"Di rumah. Lagi malas aja mau keluar." balas Dewi.

"Ya udah. Bukain pintu dong. Boleh nggak aku main ke rumah kamu?"

"Hmm. Boleh banget. Apa yang nggak boleh kamu, si centil yang baik hati. Yang suka traktir-traktir janda kesepian. Hahahahah!" seloroh Dewi lewat chatnya.

"Ih apaan sih. Emang kamu janda? Hahahahah!" balas Sindi.

"Udah cepetan, buka pintu kamu dong!" desak Sindi.

"Iya iya. Tunggu. Lagi malas gerak nih!" sebut Dewi lagi.

"Ih cepetan buka pintu pokoknya, Nyonya Aji!" ulang Sindi merengek.

"Iya tunggu. Aku pakai BH sebentar," balas Dewi sembari membubuhkan emoticon orang tertawa ngakak.

"Ih porno memang ya, emak-emak satu ini!" kata Sindi.

"Enak aja emak-emak. Masih gadis nih? Gadis tapi tak perawan. Hahahahah!" seloroh Dewi lagi.

"Eh cepetan buka pintunya. Balas-balasan chat, kapan buka pintunya. Tergadai aku, dari tadi berdiri di depan pintu rumah kamu ini!" Sindi terus ngoceh.

Tak lama, pintu dibuka. Sebuah cake mini disodorkan Sindi, bersamaan dengan Dewi membuka pintu depan rumahnya.

"Taraaaaaaaaaa! Selamat ulang tahun, Nyonya Aji." ucap Sindi, sembari mencium pipi kiri dan pipi kanan Dewi, lalu memeluknya erat, penuh persahabatan.

Setelah Sindi melepaskan pelukannya, Dewi langsung protes soal tulisan di cake ulang tahun untuknya itu.

"Itu bukan Nyonya Aji. Tapi Nyonya....siapa ya. Aku mau nama yang baru!" seloroh Dewi.

"Aih. Jangan macem-macem kamu, Non. Nanti kena bantai sama Tuan Aji, baru tahu rasa! Hahahahha!" Sindi melepas tawa. (***)

.

Putri Melahirkan Anak Aji

Samar-samar, Dewi mendengar suara langkah kaki seseorang, sedang menuju ke kamarnya. Buru-buru dia bangkit dari tempat tidurnya. Bersamaan dengan itu, Aji membuka pintu kamar duluan, sebelum Dewi sempat keluar dari kamar itu.

"Siapkan pakaian aku!" perintah Aji tanpa basa-basi.

Dewi pun tak banyak bicara. Dia menuruti permintaan Aji. Seperti biasa, menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan suaminya, ketika hendak keluar kota.

"Berapa hari Mas, kamu perginya. Jangan lama-lama ya?" kata Dewi sambil menahan rasa sedihnya.

"Kenapa sih kamu akhir-akhir ini cerewet. Mau aku pergi berapa hari berapa lama, itu bukan urusan istri, " jawab Aji sedikit acuh tak acuh.

Mendengar jawaban tak semestinya itu, Dewi terluka. Dewi sengaja memperlambat menyiapkan pakaian Aji. Karena, ada rasa cemburu yang menyelimuti hatinya.

"Mas, kamu sudah lama ya kenal sama Putri?" tanya Dewi masih penasaran soal hubungan suaminya dengan perempuan itu."

"Bisa nggak kamu kalau nggak cari gara-gara! Sudah tahu suami mau berangkat, malah diajak kelahi!" bentak Aji.

"Ya Allah. Beri aku kesabaran," gumam Dewi, pilu.

"Mas.....aku lagi nggak enak badan. Perginya jangan lama-lama ya!" pesan Dewi.

Aji cuek, saat Dewi mengeluhkan kondisi badannya yang kurang sehat.

Setengah jam kemudian, Aji pergi dengan membawa koper bajunya itu.

"Ya Allah, jaga Mas Aji untukku, jangan pertemukan dia dengan Putri," Dewi berdoa dengan cemas.

Karena, saat ini sudah ada orang ketiga, yang mengganggu hubungannya dengan Aji.

***

Malam semakin larut. Dewi tak bisa memejam matanya. Dia termenung. "Begini ya rasanya mencintai laki-laki," gumamnya meratapi nasib. Tanpa dia sadari, bulir-bulir air matanya, jatuh membasahi pipi.

Rasanya, malam itu Dewi ingin menelepon Aji, untuk mengurangi rasa sepinya di rumah sendirian.

Namun, perhatiannya tertuju pada status yang baru saja ditulis Putri. Dilihatnya, Putri baru saja menuliskan statusnya, lima menit yang lalu.

*Alhamdulillah, telah lahir anak kami yang pertama. Putri Bella Kirana Aji.

Betapa hancur hati Dewi, mengetahui kenyataan pahit itu.

Dilihatnya di postingan video yang diposting Putri, ada suaminya, Aji.

Tubuh Dewi gemetar. Air matanya tak henti membasahi pipi. Rasanya, malam itu dia menjadi perempuan yang tak berguna. Merasa dicampakkan begitu saja oleh lelaki yang pernah dia cintai mati-matian.

"Ya Allah, Mas. Kenapa kamu membohongi aku. Pertemuan rapat di Jakarta itu, hanya alasan kamu saja, karena kamu nungguin kelahiran jabang bayi yang ada di perut Putri."

Tak hanya sampai di status ucapan syukur karena anak Putri lahir. Putri juga menunjukkan kemesraannya dengan Mas Aji.

Melihat semua itu, Dewi merasa menjadi istri tak berguna.

"Sabar. Sabar, Dewi," bisik batinnya, menguatkan.

***

Keesokan paginya, Putri memberi kabar, dan sekaligus memamerkan kemesraannya bareng Mas Aji.

"Mbak. Boleh ya, Mas Aji menemani aku, beberapa bulan ini, sampai aku bisa mandiri. Karena aku belum pengalaman punya anak, Mbak," pesan Putri, dengan mengirim foto Aji, yang terlihat bahagia, sedang menggendong seorang bayi.

Membaca chat Putri, Dewi semakin tak berdaya. Dunianya memang sudah hancur berkeping-keping.

Laki-laki yang dia cintai itu, sudah berpaling ke lain hati.

***

Seharian, Dewi mencoba menghubungi Aji. Namun, sepertinya Aji memang sengaja menonaktifkan ponselnya.

"Mas.....nanti kalau sudah selesai acara, cepet balik ya, antarkan aku ke dokter," pesan itu dia kirimkan ke suaminya. Berharap suaminya, akan mengkhawatirkan keadaannya karena sakit.

Sudah hampir seharian, Dewi menunggu pesan balasan dari Aji. Namun, apa yang dia harapkan, sia-sia. Kebersamaannya dengan Putri, sepertinya benar-benar tak ingin diganggu.

"Ya Allah, balikkan suamiku ke dalam pelukan aku. Jangan biarkan dia berpaling dari hidupku," ucap Dewi lirih, tak berdaya.

***

Jelang dini hari, Aji baru membalas pesan Dewi.

"Aduh. Kamu ini manja kali jadi perempuan. Ke dokter sendiri kan bisa. Ada motor. Ada mobil di rumah. Suruh siapa antar kamu. Aku masih lembur. Banyak kerjaan di kantor."

Pesan dini hari yang menyakitkan hati Dewi itu, baru terbaca Dewi pagi harinya jam 08.00 wib, saat dia bangun tidur.

Nelangsa hati Dewi membaca pesan itu. Sejak suaminya mengenal Putri, Dewi benar-benar dicampakkan begitu saja.

Dewi kembali mengirim pesan, memohon kepada Aji, agar dia sedikit memberikan perhatiannya untuk Dewi. Tapi, lagi-lagi usahanya itu, sia-sia. Aji tetap saja tak peduli dengan keadaan Dewi.

"Ya Allah, aku hanya bisa memohon untuk kesekian kalinya, tolong kembalikan suamiku. Aku nggak rela ya Allah saat dia bersama perempuan lain." ucap Dewi, lirih.

Karena tak mendapatkan perhatian seperti harapan Dewi, akhirnya Dewi memilih untuk tidak berobat. Pikir dia, pusing kepala, bisa diobati dengan beli Bodrex di warung.

Dewi minta antar ke dokter, hanya alasan. Dia ingin tahu, seberapa peduli Aji, ketika dirinya mengeluh sakit.

Meski Aji tak peduli, Dewi tetap berusaha mengemis perhatian.

"Mas aku nggak jadi ke dokter. Nanti kalau balik dari kantor, tolong belikan Bodrex ya sebungkus saja." pinta Dewi.

"Kamu ini ya. Jadi istri kenapa selalu menyusahkan suami!" balas Aji dengan ketus.

"Ya ampun Mas. Aku hanya minta tolong belikan Bodrex. Itu pun paling berapa harganya!" sebut Dewi sedikit protes.

"Kamu paham nggak dengan bahasa Indonesia, kalau aku sibuk!" balas Aji lagi lebih sengit.

"Oh oke. Nggak apa Mas aku beli sendiri saja, ke warung depan." balas Dewi, dengan kecewa.

"Nggak penting banget sih chat kamu ini. Buang-buang waktu aku saja. Hal sepele begitu saja kamu chat aku. Kalau mau ngasih kabar kamu hamil. Baru itu info yang berharga. Ini, cuma mau beli Bodrex saja, kamu bikin repot aku. Dasar istri tak ada guna."

Kalimat-kalimat balasan dari Aji, benar-benar menggores hatinya. Merendahkan harga dirinya sebagai perempuan.

Dia pun tak ingin berbalas chat lagi dengan Aji.

"Ya Allah, sejahat itu dia sama aku." tangis Dewi pecah. Dadanya bergemuruh. perasaannya hancur tak karuan, mendapat perlakuan kasar seperti itu dari Aji. Dia nyaris tak mengenal lagi, siapa Aji. Aji berubah banyak.

***

Dewi menunggu kedatangan Aji, malam ini. Karena dia masak rendang kesukaan Aji. Dewi berharap, Aji meluangkan waktunya makan malam bersama Dewi.

Hingga jarum jam dinding di kamarnya menunjukkan angka 23.00 wib, Aji tak kunjung pulang.

Dewi memandangi hidangan yang telah ia siapkan sejak lepas maghrib tadi.

"Ya Allah. Gerakkan hati suamiku, untuk aku. Malam ini saja Ya Allah," doa Dewi dalam hati.

Hingga waktu menunjukkan pukul 01.00 wib, dia pun menutup rendang masakannya itu dengan tudung saji.

"Sampai kapan aku harus menghadapi kenyataan ini. Haruskah aku bertahan atau aku pergi saja dari kehidupan Aji." (***)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!