Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.
Prang
Terdengar suara pecahan kaca dari bawah kamar Soraya. Ia pun langsung terbangun dari tidurnya. Melihat sang ibu sudah tak berada di sampingnya, membuat Soraya panik.
"Ibu" gumamnya.
Soraya langsung bangkit dari ranjang, dengan mengambil blazer tipis guna menutup tubuhnya yang hanya terbalut gaun tipis, Soraya turun dengan tergesa-gesa.
"Apa yang terjadi bu?"
Tanyanya begitu melihat sang ibu sudah duduk di sebuah sofa dengan tangisan yang pilu.
"Mereka,,, mereka menagih hutang-hutang ayahmu! Jika mereka tidak mendapatkannya maka mereka akan mengambil rumah ini"
Soraya hanya bisa menghela nafasnya panjang. Ia tahu jika mereka tidak akan mampu membayar dan melunasi hutang-hutang ayahnya tersebut.
"Sudah bu, sebaiknya kita kembali tidur! Besok aku akan mencari pinjaman! Ibu jangan khawatir."
Sheila menatap kepada putrinya dengan mata yang penuh dengan air mata. Ia menggelengkan kepala pelan, seolah ingin menolak janji putrinya.
"Soraya, kau sudah terlalu banyak berkorban. Aku tak ingin melihatmu menderita lebih dari ini..." ucap Sheila lirih,
Suaranya nyaris tak terdengar di tengah isak tangis.
Soraya berlutut di hadapan ibunya, memegang kedua tangan wanita itu dengan erat.
"Bu, aku sudah dewasa. Ini tanggung jawabku. Kita akan melewati ini bersama. Percayalah padaku," katanya
Sambil menatap mata ibunya dengan penuh keyakinan.
Sheila hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun di hatinya ada kekhawatiran mendalam. Soraya terlalu muda untuk memikul beban sebesar ini, pikirnya. Namun, ia tahu tak ada pilihan lain. Mereka hanya memiliki satu sama lain sekarang.---
Keesokan paginya, Soraya bangun lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan pakaian terbaiknya—meskipun sederhana, tetap rapi. Setelah memastikan ibunya sudah sarapan, ia berpamitan.
"Aku akan kembali sebelum malam, Bu. Jangan lupa makan dan istirahat, ya," ucap Soraya sambil mencium kening Sheila.
Soraya berjalan ke kota terdekat, berharap bisa mencari pekerjaan tambahan atau pinjaman untuk melunasi sebagian utang mereka. Namun, di setiap tempat yang ia datangi, ia hanya mendapat penolakan.
"Kami tidak bisa mempekerjakan mu saat ini," atau
"Maaf, kami tidak memberikan pinjaman kepada individu tanpa jaminan," adalah jawaban yang terus ia dengar sepanjang hari.
Ketika sore menjelang, Soraya merasa lelah dan putus asa. Ia duduk di bangku taman kota, mencoba menenangkan pikirannya. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya dengan pakaian rapi mendekatinya.
"Maaf, Nona, apakah Anda membutuhkan bantuan?" tanyanya.
Soraya terkejut, tetapi dengan sopan ia menjawab,
"Tidak, Pak. Saya hanya sedang beristirahat."
Namun, pria itu tetap berdiri di dekatnya.
"Saya mendengar Anda tadi bertanya tentang pekerjaan di toko sebelah. Apakah Anda sedang mencari pekerjaan?" tanyanya lagi.
Soraya ragu sejenak sebelum mengangguk.
"Ya, saya butuh pekerjaan. Tapi kebanyakan tempat tidak membutuhkan karyawan baru," jawabnya jujur.
Pria itu tersenyum kecil.
"Kalau begitu, mungkin saya bisa membantu. Nama saya Pak Adrian. Saya memiliki sebuah perusahaan kecil di kota ini. Kami sedang mencari seseorang yang bisa membantu di bagian administrasi. Apa Anda tertarik?"
Mata Soraya berbinar. Ini seperti secercah harapan di tengah kegelapan.
"Tentu saja, Pak! Saya sangat tertarik. Tapi... saya belum punya banyak pengalaman," ujarnya dengan nada cemas.
Pak Adrian mengangguk pelan.
"Tidak apa-apa. Yang penting adalah kemauan untuk belajar. Jika Anda bersedia, datanglah ke kantor saya besok pagi. Saya akan memberikan detailnya."
Dengan perasaan lega dan sedikit harapan, Soraya mengucapkan terima kasih kepada Pak Adrian. Mungkin ini awal dari perubahan yang ia butuhkan untuk menyelamatkan keluarganya.
Namun, ia tidak tahu bahwa pertemuan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya—lebih dari yang pernah ia bayangkan.
Soraya pulang dengan langkah ringan. Harapan mulai tumbuh dalam hatinya. Mesti ini hanya langkah pertama. Saat tiba di rumah ia menatap ibunya sedang duduk menatap kosong ke arah jendela.
"Bu, aku punya kabar baik" ucap Soraya penuh semangat.
Soraya mencoba mengusir suasana muram di rumah mereka.Sheila menolah, matanya masih memerah karena tangis malam tadi.
"Apa itu nak? "
Soraya langsung duduk dan menghampirinya dan menggenggam tangan ibunya.
"Aku mendapatkan pekerjaan bu. Aku akan mulai bekerja besok" ucapnya sambil tersenyum lebar.
Sheila terkejut mendengar kabar itu. Ia menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, namun kali ini bukan karena sedih, melainkan haru.
"Benarkah, Soraya? Pekerjaan seperti apa? Apa tempatnya aman? Kau yakin bisa melakukannya?" tanya Sheila beruntun, rasa khawatirnya masih tak sepenuhnya hilang.
"Iya, Bu. Aman, kok," jawab Soraya dengan nada meyakinkan. "Aku akan bekerja di bagian administrasi di sebuah perusahaan kecil. Pemiliknya, Pak Adrian, orangnya baik. Ia memberiku kesempatan meski aku belum punya banyak pengalaman."
Sheila mengangguk pelan. Di satu sisi, ia bangga pada keberanian dan tekad putrinya. Namun, di sisi lain, hatinya tetap berat karena tahu bahwa Soraya akan memasuki dunia yang penuh tantangan.
"Baiklah, Nak. Tapi, ingat, kalau ada sesuatu yang terasa tidak baik, jangan ragu untuk bercerita padaku, ya. Jangan memaksakan diri," ujar Sheila lembut sambil membelai rambut Soraya.
"Iya, Bu. Aku janji," Soraya menjawab sambil tersenyum. Ia merasa sedikit lega melihat ibunya lebih tenang.---
Keesokan paginya, Soraya berangkat ke kantor Pak Adrian dengan penuh semangat. Saat tiba di sana, ia terkesan dengan suasana tempat kerja yang sederhana namun teratur.
Namun bukannya sebuah pekerjaan yang dijanjikan oleh Pak Adrian sebelumnya. Soraya malah dihadapkan dengan sebuah pilihan yang bisa menguntungkan nya.
Soraya tampak aneh melihat pak Adrian tampak diam. Tak berapa lama seorang pria bertubuh tegap namun berpakaian sangat rapi dan memiliki wajah yang sangat tampan tiba-tiba masuk bersama satu orang pria yang tak kalah tampannya darinya.
"Silahkan masuk, Tuan" ucap Adrian.
Soraya menatap lekat kepada dia orang pria yang di sapa oleh Adrian. Ada rasa takut namun Soraya mencoba tetap tenang.
"Ini gadis yang saya maksud Tuan" ucap Adrian, seraya menatap Soraya intens.
Soraya menyela, ia belum menyadari apa yang akan terjadi padanya.
"Apa-apaan ini, Pak Adrian? Gadis yang di maksud? Maksud anda apa? " pekiknya.
Soraya panik setengah mati, ia takut jika pria-pria ini adalah seseorang yang juga berhubungan dengan hutang-hutang ayahnya. Tak lama satu pria yang pertama dilihat Soraya mendekatinya.
"Tenang, nona,. Kami tidak akan menyakitimu." ucap Ray.
Ray pun mengambil sebuah map berwarna hijau dan meletakkannya diatas meja.
"Silahkan duduk, nona" tambah Ray.
Sementara Arman hanya duduk di kursi Adrian dan menatap keluar jendela tanpa melihat mereka sedikit pun.
Soraya menelan ludah dengan gugup. Ia merasa seluruh tubuhnya menegang, tapi akhirnya ia menuruti ucapan Ray dan duduk perlahan di kursi yang disediakan. Tatapannya berpindah-pindah antara Ray dan Adrian, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.
Ray membuka map hijau itu dan mendorongnya ke arah Soraya.
"Nona Soraya, sebelum saya menjelaskan lebih jauh, tolong baca ini terlebih dahulu," katanya dengan nada datar.
Soraya meraih map itu dengan tangan gemetar dan membukanya. Di dalamnya terdapat dokumen-dokumen yang terlihat resmi. Matanya menyusuri halaman pertama dan langsung terpaku pada tulisan di bagian atas:
"Perjanjian Kerjasama Eksklusif"
Soraya membaca lebih jauh. Isinya menjelaskan bahwa dirinya akan dipekerjakan sebagai "pendamping pribadi" salah satu pemilik perusahaan, yaitu Arman, selama satu tahun. Sebagai imbalannya, semua utang keluarganya akan dilunasi, dan ia akan mendapatkan gaji besar setiap bulan.
Soraya meletakkan map itu dengan cepat, seolah-olah dokumen itu terbakar di tangannya.
"Apa maksudnya ini? Pendamping pribadi? Ini bukan pekerjaan administrasi seperti yang Anda janjikan, Pak Adrian!" suaranya meninggi, campuran antara marah dan takut.
Pak Adrian tampak canggung, sementara Ray tetap tenang. Akhirnya, Arman yang duduk di kursi Adrian berbicara untuk pertama kalinya. Ia berbalik menghadap Soraya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Tenang, Nona Soraya. Tidak ada yang memaksa Anda. Ini hanya sebuah tawaran," katanya dengan suara rendah namun tegas.
"Kami tahu situasi Anda. Kami tahu bahwa Anda membutuhkan uang untuk melunasi utang-utang ayah Anda dan menyelamatkan rumah Anda. Ini adalah cara tercepat untuk melakukannya."
Soraya menatapnya tajam.
"Jadi, Anda pikir saya akan menjual diri saya demi uang? Saya datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk dijadikan pendamping siapa pun!"
Arman tidak menunjukkan reaksi emosional apa pun.
"Tidak ada yang mengatakan bahwa Anda harus menjual diri Anda. Peran Anda sebagai pendamping hanya mencakup menghadiri acara-acara resmi, menemani saya dalam perjalanan bisnis, dan menjaga citra publik perusahaan. Semua itu profesional. Anda akan dihormati sepenuhnya."
Soraya menatapnya ragu.
"Kalau begitu, mengapa tidak ada perempuan lain yang bisa melakukannya? Mengapa saya?"
Arman menghela napas pelan, lalu berdiri dan berjalan mendekati jendela.
"Karena saya memilih Anda. Saya tidak percaya orang sembarangan, dan saya melihat Anda adalah orang yang jujur dan berkomitmen."
Ray menambahkan dengan nada lebih lembut,
"Nona, ini memang bukan pekerjaan biasa. Tapi kami yakin Anda mampu melakukannya. Dan, seperti yang sudah kami katakan, tidak ada paksaan. Jika Anda menolak, kami tidak akan mempersulit Anda."
Soraya terdiam. Tawaran itu memang terdengar menggiurkan. Ia bisa melunasi semua utang ayahnya dalam waktu singkat dan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ibunya. Namun, hati kecilnya merasa ragu. Bagaimana jika semua ini hanya jebakan? Bagaimana jika ada sesuatu yang lebih dari sekadar "pendamping pribadi"?
Ia bangkit dari kursinya, mengembalikan map itu ke meja, dan menatap mereka dengan tegas.
"Saya tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Saya butuh waktu untuk berpikir."
Ray mengangguk.
"Tentu saja. Ambil waktu sebanyak yang Anda butuhkan. Tapi kami perlu jawaban Anda dalam waktu tiga hari."
Soraya berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat, meninggalkan semua keraguan dan kebingungan di belakangnya. Di luar kantor, udara terasa dingin menusuk. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan hatinya yang bergolak.
Saat tiba di rumah, Sheila langsung menyadari ada yang berbeda dengan putrinya.
"Ada apa, Soraya? Kau terlihat gelisah," tanya Sheila khawatir.
Soraya menggigit bibirnya. Ia ingin menceritakan semuanya, tapi ia juga takut membuat ibunya semakin tertekan.
"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya akhirnya.
Namun, malam itu Soraya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar. Haruskah ia menerima tawaran itu demi menyelamatkan ibunya? Atau haruskah ia mencari jalan lain, meskipun ia tidak tahu apa itu?
Dalam hatinya, ia tahu tiga hari ke depan akan menjadi hari-hari terberat dalam hidupnya.
Keesokan paginya, Soraya duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Ia menatap kosong ke luar jendela, memperhatikan pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin. Suara langkah kaki Sheila mendekat membawanya kembali ke kenyataan.
"Soraya, kau yakin tidak ada apa-apa? Kau terlihat tidak seperti biasanya,
" Sheila bertanya lembut sambil duduk di seberangnya.
Soraya menarik napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya terus menyembunyikan ini dari ibunya. Sheila adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, dan ia selalu menjadi tempat Soraya mencari kekuatan.
"Aku dapat tawaran pekerjaan, Bu," katanya pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
Sheila tersenyum tipis.
"Itu kabar baik, bukan? Tapi kenapa kau terlihat bingung?"
Soraya menunduk, memainkan ujung lengan bajunya.
"Karena tawaran ini datang dengan harga yang sangat besar. Kalau aku menerimanya, aku mungkin harus meninggalkan semua ini... meninggalkan Ibu."
Sheila terdiam. Soraya tidak pernah bisa membacanya saat ia seperti ini. Akhirnya, Sheila menjawab,
"Soraya, kau tidak perlu memutuskan sekarang. Tapi apa pun keputusanmu nanti, ingatlah bahwa hidupmu adalah milikmu. Jangan mengambil keputusan hanya karena merasa bertanggung jawab padaku. Aku sudah cukup kuat untuk menghadapi apa pun, selama kau bahagia."
Soraya menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. Ia ingin percaya kata-kata itu, tapi hatinya masih dipenuhi keraguan. Bagaimana bisa ia memikirkan kebahagiaannya sendiri saat ibunya sudah begitu banyak berkorban untuknya?
Hari kedua berlalu dengan Soraya yang semakin tenggelam dalam pikirannya. Ia mencoba mencari saran dari teman-temannya, tetapi mereka semua mengatakan hal yang sama:
"Ikuti hatimu."
Namun, hatinya sendiri terasa seperti medan perang. Soraya tahu keputusan ini lebih dari sekadar tentang dirinya atau ibunya—ini tentang masa depan mereka berdua.
Saat malam ketiga tiba, ia akhirnya duduk di depan komputer dengan map tawaran pekerjaan itu di tangannya. Ia membuka dokumen tersebut, membaca kembali setiap detailnya, mencoba menemukan alasan yang jelas untuk menerima atau menolak.
Di sisi lain ruangan, Sheila memperhatikan putrinya dengan cemas. Meski ia tidak ingin menekan Soraya, ia tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah.
"Jika kau butuh bicara, aku ada di sini," kata Sheila akhirnya.
Soraya berbalik dan menatap ibunya. Kali ini, ia merasa siap untuk berkata jujur.
"Bu, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tawaran ini... ini bisa mengubah hidup kita. Tapi aku takut kehilangan waktu bersama Ibu."
Sheila berdiri dan menghampiri putrinya, memeluknya erat.
"Soraya, kau tidak akan pernah kehilangan aku, apa pun yang terjadi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri."
Dengan air mata yang mengalir perlahan, Soraya akhirnya mengangguk. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Keesokan paginya, ia berdiri di depan kantor dengan kepala tegak. Soraya memasuki ruangan itu dengan langkah pasti. Ketika Ray menatapnya, ia berkata dengan tegas,
"Saya sudah membuat keputusan."
Ray mengangkat alis, memasang ekspresi penasaran. Ia melipat tangannya di depan dada, menunggu Soraya melanjutkan.
"Saya akan menerima tawaran ini," ucap Soraya akhirnya.
"Tapi saya punya beberapa syarat."
Ray tersenyum kecil, seperti sudah menduga.
"Tentu saja. Mari kita dengar syarat Anda."
Soraya menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
"Saya ingin kontrak ini memastikan saya bisa mendapatkan waktu untuk keluarga, terutama untuk merawat ibu saya jika ia membutuhkannya. Dan saya ingin jaminan bahwa posisi ini tidak akan menghalangi saya untuk tetap menjaga hubungan pribadi saya dengan orang-orang terdekat."
Ray terdiam sejenak, mempelajari wajah Soraya. Lalu ia mengangguk.
"Kami bisa menyusun sesuatu untuk itu. Saya menghargai kejujuran Anda, Soraya. Tapi Anda harus tahu, tanggung jawab pekerjaan ini tidak ringan. Anda siap untuk itu?"
Soraya mengangguk, meski hatinya berdegup kencang.
"Saya siap. Jika ini untuk masa depan yang lebih baik, saya akan melakukannya."
Ray tersenyum puas.
"Baik. Selamat datang di tim, Soraya. Kita akan mulai persiapan Anda segera."
Soraya meninggalkan kantor itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega karena akhirnya ia mengambil keputusan, tetapi juga ada kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat ia melangkah keluar, angin dingin menyapanya lagi, tetapi kali ini ia merasakan kekuatan baru dalam dirinya.
Ketika sampai di rumah, Sheila sudah menunggunya di ruang tamu.
"Bagaimana, Nak?" tanya ibunya dengan lembut.
Soraya duduk di sebelah Sheila dan menggenggam tangan ibunya.
"Aku menerima tawaran itu, Bu. Tapi aku memastikan bahwa aku tetap bisa ada untuk Ibu, apa pun yang terjadi."
Sheila tersenyum tipis, matanya berbinar penuh rasa bangga.
"Kau sudah mengambil keputusan yang besar, Soraya. Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik. Dan kau harus tahu, aku selalu ada di sini untuk mendukungmu."
Hari-hari berikutnya, Soraya mulai menyesuaikan diri dengan rutinitas barunya. Pekerjaan itu memang menuntut banyak tenaga dan waktu, tetapi ia belajar untuk menemukan keseimbangan. Setiap kali ia merasa lelah atau ragu, ia mengingat tujuan awalnya: memberikan kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan ibunya.
Sheila, di sisi lain, merasa bangga melihat putrinya tumbuh menjadi wanita yang kuat dan mandiri. Meski ada saat-saat sepi ketika Soraya tidak bisa selalu ada di rumah, Sheila tahu bahwa cinta dan pengorbanan mereka satu sama lain akan selalu menguatkan hubungan mereka.
Di tengah kesibukannya, Soraya sering menemukan waktu untuk pulang lebih awal, sekadar duduk bersama Sheila di ruang tamu, berbincang atau menikmati teh hangat. Ia belajar bahwa meskipun hidup membawa perubahan, keluarga tetaplah prioritas yang tak tergantikan. Tiga hari itu mengubah segalanya, tetapi juga membawa mereka lebih dekat dari sebelumnya.
Kini Soraya baru saja menyelesaikan pekerjaan, saat hendak beberes Soraya dikejutkan dengan surat Ray yang sedikit tegas dari biasanya.
"Nona Soraya" panggil Ray.
Soraya langsung menoleh kepadanya, dengan raut wajah datar Soraya pun menundukkan wajahnya sepintas.
"Ada apa pak? " tanya Soraya.
"Sebelum kau pulang, tuan Arman ingin bicara dengan mu! " ucap Ray.
Soraya mengangguk pelan tanpa menatap wajah Ray. Ia merasa ada sesuatu yang janggal dari nada bicara pria itu. Tanpa banyak bicara, ia membereskan meja kerjanya dan melangkah keluar ruangan menuju kantor Tuan Arman.
Langkah kakinya terasa berat, seolah ada firasat buruk yang menantinya. Tuan Arman adalah sosok yang jarang memanggil bawahannya secara langsung kecuali untuk hal penting.
Setibanya di depan pintu kayu besar itu, Soraya mengetuknya pelan.
"Masuk,"
Terdengar suara tegas dari dalam.
Soraya membuka pintu perlahan dan menemukan Tuan Arman duduk di belakang meja kerjanya yang besar, dengan berkas-berkas tertata rapi di atasnya. Ekspresinya serius, namun tidak mengesankan amarah.
"Silakan duduk, Nona Soraya," katanya,
Arman mempersilakan Soraya untuk duduk di kursi di hadapannya.
Soraya menurut, tangannya meremas erat ujung rok kerjanya di bawah meja.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Soraya hati-hati.
Tuan Arman menghela napas sejenak sebelum akhirnya berkata,
"Saya telah membaca laporanmu, dan hasil kerja kerasmu selama ini sangat memuaskan. Tapi ada hal lain yang ingin saya bicarakan."
Soraya mengernyitkan dahi, bingung dengan arah pembicaraan ini.
"Hal lain, Tuan?"
Tuan Arman menatapnya dengan tajam.Tak berapa lama Ray mengambil sebuah map dan menyodorkan nya di hadapan Soraya. Soraya menjadi gugup.
"Anda bisa membacanya, nona Soraya." ucap Ray.
Perlahan Soraya mengambil map itu, kedua matanya terbelalak seketika melihat isi dari map tersebut.
"Kontrak Nikah?"
Soraya menatap tajam pada Arman, hal itu membuat Soraya panik dan gugup.
"Apa maksudnya ini, Tuan?Nikah kontrak? Bagaimana mungkin? Apa yang ada di dalam pikiran anda?".
Soraya tanpa memikirkan ucapannya, ia terus saja mengeluarkan segala unek-unek yang mengganjal sedari tadi. Sementara Ray maju untuk menjelaskannya. Ray memang sekertaris Arman yang selalu mengurus urusan kantor dan urusan pribadinya.
Ray menghela napas panjang sebelum membuka mulutnya. Ia tahu ini bukan situasi yang mudah, dan Soraya terlihat sangat terpukul.
"Nona Soraya,"
Ray memulai dengan suara tenang,
"Tolong dengarkan dulu penjelasannya sebelum membuat kesimpulan. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan."
Soraya melipat tangan di depan dada, wajahnya memerah karena emosi.
"Apa yang perlu dijelaskan? Kontrak ini jelas menyebutkan pernikahan sementara, dengan syarat dan ketentuan yang mengerikan. Ini penghinaan bagi saya, Tuan Arman!"
Arman, yang sejak tadi hanya diam sambil mengamati Soraya, akhirnya membuka suara. Nada suaranya rendah tapi tegas.
"Soraya, aku paham ini mengejutkan bagimu, tapi aku punya alasan."
"Alasan? Alasan apa yang bisa membenarkan ini?" Soraya membalas tajam.
Arman menatapnya, mencoba menahan rasa bersalah yang menggerogoti.
"Aku membutuhkanmu untuk berpura-pura menjadi istriku selama beberapa bulan ke depan. Ini demi keluarga."
Soraya tertegun mendengar alasan itu.
"Keluarga? Keluarga siapa yang membutuhkan sandiwara seperti ini?"
Ray kembali berbicara, mencoba menengahi ketegangan.
"Nona Soraya, ini berkaitan dengan perusahaan keluarga Tuan Arman. Ada tekanan dari dewan direksi dan keluarganya agar dia segera menikah. Jika tidak, posisinya di perusahaan bisa terancam."
Soraya menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Jadi, saya hanya alat untuk menyelamatkan posisi Anda? Tidak ada pilihan lain selain ini?"
Arman menatapnya lurus.
"Aku tahu ini terdengar buruk, tapi ini adalah solusi terbaik yang bisa kupikirkan. Kamu akan dibayar, lebih dari cukup untuk membantumu memulai hidup baru setelah kontrak selesai."
Mata Soraya berkaca-kaca. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak, tapi bayangan masalah keuangannya dan keluarganya muncul di benaknya. Ia ingin menolak, tapi keadaannya tidak memberinya banyak pilihan.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," katanya akhirnya, suaranya bergetar.
Tanpa menunggu jawaban, Soraya keluar dari ruangan itu, meninggalkan Arman dan Ray yang saling bertukar pandang dengan ekspresi penuh kecemasan.
Soraya berjalan dengan langkah tergesa-gesa, menahan air mata yang hampir tumpah. Perasaan marah, kecewa, dan tak berdaya berkecamuk di hatinya.
Setelah keluar dari kantor Arman, ia berhenti di lorong yang sepi, bersandar pada dinding dingin dan mengambil napas dalam-dalam. Pikirannya berputar. Tawaran itu menghantamnya seperti badai, mengguncang segalanya.
Di sisi lain, Arman tetap duduk di kursinya. Dia menatap map di meja dengan pandangan kosong, pikirannya jauh melayang.
"Apakah menurutmu dia akan menerima?" tanya Arman pada Ray,
Tanpa mengalihkan pandangan.Ray menghela napas pelan.
"Sulit untuk dikatakan, Tuan. Nona Soraya tampaknya merasa terpojok, tapi mungkin dia akan mempertimbangkan jika melihat keadaan hidupnya."
Arman mengepalkan tangan, merasa benci pada dirinya sendiri. Dia tahu ini bukan hal yang mudah bagi siapa pun, terutama bagi Soraya. Tapi tekanan dari keluarganya, dewan direksi, dan waktu yang semakin mendesak membuatnya merasa tak punya pilihan lain.---
Sementara itu, Soraya sampai di rumahnya. Ia langsung duduk di sofa dengan wajah lesu.Ia mengusap wajah, mencoba mengusir rasa lelah yang menggerogoti.
Dalam hatinya, ia bertanya-tanya,
"Apakah aku benar-benar harus melakukan ini? Menjual harga diriku untuk membantu keluarga? Apa aku punya pilihan lain?"
Tak berselang lama, Sheila datang dan melihat Soraya tampak memikirkan sesuatu, Hal itu sangat membuat Sheila cemas.
"Soraya, kau sudah pulang? " tanya Sheila.
Soraya terhenyak, ia langsung memasang senyuman di bibirnya begitu melihat ibunya.
Sheila duduk di sebelah Soraya, menatap putrinya dengan penuh perhatian.
"Kau terlihat lelah sekali. Apa yang terjadi di kantor tadi?" tanya Sheila,
Suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.
Soraya terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus menceritakan semuanya. Namun, melihat wajah ibunya yang penuh kasih, ia merasa tak mampu menyembunyikan apa pun.
"Ibu...,"
Soraya menarik napas panjang,
"Arman memberikan tawaran yang... aku sendiri sulit untuk menerimanya."
Sheila mengernyit, bingung dengan nada suara putrinya.
"Tawaran apa? Kenapa kau terdengar begitu berat membicarakannya?"
Soraya menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. Ia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.
"Dia ingin aku menikah dengannya... untuk sementara waktu. Itu semua hanya demi keuntungan bisnis keluarganya."
Sheila tertegun, mulutnya sedikit terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara,
"Menikah? Dengan Arman? Tapi... itu bukan hal kecil, Soraya. Apa alasannya sampai menawarkan hal seperti itu?"
Soraya menghela napas, rasa frustrasi dan kemarahan membaur dalam dirinya.
"Dia bilang ini untuk mengamankan posisi dia di perusahaan, untuk membuktikan kepada dewan direksi bahwa dia memiliki kehidupan yang stabil. Dan dia tahu... dia tahu kita sedang kesulitan keuangan."
Suaranya pecah di akhir kalimat, mengungkapkan rasa sakit yang ia coba tahan.
Sheila menggenggam tangan putrinya erat-erat.
"Soraya... Ibu tahu kita sedang menghadapi banyak masalah, tapi menikah hanya untuk keuntungan bisnis? Itu bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja. Kau tidak harus mengorbankan dirimu demi kita."
Air mata yang Soraya tahan akhirnya jatuh.
"Tapi kalau aku tidak melakukannya, Ibu. Semua beban ini sudah terlalu berat untukku."
Sheila menarik Soraya ke dalam pelukannya, membiarkannya menangis di bahunya.
"Kita akan cari jalan lain, Nak. Ibu tidak ingin kau merasa terpaksa. Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dengan keputusan yang hanya membuatmu menderita."
Namun, di dalam hati Sheila sendiri, ada kekhawatiran yang ia sembunyikan. Ia tahu situasi mereka sangat genting, dan tawaran itu, meski terdengar gila, mungkin menjadi satu-satunya jalan keluar.---
Di sisi lain, Arman masih termenung di kantornya. Ray berdiri di sudut ruangan, menunggu instruksi lebih lanjut.
"Kalau dia menolak... apa rencanamu?"
Ray akhirnya memberanikan diri bertanya.
Arman menghela napas berat.
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu... aku tidak bisa kehilangan perusahaan ini.Dan aku akan menekannya jika Soraya terus menolak."
Ray mengangkat alis, terkejut dengan pengakuan itu.
"Arman... apa maksudmu? Kau ingin menekannya dengan cara apa? " ucap Ray bingung.
Arman menatap Ray, matanya menunjukkan keraguan yang jarang terlihat.
"Aku susah membantunya melunasi hutangnya,bukan?..Dan aku tahu betapa pentingnya uang itu bagi keluarganya. Aku bisa menggunakan itu untuk... memaksa dia setuju."
Suara Arman melemah di akhir kalimat, seolah-olah ia sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan. Dia memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam Ray yang mulai memandangnya dengan campuran rasa kecewa dan waspada.
"Arman," ujar Ray dengan nada serius,
"Kau benar-benar yakin ingin menggunakan situasi ini untuk keuntunganmu? Ini bukan hanya soal bisnis lagi. Kau sedang bermain dengan hidup seseorang."
Arman mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kau pikir aku tidak tahu itu, Ray? Aku sudah mempertimbangkan semua ini. Tapi jika aku kehilangan perusahaan ini, keluargaku akan hancur. Kau tahu bagaimana ayahku—dia tidak akan menerima kegagalan."
Ray terdiam sejenak, lalu mendekat ke meja Arman.
"Kalau begitu, tanyakan pada dirimu satu hal: Apakah kau benar-benar hanya melakukan ini untuk perusahaan? Atau ada alasan lain mengapa kau memilih Soraya?"
Arman menatap Ray tajam, tetapi tak mengucapkan sepatah kata pun. Pertanyaan itu menggema di kepalanya, menambah keruwetan yang sudah tak terpecahkan.---
Di rumah, setelah tangisnya reda, Soraya duduk termenung di ruang tamu. Ia memandang ke arah meja kecil di sudut ruangan, tempat beberapa tagihan masih tertumpuk. Kehidupan keluarganya yang serba sulit terus terbayang di pikirannya.
Sheila keluar dari dapur dengan secangkir teh, meletakkannya di depan Soraya.
"Minumlah, ini akan membantumu tenang," katanya lembut.
Soraya memandang ibunya dengan tatapan penuh rasa bersalah.
"Ibu... aku tahu ini tidak mudah bagi kita. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa terus mengandalkan mu. Semua ini terasa begitu berat."
Sheila tersenyum tipis, mencoba memberikan kekuatan meskipun hatinya sendiri rapuh.
"Soraya, kau sudah melakukan banyak hal untuk keluarga ini. Lebih dari yang seharusnya. Jangan merasa harus menanggung semuanya sendiri."
"Tapi apa pilihan yang kita punya, Bu? Arman menawarkan uang yang cukup untuk melunasi semua utang kita. Dan aku tahu, dia bukan pria jahat. Hanya saja... menikah tanpa cinta? Itu melawan semua yang aku yakini."
Sheila menggenggam tangan Soraya, matanya berkaca-kaca.
"Nak, ibu tidak ingin kau menjalani hidup seperti itu. Tapi jika ini keputusan yang kau pilih, pastikan kau melakukannya dengan kepala tegak. Jangan biarkan siapa pun, termasuk Arman, membuatmu merasa lebih kecil dari dirimu yang sebenarnya."
Kata-kata itu membuat hati Soraya sedikit tenang, tetapi konflik di dalam dirinya belum juga surut. Ia tahu, apapun keputusan yang ia ambil, tidak akan ada jalan kembali.---
Keesokan harinya, Soraya berdiri di depan kantor Arman. Tangannya menggenggam erat tas kecilnya, dan wajahnya menunjukkan campuran tekad dan keraguan. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia melangkah masuk.
Arman, yang tengah memeriksa dokumen di mejanya, terkejut melihat Soraya muncul tanpa pemberitahuan. Ia segera berdiri.
"Soraya..."
Arman menyebutnya hampir nyaris tak terdengar, mencoba membaca ekspresi wanita itu.
Soraya menatapnya dengan mata tajam.
"Aku di sini bukan untuk menerima atau menolak tawaranmu, Tuan. Aku di sini untuk mengajukan syaratku sendiri."
Arman tertegun, tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu.
"Syarat?" tanyanya, penasaran.
Soraya mengangguk.
"Jika aku menerima pernikahan ini, kau harus berjanji—dalam perjanjian hukum—bahwa setelah kontrak ini selesai, aku bebas tanpa ada konsekuensi apa pun. Dan satu hal lagi...aku tak ingin kau menyentuhku apapun yang terjadi."
Arman menatapnya dalam-dalam. Di balik keberanian Soraya, ia melihat seorang wanita yang tengah berjuang untuk mempertahankan martabat dan keluarganya. Sesaat, ia merasa kagum. Tetapi ia juga tahu, syarat itu tidak mudah untuk dipenuhi.
"Baik,"
Jawab Arman akhirnya, dengan suara yang tenang namun tegas.
"Aku akan memastikan itu tertulis dengan jelas. Tapi Soraya, kau harus tahu... ini bukan hanya tentang pernikahan kontrak. Kita akan memasuki hidup satu sama lain, dan itu akan lebih rumit dari yang kau kira."
Soraya tersenyum tipis, meski matanya masih dipenuhi keraguan.
"Aku sudah tahu, Tuan. Itu sebabnya aku mengajukan syarat agar kau tak melewati batas."
Percakapan itu menjadi awal dari perjanjian yang akan mengubah hidup mereka berdua—dan membawa mereka pada dilema yang jauh lebih besar daripada sekadar bisnis atau uang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!