NovelToon NovelToon

Nekat Ngelamar Gus Tamvan

desakan dari mamah

"Alya, mamah nggak mau tahu lagi! Kamu harus ambil keputusan sekarang. Udah banyak laki-laki yang ngelamar kamu, tapi kamu yang nggak pernah mau. Sekarang mamah kasih kamu pilihan, anaknya teman mamah—dia kaya, ganteng, hidupmu pasti bakal terjamin kalau sama dia," tegas Maryam di ujung telepon dengan nada yang berat namun terpaksa.

Alya menggigit bibirnya, menahan amarah yang hampir pecah. "Ya Allah, Mah... Alya masih sekolah! Alya belum kepikiran nikah, Mah. Alya tahu kondisi kita sekarang, tapi Alya nggak mau dibebani terus soal ini. Alya nyaman, kok, sama hidup kita yang sederhana," balas Alya, suaranya mulai bergetar.

Maryam menarik napas panjang, suaranya lebih lembut namun tetap memaksa. "Nak, mamah nggak jahat ke kamu. Tapi adik-adikmu juga butuh biaya sekolah. Kalau kamu nggak nikah, gimana mamah bisa ngatur semuanya? Sekarang ini mamah cuma berharap kamu bisa bantu keluarga."

Alya terdiam sejenak. Rasanya seperti ditikam dari dua arah. Ibunya melanjutkan, "Kalau Alya nggak mau nikah sama pilihan mamah, ya sudah. Cari sendiri lelaki yang lebih baik. Yang lebih kaya, lebih ganteng, dan lebih berilmu seperti yang kamu bilang!"

Alya mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan diri. "Mah, Alya mau berangkat sekolah. Assalamu’alaikum." Tanpa menunggu balasan, dia memutus telepon, dadanya berdebar keras. Setiap kali mamah menelepon, pembicaraan selalu berakhir dengan pembahasan pernikahan.

***

Di Tengah Lamunan Alya

“Alya! Alya!” Suara seorang perempuan terdengar memanggil Alya, memecah keheningan di sepanjang lorong pesantren. Nafasnya terengah-engah, menunjukkan betapa ia sudah berlari mengejar sahabatnya itu.

“Naila?” Alya menoleh dengan tatapan bingung, seolah baru tersadar dari lamunannya. “Kenapa kamu ngos-ngosan, Nai? Santai aja dong, ngapain buru-buru?”

Naila menatap Alya dengan mata kesal sekaligus cemas. “Ya Allah, Alya! Aku capek tau ngejar kamu dari tadi. Kamu ngelamun apa sih? Aku panggil-panggil juga nggak nyadar! Encok nih pinggang.”

Alya tersenyum tipis, mencoba meredakan kecemasan sahabatnya. “Afwan, Nai. Aku nggak dengar tadi, maaf ya.”

Naila menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang disembunyikan Alya. “Iya aku maafin, tapi jawab dulu. Apa yang kamu pikirin, Ay? Jangan-jangan ada masalah?”

Alya hanya menggeleng, menghindari tatapan Naila. “Nggak ada apa-apa kok. Yuk, kita masuk kelas. Udah sampai nih.”

Namun, Naila tak mudah menyerah. “Yaelah, Ay! Kamu mengalihkan pembicaraan aja. Aku tahu ada sesuatu!”

Sebelum Alya sempat menjawab, bel tanda masuk berbunyi. Ia tersenyum kecil, seolah menyelamatkan diri. “Tuh kan, Ustadz nya udah datang. Yuk!”

 

Di Dalam Kelas

Alya berusaha fokus, namun pikirannya tetap melayang entah ke mana. Hingga tiba-tiba, suara Ustadz Khalid memanggil namanya.

“Alya, bagaimana pendapatmu tentang masalah fiqih ini?”

Semua mata tertuju padanya. Seketika, Alya mengatur nafas, berusaha tenang. Dengan bekal ilmu dari pondok pesantrennya dulu, ia menjawab dengan lancar dan penuh keyakinan.

Ustadz Khalid tersenyum takjub. “Masya Allah, jawaban yang sangat baik, Alya. Antum memang luar biasa.”

Wajah Alya terlihat biasa saja, sementara teman-temannya berbisik-bisik kagum.

 

Istirahat Tiba

“Suit… suit… Cieee, Alya! Dapat pujian dari Ustadz Khalid!” Novi menggoda Alya dengan ekspresi usil.

Alya memutar bola matanya. “Kenapa sih, Nov? Biasa aja kali.”

“Biasa gimana? Ustadz Khalid loh, Ay! Ustadz tampan idaman sejuta santriwati. Kamu nggak nyadar apa?!”

Naila ikut menimpali. “Ay, dia tuh nggak cuma muji, tapi tatapannya tadi kayak... spesial gitu.”

Alya menghela nafas panjang, mencoba menahan kesal. “Kalian lebay banget. Beliau cuma menghargai jawaban aku, itu wajar. Kalau kalian yang jawab, pasti kalian juga dipuji. Udah, jangan bahas ini lagi!”

Melihat Alya mulai jengkel, Naila segera mengganti topik pembicaraan.

Ia tak ingin membuat sahabatnya merasa tidak nyaman. “Oke, Ay, oke. Aku bercanda kok. Yuk, makan. Aku traktir mie ayam favorit kamu!”

Alya tersenyum tipis, meski hatinya masih sedikit gelisah.

***

Alya, gadis dengan tatapan dingin dan sikap acuh, bukan tanpa alasan bersikap demikian kepada laki-laki. Trauma mendalam yang pernah ia alami membuatnya membangun dinding tinggi, menutup rapat hatinya dari kehadiran cinta yang dianggapnya hanya ilusi belaka. Ia belajar bahwa tidak semua orang, terutama lelaki, bisa dipercaya.

Namun, di balik sikap dinginnya, Alya memiliki sisi jahil yang hanya diketahui segelintir orang.

......................

Hari itu, sepulang sekolah, tubuh Alya terasa lelah. Ia merebahkan diri di atas sofa sambil mengeluh pelan, “Ya Rabb... Capeknya...” Tangannya bergerak memijat lehernya yang pegal, sementara matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

Setelah beberapa menit beristirahat, Alya mengumpulkan tenaganya. Ia berdiri menuju kamar mandi untuk berwudlu.

Kesegaran air wudhu yang membasuh wajahnya terasa menenangkan. Selepas itu, ia duduk di sudut kamarnya, mempersiapkan diri untuk menghadap Tuhannya.

Suara pelan bacaan wirid mulai memenuhi ruangan. Ratib Haddad dan Ratib Al-Attas menjadi rutinitas yang tak pernah ia tinggalkan sebelum maghrib.

Meski dunia seringkali terasa keras dan penuh tipu daya, Alya selalu menemukan ketenangan dalam sujudnya, menyerahkan segala resah kepada Sang Pemilik Jiwa.

***

Tantangan 30 Hari Alya

Pagi itu, sinar mentari menembus tirai kamar Alya, menghadirkan suasana hangat dan damai. Namun, suasana damai itu terganggu oleh suara rengekan Nila, teman sekost Alya.

"Ayang, bangun dong... Telat terus sholat subuhnya, ih!" rengek Nila kepada kekasihnya melalui ponsel.

Alya yang mendengar percakapan itu hanya memutar bola matanya sambil menahan tawa kecil. “Ya Rabb... Penghancur suasana banget nih orang,” gumam Alya, merasa geli sekaligus tidak betah berada di kamar.

Ia memilih keluar, menghirup udara segar pagi. Dengan mengenakan gamisnya, Alya berlari-lari kecil di halaman depan kost.

Tiba-tiba, suara ponselnya berdering. Alya segera merogoh sakunya dan melihat nama "Mama" tertera di layar. Ia mengernyit, merasa heran. Biasanya ibunya terlalu sibuk di pagi hari untuk mengurus adiknya, Humaira.

“Assalamu’alaikum, Mah. Tumben pagi-pagi nelpon Aya?” sapanya.

“Wa’alaikumussalam. Gimana kabarnya Aya hari ini? Sehat?” jawab Maryam, ibunda Alya, dengan nada yang tak biasa.

Alya semakin bingung. “Tumben, Mah, nanyain kabar? Ada apa nih?” tanyanya langsung, tidak ingin bertele-tele.

Setelah jeda beberapa detik, Maryam mulai berbicara dengan suara pelan namun penuh tekanan. “Nak, sudah dipikirkan penawaran Mama yang kemarin?”

Alya terdiam. Pertanyaan itu langsung menghantam hatinya. “Mah, Aya masih sekolah...” jawab Alya mencoba menjelaskan, tetapi ibunya segera memotong.

“Nak, kamu harus ngerti keadaan keluarga kita sekarang. Adik-adikmu juga butuh biaya sekolah. Mama nggak punya pilihan lain selain ini. Kamu harus terima perjodohan dengan anaknya teman Mama. Kalau nggak mau, kamu harus cari calon yang lebih baik dalam waktu 30 hari!”

“Tapi, Mah...” Alya mencoba membela diri, namun lagi-lagi ibunya bersikeras.

“Nggak ada tapi! Kalau lebih dari 30 hari kamu belum dapat calon, Mama akan menerima perjodohan ini tanpa persetujuan kamu. Titik!” tegas Maryam, nadanya tegas namun sarat emosi.

Alya menarik napas panjang, menahan rasa kesal yang mulai menyeruak. “Baiklah, kalau itu maunya Mama. Aya akan cari calon sendiri. Kaya, mapan, terhormat itu penting, tapi agama lebih utama. Aya nggak mau menikah dengan orang yang nggak bisa memimpin Aya ke jalan yang benar.”

Maryam terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau begitu, mulai dari sekarang, kamu punya waktu 30 hari. Kalau kamu nggak bisa, jangan salahkan Mama. Mama mau mandi dulu. Assalamu’alaikum.”

Telepon terputus, meninggalkan Alya dalam keheningan. Ia berdiri di bawah sinar matahari pagi, hatinya campur aduk antara kesal, bingung, dan tertantang.

“Baik, Mah. Aya terima tantangan ini. Bismillah, Aya yakin bisa menemukan seseorang yang lebih baik,” gumam Alya pada dirinya sendiri. Dalam hatinya, ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia mampu membuat pilihan hidupnya sendiri.

***

Keputusan itu terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul Alya. Sebagai seorang gadis yang selama ini hanya fokus pada pendidikan dan impiannya, pikiran tentang pernikahan tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya.

Bahkan, Alya tidak pernah sekalipun berpacaran. Baginya, cinta adalah sesuatu yang abstrak, sementara masa depannya adalah hal yang nyata dan membutuhkan perjuangan keras.

Maryam, ibunya, sebenarnya memahami hal itu.

Maryam sadar bahwa ia sedang memaksa Alya untuk menerima pernikahan di usia muda, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip anaknya.

Tetapi sebagai seorang ibu, ia merasa tidak punya pilihan lain. Harapannya hanya satu: melalui pernikahan ini, Alya dapat meringankan beban keluarga sekaligus memiliki kehidupan yang lebih stabil bersama pasangan yang mapan.

Dalam diam, Alya menenangkan hatinya. "Jika memang ini tantangan yang harus aku hadapi, maka aku akan melakukannya dengan caraku. Aku tidak akan menyerah begitu saja pada keputusan yang hanya mementingkan dunia, tanpa mempertimbangkan akhirat," gumamnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

hati yang gelisah

Di teras sekolah, Naila memandang sahabatnya, Alya, yang sedari tadi mondar-mandir tanpa henti. Kegelisahan terlihat jelas di wajah Alya. Ia tampak seperti orang yang kehilangan arah.

Rasa khawatir mulai menyelimuti hati Naila, membuatnya berani untuk menghampiri Alya.

"Al... Ada apa, Al? Cerita dong, jangan panik sendiri. Aku di sini buat kamu. Ayo, cerita," ucap Naila lembut, mencoba menenangkan sahabatnya.

Ia meraih tangan Alya, menariknya ke bangku panjang yang terletak di sudut teras. Namun, Alya tetap diam. Suaranya terbata-bata ketika akhirnya menjawab, "Nggak... Nggak ada apa-apa, Nai." Sebuah senyum getir menghiasi wajahnya, namun jelas sekali senyum itu hanyalah upaya menutupi kegugupannya.

Naila menghela napas, tahu bahwa Alya sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat mendesak lebih jauh, bel sekolah berbunyi, menandakan waktu pulang telah tiba.

Alya bangkit dari tempat duduknya, meraih tas dan kitab-kitabnya. "Ayo kita pulang!" katanya dengan nada datar.

Naila terpaku. Perubahan sikap Alya yang tiba-tiba membuatnya bingung. Dari yang tadinya gelisah, kini Alya tampak seperti tidak terjadi apa-apa. "Sakit kamu, Al?" tanya Naila sambil meletakkan tangan di kening Alya yang terasa sedikit hangat.

Alya menepis tangan Naila dengan lembut. "Siapa yang sakit? Yuk, pulang aja."

Naila hanya bisa mengikuti langkah Alya dengan segudang pertanyaan di benaknya. Ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Alya, sesuatu yang membuatnya panik dan gelisah.

Namun, seperti biasa, Alya memilih memendam semuanya sendiri. "Kapan sih kamu mau jujur, Al?" gumam Naila pelan, sambil terus berjalan di belakang sahabatnya.

* * *

Ting...

Notifikasi ponsel Alya berbunyi, memecah keheningan di kamarnya. Dengan sedikit malas, ia meraih ponselnya dan melihat layar. Pesan itu berasal dari Maryam, ibunya.

Maryam: Alya! Kamu masih ingat kan dengan kesepakatan kita?

Alya menghela napas panjang sebelum mengetik balasan singkat.

Alya: Iya, Mah... Masih ingat kok.

Balasan Maryam datang seketika, membuat hati Alya makin gelisah.

Maryam: Udah ketemu yang cocok belum? Ingat, besok udah hari ke-28 kamu nyari!!!

Alya: Iya, iya, Mah... Tapi nggak gampang, Mah. Cari calon yang benar-benar serius dan sefrekuensi itu butuh waktu.

Maryam: Pokoknya Mamah nggak mau tahu ya! Waktunya tinggal 2 hari. Ingat itu!

Pesan terakhir dari Maryam dibiarkan Alya tanpa balasan. Ia hanya memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Dalam hati, ia bertanya-tanya, bagaimana caranya menghadapi situasi yang semakin menghimpit ini?

Selama 27 hari terakhir, Alya tidak pernah benar-benar mencari calon seperti yang diinginkan ibunya.

Ia terlalu sibuk dengan belajar, beribadah, dan mencoba mengalihkan pikirannya dari beban berat ini. Tetapi sekarang, waktu hampir habis, dan Alya tahu ia tak bisa lagi menghindar.

"Ouhh tidak... Ya Allah... Apa yang harus hamba-Mu ini lakukan?" serunya lirih sambil memegang kepalanya.

Alya bangkit dari tempat duduknya, mondar-mandir di dalam kamar, mencoba mencari solusi. Namun, semakin ia berpikir, semakin frustasi ia jadinya.

"Kenapa hidupku jadi seperti ini? Kenapa aku harus memilih jalan yang aku sendiri tidak yakin?" gumamnya, penuh keputusasaan. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berharap setidaknya itu bisa meredakan sedikit beban di dadanya.

Dalam hati, Alya memohon kepada Allah, "Ya Allah, Engkau tahu hati dan pikiranku. Aku tak tahu harus bagaimana. Berikan aku petunjuk, ya Allah. Bantu aku melewati ujian ini..." Suaranya bergetar, hampir tak terdengar, namun air matanya jatuh, membawa beban hatinya ke dalam doa.

Dua hari lagi, dan Alya belum punya jawaban. Waktu terus berjalan, sementara ia semakin terhimpit oleh tekanan yang datang dari keluarga dan dirinya sendiri.

___

Di malam yang sunyi, Ia membuka ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mencari sesuatu di aplikasi TikTok. Pencariannya kali ini berbeda, lebih spesifik, lebih penuh beban. Ia menelusuri video-video tentang gus muda, mencoba menemukan sosok yang sesuai dengan kriteria calon imam idamannya. Namun, semakin lama ia menonton, semakin frustasi ia rasakan.

Para gus muda itu tampak sempurna, dengan penampilan yang mempesona dan kata-kata yang penuh hikmah.

Namun, di balik kegembiraannya melihat wajah-wajah tampan itu, hati Alya semakin sesak. "Apa mereka akan mau menikahiku?" pikirnya berulang kali, merasakannya seperti sebuah beban yang semakin menggerogoti hatinya.

Mengapa ia harus terjebak dalam pencarian ini? Mengapa ia harus memilih orang yang tidak pernah ia pilih dengan sepenuh hati? Pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya, semakin membuatnya bingung dan cemas.

Alya memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya. Namun, bayangan wajah ibunya yang penuh harapan muncul dalam ingatannya.

Ia merasa seakan-akan hidupnya diatur oleh orang lain, tanpa memberi kesempatan untuk memilih jalan yang sesuai dengan hatinya sendiri.

“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?” keluhnya dalam hati, seraya menundukkan kepala. Rasanya, semuanya begitu gelap dan sulit.

Kenapa hidupnya harus terjerat dalam perjanjian yang tidak pernah ia inginkan? Bagaimana jika ia tidak bisa memenuhi harapan ibunya? Bagaimana jika ia gagal menjadi apa yang diinginkan keluarganya?

Hatinya semakin sesak, seolah ada ribuan kata yang ingin keluar, namun tak bisa diucapkan. Ia merasa cemas, takut, dan terasing dalam kehidupannya sendiri.

“Kenapa harus begini?” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Ia memandang layar ponselnya sekali lagi, mencoba menemukan secercah harapan.

......................

Alya terpejam karena lelah nya fikiran nya..... hingga dia berfikir untuk lari dari kenyataan yg melanda.

ting....

notif handphone Alya berbunyi, menandakan pesan telah masuk.

makasih info nya

Ting...

Notifikasi ponselnya berbunyi, memecah keheningan malam itu. Dengan tangan sedikit gemetar, Alya meraih ponsel dan melihat siapa yang mengirim pesan. Ternyata, sebuah video dari Sarah, teman lama yang sudah seperti saudara baginya.

Sebuah video TikTok, yang entah mengapa, membuat Alya merasa ada yang berbeda. Ia membuka video itu, tanpa tahu kenapa rasa penasaran itu semakin mendalam.

Di layar ponselnya, tampak seorang pemuda yang begitu tenang dan berwibawa, sedang sibuk membaca buku. Wajahnya terlihat khusyuk, seolah dunia di sekitarnya tak ada artinya selain ilmu.

Alya merasa seperti ada magnet yang menarik perhatiannya pada pemuda itu. Kemudian, ia membaca beberapa komentar dari netizen yang turut mengungkapkan kekaguman mereka.

Netizen 1: "Di antara banyak gus yang ada di sosmed, saya lebih kagum pada pemuda ini. Banyak teman-temannya yang sibuk menebar pesona, tapi hanya dia yang lebih memilih untuk menuntut ilmu. Memberikan pencerahan dan haus akan belajar."

Netizen 2: "Dia satu-satunya yang selalu menundukkan pandangannya ketika berjalan di depan banyak perempuan. Itu menunjukkan kedalaman jiwa dan keimanan yang luar biasa."

Netizen 3: "Melihatnya, aku merasa malu dengan diriku sendiri. Ilmunya sudah luas, namun dia tetap terus belajar, terus berusaha menjadi lebih baik. Sementara aku, jauh tertinggal di belakang."

Alya terdiam membaca komentar-komentar itu. Hatinya bergetar, seperti ada yang mengganggu di dalam dirinya. Ada rasa kagum yang tak bisa ia ungkapkan, rasa ingin tahu yang begitu mendalam.

Tanpa pikir panjang, Alya segera menelpon Sarah, berharap bisa mengetahui lebih lanjut tentang pemuda yang membuat hatinya terkejut. Setelah beberapa detik, suara Sarah terdengar di ujung telepon, namun kali ini ada sedikit ketegangan dalam nada suaranya.

"Assalamu'alaikum, siapa ini kak?" tanya Alya kepada sarah, untuk memberikan penjelasan video tersebut.

"Itu Afnan Syabil... Gus Afnan, dia anak seorang kiyai di Bondowoso, Jawa Timur. Seorang pendakwah muda. Ganteng nggak?" jawab Sarah, sedikit menggoda.

Alya terdiam sejenak, mencerna informasi itu. "Ou... gitu..." jawabnya dengan nada datar, meskipun hatinya berdesir. Sarah yang mendengar jawaban Alya langsung kesal.

"Cuman 'ouhh gitu' doang? Yaa Allah Alya, jawab dong dengan lebih semangat! Itu Gus Afnan loh, ganteng, pintar, dan penuh wibawa!" Sarah berkata kesal, merasa Alya tak cukup antusias.

Alya tertawa kecil, seolah menghindari kerumitan perasaan yang baru muncul. "Mau kakak gimana? Maa syaa Allah Tabaroka Allah, ouhh ganteng banget... Gitu?" ledek Alya, meskipun hatinya sendiri mulai merasa sedikit malu.

"Yaudah dah... Bye," jawab Sarah, kesal karena Alya tak memberi respon yang diinginkan.

Alya tertawa terbahak-bahak, namun tertawa itu segera mereda begitu ia sadar. Ia memejamkan mata sejenak, beristighfar. “Astagfirullah... Alya... apa yang kamu lakukan?” pikirnya dengan rasa bersalah yang mengalir begitu saja.

Setelah beberapa detik, Alya terdiam, merenung. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sarah, yang sejak tadi diam, akhirnya bertanya.

"Alya... Kesambet apa kamu? Tiba-tiba diam banget, nih anak!" tanya Sarah, heran dengan perubahan sikap Alya yang tiba-tiba.

Alya tersenyum kecil. "Hehe... Kak, anuu... nggak jadi deh." Jawabnya, namun jawabannya justru membuat Sarah semakin kesal.

"Udah ah, Alya ngeselin dari tadi, aku mau tidur aja. Assalamu'alaikum... Bye." Sarah langsung menutup telepon dengan kesal, meninggalkan Alya yang tertawa kecil, namun ada perasaan kosong yang mulai menyusup.

Alya menunduk, berbisik kepada dirinya sendiri, "Hahaha, merajuk lagi dia, Sarah... Astagfirullah, Alya... Alya..." Suara hatinya penuh dengan penyesalan dan keheranan atas sikapnya sendiri.

Setelah itu, Alya kembali meraih ponselnya, matanya memusat pada layar yang menampilkan nama Gus Afnan.

Ada rasa ingin tahu yang tak bisa ia elakkan. Ia memutuskan untuk mencari lebih banyak informasi tentang pemuda itu. Ia mencari tahu tentang keluarga, latar belakang, pendidikan, dan karier Gus Afnan.

Namun semakin ia menggali, semakin ia terperangkap dalam perasaan yang tak bisa ia mengerti.

*   *   *

Afnan Syabil, atau yang biasa dipanggil Afnan, adalah seorang gus dari pesantren ternama di Jawa Timur.

Di usianya yang baru menginjak 22 tahun, ia telah menyelesaikan pendidikan di universitas bergengsi di Kairo. Tidak hanya memegang gelar sebagai gus, Afnan juga dikenal sebagai pendakwah muda yang berpengaruh, selebgram terkenal, dan kreator konten dakwah berbasis agamis.

Meski banyak perempuan terpesona pada sosoknya, Afnan memilih untuk fokus mendalami ilmu agama. Baginya, belajar adalah jalan hidup.

Ia menjadikan waktu dan tenaganya sebagai investasi untuk terus membaca dan memahami.

Buku adalah sahabat sejatinya, sumber inspirasi dan pengetahuan yang tak pernah habis digali. Prinsipnya sederhana, "Tidak ada kata berhenti dalam belajar."

“Dia... luar biasa,” batin Alya sembari membaca biografi singkat Afnan di layar ponselnya.

Mata Alya menatap layar cukup lama, sebelum akhirnya ia menutupnya dengan hembusan napas panjang. Ada perasaan bercampur di hatinya: kagum, heran, dan sedikit tidak rela. Dalam diam, ia melangkah ke arah lemari kecil di sudut kamar.

Tangannya gemetar saat menarik keluar celengan yang terbuat dari kaleng usang.

Tanpa pikir panjang, ia memecahkan celengan itu. Bunyi dentingan koin yang berserakan memenuhi kamar.

Beberapa lembar uang kertas jatuh berserakan di lantai. Alya mengumpulkan semuanya dengan hati-hati, menghitungnya perlahan. Jumlahnya hanya mencapai tiga juta rupiah.

“Cukup nggak ya buat tiket pulang pergi?".

pikir Alya sambil menghela napas berat.

Ia tahu, uang itu mungkin tak akan cukup untuk menutupi semua biaya. Tapi hatinya sudah bulat. Baginya, yang terpenting sekarang adalah membuktikan sesuatu pada mamanya: bahwa pilihannya jauh lebih baik daripada calon pilihan mamanya, yang menurutnya hanya seorang pria sok kaya tanpa jiwa.

Tanpa ragu lagi, Alya membuka aplikasi pemesanan tiket di ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, meski kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. "Apa aku keterlaluan? Egois? Apa aku bisa pulang nanti?”.Tapi ia menepis semuanya.

Baginya, ini adalah perjuangan untuk mengulur waktu, untuk membatalkan perjodohan yang tak pernah ia setujui.

Saat tiket berhasil dipesan, Alya terdiam. Ada rasa lega bercampur takut." alhamdulillah udah beres satu masalah "ucap nya menatap langit-langit kamarnya.

Dalam hati ia berbisik, "Mama harus tahu... bahwa aku nggak akan menyerah begitu saja. Aku punya hak untuk memilih masa depanku sendiri."

Langkah Alya kini semakin jelas, meski jalannya penuh ketidakpastian. Keegoisan yang ia genggam erat itu bukanlah tanpa alasan, melainkan sebuah upaya untuk mempertahankan kebebasannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!