NovelToon NovelToon

JANDA MUDA MEMIKAT HATIKU

Bab 1

Dina berdiri di tengah toko bukunya, memandang rak-rak kayu yang berjejer rapi. Tempat ini telah menjadi dunianya sejak suaminya, Aditya, meninggal dua tahun lalu. Di antara ribuan halaman yang memenuhi ruang kecil itu, Dina menemukan pelarian dan ketenangan. Bau khas buku-buku tua bercampur dengan aroma kopi dari kedai kecil di seberang jalan. Suasana ini selalu menjadi pengingat bahwa hidup terus berjalan, meski tanpa Aditya di sisinya.

Pagi itu, Dina baru saja membuka pintu toko. Matahari pagi menyinari kaca depan, memantulkan cahaya lembut ke dalam ruangan. Ia memulai rutinitasnya: menyapu lantai, menyusun ulang buku-buku yang baru datang, dan menyiapkan meja kasir. Tangannya bekerja cekatan, namun pikirannya melayang ke masa lalu.

Di antara tumpukan buku baru, pandangannya tertumbuk pada sebuah buku yang tampak akrab. "Bunga untuk Seseorang yang Kucinta." Dina memungutnya, dan seketika hatinya mengelus. Buku itu adalah pemberian Aditya di ulang tahun pernikahan mereka yang keempat.

“Cinta itu seperti bunga, Dina,” suara lembut Aditya terngiang di telinganya. “Harus dirawat setiap hari, meski terlihat sepele. Kalau nggak, ia akan layu tanpa kau sadari.”

Mata Dina memanas. Ia memeluk buku itu erat, menutup matanya. Tapi tak ada lagi pelukan hangat Aditya yang dulu selalu menenangkannya. Yang ada hanya kekosongan yang semakin nyata. Dina menghela napas panjang, meletakkan buku itu di rak, dan mencoba melanjutkan pekerjaannya.

Sejenak kemudian, suara langkah kecil terdengar mendekat. “Ibu, aku sudah siap!” seru Raka, putranya yang berusia tujuh tahun.

Dina menoleh dan tersenyum. “Ayo, sayang. Kita antar kamu ke sekolah dulu sebelum ibu buka toko lagi.”

Raka melompat kecil dengan tas punggung biru di bahunya. Dina mengambil tas belanja kain dan jaketnya sebelum menggandeng tangan Raka. Mereka berjalan menuju sekolah yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah dan toko.

Sepanjang jalan, Dina memperhatikan wajah ceria putranya. Senyum Raka adalah satu-satunya pelipur di tengah rasa sepi yang sering menghantui. Anak itu banyak bicara, menceritakan rencana hari ini di kelasnya.

“Hari ini aku mau tunjukkan buku favoritku ke teman-teman, Bu!” katanya dengan antusias.

“Buku apa, sayang?” tanya Dina sambil melirik Raka.

“Petualangan Bajak Laut!” jawab Raka sambil tersenyum lebar. “Dito pasti suka, soalnya dia bilang dia juga suka bajak laut!”

“Dito temanmu?”

“Iya! Dia teman terbaikku di sekolah,” jawab Raka sambil melompat-lompat kecil.

Ketika mereka tiba di depan gerbang sekolah, Raka segera melambaikan tangan kepada teman-temannya. “Dadah, Bu!”

“Jangan lupa makan siangmu, ya!” Dina membalas sambil tersenyum. Ia memandang Raka yang berlari ke arah kelompok anak-anak, bergabung dengan tawa riang mereka.

Sambil berdiri di sana, Dina merasakan campuran perasaan bangga dan sedih. Bangga karena putranya tumbuh menjadi anak yang ceria meski kehilangan sosok ayah, tapi sedih karena ia tahu Raka pasti merindukan figur laki-laki dalam hidupnya.

“Permisi,” sebuah suara berat tiba-tiba terdengar di sampingnya.

Dina menoleh dan melihat seorang pria berdiri tak jauh darinya.

Pria itu tinggi, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan. Wajahnya tegas, namun ada kelembutan dalam sorot matanya. Ia mengenakan kemeja kasual yang digulung hingga siku, tampak santai namun rapi.

“Maaf kalau mengganggu,” lanjut pria itu sambil tersenyum kecil. “Tadi saya nggak sengaja dengar. Anda ibu dari Raka, ya?”

Dina sedikit terkejut, tapi mengangguk. “Iya, saya Dina. Anda kenal Raka?”

Pria itu mengulurkan tangan. “Arga, ayahnya Dito. Anak saya sering cerita tentang Raka di rumah.”

“Oh, begitu,” Dina menjabat tangannya singkat. “Raka juga sering cerita tentang Dito. Mereka sepertinya sangat akrab.”

Arga mengangguk sambil tertawa kecil. “Iya, anak-anak memang cepat akrab. Dito sering bilang kalau Raka suka meminjamkan buku yang bagus. Saya jadi penasaran, Anda pemilik toko buku yang sering disebut-sebut itu?”

Dina tersenyum tipis. “Benar. Saya punya toko kecil di dekat sini. Itu yang sering membuat Raka suka membawa banyak buku ke sekolah.”

“Pantas saja,” kata Arga. “Raka kelihatan seperti anak yang suka membaca. Itu bagus.”

Percakapan mereka hanya berlangsung beberapa menit, tapi cukup bagi Dina untuk merasa ada sesuatu yang berbeda pada pria ini. Arga tampak ramah dan mudah didekati, namun ada kesan misterius yang sulit dijelaskan.

Ketika Dina kembali ke toko, pikirannya masih memutar ulang pertemuan singkat itu. Ia mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya kebetulan belaka. Tapi, cara Arga tersenyum, nada bicaranya yang tenang—semuanya membuat Dina merasa aneh, seolah ada sesuatu yang akan berubah dalam hidupnya.

Hari itu berjalan seperti biasa. Pelanggan datang dan pergi, beberapa di antaranya adalah langganan tetap yang sudah akrab dengannya. Dina sibuk mengatur stok buku baru sambil melayani pembeli. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya sesekali kembali pada percakapan pagi tadi.

Saat malam tiba dan Raka sudah tertidur, Dina duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat. Ia membuka buku hadiah dari Aditya, berharap dapat menemukan kedamaian. Namun, alih-alih larut dalam cerita, pikirannya terusik oleh sosok Arga.

“Kenapa aku memikirkan dia?” gumam Dina sambil menggelengkan kepala. Ia mencoba menepis pikiran itu, tapi rasa penasaran tetap membayangi.

Dina menutup buku itu dan memandang ke luar jendela. Kota kecil itu mulai sepi, hanya terdengar suara angin yang menerpa dedaunan. Ia bertanya-tanya apakah ini hanya kebetulan, atau mungkin takdir mulai membuka lembaran baru dalam hidupnya.

Di dalam hati kecilnya, Dina tahu ia belum siap untuk mencintai lagi. Kehilangan Aditya masih meninggalkan luka yang dalam. Tapi pertemuan dengan Arga pagi tadi seolah menggoyahkan tembok yang selama ini ia bangun.

“Sudahlah,” katanya pada dirinya sendiri. “Ini hanya pertemuan biasa. Tidak ada yang istimewa.”

Namun, jauh di lubuk hatinya, Dina merasa bahwa hidupnya akan berubah. Dan pertemuan dengan Arga adalah awal dari sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Bab 2: Tatapan Pertama

Dina kembali ke toko bukunya setelah mengantar Raka ke sekolah. Langkahnya terasa lebih lambat dari biasanya. Entah mengapa, pertemuannya dengan Arga pagi tadi masih terngiang di benaknya. Tatapan pria itu, senyumnya yang hangat, dan caranya berbicara membuat Dina merasa aneh. Ia mencoba menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah percakapan biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat dadanya bergetar tanpa alasan yang jelas.

Dina membuka pintu toko, menyalakan lampu, dan mulai menjalani rutinitas harian. Beberapa pelanggan datang dan pergi, bertanya tentang rekomendasi buku atau hanya sekadar melihat-lihat. Pekerjaan itu, yang biasanya membuat Dina tenggelam dalam kenyamanan, kini terasa seperti formalitas. Pikiran Dina masih melayang-layang.

“Fokus, Dina,” gumamnya sambil menyusun buku-buku baru di rak bagian tengah.

Ketika sore tiba, Dina menutup toko sebentar untuk menjemput Raka di sekolah. Ia berjalan melewati jalan kecil yang dikelilingi pepohonan, angin sepoi-sepoi meniup rambutnya yang tergerai. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Dina melihat kerumunan anak-anak yang berlarian dengan tawa riang. Ia mencari-cari sosok Raka di antara mereka, namun yang pertama kali menarik perhatiannya adalah seseorang yang berdiri tak jauh dari pintu gerbang.

Arga.

Pria itu sedang menunggu anaknya dengan posisi santai, tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Rambutnya sedikit berantakan terkena angin, namun ia tetap terlihat rapi. Dina berhenti sejenak, merasa gugup tanpa alasan. Ia ingin berpura-pura tidak melihat, tapi tatapan Arga yang tiba-tiba mengarah padanya membuat Dina tak punya pilihan.

“Halo,” sapa Arga sambil tersenyum.

Dina mengangguk pelan, berusaha terlihat santai. “Halo.”

“Menjemput Raka?” tanyanya sambil berjalan mendekat.

“Iya, seperti biasa,” jawab Dina sambil tersenyum tipis.

Sebelum Dina sempat melanjutkan percakapan, Raka berlari menghampirinya sambil membawa buku di tangan. “Bu! Lihat, Dito meminjamkanku buku ini!” serunya antusias.

Di belakang Raka, seorang anak laki-laki mendekat dengan langkah kecil. Wajahnya mirip dengan Arga, hanya saja lebih muda dan ceria. Dina segera menyadari bahwa anak itu adalah Dito, putra Arga yang sering disebut-sebut Raka.

“Dito, jangan lupa bilang terima kasih sama Ibu Dina,” kata Arga sambil menepuk pelan kepala anaknya.

“Terima kasih, Bu,” kata Dito sambil tersenyum malu-malu.

“Sama-sama,” jawab Dina sambil mengusap kepala Dito.

Momen itu terasa sederhana, tapi ada sesuatu yang membuat Dina merasakan kehangatan. Melihat cara Arga berbicara dengan anaknya, nada suaranya yang lembut, dan perhatian yang ia tunjukkan—semua itu memancarkan aura yang tak bisa Dina abaikan.

“Kalau begitu, saya pamit dulu,” kata Arga sambil menggandeng tangan Dito.

“Iya, sampai jumpa,” balas Dina singkat.

Namun, ketika Arga berjalan pergi, Dina merasakan dorongan aneh untuk memperhatikan punggungnya yang menjauh. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi hatinya mulai merasa sesuatu yang selama ini tidak ia izinkan: penasaran.

Keesokan paginya, Dina kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Ia menyiapkan toko, melayani pelanggan, dan mengatur stok buku baru. Namun, pikirannya masih terus kembali pada Arga. Dina merasa jengkel pada dirinya sendiri karena membiarkan pria itu mengganggu konsentrasinya.

“Apa yang sebenarnya aku pikirkan?” gumamnya sambil menyusun buku di rak.

Ketika ia sedang sibuk dengan pekerjaannya, pintu toko tiba-tiba terbuka, diikuti oleh suara langkah kaki yang familiar. Dina menoleh, dan untuk kedua kalinya dalam dua hari, ia menemukan sosok Arga berdiri di ambang pintu.

“Halo,” sapanya dengan senyum hangat.

“Halo,” balas Dina, sedikit terkejut. “Ada yang bisa saya bantu?”

Arga melangkah masuk, matanya berkeliling mengamati rak-rak buku. “Dito minta saya membelikan buku baru. Dia bilang, Raka selalu punya rekomendasi bagus, jadi saya pikir mungkin ini tempat yang tepat.”

“Oh, tentu,” jawab Dina sambil melangkah ke arah rak anak-anak. “Dito suka genre apa?”

“Sepertinya dia suka petualangan. Buku tentang bajak laut yang dipinjam Raka kemarin membuatnya sangat bersemangat.”

Dina tersenyum kecil sambil mengamati beberapa buku. Ia mengeluarkan satu buku dari rak dan menyerahkannya pada Arga. “Coba ini. Ceritanya seru, dan ada banyak ilustrasi yang menarik.”

Arga menerima buku itu dan membolak-balik halamannya. “Terima kasih. Dito pasti suka.”

Mereka berbicara singkat tentang buku, tapi obrolan itu perlahan beralih ke hal-hal lain. Arga bertanya tentang toko buku, bagaimana Dina memulainya, dan bagaimana ia bisa tetap bertahan di tengah era digital. Dina menjawab dengan santai, merasa sedikit lebih nyaman meski awalnya gugup.

Ketika Arga akhirnya membayar buku dan bersiap untuk pergi, ia menoleh ke Dina dan berkata, “Saya senang bisa mampir ke sini. Toko Anda luar biasa.”

Dina hanya tersenyum, merasa pipinya sedikit memanas. Setelah pintu toko tertutup, ia berdiri di belakang meja kasir, memegang keranjang kosong yang belum sempat ia tata ulang. Dadanya berdebar, dan ia tidak tahu kenapa.

Hari-hari berikutnya, Dina mencoba kembali pada rutinitasnya. Namun, pertemuan dengan Arga meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Setiap kali ia mengantar Raka ke sekolah, matanya secara tidak sadar mencari-cari sosok pria itu.

Pagi itu, seperti biasa, Dina mengantar Raka ke sekolah. Saat mereka hampir tiba di depan gerbang, hujan tiba-tiba turun dengan deras. Dina segera meraih payung dari tasnya dan membukanya untuk melindungi Raka. Namun, payung itu terlalu kecil untuk menampung keduanya. Dina membiarkan dirinya basah kuyup sementara Raka tetap terlindungi.

Ketika mereka akhirnya sampai di gerbang, Dina melihat Arga sedang berdiri di bawah pohon dengan jaket yang basah. Ia melambaikan tangan pada Dina sambil tersenyum.

“Sepertinya hujan ini membuat semuanya kacau,” katanya.

Dina tertawa kecil sambil mengeringkan rambutnya. “Benar. Saya tidak menyangka akan turun hujan secepat ini.”

Arga melangkah mendekat dan menawarkan payung besar yang ia bawa. “Kalau Anda tidak keberatan, mungkin saya bisa menemani Anda kembali ke toko. Saya juga sedang punya waktu luang.”

Dina ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Mereka berjalan bersama di bawah payung yang cukup besar untuk menampung keduanya. Sepanjang jalan, mereka berbicara tentang banyak hal—mulai dari anak-anak mereka hingga pekerjaan masing-masing.

Bagi Dina, percakapan itu terasa aneh namun menyenangkan. Sudah lama sekali ia tidak berbicara dengan seseorang seperti ini, seseorang yang benar-benar mendengarkan tanpa menghakimi.

Ketika mereka tiba di depan toko, Dina berterima kasih pada Arga dan menawarkan secangkir kopi sebagai ucapan terima kasih. Arga awalnya menolak, tapi akhirnya setuju. Mereka duduk di sudut toko, berbagi cerita sambil menikmati kopi hangat.

“Ini pertama kalinya saya merasa tenang setelah sekian lama,” kata Arga tiba-tiba.

Dina menatapnya, sedikit bingung. “Maksud Anda?”

Arga tersenyum tipis. “Saya kehilangan istri saya tiga tahun lalu. Sejak itu, rasanya sulit untuk benar-benar berbicara dengan seseorang.”

Dina terdiam. Kata-kata Arga menusuk hatinya, karena ia tahu persis seperti apa rasa kehilangan itu.

“Saya juga kehilangan suami saya,” katanya pelan. “Dua tahun lalu. Itu adalah masa-masa terberat dalam hidup saya.”

Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Dina merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti rasa sakitnya. Tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan, tapi dalam keheningan itu, ada sesuatu yang tumbuh—sesuatu yang tak dapat mereka hindari.

Bab 3: Hujan Membawa Kesempatan

Hujan masih mengguyur dengan sangat deras ketika Dina menyelesaikan pekerjaan di toko. Langit kelabu dan suara gemuruh menambah suasana sepi di sepanjang jalan. Dina menutup toko lebih awal hari itu, berharap dia bisa segera pulang dan beristirahat. Namun, baru beberapa meter dari pintu, mobilnya mendadak mogok di tengah jalan.

"Ah, tidak sekarang," keluh Dina, berusaha menyalakan mesin berkali-kali, tapi sia-sia. Ia keluar dari mobil untuk memeriksa, namun hujan yang semakin deras membuatnya sangat basah kuyup hanya dalam hitungan beberapa detik.

Dina menggigil, kebingungan harus berbuat apa. Jalanan sangat sepi, dan ia tidak mampu melihat siapa pun yang bisa dimintai bantuan. Saat itulah suara mesin dari mobil mendekat dari kejauhan. Dina menoleh, dan seperti sebuah kebetulan yang sangat mustahil, Arga keluar dari mobil SUV hitamnya dengan payung di tangan.

"Dina? Apa yang terjadi?" tanyanya sambil mendekat.

"Mobil saya mogok," jawab Dina, mencoba tersenyum meski merasa sangat canggung. "Saya tidak tahu apa yang salah."

Arga memandang mobil itu sejenak, lalu berkata, "Sepertinya hujan ini bukan waktu yang tepat untuk memeriksa mesin. Boleh saya antar pulang?"

Dina ragu. Ia tidak ingin merepotkan Arga, tapi situasinya benar-benar sangat mendesak. "Tapi... mobil saya?"

"Kita bisa urus nanti. Saya kenal mekanik yang bisa membantu. Sekarang lebih baik Anda tidak kehujanan lebih lama," ujar Arga dengan nada yang sangat meyakinkan.

Dina mengangguk pelan, akhirnya dia setuju. Arga membukakan pintu mobilnya, dan Dina masuk dengan hati-hati. Udara hangat dari pemanas mobil menyambutnya, membuat tubuhnya yang dingin mulai merasa nyaman.

"Terima kasih, Arga," ucap Dina setelah mereka mulai melaju. "Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana tadi."

"Jangan khawatir. Saya senang bisa membantu," jawab Arga sambil melirik Dina sekilas.

Hening sejenak mengisi ruang di antara mereka, hanya suara hujan yang terdengar dari luar. Dina melirik Arga dari sudut matanya. Wajah pria itu terlihat serius namun tenang, fokus pada jalanan yang basah dan licin.

"Kenapa Anda kebetulan lewat di sini?" tanya Dina, mencoba memecah keheningan.

"Sebenarnya saya sedang dalam perjalanan pulang dari kantor," jawab Arga. "Rasanya seperti takdir, ya?" tambahnya sambil tersenyum kecil.

Dina tersenyum kembali, tapi tak mengatakan apa-apa. Ia tidak ingin terlalu memikirkan kata-kata itu, meskipun hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya.

Ketika mereka tiba di depan rumah Dina, hujan mulai mereda. Arga keluar untuk membukakan pintu mobil, dan Dina melangkah turun sambil menutupi kepalanya dengan tangan.

"Anda benar-benar tidak harus melakukan semua ini," kata Dina, merasa sedikit bersalah.

"Ini bukan masalah besar, sungguh," balas Arga sambil menutup pintu mobilnya. "Pastikan Anda mengganti pakaian basah itu segera, atau Anda bisa masuk angin."

Dina tersenyum, terharu oleh perhatiannya. "Saya akan ingat itu. Terima kasih sekali lagi."

Arga mengangguk, tapi sebelum ia berbalik untuk pergi, Dina menghentikannya. "Tunggu. Bagaimana jika Anda mampir sebentar? Saya bisa membuatkan teh atau kopi sebagai ucapan terima kasih."

Arga tampak ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, jika Anda tidak keberatan."

Di dalam rumah, Dina sibuk membuatkan teh sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sementara itu, Arga duduk di ruang tamu, memperhatikan ruangan yang sederhana namun hangat.

"Rumah Anda sangat nyaman," komentar Arga ketika Dina kembali membawa dua cangkir teh.

"Terima kasih. Saya berusaha menjaganya tetap seperti ini untuk Raka," jawab Dina sambil meletakkan teh di meja.

Mereka duduk berhadapan, menikmati teh hangat sambil berbicara tentang banyak hal. Dina menceritakan bagaimana ia memutuskan untuk membuka toko buku setelah kehilangan suaminya, sementara Arga berbagi tentang perjuangannya membesarkan Dito sendirian.

Percakapan itu mengalir dengan alami, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Dina merasa nyaman, bahkan tertawa beberapa kali mendengar cerita-cerita lucu dari Arga.

Namun, momen itu berubah menjadi lebih serius ketika Dina berkata, "Kadang saya merasa tidak adil bagi Raka. Saya terlalu sibuk dengan kesedihan saya dulu, sampai lupa bahwa dia juga kehilangan ayahnya."

Arga menatapnya dengan lembut. "Anda melakukan yang terbaik. Tidak mudah menjadi orang tua tunggal, tapi saya yakin Raka tahu betapa Anda mencintainya."

Kata-kata itu membuat Dina terdiam. Ia merasa ada kehangatan dalam cara Arga berbicara, seperti seseorang yang benar-benar mengerti beban yang ia pikul.

Hujan di luar akhirnya berhenti, meninggalkan suasana yang tenang. Arga melirik jam tangannya dan berkata, "Sepertinya saya harus pergi. Dito pasti sudah menunggu."

Dina mengangguk, meskipun ia merasa sedikit enggan untuk mengakhiri percakapan itu. "Terima kasih lagi, Arga. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan tanpa Anda tadi."

Arga tersenyum. "Kapan pun Anda butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungi saya."

Setelah Arga pergi, Dina berdiri di depan jendela, menatap jalanan yang basah oleh rintik hujan. Ia seolah memikirkan momen-momen tadi, dan bagaimana kehadiran Arga membuatnya merasa sedikit lebih ringan.

"Takdir, ya?" gumamnya pelan, sambil tersenyum manis pada dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Dina pergi mencoba menjalani hari seperti biasa. Namun, pikirannya terus kembali pada Arga. Ia bertanya-tanya apakah pria itu memikirkan hal yang sama, atau jika pertemuan mereka hanyalah kebetulan yang akan segera dilupakan.

Namun, takdir tampaknya tidak lagi ingin memberi Dina banyak waktu untuk berpikir. Ketika ia sedang menyusun buku di rak, pintu toko terbuka, dan suara langkah kaki yang familiar terdengar lagi.

"Arga," sapanya, mencoba untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Halo, Dina," jawab Arga sambil tersenyum. "Saya datang untuk memastikan Anda baik-baik saja setelah kejadian kemarin."

Dina merasa dadanya sangat hangat. "Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli."

Mereka berbicara sebentar, dan Dina merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Arga menatapnya. Tatapan itu lembut, penuh perhatian, dan membuat Dina merasa bahwa ia bukan hanya sekadar seseorang yang butuh bantuan.

Ketika Arga akhirnya pergi, Dina tidak bisa menahan senyum. Ia merasa bahwa sesuatu sedang berubah—sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi setelah semua kehilangan yang ia alami.

Hatinya, yang selama ini ia tutup rapat, perlahan mulai membuka diri pada kemungkinan baru.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!