NovelToon NovelToon

SETELAH KAU JANDAKAN

01

“Ayah kemana, Bu? Kenapa sekarang Ayah tidak pernah pulang. Andri tahu, sekarang Ayah juga tidak pernah mengirim uang kan? Sebenarnya Ayah ke mana Bu?” 

Suara ina seperti tercekat di tenggorokan. Dia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut putranya.

“Ibu bilang dulu ayah kerja. Ibu bilang Ayah cari uang. Kerja di mana Bu, cari uang di mana. Dulu ayah masih pulang, setelah itu Ayah hanya mengirimkan uang. Tetapi sekarang Ayah tidak pernah pulang dan bahkan uangnya juga tidak pernah sampai. Sebenarnya Ayah ke mana Bu?” 

Biasanya anaknya hanya diam, tetapi nampaknya bocah itu sudah tidak lagi bisa menahan diri, hingga pertanyaan-pertanyaan yang telah terkumpul sekian lama akhirnya meluncur juga. 

“Sabar ya nak, Ayah pasti pulang kok.” Dan lagi-lagi hanya kalimat itu yang bisa Ina lontarkan untuk anaknya, tanpa bisa memberikan jawaban pasti. 

“Orang-orang bilang Ayah sudah menikah lagi, mereka juga bilang kalau aku punya ibu baru. Itu tidak benar kan Bu? Aku tidak mau, Aku tidak mau punya ibu baru. Aku cuma mau ibu saja.” 

“Astagfirullah.” Ina beristighfar, manakala tiba-tiba saja anaknya menubruk memeluknya lalu menangis sesenggukan. 

Berita dari mana yang didengar oleh putranya itu. Dan kenapa tega sekali orang yang berbicara seperti itu pada putranya. Putranya bukan seorang bocah berusia 2 tahun yang tidak tahu apa-apa. Andri sudah besar, usianya sudah 10 tahun. Tentu saja Dia bisa mengerti apa itu artinya Ibu baru. 

“Besok biar Ibu cari Ayah ya, nak. Ibu akan minta alamat kerja Ayah pada Om Sugi.” Ina memberikan harapan kepada anaknya. Berharap semoga dengan begitu anaknya tidak lagi bersedih, dan tidak lagi memikirkan omongan orang. 

Sugi, kemenakan suaminya yang membawanya untuk kerja di kota. Katanya di tempat tetangga dari saudaranya ada yang membutuhkan seorang tukang kebun. Jadi dia pasti tahu alamatnya. Karena kalau tidak salah perkiraan Ina, pasti rumahnya di dekat saudara Sugi.

“Andri ikut ya, Bu. Kita cari ayah sama-sama.” Andri yang semula menangis dan menyembunyikan wajahnya di depan perut ibunya tiba-tiba berujar penuh semangat. Tampak oleh Ina, putranya mengusap air mata dengan menggunakan punggung tangan.

“Bagaimana kalau Andri ikut Mbah Uti saja? Pergi ke kota itu jauh nak. Ibu takut Andri mabuk di bis nanti. Lagi pula Andri sekolah kan?” Ina mengusap air mata yang masih membasahi pipi anaknya, dan juga merapikan rambut bocah itu yang tampak acak-acakan. 

“Yaaahhh..” Andri mengerucutkan bibirnya. Dia terlihat kecewa karena ibunya tidak mengizinkannya ikut. Bukannya apa, tetapi perjalanan ke kota, dengan alamat yang Ina belum tahu pasti, akan sangat repot jika Ina membawa Andri serta. 

Diusapnya punggung putranya. Merasa kesal,,tega sekali orang yang bicara sembarang pada anaknya. Terkadang Ina mengusap dada, jangankan orang lain, ibu mertuanya sendiri saja terkadang suka bicara tanpa difilter. Tidak bisa berpikir jika Andri belum sepantasnya dicekoki dengan cerita yang tidak untuk anak seusianya. Tetapi terkadang Ina merasa, kalau mertuanya memang sengaja berbuat demikian. 

Ina tahu, mertuanya memang tidak menyukainya sejak awal. Tapi Ina berpikir, Seharusnya mertuanya tidak mengikut sertakan Andri juga. Karena biar bagaimanapun, Andri adalah cucunya. Cucu kandungnya, keturunan dari anak laki-lakinya satu-satunya.

***

“Tolong saya Dek Sugi. Saya minta alamat tempat di mana suami saya bekerja. Saya harus menyusulnya ke sana. Ini sudah 8 bulan tidak ada kabar sama sekali. Saya benar-benar khawatir dengan keadaannya.”

Hari itu setelah berpikir berulang kali akhirnya Ina memberanikan diri untuk meminta alamat tempat kerja suaminya kepada Sugi.

“Untuk apa mencarinya ke kota Mbak Yu, dia akan pulang kalau memang dia ingin pulang. Kalau memang dia tidak ingin pulang ya sudah biarkan saja.” Sungguh tidak enak sekali suara Sugi di telinga Ina.

“Lalu kalau dia benar-benar tidak pulang bagaimana. Terus bagaimana dengan aku dan anakku. Apa aku harus membiarkan anakku bertanya terus tentang bapaknya setiap hari, sedangkan aku hanya bisa diam saja karena aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa.”

 Ina tidak tahu, kenapa sepertinya Sugi merasa keberatan saat dia meminta alamat itu. Dia hanya harus memberikan alamatnya dan Ina akan mencarinya sendiri. Ina sudah berjanji tidak akan merepotkannya. Lalu apa sebenarnya yang membuat Sugi merasa enggan. Ina merasa seperti Sugi sedang menyembunyikan sesuatu.

***

Hari itu setelah Ina begitu ngeyel dan bilang kalau tidak akan pulang sebelum mendapatkan alamat dari suaminya, akhirnya Sugi memberikan secarik kertas yang berisi sebuah alamat.

Ina tidak mau menunggu lama. Setelah menitipkan anaknya kepada bibinya yang ada di desa sebelah, pagi itu dengan diantar oleh seorang tetangganya, Ina berangkat ke terminal. Ah, akhirnya Ina berangkat juga ke kota, berbekal alamat yang telah dia terima dari Sugi.

Kenapa kepada bibinya dia menitip anaknya? Karena tidak mungkin dia menitipkan anaknya pada mertua yang tidak menyukainya. Bisa-bisa anaknya dibiarkan terlantar dan kelaparan.

Di terminal, Ina mencari bis jurusan terminal Bungurasih. Agak lama karena memang hari masih pagi, dan menurut petugas yang ada di sana memang belum ada bus jurusan Surabaya yang datang.

***

Setelah menempuh perjalanan selama 5 jam dengan bus umum, akhirnya Ina sampai juga di terminal Bungurasih. Karena tidak tahu harus naik bus jurusan apa atau angkutan yang melewati alamat yang diberikan oleh Sugi, Ina lebih memilih mencari taksi saja. sopir pasti dengan mudah menemukan alamat suamiku.

Pasar Turi jalan XX, blok E nomor 123. Alamat yang diberikan oleh Sugi, Ina menunjukkan alamat itu pada sopir taksi yang duduk di belakang kemudi.

“Baik Bu, argonya mulai Saya jalankan ya.” Sopir itu berucap sebelum menjalankan mobilnya. Angka yang ada di penunjuk argo mulai bergerak. Ina berharap semoga biayanya tidak terlalu mahal.

Sebenarnya bisa saja Ina mencari angkutan, Ina juga tidak terlalu buta dengan kota Surabaya. Karena dulu Ina juga pernah tinggal di kota itu. Akan tetapi Ina tidak mau kemalaman di jalan.

***

“Apakah ini alamat yang Ibu maksud?” Tanya sopir taksi sambil menepikan mobil yang dia kendarai.

Akhirnya setelah 30 menit, taksi yang ditumpangi nya tiba di depan sebuah rumah mewah. Ina memperhatikan nomor yang tertempel di depan pagar. Dan mencocokkan dengan kertas yang ada di tanganku. Itu benar-benar sama.

“Sepertinya iya pak. Terima kasih ya. Berapa argonya, Pak?”

“Apa Ibu sudah yakin benar ini alamatnya?” Bukannya menjawab pertanyaan Ina, tetapi sopir taksi itu malah balik bertanya. Entahlah mungkin sopir taksi itu sedang mengkhawatirkannya.

“Insya Allah sudah benar pak. Terima kasih.” Ina mengulurkan selembar uang berwarna merah setelah matanya memindai nominal argo.

“Apakah sebaiknya saya menunggu Ibu selesai dengan urusan ibu ataukah tidak?” Tanya sopir taksi itu lagi. Ina juga tidak tahu. Dia orang asing, mereka baru bertemu hari itu. Tapi kenapa sopir itu tampak khawatir sekali.

"Apakah aku tampak begitu menyedihkan?" gumam Ina.

“Tidak perlu, Pak. In Syaa Allah ini sudah benar alamatnya.” Ina meyakinkan sopir itu agar segera menerima uang yang dia ulurkan.

“Ibu bisa mencatat nomor ini. Jika Ibu membutuhkan tumpangan lain kali, Ibu bisa menghubungi saya.” setelah menerima uang yang Ina ulurkan, Sopir itu berbicara sambil menunjukkan sebuah nomor yang tertempel di kaca mobil bagian depan.

Ina pun melakukan apa yang sopir itu katakan. Tidak ada salahnya menyimpan kontak itu. Barangkali memang dia akan membutuhkannya suatu saat nanti.

“Bismillah…” Ina memejamkan mata sebelum kemudian mendekat ke arah pintu gerbang.Menekan bel yang berada di salah satu sisi dinding pinggiran gerbang.

Menunggu beberapa saat sampai kemudian seorang laki-laki mengenakan seragam satpam datang membuka pintu.

“Yaa? Ada apa?” Satpam itu bertanya sambil memperhatikan penampilan Ina dari atas sampai bawah. “Maaf di sini tidak menerima permintaan sumbangan!”

 Sungguh perkataan satpam itu sangat membuat Ina merasa terhina.

Ina memejamkan mata untuk mengumpulkan kesabaran. Mungkin karena penampilannya yang memang orang desa, jauh dengan penampilan orang kota yang modis, sehingga membuatnya berpikir bahwa Ina adalah seorang pengemis yang meminta-minta.

“Maaf, Pak. Saya datang bukan untuk meminta sumbangan. Saya ingin mencari Mas Ranu. Apa benar Mas Ranu bekerja di rumah ini?” Tanya Ina kemudian.

“Pak Ranu?”

Ina tidak tahu apa yang salah dengannya, tapi lagi-lagi satpam itu memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. "Apakah penampilanku benar-benar menjijikkan?" pikir Ina

“Iya Pak, Mas Ranu. Bukankah dia bekerja di rumah ini? Saya mendapatkan alamat ini dari saudaranya yang ada di desa, dia yang membawa Mas Ranu untuk bekerja di sini.” Ina menjelaskan maksud kedatangannya.

“Kamu ini siapa? Dan apa hubunganmu dengan Pak Ranu?” tanya satpam itu, yang di dadanya tertulis nama Basuki.

“Saya ini… ‘

“Awas sana minggir dulu.”

Belum sempat Ina menjelaskan siapa dirinya, satpam bernama Basuki itu menyuruhnya minggir karena ada mobil yang datang. Lelaki yang ina tafsir berusia kira-kira 35 tahun itu segera membuka pintu gerbang.

Ina terkesiap melihat siapa yang berada di dalam mobil dan bertindak sebagai pemegang kemudi. Itu adalah orang yang dia nantikan siang dan malam, orang yang pergi meninggalkan dia dan anaknya tanpa kabar berita. Itu adalah Ranu suaminya.

Bener wajah itu miliknya. Tetapi apa benar itu dia. Meskipun terhalang kaca mobil Ina bisa melihat penampilannya yang berbeda. Dia memakai baju yang bagus, dan rambutnya juga disisir klimis. Dan apa ini, suaminya bisa menyetir mobil? Sejak kapan?

Mobil telah masuk ke dalam halaman yang luas. Dari luar gerbang yang belum tertutup, Ina melihat ada seorang pria turun dari pintu bagian kemudi.

“Mas Ranu…” Ina berlari menerobos ke dalam halaman. Benar itu adalah dia. Itu adalah suaminya yang sudah 8 bulan tidak ada kabar berita.

“Hei, jangan lancang!” Basuki berteriak memanggilnya.

Ina tidak peduli, dia berlari dan terus berlari hingga akhirnya tiba juga di hadapan orang yang dia rindukan.

“Mas Ranu…!” Ina menghambur memeluk pria itu.

“Apa-apaan kamu ini!”

Ina tersentak kaget saat seorang wanita cantik menarik tangannya hingga pelukan yang belum sampai 1 menit itu terlepas.

02

Ina terkejut karena tubuhnya nyaris terhempas.

Akan tetapi lebih terkejut lagi karena suaminya bahkan tidak menolongnya. Suaminya malah membiarkan tangannya digenggam oleh wanita yang tadi memutus pelukan mereka.

Ina melihat ke arah wanita itu. Yang dia rasa usianya tak jauh beda dengannya. Hanya saja wanita itu kelihatan lebih muda. Mungkin karena tubuh dan wajahnya lebih terawat. Tidak seperti dirinya yang kucel dan kusam. "Apa dia majikan suamiku?" batin Ina. "Tapi kenapa mereka begitu akrab hingga saling berpegangan tangan?"

“Siapa dia, Sayang?” Ina melihat wanita itu bertanya pada suaminya, sambil menatap tidak suka ke arahnya.

Ina merasa ada yang salah dengan kupingnya. Apa tadi? Dia memanggil suaminya apa? Sayang? Apa Ina tidak salah dengar?

“Dia istriku yang di kampung, yang pernah aku ceritakan padamu.” Ina tertegun. Suaminya menjawab pertanyaan itu dengan enteng. Seakan Dia sudah biasa saja dipanggil dengan sebutan itu tadi.

Yang membuat dadanya terasa sesak adalah, suaminya melihatnya seperti orang asing. Ada apa ini? Kenapa suaminya bahkan seperti tidak mengharapkan kehadirannya. Tak terlihat setitik pun rindu di sorot mata suaminya.

“Ohh ..!” Ina kembali tertegun, Tampaknya wanita itu tidak terkejut mendengar statusnya. Artinya dia sudah tahu kalau Ranu punya seorang istri, kan? Tapi kenapa dia masih menempel pada suaminya?

“Assalamualaikum, Nyonya. Saya datang untuk bertemu dengan mas Ranu.” Ina masih mencoba berpikir tenang.

“Ya sudah, ajak istrimu masuk!” Ina heran. wanita itu masuk tanpa melepaskan tangannya dari suaminya, dan suaminya pun mengikutinya.

“Mas..?” Ina memanggil suaminya.

Ranu menoleh pada Ina dan berseru, “Masuklah!” Tapi dia tak menunggunya. Dia masih setia menggandeng tangan wanita itu. Hingga mau tak mau Ina harus mengikutinya.

“Ada apa sih di depan? Kok sepertinya sedikit berisik?”

Belum lagi mereka sampai ke dalam. Tapi ada suara yang sangat tidak asing di telinga Ina. Itu seperti suara…

“Itu, Bu. Ada istri kampungnya mas Ranu.” Jawab wanita yang Ina pikir majikan suaminya.

“Apa? Inna? Mau apa dia ke sini? Dan bagaimana dia bisa sampai di sini?”

Ina tercengang saat suara familiar itu kembali terdengar.

“Ibu..?” Ina benar-benar syok. Itu ibu mertuanya? Kenapa ibu mertuanya bisa ada di rumah majikan suaminya? Ina menutup mulutku saat melihat wajah tua itu. Dan wanita yang sedang duduk di sampingnya. Ratna? Adik suaminya itu. Kenapa Dia juga ada di sini? Bukankah katanya dia sedang ada di rumah suaminya.

Mereka, keluarga suaminya, bagaimana mereka bisa mengenal majikan Ranu? Ina putar otaknya sedemikian rupa pun, tetap tak bisa menyimpulkan jawabannya.

“Ibu dan Ratna kenapa bisa ada di sini?” Akhirnya Ina tak lagi bisa menahan rasa penasaran yang bercokol di benakku. Ina metatap wajah mereka yang malah saling pandang tanpa sepatah kata.

“Sudahlah Sayang. Dia sudah ada di sini juga. Apa lagi yang mau disembunyikan!” Seru wanita yang sejak tadi tak mau lepas dari Ranu. Ina melihat suaminya mengambil nafas dalam.

“Sudah biar ibu saja yang bicara!” Ibu mertua Ina berseru sebelum Ranu sempat mengeluarkan sepatah kata. “Wanita cantik yang ada di samping suamimu itu, adalah Siska. Dia istri Ranu juga.”

Duarr..

Ina menoleh ke arah suaminya dengan kepala tergeleng. “Itu tidak benar kan, Mas?” tanyanya. Air mataku lolos tanpa permisi. Sama sekali tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ina berharap itu bohong. Tapi sayangnya, suaminya mengangguk, membenarkan pernyataan ibunya.

“Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa mas menikah lagi, dan itu pun tanpa izin dariku.” pekik Ina.

“Heh, perempuan udik. Memangnya kalau Ranu ijin sama kamu, kamu bakalan ijinkan?” sahut mertuanya.

“Tentu saja tidak Bu. Mana ada seorang istri yang rela melihat suaminya menikah lagi.” Ina tidak habis pikir dengan jalan otak ibu mertuanya.

“Memangnya Mbak Inna itu siapa, sampai mas Ranu butuh ijin dari Mbak?” Bukan suaminya, adiknya yang menyahuti perkataan Ina.

“Aku istrinya, kalau kamu lupa.” Ina berteriak kencang.

“Sayang, istri udik mu ini benar-benar gak bisa lihat diri sendiri ya. Sudah penampilan dekil, kucel, banyak omong, sok iyes lagi.” perempuan yang oleh ibu mertuanya disebut dengan nama Siska menatapnya penuh cemooh.

“Pantas saja selama ini ibu tenang-tenang saja meskipun Mas Ranu tidak pulang ke rumah. Jadi ini alasannya Bu? Jadi sebenarnya Ibu sudah tahu kalau Mas Ranu menikah lagi?” Ina kembali hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan air mata yang terus jatuh berlinang.

“Ya iyalah sudah tahu. Mbak Inna ini bagaimana sih? Ya mana mungkin Mas Ranu itu menikah lalu kami tidak datang.” Ratna berbicara sambil meniup kukunya yang tampak mengkilap karena dipoles kuteks.

Ina benar-benar sakit hati melihat situasi yang saat ini ada di hadapannya. Mereka semua terlihat tenang-tenang saja, sama sekali tak ada rasa bersalah sedikitpun di riak muka mereka.

“Bu, kenapa sih, mas Sugi harus memberikan alamat rumah ini pada wanita itu? Menyebalkan tau gak?”

Ina tertawa sambil memegang dadanya. Fakta apa lagi ini. Wanita itu bahkan mengenal Sugi. Apakah itu artinya pernikahan mereka memang telah direncanakan sejak lama. Apakah itu berarti kepergian Ranu ke kota sebenarnya bukan untuk bekerja tetapi untuk menikah lagi dengan wanita bernama Siska itu? Sungguh, itu adalah persekongkolan yang sangat sempurna.

"Ya Tuhan kenapa aku begitu bodoh. Siang dan malam, Aku menantikan dengan cemas kepulangan laki-laki yang telah mengucap ijab atas diriku. Takut terjadi sesuatu padanya. Takut dia sedang tidak baik-baik saja, hingga sampai tak bisa memberi kabar.Tetapi ternyata yang aku nantikan, malah sedang hidup berbahagia dengan istri barunya." Ina menggelengkan kepalanya berkali-kali.

“Kenapa kamu tega lakukan ini padaku Mas? Apa salahku padamu? Apa kurangku dalam pengabdianku selama ini? Aku selalu ikhlas menemanimu meskipun kita dalam kesusahan. Sebelas tahun Mas. Kita tidak pernah ada masalah sedikitpun. Tapi kenapa tiba-tiba saja kau berpaling?” Ina memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.

“Dasar lebay kamu Mbak. Sok paling berkorban. Lagian mikir dong Mbak. Coba diingat, yang katanya sebelas tahun berjuang bersama. Mana hasilnya Mbak. Mas Ranu tidak pernah ada peningkatan ekonomi sedikitpun bersama dengan Mbak. Malah semakin melarat iya. Siapa yang betah Mbak.”

Lagi-lagi Ratna yang paling vokal. Sedangkan suaminya terlihat seperti kerupuk yang melempem tersiram air. Dia sama sekali tak bersuara. Membiarkan ibu, adik, dan wanita yang katanya istri keduanya itu saja yang terus berbicara menyahuti setiap perkataan Ina.

“Lalu jika kami melarat, itu salahku? Kenapa tidak salahkan saudara laki-lakimu yang tidak mau mencari pekerjaan. Mas Ranu yang sama sekali tidak pernah mau berusaha. Selama ini aku sudah melakukan apapun yang aku bisa. Dan itu masih kurang menurut kalian, dan itu tetap aku yang salah karena kami miskin?” Ina tidak habis pikir dengan jalan pikiran mereka.

“Ya tentu saja kamu yang salah Mbak. Karena kamu itu bukan perempuan pembawa hoki. Kamu itu perempuan pembawa kemelaratan. Buktinya setelah menikah dengan Mbak Siska, kehidupan mas Ranu jadi lebih baik. Kamu tidak buta kan untuk tidak bisa melihat perbedaan Mas Ranu ketika masih bersamamu dengan mas Ranu yang sekarang?”

Wah luar biasa. Pembelaan yang sangat sempurna. Ina bahkan sampai tak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adik iparnya. Lagi-lagi Ina hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan diri yang selama ini terlalu bodoh.

Sebelas tahun. Ina yang seorang wanita rela bekerja banting tulang. Apapun dia lakukan agar keluarganya bisa makan. Bahkan suaminya yang seorang pria, yang notabenenya adalah lulusan sarjana, tidak ada yang dia lakukan setiap hari selain hanya duduk ongkang kaki saja di rumah.

Setiap kali ina memintanya untuk mencari pekerjaan, Dia selalu bilang merasa gengsi, jika bekerja tidak sesuai dengan ijazahnya. Ditambah ibunya yang selalu mendoktrinnya, jika lulusan sarjana seharusnya hanya boleh bekerja di kantoran.

Lama-kelamaan menjadi pengangguran terlalu membuatnya merasa nyaman. Sehingga pada akhirnya justru membuat dia hanya tergantung pada istrinya saja.

Ina memang tahu keluarga suaminya tak pernah menyukainya, tetapi Ina pikir seiring berjalannya waktu mereka bisa melihat ketulusannya dan itu akan merubah sedikit saja cara pandang mereka terhadapnya, tetapi nyatanya dia salah. Dia yang terlalu naif, dengan berpikir, bahwa suatu saat mereka pasti akan bersikap baik padanya.

Pada akhirnya tetap kemiskinan mereka yang diungkit. Dan pada akhirnya tetap saja dia yang salah. Sekarang dia pun berakhir kalah.

Yang Ina heran adalah mereka tidak melihat bagaimana mereka dari awal. Mereka berjuang dari nol dan bahkan tanpa modal apapun selain tangan dan kaki, menghidupi seorang anak dan bahkan terkadang juga ikut membantu makan sehari-hari keluarga ibunya.

Lalu sekarang dia dibandingkan dengan Siska, yang pada saat Ranu baru masuk saja dia memang sudah kaya raya. Apakah itu masuk akal?

03

Ina keluar dari rumah mewah milik istri kedua suaminya dengan pikiran yang carut-marut. Bagai gelas kristal yang dijatuhkan dari ketinggian dan menimpa batu cadas, seperti itulah kondisi hatinya saat ini. Hancur lebur hingga menjadi puing-puing.

Sore ini juga Ina memutuskan untuk pulang. Ina tidak akan menunggu lama, terlebih menunggu di rumah itu. Rumah di mana dia dihina. Rumah di mana dia direndahkan. Tidak, Ina tidak sebodoh itu.

“Sudahlah, terima saja pernikahan kedua suamimu ini. Toh bukannya dengan begitu, kamu jadi tidak perlu bekerja keras untuk suamimu yang katanya pengangguran. Kamu hanya tinggal mencari uang untuk kamu sendiri dan anakmu saja. Harusnya kamu lebih bersyukur.”

Masih terngiang omongan ibu mertuanya yang seolah menganggap segalanya seperti mainan belaka. Sepertinya rumah tangga yang mereka bina selama ini tidak ada arti sama sekali bagi ibu mertuanya.

"Aku tidak habis pikir. Ibu, Ratna, dan Siska. kalian semua sama-sama wanita sama sepertiku. tetapi kalian dengan tega berbuat hal seperti ini padaku. kalian dengan kejam melakukan persekongkolan pengkhianatan. Apa kalian lupa, bahwa apapun yang kalian lakukan ini bisa saja suatu saat juga akan terjadi pada diri kalian."

"kamu menyumpahiku Mbak?" Ina tidak tahu apa yang salah dengan apa yang dia ucapkan tadi. tiba-tiba saja Ratna adik iparnya menjadi berang.

"Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi. karena suamiku sangat mencintaiku Dan Dia adalah tipe laki-laki setia."

Ina tertawa mendengarnya. Bukankah itu artinya Ratna mengakui kalau kakaknya tidak setia.

"Itu benar. Ratna ini wanita yang sangat cantik. bukan perempuan udik, miskin, kucel, dan jelek sepertimu. Jadi tidak akan mungkin suaminya meninggalkannya dan mencari wanita lain." ibu mertua membela putrinya.

"Kalau kamu sih memang pantas untuk ditinggalkan. coba sana berkaca dan lihat dirimu itu. Lalu bandingkan antara dirimu dengan Ratna dan Siska. Jangan menyamakan nasib kalian karena jelas-jelas tidak sama." ibu mertua berbicara sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajah Ina

“Kalau mbak Ina mau, Mbak Ina juga boleh tinggal di sini. Aku harus memanggil Mbak kan? karena Mbak adalah kakak maduku? Mbak tinggal saja di sini. Dengan anak Mbak itu juga. Tapi tentu saja tidak gratis. Mbak harus bantu-bantu mengerjakan semua pekerjaan rumah. Hitung-hitung sebagai pengganti uang makan Mbak dan anak Mbak setiap hari.”

Dada Ina semakin perih. Sungguh, ucapan penuh hinaan itu takkan pernah terlupa seumur hidupnya. Biar saja saat ini mereka merendahkannya menganggapnya begitu miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak memiliki apa-apa. Tetapi meskipun miskin, bukan berarti Ina akan membiarkan dirinya menjadi babu bagi mereka. Ina masih cukup bisa berpikir waras.

***

Ina melangkahkan kaki untuk keluar dari gang tempat di mana komplek perumahan mewah milik istri kedua suaminya berada. Mencoba mengingat dari arah mana tadi taksi yang dia tumpangi masuk.

Hari sudah hampir sore, tapi dia tidak mungkin menunda kepulangannya. Terlebih jika dia harus menunggu di rumah itu. Bersama orang-orang yang memandangnya dengan tatapan hina.

Entah masih ada bis jurusan desanya atau tidak di terminal nanti. Atau mungkin dia akan duduk diam di terminal sampai pagi tiba.

*

Ina duduk di sebuah kedai pinggir jalan. Dipesannya segelas es teh jumbo. Mungkin itu bisa mendinginkan kepala. Hanya es teh. Ina tidak ingin memesan makanan. Karena bahkan dia tidak memiliki selera untuk makan.

Entah ke mana rasa laparnya pergi. Padahal terakhir kali dia memasukkan makanan ke dalam mulut, adalah pagi hari saat sarapan sebelum berangkat ke terminal tadi.

Mengambil nafas dalam-dalam kemudian membuang kembali. Memejamkan mata untuk mengusir sesak di dada. Tidak, Ina tidak mau seperti ini. Biar saja dia kehilangan suami, akan tetapi dia tidak mau menjadi lemah. Ada Andri yang menunggunya di rumah. Dia harus tetap bisa berdiri tegak apapun yang saat ini terjadi dalam hidupnya.

Ina berdiri setelah menghabiskan satu gelas besar es teh. Dia harus segera pergi ke terminal. Atau Dia akan semakin kemalaman di jalan.

Tiba-tiba saja Ina teringat kalau tadi menyimpan nomor pemilik taksi. Tidak ada pilihan lain. Daripada mencari angkot yang tidak tahu kapan akan dia dapatkan, dan bahkan dia juga tidak tahu, di tempat itu di mana bisa mencari angkot.

Tidak sampai lima belas menit menunggu. Taksi yang dia hubungi tiba. Dan benar-benar sopir yang tadi siang membawanya dari terminal Bungurasih ke komplek ini.

“Lalu setelah ini Ibu mau ke mana?” Tanya sopir taksi itu ketika mereka sudah dalam perjalanan ke Bungurasih.

“Saya mau kembali pulang ke desa, Pak. Sejujurnya saya datang ke kota untuk mencari suami saya. Tapi setelah kami bertemu, ternyata dia sudah menikah lagi. Dan bahkan ibu mertuaku juga sudah mengetahuinya, adik iparku saat ini juga sedang berada di rumah itu."

"Yang aku pikir adalah rumah majikan dari suamiku, ternyata itu adalah rumah istri keduanya. Ternyata suamiku pergi ke kota bukan untuk bekerja, melainkan untuk menikah lagi.”

Entah apa yang sedang terjadi padanya. Kenapa dia bisa begitu saja percaya pada orang yang baru saja ditemui. Bahkan dengan lancar Ina menceritakan sebuah masalah dalam hidupnya.

Masalah yang seharusnya adalah satu rahasia, yang seharusnya hanya boleh dia ceritakan pada keluarganya. Tapi kenapa tiba-tiba dia menceritakannya kepada orang asing. Sebegitu frustasi kah dia?

“Ini, Bu.” Sopir taksi itu mengulurkan beberapa lembar tisu yang dia ambil dari dashboard kepadaku. Mungkin karena melihat Ina menangis dan menghapus air mata dengan punggung tangan. Ina merasa dirinya terlalu cengeng. Bagaimana bisa dia menangis di hadapan orang asing.

“Tapi sebentar lagi akan malam Bu. Berapa lama perjalanan dari kota ini ke desa ibu? Kalau bus di terminal mungkin ada. Tapi bagaimana ketika ibu sampai di desa nanti. Mungkin tengah malam. Apakah rumah ibu dekat atau jauh dari tempat pemberhentian bus.”

Sesuatu yang tak pernah Ina pikirkan. Perhitungan seperti itu tidak masuk ke dalam otaknya beberapa saat lalu. Tapi sopir taksi itu dengan detail mempertanyakannya. Ya Tuhan kenapa tiba-tiba saja Ina juga jadi berpikir ke arah sana.

Sekarang sudah jam lima sore. Sedangkan dia masih belum sampai di terminal. Perjalanan dari terminal sini sampai ke terminal yang ada di desanya tadi siang memakan waktu selama lima jam. Itu artinya dia akan sampai di terminal Caruban ketika tengah malam. Itu pun jika sampai di Bungurasih nanti dia langsung mendapatkan bis. Dan itu juga jika tidak ada kendala dalam perjalanan.

Lalu setelah sampai di terminal nanti, apa dia langsung bisa mendapatkan ojek. Bagaimana jika tidak? Apa dia hanya akan duduk di terminal seperti orang hilang? Ya Tuhan kenapa ada hari seperti ini dalam hidupnya?

“Bagaimana jika Ibu naik travel saja. Kalau naik travel Ibu tidak perlu turun di tempat pemberhentian bus. Mobil travel bisa langsung mengantar Ibu sampai ke depan rumah. Hanya saja mungkin biayanya sedikit mahal.”

Ina memikirkan solusi yang baru saja diberikan oleh sopir taksi. Dan apapun itu, semua yang baru saja dikatakan oleh pria yang dia tafsir berusia sepantaran dengan Ranu memang benar adanya.

“Jika Ibu mau saya akan langsung mengantarkan Ibu ke tempat travel?”

Apa ada orang yang begini baik pada orang yang baru saja dikenalnya. Ina tidak mau suudzon pada orang yang bersikap baik padanya. Akan tetapi Ina tiba-tiba merasa takut. Bagaimana jika ternyata sopir taksi ini memiliki niat buruk padanya?

Akan tetapi semua sudah kepalang tanggung. Jika dia tidak mendapat niat buruk di sini, tetap saja dia juga akan terlunta-lunta di terminal nanti ketika dia tiba di sana saat tengah malam tiba. Dan keadaan di terminal di tengah malam tentu saja juga bukan sesuatu yang aman bagi seorang wanita sepertinya.

Ina bingung harus bagaimana ? Menerima tawaran sopir taksi itu menuju tempat travel, atau tetap mencari bus di terminal.

Ina memejamkan mata dan mengambil nafas dalam-dalam. “Bismillah,” ucapnya dalam hati. "Apapun itu semua sudah ku serahkan kepadamu ya Allah. Maka lindungilah aku dari kejahatan setan berwujud manusia." doanya.

Dua puluh menit perjalanan, taksi yang Ina tumpangi tiba juga di tempat travel yang dimaksud oleh pak sopir.

“Saya sudah menerimanya, Bu. Ambil saja ya buat pegangan ibu. Nanti Ibu gunakan saja untuk membayar travel.”

Ingin rasanya Ina menangis, sopir taksi yang bahkan tak dia kenal siapa namanya itu bahkan menolak ongkos yang dia berikan. Beralasan bahwa dia lupa menyalakan argonya. Tetapi yang ina tahu Itu hanya alasan karena dia ingin menolongnya Apakah dia tampak benar-benar begitu menyedihkan?

“Terima kasih ya, Pak. Saya tidak tahu apa saya memiliki kesempatan untuk membalas kebaikan Bapak. Tapi saya berdoa semoga Allah membalasnya dengan rezeki yang berlipat-lipat.” Ina memanjatkan doa sebagai ganti kebaikan dari sopir taksi itu.

“Sama-sama Bu. Hati-hati ya dalam perjalanan. Semoga perjalanannya lancar.”

Ina segera masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil travel yang berupa sebuah minibus itu sudah ada enam orang penumpang lainnya yang juga akan melakukan perjalanan searah dengannya.

Sebelum mobil travel yang dia tumpangi berjalan, Ina masih sempat mendengar sopir taksi itu berpesan kepada sopir travel, agar menurunkannya ketika sampai di depan rumahnya. Ya Tuhan dia itu manusia ataukah malaikat yang sedang menyamar.

***

“Itu benar-benar tidak perlu Bu. Ongkos travel benar-benar sudah dibayar oleh teman ibu yang tadi waktu sebelum berangkat.”

Ina benar-benar syok, ketika lewat dari tengah malam mobil travel yang dia tumpangi sampai di desanya dan tepat di depan rumahnya. Sopir travel menolak ongkos yang dia berikan, dan mengatakan bahwa ongkos sudah dibayar oleh sopir taksi yang tadi menolongnya.

Siapa sebenarnya sopir taksi itu? Kenapa dengan rela hati menolongnya, orang yang tak pernah dikenalnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!