NovelToon NovelToon

Pangeran Pertama Tidak Mau Menjadi Kaisar

Prologue

Berdiri dengan seulas senyum di wajah, anak laki-laki itu menjadi pusat perhatian semua yang ada. Berambut pirang emas dengan kulit putih bersih, mata hijau jernih dengan wajah cantik memesona—dia seperti malaikat dalam lukisan atau pahatan para seniman terkenal.

"Bisa kau ulangi apa yang barusan kau katakan?"

Pertanyaan yang ditujukan padanya oleh pria dengan status paling tinggi diantara semua yang ada, sekaligus juga ayah kandungnya, tidak membuat anak laki-laki itu gentar. Tatapan mata hijau identik dengannya yang dingin dan tajam tidaklah menakutkan.

"Saya dengan ini menyatakan mengundurkan diri dalam hak suksesi tahta Kekaisaran Agung Alexandria, Ayahanda."

Suara jernih dan indah khas anak laki-laki itu terdengar jelas dalam aula utama istana Kekaisaran Agung Alexandria. Para petinggi dan juga bangsawan Kekaisaran yang ada tidak mengerti sedikitpun dengan keputusan anak laki-laki berusia lima tahun tersebut.

Axillion Vie Astra Alexandria—Pangeran pertama Kekaisaran Agung Alexandria.

Kekaisaran Agung Alexandria adalah kekaisaran yang wilayah kekuasaannya mencakup setengah Benua Avalon. Kekaisaran yang telah berdiri lebih dari lima ratus tahun dan merupakan negara terbesar di Benua Avalon. Sesuai tradisi keluarga kekaisaran yang ada, Pangeran Pertamalah yang akan mengwarisi tahta. Saat berusia lima tahun, Pangeran Pertama kekaisaran akan diangkat menjadi Putra Mahkota dan memulai pelajaran untuk menjadi Kaisar di masa depan.

Axillion yang lahir dari istri ketiga Kaisar Alexandria ditakdirkan untuk menjadi Putra Mahkota, dan hari ini, dalam pesta ulang tahunnya yang kelima di mana dia akan diangkat menjadi Putra Mahkota—dia justru mengundurkan diri??

Suara bisik dan juga kebingungan memenuhi aula utama istana Kekaisaran Agung Alexandria. Ketidak percayaan dan kebingungan memenuhi tempat, apakah Pangeran kecil di depan mereka tahu apa yang barusan dikatakannya? Apakah dia tahu bahwa ucapannya barusan akan membuatnya kehilangan kesempatannya menjadi salah satu orang paling berkuasa di dunia ini?

Axillion yang masih tersenyum menunggu jawaban Ayah kandungnya tertawa. Menutup kedua mata hijau jernihnya, dia bisa mendengar suara bisik dan juga ketidak percayaan semua yang ada. Semua yang ada pasti sedang berpikir bahwa dirinya adalah orang paling bodoh dalam sejarah Kekaisaran Agung Alexandria, tapi jauh dalam hatinya, dia sesungguhnya ingin sekali tertawa. Apa mereka tahu apa yang akan terjadi padanya jika dia tetap menjadi Putra Mahkota???—dia harus hidup dalam segala tuntutan, peraturan, kewajiban dan bahaya. Terlebih lagi, jika dia menjadi Putra Mahkota, dia akan mati malam ini.

Bagaimana Axillion bisa tahu?—tentu saja dia tahu, karena dia kini terlahir menjadi salah satu tokoh dalam novel yang pernah dibacanya. Tokoh menyedihkan yang mati muda dan hanya namanya saja yang disebutkan dalam chapter pembukaan sebuah novel fantasy. Siapapun juga yang berada dalam posisinya sekarang pasti juga akan melakukan hal yang sama dengannya. Hidup ini indah, menyenangkan dan yang paling penting; harus bahagia dan panjang. Jadi, kenapa dia harus mati muda hanya untuk menjadi Putra Mahkota dari Kekaisaran yang akan hancur pada chapter kedua novel?

Axillion sudah memutuskan sejak awal saat dia membuka matanya di dunia ini; persetan dengan novel yang pernah dibacanya! Dia sudah diberikan kesempatan kedua dan hidup baru, jadi, dia akan menjalani dengan caranya sendiri. Menjadi Putra Mahkota dan kemudian menjadi Kaisar? Hidup bergulat dengan politik penuh bahaya dan menghadapi para rubah-rubah licik?—terima kasih, hidupnya terlalu berharga untuk itu.

Axillion hanya ingin hidup santai, nyaman, tenang, tentram dan damai. Terlebih lagi, dengan statusnya sebagai Pangeran, dia bisa hidup dalam kemewahan tanpa kekurangan, jadi—dia tidak ingin menjadi Kaisar.

...****************...

Chapter 1

A.E 865—Agresia.

Agresia adalah nama dari Ibukota Kekaisaran Agung Alexandria. Kota terbesar di benua Avalon dengan dua puluh juta penduduk dari segala jenis ras dan juga status. Dibangun dengan benteng besar nan kokoh melindunginya, kota tersebut adalah sebuah kota besar yang indah dan juga merupakan pusat perdagangan, pendidikan serta seni dunia. Ibukota Agresia juga dijuluki kota tanpa tidur, karena aktivitas kota yang tidak pernah berhenti total meski malam tiba. Namun, tidak untuk hari ini.

Siang pada petengahan musim panas ini, Ibukota Agresia sangat berbeda. Jalan yang biasanya penuh dengan para penduduk yang beraktivitas sangat sepi, pintu semua toko tertutup rapat—ketegangan memenuhi seluruh kota. Keheningan mencekam menyelubungi mereka yang memilih tinggal daripada meninggalkan Ibukota seperti sebagian besar penduduk lainnya. Mereka tahu resiko yang akan mereka hadapi, tapi mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa, sebab kebanyakan dari mereka adalah budak, pengemis, orang tua dan anak-anak terlantar.

Para bangsawan, pedagang dan mereka yang memiliki uang berpacu dengan waktu untuk meninggalkan Ibukota Agresia. Karena mereka tahu dan yakin, Ibukota Kekaisaran Agung Alexandria akan segera hancur.

Dua hari yang lalu, tiga kilometer dari timur laut Ibukota Agresia, langit biru terkoyak. Bagaikan kaca yang pecah, retakan dimensi terjadi. Retakan terbesar yang membujur tinggi dan panjang mencapai dua belas kilometer dengan kabut hitam pekat menutupinya—sebuah Gate.

Gate.

Sudah ratusan tahun lebih berlalu semenjak Gate pertama kali muncul di Benua Avalon. Langit yang terkoyak dengan kabut menutupinya, dan saat kabut menghilang, monster-monster tidak dikenal akan bermunculan meneror serta menghancurkan sekeliling. Tidak dapat diprediksi maupun dihentikan, semua penghuni Benua Avalon hanya dapat melawan dan bertarung hingga monster dalam Gate yang ada habis.

"Semua prajurit sudah siap sedia diposisi mereka, Yang Mulia," berdiri di samping Kaisar Owen Vie Astra Alexandria, sang penguasa Kekaisaran Agung Alexandria, Jenderal Philip menyampaikan laporannya. "Prediksi para mage, Gate akan terbuka tidak lama lagi."

Owen tidak memberikan reaksi sedikitpun mendengar laporan Philip. Di atas benteng yang kuat dan kokoh melindungi Ibukota Agresia, mata hijaunya menatap Gate di depan.

"Kerajaan Efrand, Kerajaan Ikland, Kerajaan Olbern, Magic Tower dan Kerajaan Suci Elvia menghubungi bahwa mereka telah mengirimkan bantuan. Tapi, mereka mungkin tidak akan mencapai tempat ini tepat waktu."

Owen tahu, kerajaan-kerajaan itu berserta Magic Tower dan Kerajaan Suci hanya beralasan. Meski mereka bisa mencapai Ibukota Agresia tepat waktu, mereka juga tidak akan membantu, sebab keruntuhan Ibukota Agresia akan memulai jatuhnya Kekaisaran Agung Alexandria.

Saat Gate di depannya terbuka, apa monster yang akan muncul? dan, apakah mereka dapat bertahan?Owen tidak tahu. Namun, yang pastinya, Ibukota Agresia tidak akan kembali lagi seperti dulu. Walau monster tidak muncul lagi, butuh berapa lama untuk Gate kosong tanpa monster yang menghiasi langit itu menghilang sepenuhnya?—Gate hanya dapat tertutup sedikit demi sedikit seiring waktu. Butuh puluhan tahun bagi sebuah Gate kosong tanpa monster menghilang sepenuhnya, dan untuk ukuran Gate yang ada di depannya, mungkin akan butuh waktu ratusan tahun. Gate kosong yang menghiasi langit di samping Ibukota Agresia akan selalu menjadi pengingat dan luka bagi mereka yang berhasil bertahan, sebab kehancuran dan kematian yang diberikan tidak akan terucapkan.

Menurunkan pandangannya, mata Owen menatap para prajurit di luar benteng. Jumlah mereka cukup banyak, yakni berjumlah dua ratus ribu. Terdiri dari knight, mage, mercenaries hingga priest. Tapi, dihadapan Gate besar tersebut, jumlah mereka tetap tidaklah sebanding.

Menutup mata, Owen kemudian bertanya setelah sekian lama. "Bagaimana dengan—Lilia?"

"Yang Mulia Ratu Lilia masih berada di istana beliau." Jawab Philip pelan. Sebagai tangan kanan Owen, dia tahu, dari keempat istrinya, Ratu Ketiga, Lilia Vie Alora Alexandria adalah wanita yang paling penting dan berharga bagi sang Kaisar.

Owen mengernyitkan dahinya mendengar jawaban yang didapatkan. Dia jelas telah menyuruh Lilia meninggalkan Ibukota Agresia bersama putra mereka saat Gate muncul. Tapi, kenapa dia masih berada dalam istana?

Philip tersenyum, dia bisa melihat jelas pertanyaan tidak terucap Owen yang biasanya selalu tenang dan tanpa ekspresi. "Beliau berpesan bahwa beliau akan menunggu anda pulang, Yang Mulia."

Dari keempat istri Owen, hanya Ratu Ketiga Lilia yang masih tinggal di istana. Permaisuri Ailara, sang istri pertama, Ratu kedua Olivia, serta Ratu keempat Elizabeth telah meninggalkan Ibukota sambil membawa anak mereka. Mereka meninggalkan Ibukota Agresia tanpa keberatan dan basa-basi sedikitpun karena tidak mau menghadapi kemungkinan terburuk yang ada, dan Philip—tidak menyukainya. Nyawa memang penting, tapi dengan status mereka sebagai istri Owen dengan pangkat Permaisuri dan Ratu, mereka seharusnya tetap berada dalam Ibukota. Ke mana perginya kehormatan dan harkat martabat mereka yang selalu setinggi langit itu?—mereka hanyalah pengecut yang munafik. Perhatian dan kasih sayang sesungguhnya Owen memang hanya layak didapatkan Ratu ketiga Lilia!

Owen tertegun dengan pesan yang disampaikan Philip. Menghela napas sejenak, dia kemudian kembali bertanya. "Bagaimana dengan pemalas itu?"

Pemalas yang dimaksud Owen, tanpa dijelaskan, Philip juga tahu. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Pertama Kekaisaran Agung Alexandria?—Pangeran bodoh, pengecut dan tidak berguna yang mengurung diri di kamarnya dalam istana Ratu ketiga sejak mengundurkan diri dari suksesi tahta dua belas tahun yang lalu. "Beliau ma—"

Boom.

Suara ledakan besar terdengar di langit. Bersamaan, Owen dan Philip segera menoleh menatap Gate di depan. Kabut hitam yang menutupi Gate perlahan menghilang—Gate telah terbuka.

Perlahan, ribuan monster mulai bergerak keluar dari Gate. Monster dengan bentuk aneh yang tidak pernah dilihat siapapun selama ini. Badan mereka berwarna hitam dan lunak seperti lumpur, ada yang berbentuk seperti binatang melata, serangga, binatang mamalia, bahkan manusia. Ukuran mereka juga beragam, ada yang terlihat sangat kecil hingga raksasa. Mereka tidak memiliki wajah kecuali sepasang mata merah menyala.

"Apa itu?" Philip tidak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya melihat monster-monster aneh tersebut. Dia bisa merasakan aura aneh yang mencekam dan mengerikan dari mereka semua.

Apa yang dirasakan oleh Philip juga dirasakan oleh semua prajurit yang ada. Ketakutan memenuhi mereka semua. Monster di depan jelas bukanlah monster biasa, apakah mereka bisa melawan?—bisakah mereka mempertahankan Ibukota Agresia?

"Gyaaaa!!!"

Salah satu monster raksasa berbentuk manusia tiba-tiba berteriak keras. Sebuah mulut besar terbuka di wajah ratanya. Gigi besar dan runcing mengerikan terlihat, sedetik kemudian sebuah tembakan besar bagaikan laser melesat keluar dengan kecepatan penuh ke arah para prajurit di depan benteng.

"Awas!!"

"Menghindar!!"

"Lari!!"

"Mage! Buat dinding pelindung!"

Kepanikan dan ketakutan memenuhi para prajurit. Barisan prajurit yang tadinya rapi menjadi berantakan karena mereka semua berusaha menyelamatkan nyawa mereka masing-masing.

Owen yang ada di atas benteng mengepal erat kedua jari jemari tangannya. Wajahnya tetap tenang tanpa ekspresi, tapi jauh dalam hati, dia tahu—dirinya dan para prajurit yang ada tidak akan dapat mempertahankan Ibukota Agresia. Monster-monster yang keluar dari Gate bukanlah monster biasa yang dapat mereka musnahkan dengan mudah.

Tembakan serangan monster semakin mendekat, berapa banyak yang akan mati dalam serangan ini?—sebagai Kaisar, Owen harus melakukan sesuatu! Dirinya tidak bisa membiarkan para prajurit mati begitu saja.

Sepuluh meter.

Sembilan meter.

Delapan meter.

Lalu—boom.

Serangan yang terarah pada para prajurit tiba-tiba meledak di atas udara delapan meter sebelum mencapai mereka. Kebingungan, mereka yang tadinya berlari berusaha menyelamatkan diri segera berhenti. Mata mereka terarah ke depan, melihat sebuah dinding pelindung yang melindungi mereka.

"A-apa itu?" seorang mage menatap tidak percaya apa yang dilihatnya. Dia tahu, yang menghentikan serangan monster adalah sihir dinding pelindung, tapi, dia tidak pernah melihat maupun mendengar sihir dinding pelindung seperti ini selama hidupnya.

Dinding pelindung tersebut berwarna emas dan sangat tipis seakan transparan. Namun, ukurannya sungguh luar biasa. Mengangkat kepala menatap dinding sihir, semua yang ada bisa melihat dinding sihir itu berbentuk setengah lingkaran, dan menutupi semua prajurit, dan bahkan sesungguhnya, menutupi seluruh Ibukota Agresia.

Siapa?

Sihir siapa ini?

Pandangan semua kemudian terarah pada seorang pemuda di luar dinding pelindung. Berdiri tegak beberapa meter di depan prajurit yang tercerai berai, rambut pirang panjangnya yang terikat bersinar bagaikan emas murni di bawah cahaya matahari siang. Mengenakan baju dan celana hitam tanpa armor maupun senjata, mata hijaunya menatap para monster. Tidak ada ketakutan di wajahnya yang tampan, justru ekspresinya terlihat—kesal.

...****************...

Chapter 2

Tidak ada seorangpun yang tahu bagaimana dan kapan pemuda itu bisa tiba-tiba muncul dan berada di sana. Namun, yang paling penting, tidak ada seorangpun yang mengenal pemuda itu.

"Siapa itu?" bergumam pelan, Philip yang melihat apa yang terjadi dari atas benteng menatap pemuda itu binggung, begitu juga dengan yang lainnya, kecuali; Owen, Kaisar dari Kekaisaran Agung Alexandria.

Mengangkat tangan kanannya ke atas, ratusan lingkaran sihir bermunculan di sekeliling pemuda tersebut. Lingkaran sihir tersebut berwarna emas dengan berbagai ukuran, dari kecil, sedang hingga besar. Berputar cepat, semua lingkaran sihir itu dengan serentak tanpa henti menembakkan peluru cahaya berwarna emas ke arah para monster Gate.

Woosh.

Woosh.

Woosh.

Boom.

Boom.

"Gyaa!!"

"Kyaa!!"

"Ahh!!!"

Suara desir peluru cahaya yang melesat bercampur dengan suara ledakan dan teriakan mengerikan memecah langit siang. Asap hitam mengepul tebal memenuhi tempat di mana para monster berada.

Seketika, suara derap keras terdengar, menandakan para monster bergerak cepat menuju Ibukota. Suara teriakan penuh kemarahan memekakkan telinga terus terdengar, dan tanpa membuang waktu, pemuda berambut pirang tersebut ikut berlari dengan kecepatan luar biasa menuju arah para monster.

Boom.

"Gyaaa!!"

Boom!!

"Aaaah!!"

Boom.

Owen, Philip dan para prajurit yang ada tidak bergerak sedikitpun. Mata mereka semua menatap ke depan. Mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi karena asap hitam yang menutupi pandangan. Namun, dari suara ledakan, suara teriakan dan tanah yang bergetar hebat, mereka tahu—ada pertempuran luar biasa terjadi di depan.

Beberapa monster besar maupun kecil berhasil melangkah keluar dari pusat pertempuran. Namun, rantai-rantai sihir berwarna emas besar dengan cepat menyelimuti dan menarik mereka masuk kembali.

Sebuah lingkaran sihir raksasa kemudian muncul di atas langit di mana pertempuran terjadi. Bersinar emas menyilaukan mata, lingkaran sihir itu berputar cepat dan ribuan panah cahaya melesat jatuh ke bawah bagaikan hujan.

Boom.

"Gyaaa!!"

Boom.

"Kya!!!"

"Gya!!!"

Boom.

Sambung menyambung tanpa henti, suara ledakan dan teriakan mengerikan seakan bergabung menjadi satu. Tanah terus bergetar tanpa henti, dan asap hitam mengepul luas nan tinggi.

Menelan ludah, salah seorang prajurit yang menatap apa yang terjadi dengan jantung berdetak cepat. Sihir-sihir yang barusan dilihatnya adalah sihir yang tidak pernah terbayang olehnya benar-benar ada. Pemuda barusan, kah? Dia kah pemilik sihir-sihir luar biasa yang biasanya hanya ada dalam cerita—seorang Archmage dalam legenda?

Berapa lama waktu berlalu, tidak ada seorangpun yang menyadarinya. Tapi, perlahan, suara ledakan semakin berkurang begitu juga dengan suara teriakan, hingga akhirnya—kesunyian memenuhi tempat.

Asap hitam yang mengepul luas dan tinggi perlahan menghilang, meninggalkan retakan bekas pertempuran yang tidak dapat diterima akal sehat. Namun, yang paling mengejutkan adalah, Gate kosong yang membujur tinggi dan panjang mencapai dua belas kilometer di depan mata mulai menutup. Langit terkoyak bagaikan serpihan kaca bergerak dengan kecepatan luar biasa mulai merapat dan merapat, hingga akhirnya—menghilang sepenuhnya.

"M-mimpi kah, ini?" terbata-bata, seorang mage tidak percaya dengan apa yang kini terjadi. Apa yang terjadi? Gate raksasa yang diprediksi akan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk menghilang, menghilang dalam waktu beberapa menit saja?

Dinding sihir pelindung yang menutupi para prajurit dan Ibukota Agresia kemudian menghilang. Masih tidak dapat bergerak, mata semua orang yang ada kemudian menatap sosok pemuda yang berjalan mendekati mereka dari bekas medan pertempuran.

Untuk pertama kali juga, semua yang ada bisa melihat sosok pemuda itu dengan jelas. Dia adalah seorang pemuda yang masih sangat muda, usianya mungkin masih belasan tahun. Dia cukup tinggi dengan bentuk badan sangat proposional. Berambut pirang emas panjang diikat satu dengan kulit putih bersih. Kata cantik lebih tepat untuk menjelaskan wajahnya yang memiliki sepasang mata hijau daripada tampan. Namun begitu, dia tetap tidak kehilangan maskulin sebagai seorang laki-laki. Cahaya matahari di belakang pemuda itu menyinarinya, membuat semua yang ada berdecak kagum, sebab mereka merasa seakan pemuda itulah yang bersinar—matahari itu sendiri.

Tanpa mempedulikan pandang semua yang terarah padanya, pemuda itu terus melangkah maju. Para prajurit yang ada segera membuka jalan baginya tanpa diminta.

Menatap para prajurit yang membuka jalan untuknya, pemuda itu berhenti sejenak dan mengangguk kepala sebagai tanda terima kasih. Dia tidak mengatakan apapun. Namun, ekspresi wajahnya yang terlihat berada dalam mood tidak baik membuat semua yang ada tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirannya.

Berjalan semakin mendekati benteng Ibukota Agresia, pemuda itu kemudian mengangkat kepala. Pandangan matanya jatuh pada sosok Owen yang juga membalas tatapannya datar tidak tertebak.

Berhenti berjalan, pemuda itu menghela napas dan berdecak pelan. "Ayahanda," panggilnya pelan. Suaranya tidak keras, tapi terdengar jelas dalam keheningan yang ada. "Masalah Gate ini sudah teratasi. Jadi, saya mohon, temui Ibunda. Beliau benar-benar sangat menghawatirkan keselamatan anda."

Apa yang diucapkan pemuda itu membuat semua yang ada tercengang tidak percaya. Kaisar Owen? Ayahanda? Pemuda ini adalah putra sang Kaisar? Kaisar memiliki empat orang putra dan seorang putri. Dari keempat putranya, semua orang mengenal baik wajah mereka kecuali wajah putra pertamanya yang selalu mengurung diri sejak kecil. Jadi, apakah artinya pemuda ini adalah Pangeran Pertama?

"Baiklah," jawab Owen kemudian, yang mana jawabannya juga menjawab pertanyaan semua yang ada. "Aku mengerti, Axillion."

Pemuda tersebut benar-benar merupakan Pangeran Pertama Kekaisaran Agung Alexandria yang terkenal bodoh, pengecut dan tidak berguna; Axillion Vie Astra Alexandria.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!