NovelToon NovelToon

Benci Jadi Cinta

Bab 1 : awal yang buruk

Alya berdiri di depan cermin, menatap diri nya yang sudah rapih dengan kemeja putih dan blazer biru muda. Ia menghela napas panjang.

“Kenapa sih, aku harus ikut makan malam ini? Bukan nya bisa diwakilin sama Mama aja?” gumam nya sambil memutar bola mata nya.

Di belakang nya, Mama berdiri dengan senyum penuh arti. “Alya, ini penting buat hubungan keluarga kita. Lagi pula, kamu kan harus mulai belajar kenal sama Reyhan. Siapa tahu cocok.”

“Cocok?” Alya langsung menoleh, nyaris tersedak udara. “Mama serius? Ini per jodohan, ya?”

Mama hanya ter kekeh kecil sambil ber lalu, meninggalkan Alya yang masih syok.

Malam itu, di restoran mewah, Alya duduk dengan enggan di sebelah Mama dan Papa. Mata nya sibuk memandangi pintu masuk, berharap Reyhan—si cowok yang kata nya anak kolega bisnis papanya—nggak muncul.

Tapi harapa nnya langsung hancur begitu seorang cowok jangkung dengan kemeja hitam dan senyum sok santai masuk ke ruangan.

“Aduh, nggak mungkin…” bisik Alya pelan.

Dan benar saja, Reyhan—cowok paling menyebal kan yang pernah ia temui di kampus—melangkah masuk. Dia ter senyum lebar begitu melihat Alya, lalu melambaikan tangan seolah mereka teman baik.

“Hai, Alya! Wah, nggak nyangka kita ketemu di sini!” Reyhan berseru sambil duduk di seberang nya.

Alya menatapnya tajam. “Kamu ngapain di sini?”

Reyhan mengangkat alis, lalu menatap kedua orang tua Alya yang duduk di sisi meja. “Oh, jadi kamu belum tahu? Kita… dijodohin.”

Alya langsung ingin menghilang di tempat.

Alya masih membeku. Reyhan tampak santai, bahkan dia mengambil buku menu dengan wajah tanpa beban.

“Kok, diem? Nggak nyangka ya, kita jadi pasangan yang dijodohin?” Reyhan berkata dengan nada menggoda.

Alya mengerutkan kening, menatap Reyhan tajam. “Pasangan? Jangan mimpi. Ini cuma makan malam biasa. Aku di sini karena terpaksa.”

Reyhan tertawa kecil. “Ya, aku juga terpaksa. Mana mungkin aku mau satu meja sama cewek yang hobinya ngatur-ngatur orang.”

Mama Alya langsung menyenggol nya. “Alya, jangan galak sama Reyhan. Kamu harus belajar bersikap ramah. Reyhan itu anak baik.”

Alya ingin membalas, tapi dia menahan diri. Dia hanya mendengus sambil melipat tangan di dada.

Sementara itu, Papa Reyhan ikut bicara. “Alya, kamu tahu nggak? Reyhan ini nggak cuma pintar, tapi juga sudah banyak bantu di bisnis keluarga. Dia ini paket lengkap.”

Reyhan ter senyum puas mendengar pujian itu. Dia melirik Alya sambil berkata, “Dengar tuh, paket lengkap, kata nya. Jadi, kapan kita mulai ngerencanain pernikahan?”

“Reyhan!” Alya berseru, wajahnya memerah.

Papa Reyhan dan Mama Alya hanya tertawa kecil, seolah candaan Reyhan adalah hal biasa. Tapi Alya merasa ini adalah neraka dunia.

“Dengar, Reyhan,” Alya berkata tegas, mencondong kan tubuh ke depan. “Aku nggak peduli apa pun rencana orang tua kita. Kalau kamu mikir aku bakal setuju sama per jodohan ini, kamu salah besar.”

Reyhan mengangkat bahu santai. “Tenang, aku juga nggak mau kok. Tapi, kalau orang tua kita ngotot, mau nggak mau kita harus pura-pura, kan?”

Alya tertegun. “Pura-pura? Maksud kamu?”

Reyhan tersenyum tipis, wajah nya berubah serius. “Gini aja, kita pura-pura setuju sampai mereka puas. Nanti, pelan-pelan kita bikin alasan supaya nggak usah beneran nikah. Win-win.”

Alya memikirkan nya. Ide Reyhan terdengar masuk akal, meski pun ia enggan mengakui. Dengan berat hati, dia mengangguk kecil. “Oke. Tapi jangan pikir ini arti nya aku suka sama kamu.”

“Tenang aja,” Reyhan menjawab santai. “Aku juga nggak akan jatuh cinta sama kamu.”

Namun, entah kenapa, kata-kata itu justru membuat dada Alya terasa aneh.

setelah makan malam itu berakhir,Alya masih belum menyangka hal itu bakal terjadi.

Hari Senin pagi di kampus biasa nya sibuk, tapi bagi Alya, pagi ini terasa lebih berat dari biasa nya. Semua gara-gara Reyhan. Kesepa katan yang mereka buat saat makan malam seharus nya memper mudah keadaan, tapi ternyata malah sebalik nya.

Reyhan tampak nya terlalu menikmati peran ini. Sepanjang akhir pekan, dia terus mengirim pesan, memasti kan Alya ikut dengan rencana nya.

Reyhan: "Besok jangan lupa pura-pura nyapa aku di depan teman-teman kampus."

Alya: "Hah? Ngapain?!"

Reyhan: "Kan kita ‘pura-pura pacaran’. Biar realistis dong."

Alya: "Dasar nyebelin."

Alya tiba di lobi kampus dengan harapan bisa melewati hari ini tanpa drama. Tapi tentu saja, harapan itu langsung hancur begitu ia melihat Reyhan berdiri di tengah lobi, menyandar kan tubuh ke dinding sambil melipat tangan.

“Alya!” Reyhan memanggil nya keras-keras, menarik perhatian banyak orang.

Alya menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha tetap tenang. “Kenapa sih, harus segitunya?”

Reyhan mendekati nya dengan senyum lebar. “Lho, kan kita harus bikin ini kelihatan nyata. Nih, pegang tangan aku.”

Alya memelototi nya. “Lo gila, ya? Ngapain juga pegang tangan segala!”

Reyhan tertawa kecil. “Biar mereka percaya, dong. Kalau cuma jalan bareng doang, nggak cukup.”

Dengan terpaksa, Alya menurut. Dia menggandeng tangan Reyhan sambil bergumam pelan, “Kalau ini bikin aku malu, aku nggak bakal maafin lo.”

Mereka berjalan melewati teman-teman kampus yang mulai berbisik-bisik.

“Eh, Reyhan sama Alya sekarang pacaran, ya?”

“Serius? Kok bisa? Mereka kan kayak anjing sama kucing.”

Alya berusaha tetap memasang wajah datar, tapi telinga nya jelas menangkap semua komentar itu. Reyhan, di sisi lain, tampak santai.

“Lihat tuh,” bisik Reyhan sambil tersenyum licik. “Mereka percaya.”

Alya mendesah, menatap Reyhan dengan pandangan kesal. “Lo terlalu menikmati ini, ya?”

“Tentu aja. Ini kan seru,” jawab Reyhan ringan.

Saat mereka sampai di kelas, seorang teman Alya, Sarah, langsung menghampiri. “Alya, ini beneran? Lo pacaran sama Reyhan?”

Alya ingin menjawab dengan jelas bahwa ini cuma pura-pura, tapi Reyhan lebih cepat membuka mulut.

“Ya dong, kita baru jadian,” ucap Reyhan sambil merangkul bahu Alya.

Sarah terkejut, begitu juga Alya. Dalam hati, Alya bersumpah bakal membalas Reyhan atas semua ini. Tapi ia hanya bisa ter senyum kaku.

“Eh… iya, gitu deh,” kata Alya dengan nada ter paksa.

Saat Sarah pergi, Alya langsung menyikut Reyhan. “Lo keterlaluan!”

Reyhan tertawa kecil. “Tenang, ini bagian dari ke sepakatan, kan?”

Alya mendengus, merasa hari ini baru per mulaan dari segala ke kacauan yang Reyhan bawa ke hidup nya.

Bab 2 : terjebak dalam kekacauan

Se minggu setelah "perjanjian" mereka, Reyhan semakin menjadi-jadi. Di kampus, ia terus mencipta kan momen-momen yang mem perkuat citra mereka sebagai pasangan. Alya hanya bisa mengikuti nya, sambil menggertak kan gigi tiap kali Reyhan melebih-lebihkan.

Hari itu, suasana kampus sedang ramai karena acara per siapan Festival Kreativitas. Alya sedang sibuk mengurus stand untuk divisi desain, berharap Reyhan nggak muncul dan merusak fokus nya.

Tapi tentu saja, harapan itu cuma angan-angan. Reyhan datang dengan santai, mem bawa dua cup es kopi dan senyum lebar nya yang menyebal kan.

“Nih, buat kamu,” kata nya, menyodor kan kopi ke Alya.

Alya menatap nya tajam. “Apa lagi, sih? Gue lagi sibuk, Reyhan.”

“Tuh, liat. Gue per hatian, lo malah galak,” balas Reyhan sambil duduk di kursi kosong. “Lagian, pasangan itu kan harus saling support.”

Beberapa teman Alya yang ada di dekat mereka mulai mem perhatikan. Salah satu dari mereka, Rani, bahkan ter senyum penuh arti.

“Wah, Reyhan manis banget, ya. Pantes Alya jadi luluh,” kata Rani sambil terkikik.

Alya hanya bisa tersenyum kaku. Tapi sebelum sempat membalas, tiba-tiba seorang panitia acara berlari mendekati mereka.

“Alya, tolong banget! Salah satu pengisi acara batal tampil, dan kita nggak ada cadangan!”

Alya langsung panik. “Hah? Kok bisa? Terus kita harus gimana?”

Reyhan, yang seperti nya menikmati drama ini, langsung berdiri. “Tenang, Alya kan jago ngatur. Pasti dia punya solusi.”

Alya menatap Reyhan dengan pandangan membunuh. Tapi panitia itu justru menatap mereka penuh harap. “Kalian berdua aja deh yang tampil! Kan kalian pasangan, pasti seru kalau duet!”

“APA?!” Alya dan Reyhan berseru ber samaan.

Panitia itu tampak bingung. “Iya, kalian pasangan, kan? Ayo dong, bantuin. Acara ini tinggal beberapa jam lagi.”

Alya ingin menolak, tapi Reyhan lebih dulu mengangguk. “Oke, kita bantu.”

Alya memandang Reyhan seolah dia sudah gila. “Lo serius?”

Reyhan ter senyum tipis. “Tenang, kita cuma pura-pura. Lagian, ini kesempatan buat bikin mereka makin percaya, kan?”

Alya menghela napas panjang. Dalam hati, ia tahu ini ide buruk, tapi situasi nya nggak memberi mereka pilihan lain.

Beberapa jam ke mudian, Alya ber diri di belakang panggung, mengenakan gaun sederhana yang disiapkan panitia. Di sebelah nya, Reyhan tampak terlalu santai dalam kemeja putih dan jeans.

“Apa yang bakal kita lakuin di atas sana?” bisik Alya.

“Tenang aja,” jawab Reyhan sambil ter senyum. “Gue udah siapin skenario. Kita tinggal improvisasi dikit.”

“Improvisasi?!” Alya menahan diri untuk tidak membentak nya di tempat.

Tapi sebelum bisa protes lebih jauh, pem bawa acara sudah memanggil nama mereka. Dengan ter paksa, Alya mengikuti Reyhan ke atas panggung.

Lampu sorot menyinari mereka, dan Alya bisa merasakan tatapan ratusan pasang mata. Reyhan menggenggam mikrofon, lalu dengan percaya diri berkata, “Hai semua! Kami Reyhan dan Alya, pasangan yang… unik, bisa di bilang.”

Tawa kecil terdengar dari penonton. Alya ingin tenggelam di tempat, tapi Reyhan terus ber bicara.

“Kami mau berbagi cerita lucu tentang gimana dua orang yang awalnya saling benci… bisa jadi seperti sekarang.”

Alya hanya bisa memandang Reyhan dengan ngeri. Ia tahu, ini bakal jadi momen paling memalukan dalam hidup nya.

Alya ber diri ter paku di panggung. Reyhan masih memegang mikrofon dengan percaya diri, menyapukan pandangan nya ke penonton yang mulai ter tawa-tawa kecil.

“Jadi begini,” kata Reyhan, memulai ceritanya. “Pertama kali ketemu Alya, gue mikir dia ini tipe cewek yang… galak, perfeksionis, dan nggak bisa santai. Dan ter nyata, gue bener.”

Penonton langsung meledak tertawa. Alya mendelik tajam ke arah Reyhan. Ia berusaha tetap tenang sambil meremas ujung gaun nya.

“Dan lo,” Alya akhirnya mengambil mikrofon dari tangan Reyhan, “adalah tipe cowok yang super nyebelin. Sok santai, sok tahu, dan—” Alya menghenti kan kalimat nya, menyadari semua penonton menunggu kelanjutan nya.

Reyhan menatap Alya dengan senyum jahil. “Dan apa? Tampan? Menarik? Sempurna?”

Penonton tertawa lagi, kali ini lebih keras. Alya hanya mendesah kesal.

“Intinya,” Reyhan melanjut kan, “kami ini kayak minyak sama air. Tapi aneh nya, sekarang kami di sini. Kadang hidup memang lucu, ya.”

Penonton memberi kan tepuk tangan riuh. Reyhan melirik Alya, mengulur kan tangan nya untuk mengajak nya ikut sedikit improvisasi.

“Gimana kalau kita kasih mereka hiburan sedikit?” bisik Reyhan.

“Hiburan apaan?” Alya membalas, wajah nya penuh curiga.

Reyhan tersenyum. “Ikut aja.”

Se belum Alya sempat menolak, Reyhan sudah menarik nya mendekat. Musik men dadak terdengar dari speaker—sebuah lagu romantis klasik yang membuat seluruh penonton bersorak.

“Lo gila!” bisik Alya panik.

“Percaya aja, gue bisa bawa lo,” jawab Reyhan santai.

Dengan gerakan sederhana, Reyhan menggenggam tangan Alya dan mulai memimpin tarian kecil. Awal nya Alya kaku, tapi melihat Reyhan yang justru tampak percaya diri, ia akhir nya mengalir mengikuti irama.

Penonton bersorak semakin keras, dan beberapa mulai merekam momen itu. Alya merasa wajah nya memanas, tapi ia tidak bisa membantah bahwa Reyhan… cukup pandai membuat suasana terasa menyenang kan.

Namun, momen romantis itu berakhir dengan kekacauan. Di tengah tarian, kaki Alya ter sangkut pada ujung gaun nya sendiri, dan sebelum ia sempat menjaga keseimbangan, mereka berdua terjatuh dengan posisi Reyhan di bawah dan Alya di atas.

Seluruh ruangan terdiam selama beberapa detik, sebelum meledak dengan sorakan dan tawa.

Reyhan meringis sambil menatap Alya yang masih bingung. “Lo berat juga ya.”

Alya langsung bangkit dengan wajah merah padam, menatap Reyhan dengan tajam. “Ini semua salah lo!”

Reyhan hanya tertawa kecil sambil duduk, memegangi pinggang nya. “Salah gue? Lo yang nggak bisa jalan.”

Mereka akhir nya turun panggung dengan cam puran malu dan kesal, se mentara pe nonton masih ter tawa dan ber tepuk tangan.

selesai acara, Alya dan Rayhan saling me nudu satu sama lain,tetapi panitia acara datang, sehingga membuat mereka terdiam.

"wahh, kalian keren, makasih banyak deh, udah mau bantu"ucap panitia itu sambil memberi mereka jempol.

Bab 3 : setelah panggung, sebelum perasaan

Keesokan harinya, Alya tidak bisa berhenti mendengar gumaman orang-orang di kampus. Setiap kali ia melewati lorong, ada saja yang tertawa kecil atau memandangnya sambil berbisik.

“Eh, itu Alya, kan? Yang jatuh di panggung sama Reyhan.”

“Romantis banget, ya. Mereka cocok, sumpah!”

“Aduh, kalo aku jadi Alya, mungkin udah baper duluan tuh.”

Alya menggertakkan giginya sambil mempercepat langkah menuju perpustakaan. Ia berharap bisa menghindari Reyhan hari ini. Tapi tentu saja, seolah tahu apa yang ia pikirkan, Reyhan sudah menunggunya di dekat rak buku, dengan senyum penuh kemenangan.

“Aduh, artis kampus kita dateng juga!” seru Reyhan pelan, tapi cukup untuk membuat Alya melotot tajam.

“Lo ngapain di sini?” tanya Alya, setengah berbisik agar tidak menarik perhatian lebih banyak.

Reyhan menyandarkan tubuh ke rak, santai seperti biasa. “Cuma mau ngecek, gimana rasanya jadi trending topic?”

Alya mendengus, menaruh buku yang ia bawa ke meja. “Gara-gara lo, sekarang semua orang mikir gue beneran pacaran sama lo. Lo puas, kan?”

“Puas banget,” jawab Reyhan dengan senyum lebar. “Tapi serius, lo nggak ngerasa keren? Kita bikin kampus jadi lebih seru.”

Alya memutar bola matanya. “Keren apanya? Gue jadi bahan gosip, Rey. Lo nggak mikirin perasaan gue sama sekali, ya?”

Reyhan terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya, senyumnya sedikit pudar. “Eh… gue cuma bercanda kok. Kalau lo nggak nyaman, gue minta maaf.”

Alya tertegun. Mendengar permintaan maaf dari Reyhan adalah hal yang jarang—kalau bukan mustahil. Tapi ia tidak ingin terlihat lemah.

“Ya udah. Pokoknya jangan bikin masalah lagi,” gumamnya sambil menunduk.

Namun, sebelum suasana jadi canggung, salah satu teman Alya, Sarah, muncul dari ujung rak dengan wajah penuh antusias.

“Alya! Reyhan! Kalian berdua bener-bener bikin kampus gempar kemarin. Video kalian itu udah ditonton ribuan kali di grup kampus!”

Alya menutup wajah dengan kedua tangan, sementara Reyhan hanya tertawa kecil.

“Kalian beneran pasangan yang serasi,” tambah Sarah sambil terkikik.

“Serasi apanya?” potong Alya cepat. “Gue cuma—”

“—cuma pacaran sama gue,” sela Reyhan dengan nada ringan, membuat Sarah tertawa lebih keras.

Alya memandang Reyhan dengan tatapan marah. Tapi di dalam hati, ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh.

---

Malam harinya, di kamar, Alya memandangi ponselnya. Grup chat kampus dipenuhi dengan komentar tentang video mereka. Bahkan ada meme kocak yang dibuat dari momen mereka terjatuh.

Satu pesan pribadi dari Reyhan muncul di layar.

Reyhan: “Lo baik-baik aja kan? Maaf banget kalau kemarin keterlaluan.”

Alya: “Udah lah, gue nggak mau bahas lagi.”

Reyhan: “Tapi lo jujur deh, sebenernya seru kan? Pura-pura pacaran sama gue.”

Alya: “…Lo itu nyebelin banget.”

Alya melempar ponselnya ke kasur sambil mendesah. Tapi senyum kecil tanpa sadar muncul di wajahnya.

Hari berikutnya, kampus masih saja heboh. Alya mencoba mengabaikan semua komentar dan tatapan usil dari teman-temannya, tapi tetap saja sulit. Apalagi dengan Reyhan yang terus mendekatkan diri seolah mereka memang benar-benar pasangan.

Namun, ada yang berbeda hari ini. Alya merasa Reyhan sedikit lebih tenang—tidak terlalu banyak mengolok-olok atau membuat lelucon seperti biasanya. Saat mereka duduk bersama di taman kampus, Alya akhirnya tidak tahan untuk bertanya.

“Lo kenapa? Kok tumben nggak nyebelin?” tanyanya sambil mengaduk minuman dinginnya.

Reyhan tertawa kecil, tapi tidak dengan nada jahil seperti biasanya. “Nggak kenapa-kenapa. Gue cuma lagi mikir.”

“Mikir? Lo?” Alya menyipitkan mata, setengah bercanda. “Apa dunia mau kiamat?”

Reyhan tersenyum tipis. Ia memandang jauh ke arah lapangan, ekspresinya berubah serius. “Gue cuma kepikiran, sih. Kalau ini semua terlalu jauh, gue nggak mau lo beneran ngerasa dirugiin.”

Alya terdiam. Itu adalah hal terakhir yang ia duga akan keluar dari mulut Reyhan.

“Gue nggak tahu lo bisa mikirin perasaan orang,” jawabnya pelan.

Reyhan menoleh, menatap Alya dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya. “Hei, gue emang nyebelin, tapi gue nggak seburuk itu.”

Alya merasa ada sesuatu yang hangat dalam caranya bicara. Ia berdeham kecil, berusaha mengalihkan perasaan aneh yang mulai muncul di dadanya.

“Tapi serius, kenapa lo tiba-tiba mikir kayak gitu?” tanyanya lagi.

Reyhan mengangkat bahu, tapi senyumnya berubah agak masam. “Mungkin karena gue sadar, di balik semua ini, lo sebenernya nggak pernah nyaman. Gue tahu gue kadang keterlaluan, dan gue nggak mau lo beneran benci gue gara-gara kesepakatan konyol ini.”

Alya tertegun. Kata-kata Reyhan terdengar tulus, dan itu membuatnya bingung.

“Gue nggak benci lo kok… sepenuhnya,” gumam Alya pelan. “Tapi lo harus tahu batas. Gue nggak mau jadi bahan gosip terus-terusan.”

Reyhan mengangguk. “Oke, gue janji bakal lebih hati-hati. Tapi kita tetep harus bikin ini kelihatan nyata di depan orang tua kita.”

Alya hanya mengangguk kecil. Ia tidak tahu kenapa, tapi melihat Reyhan dengan sisi yang lebih serius membuatnya merasa… nyaman.

---

Malam harinya, Alya mendapat pesan lagi dari Reyhan.

Reyhan: “Lo lagi ngapain?”

Alya: “Baru selesai tugas. Kenapa?”

Reyhan: “Gue cuma mau bilang, kalau ada yang bikin lo nggak nyaman, kasih tahu gue. Serius, ya.”

Alya: “…Oke. Makasih, Rey.”

Setelah mengirim balasan itu, Alya terdiam sejenak. Tangannya berhenti menggulir layar ponsel, dan perasaan aneh kembali muncul di dadanya.

“Kenapa dia bisa berubah gitu?” gumam Alya pada dirinya sendiri.

Tanpa sadar, ia tersenyum kecil sebelum mematikan ponselnya dan memutuskan untuk tidur.

Hari-hari berikutnya, Alya merasa semakin bingung dengan sikap Reyhan. Setelah kejadian di taman, Reyhan seolah mulai memperlakukan semuanya dengan lebih serius. Tidak ada lagi lelucon nyebelin atau pernyataan menggoda yang bikin Alya kesal. Sebaliknya, Reyhan malah lebih sering menawarkan bantuan dengan cara yang... agak perhatian.

Suatu sore, saat Alya sedang duduk di bangku taman, sedang menulis catatan untuk tugas kuliah, Reyhan tiba-tiba muncul di depannya, membawa dua kopi.

“Lo lagi sibuk, ya?” tanyanya sambil duduk di sebelah Alya tanpa menunggu jawaban.

Alya mengerutkan kening. “Lo kenapa, sih? Sejak kapan lo jadi peduli banget?”

Reyhan tersenyum, tidak seperti biasanya. “Bukan peduli banget sih, cuma… lo kelihatan lagi capek. Jadi, gue bawa kopi. Itu juga buat gue.”

Alya menatap Reyhan dengan pandangan bingung. “Kopi? Lo yang biasanya nggak pernah bawa kopi buat orang lain.”

Reyhan mengangkat bahu. “Mungkin gue lagi berubah.”

Alya terdiam, merasa sedikit canggung. Tidak tahu kenapa, sikap Reyhan yang lebih tenang ini justru membuatnya merasa lebih nyaman, meskipun ia masih bingung dengan perasaan yang muncul.

“Makasih,” kata Alya pelan, menerima kopi yang Reyhan tawarkan. “Tapi jangan bikin kebiasaan. Gue nggak butuh perhatian lebih dari lo.”

Reyhan tertawa kecil. “Oke, kalau itu yang lo mau.”

Keduanya duduk dalam diam, sesekali saling menatap, tapi tanpa ada kata-kata. Ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka. Alya merasa seolah ada jarak yang perlahan semakin dekat.

---

Minggu itu, mereka berdua diminta untuk ikut dalam kegiatan sosial kampus. Kegiatan itu melibatkan kerja sama antara beberapa fakultas untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak kurang mampu. Reyhan dan Alya ditugaskan untuk menjadi bagian dari tim presentasi.

Ketika tiba saatnya presentasi dimulai, Reyhan tiba-tiba mendorong Alya ke depan untuk memimpin bagian awal. Alya yang tidak siap, merasa cemas.

“Gue nggak bisa mulai duluan, Rey. Lo yang harusnya…”

Reyhan menatapnya dengan tatapan penuh percaya. “Lo bisa kok, gue yakin. Gue ada di belakang lo.”

Alya menghela napas, merasa aneh karena Reyhan justru memberi kepercayaan kepadanya. Tanpa berkata apa-apa, ia akhirnya mengambil mikrofon dan mulai berbicara di depan audiens.

Selama presentasi berlangsung, Alya mulai merasa lebih nyaman. Reyhan, meskipun tidak banyak bicara, tetap berdiri di sampingnya, memberi dukungan dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Reyhan memperhatikannya.

Begitu acara selesai, Reyhan menghampiri Alya dengan senyum lebar. “Keren banget, lo tadi. Lo bahkan bikin gue terkesima.”

Alya mengernyitkan dahi. “Gue cuma ngomongin presentasi doang. Jangan lebay, deh.”

Tapi di mata Reyhan, ada kebanggaan yang sulit ia sembunyikan. “Serius, Alya. Lo hebat. Gue bener-bener kagum.”

Alya merasa dada nya sedikit berdebar. Tidak seperti biasanya, Reyhan membuatnya merasa lebih dari sekadar teman palsu. Ada sesuatu yang menghangatkan perasaannya.

---

Beberapa hari setelah kegiatan itu, Alya duduk di kafe, sibuk mengerjakan tugas. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Pesan dari Reyhan muncul di layar.

Reyhan: “Lo sehat, kan? Kok nggak ada kabar akhir-akhir ini?”

Alya: “Lagi sibuk, nih. Gue baru aja selesai presentasi minggu lalu.”

Reyhan: “Makasih udah ngebantu gue juga. Lo hebat.”

Alya: “Iya, iya. Lo juga, kok.”

Alya menatap layar ponselnya. Ada sesuatu dalam kata-kata Reyhan yang membuatnya merasa berbeda. Tapi ia buru-buru menutup pesan itu dan melanjutkan pekerjaannya.

Namun, ia tak bisa menghindari kenyataan—perasaannya terhadap Reyhan mulai berubah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!