“Kamu bilang, kamu tidak akan memberi izin aku menikah lagi? Memangnya kamu bisa membuat perekonomian keluarga kita membaik, hingga kamu melarangku menikah lagi?” Mata tajam Andika menatap bengis wajah wanita tua di hadapannya.
Mendung namanya, wanita yang tetap terlihat cantik meski usianya tak lagi muda. Hanya saja, kecantikan Mendung tak mampu membuat ekonomi mereka membaik. Andai sampai harus ada adegan Andika menjual Mendung menjadi wanita penghibur selaku pekerjaan mujarab yang menghasilkan uang secara cepat, laki-laki bodoh mana yang mau membeli wanita tua seperti Mendung?
Bagi Andika, satu-satunya cara membuat perekonomian membaik hanyalah menerima tawaran bosnya. Ternyata, bosnya yang sudah satu tahun menjanda, sangat berhasrat kepadanya. Sekadar mau menemani sang bos jalan saja, Andika mendapatkan banyak tunjangan. Apa kabar jika Andika sampai menikahi wanita yang usianya juga sama-sama tua layaknya dirinya dan Mendung? Tentu semua permasalahan ekonomi mereka akan teratasi. Jadi sekarang, cukup membereskan Mendung saja.
“Suka tidak suka, kamu harus terima. Bahkan tanpa restumu pun, aku akan tetap menikah lagi!” tegas Andika.
Mendung menatap sang suami dengan air mata yang nyaris jatuh dari kedua sudut matanya. Kedua tangannya mengepal kencang di sisi tubuh. Saking kencangnya, kuku-kuku di jemarinya sampai melukai telapak tangannya. Namun, luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan dengan luka yang silih berganti bahkan bertubi-tubi Mendung dapatkan dari sang suami.
“Tujuh tahun, Mas ... tujuh tahun aku merawatmu! Kami stroke, ... bahkan kamu komplikasi!” Suara Mendung tercekat di tenggorokan. “Aku berjuang sendiri dengan Pelangi. Pelangi sampai kerja di tengah kesibukannya sekolah. Demi apa? Demi kesehatan Mas. Demi keutuhan keluarga kita, meski semasa sehat, Mas hanya fokus mengurus adik-adik Mas dan juga rumah tangga mereka! Namun setelah Mas sehat ... begini balasan Mas?”
“Bahkan satu bulan lagi, Pelangi akan menikah. Sementara adat kita mewajibkan, orang tua Pelangi harus utuh karena calon Pelangi juga anak pertama di keluarganya!”
“Di saat Pelangi akan menikah, kamu juga mau menikah lagi!” Tangis Mendung pecah. Ia menangis meraung-raung dan tidak bisa menyudahinya.
“Justru karena Pelangi akan menikah, kita butuh modal besar, Ma! Lagi pula aku akan menikah dengan bosku! Dia wanita terhormat dan—”
“Sejak kapan ada wanita terhormat yang tega merusak rumah tangga orang?!" sergah Mendung makin emosi.
“Plaaaaakkkk!” Tamparan panas tangan kanan Andika mendarat di pipi kiri Mendung. Detik itu juga, jerit histeris Pelangi terdengar.
“Ayah! Apa yang Ayah lakukan!” Pelangi yang baru pulang kerja, buru-buru lari menghampiri. Ia menyaksikan semata-mata kelakuan bobrok sang ayah. Naasnya, kini bukan untuk pertama, kedua, bahkan kesepuluh, yang terjadi. Ayahnya yang temperamental sudah terbiasa melakukan KDRT kepada Mendung.
Mendung yang kebetulan sedang kurang sehat, langsung terbanting. “Bunuh aku, Mas! Bunuh! Bunuh saja aku biar kamu puas! Dari dulu kamu terus begini, bahkan meski anak-anak sudah dewasa!”
“Bundaa ....” Pelangi tersedu-sedu. Hatinya begitu hancur menyaksikan pemandangan menyedihkan yang tengah berlangsung.
“Wanita tidak berguna sepertimu memang lebih baik mati!” kecam Andika yang tak segan menendang berkali-kali tubuh lemah sang istri.
“Ayah, sudah .....” Tenaga Pelangi tak ada apa-apanya dari sang ayah yang sedang emosi.
Awalnya, Pelangi berniat keluar meminta bantuan. Namun karena ketika ia menoleh ke belakang, sang ayah tak segan mengangkat tubuh bundanya, kemudian membantingnya, dendam dan kecewa yang teramat besar dalam hatinya, meluap. Tanpa pikir panjang, Pelangi mengambil vas bunga besar dari meja sebelah, kemudian menggunakannya untuk menghantam sang ayah.
Sudah tua, dan harusnya menjadi pribadi lebih baik, sang bapak justru makin toxic. Masih saja membuat keadaan, seolah-olah bundanya bukanlah istri yang diinginkan.
Kehancuran rumah tangga orang tuanya di masa lalu memang menjadi trauma tersendiri untuk Mendung. Bertahun-tahun Mendung terkungkung dalam ketakutan tak bertepi. Hingga Mendung bertekad membuat anak-anaknya tak pernah merasakan trauma perceraian orang tua. Sebab suka tidak suka, meski dunia dengan tegas tak ada yang namanya mantan anak, Mendung kecil tetap merasakannya. Ia sungguh dibuang karena pada akhirnya, orang tuanya fokus pada kehidupan baru mereka. Baik mamak maupun bapak Mendung memaksa Mendung untuk serba berjuang sendiri
Dunia Mendung seolah berhenti berputar ketika menyaksikan apa yang putri semata wayangnya lakukan. Persis seperti yang Andika lakukan kepadanya, Pelangi juga menghajar Andika dengan brutal.
“Pria seperti Ayah lebih baik mati!”
“Aku benci Ayah!”
“Lebih baik aku tidak pernah punya ayah, jika ayahku hanya melukai Bunda!”
“Seharusnya Ayah mikir, Bunda yang selama ini berjuang. Bunda mati-matian mengurus Ayah, bahkan keluarga kita karena semasa sehat, Ayah hanya sibuk mengurus keluarga Ayah!”
“Tentu aku tidak lupa, Ayah selalu bilang bahwa Ayah menyesal punya aku. Karena harusnya, Bunda tidak pernah punya anak agar beban hidup Ayah tidak bertambah. Karena ketimbang mengurus kami yang jelas-jelas tanggung jawab Ayah sampai akhirat, Ayah lebih ikhlas mengurus keluarga adik-adik Ayah!”
“Di saat aku menangis karena aku butuh pakaian, mainan, makanan, bahkan saat aku butuh Ayah, ... Ayah tidak pernah ada hanya karena aku dan Bunda bukan prioritas Ayah! Karena lagi-lagi, mereka anak-anak adik Ayah, jauh lebih penting dari Ayah!”
“Sekarang ... setelah tahu begini, ... jangan pernah lagi berharap Bunda apalagi aku, mengurus Ayah!”
“Sana pergi ke keluarga Ayah. Karena selama ini saja, mereka yang Ayah urus! Pergi sana, jika tidak langsung mati saja!”
Pelangi benar-benar marah. Sekali lagi, meski sang ayah juga sudah berdarah-darah, jiwa monster dalam dirinya sungguh belum puas jika ia berhenti menendang maupun mengamuk pria tua yang tak pantas ia sebut ayah itu.
****
Assalamualaikum, aku kembali dan kali ini sengaja bikin novel lansia. Mohon dukungannya. Bacanya yang tertib ya. Tolong kalau sudah baca, lanjut biar retensi enggak anjlok 🙏
“Bunda, tolong buka matamu. Tolong dengarkan aku! Setelah ini, Bunda harus bercerai dari ayah. Bunda ... Bunda masih bisa mendengarku, kan?”
Tangis kepedihan Pelangi sang putri membuat kesadaran Mendung, kembali terisi. Mendung terkapar di lantai ruang tamu setelah dihajar Andika sang suami. Pria yang usianya sudah lima puluh tahunan itu menghajar Mendung hingga sekarat, hanya karena Mendung menentang rencana pernikahan baru Andika.
Masalahnya, Mendung tak mungkin bercerai karena Pelangi akan menikah dalam waktu dekat. Adat pernikahan yang mengikat, menjadikan syarat orang tua pihak Pelangi harus ‘utuh’ jika Pelangi ingin melanjutkan rencana pernikahannya.
Padahal dulu, Pelangi yang selalu memohon kepada Mendung agar bundanya tetap bertahan. Apa pun yang terjadi, Pelangi selalu memohon agar bundanya tidak pernah bercerai dari sang ayah. Pelangi selalu meyakinkan, akan ada masa hati ayahnya menjadi lembut, menjadi ayah-ayah penyayang seperti mereka di luar sana. Terlebih setelah sang ayah mengalami kecelakaan lalu lintas fatal dan membuat pria itu stroke. Sedangkan keluarga Andika yang selalu dibela, langsung menjauh tanpa ada satu pun yang peduli, walau hanya memberikan bantuan tenaga.
Setelah mengalami kecelakaan dan sempat terkena saraf kejepit dan juga tukak lambung secara bersamaan, Andika memang jadi agak lembut. Pria itu kerap diam-diam menangis dan tampak sangat nelangsa. Terlebih selain hanya Mendung dan Pelangi yang peduli, ekonomi keluarga mereka jadi benar-benar terpuruk karena biaya pengobatan Andika tidak lah sedikit.
“Bunda, ayah benar-benar sudah berubah. Alhamdullilah akhirnya kita bisa, Bunda!” ucap Pelangi kala itu ketika Andika yang sakit parah, mulai sepenuhnya bergantung sekaligus peduli kepada mereka.
Semula, hubungan mereka sungguh baik-baik saja. Pelangi apalagi Mendung tidak pernah mempermasalahkan hutang menggunung yang melilit mereka untuk biaya pengobatan Andika. Mereka mau-mau saja bekerja keras tanpa kenal waktu agar hasilnya bisa untuk mencicil hutang. Namun, justru Andika yang kelabakan. Apalagi setelah Andika bekerja dan langsung dekat dengan bosnya yang statusnya janda. Beberapa kali terdengar pula hubungan keduanya yang sudah menjadi obrolan hangat tetangga.
***
Tiga hari sudah kejadian itu berlalu. Mendung juga sudah diizinkan pulang dari puskesmas, sementara Andika tak lagi di rumah. Andika dibawa Yanti sang bos, dan tak lain merupakan wanita yang akan Andika nikahi. Yanti yang masih muda dan kiranya baru berusia di awal tiga puluhan itu dengan terang-terangan mengumbar rasa cintanya kepada Andika.
Mendung memang sakit karenanya. Hati Mendung yang dipenuhi luka teriris pedih dibuatnya. Akan tetapi karena sudah terbiasa disakiti, rasa sakit itu akan pergi dengan sendirinya. Malahan, justru Pelangi yang jadi kerap tantrum dan kesulitan mengontrol emosi. Ditambah lagi, Mendung yakin hubungan terlarang antara Andika dan Yanti juga sudah terendus oleh pihak Rendy, calon suami Pelangi.
“Ikhlaskan, Ngi. Ikhlas ... ini sudah menjadi pilihan ayah.” Mendung duduk lemah di sudut kasur sembari menatap Pelangi yang sedang bersimpuh di hadapannya.
Sebagai bentuk dari penyesalannya karena terus meminta sang mama bertahan, anak gadisnya yang tahun ini akan genap berusia dua puluh empat tahun itu, mencuci kedua kaki Mendung. Berulang kali Pelangi memohon maaf.
“Pokoknya Bunda harus cerai dari ayah, Nda. Harus! Jijik banget aku lihat kelakuan ayah! Tega banget ayah. Aku jijik, Nda ... aku jijik banget ke ayah!”
Layaknya ketika dulu memohon agar Mendung tidak pernah bercerai dari Andika, begitu pula yang Pelangi lakukan agar Mendung segera bercerai dari sang ayah.
Mendung yakin, keputusannya bertahan tidak bercerai agar membuat putri semata wayangnya merasakan keutuhan keluarga, malah berakhir fatal. Putrinya tidak baik-baik saja. Padahal tak ada satu bulan lagi, harusnya putrinya itu menikah. Harusnya, kini menjadi saat-saat bahagia putrinya.
“Dulu, Bunda selalu mengingatkan, akan ada masa kamu justru menjadi yang paling terluka karena keputusan Bunda tetap bertahan, Ngi. Luka Bunda mungkin tak seberapa karena Bunda sudah terbiasa merasakannya. Namun lukamu, ditambah lagi kamu akan menjalani pernikahan juga,” lembut Mendung sembari membelai kepal sang putri penuh kasih sayang. Hanya itu yang mampu ia berikan karena harta bendanya sungguh tak tersisa habis untuk pengobatan Andika.
“Satu yang Bunda minta dari kamu, Ngie. Jangan pernah trauma, jangan pernah takut bercerai. Karena meski Allah membenci perceraian, Allah tetap lebih membenci umatnya yang saling menyakiti!” Walau begitu, dalam hati Mendung berdalih, “Walau buah busuk bisa jatuh dengan sendirinya. Ya Allah ... izinkan aku membalas luka seumur hidup yang sudah Andika torehkan kepada Pelangi putriku. Biarkan aku membalasnya!”
Tentu Mendung masih ingat, kala awal ia hamil. Sekitar dua puluh tujuh tahun lalu, kabar kehamilan Mendung setelah dua tahun lebih menikah dengan Andika. Alih-alih disambut baik, Mendung justru diamuk.
“Goblok kamu! Aku kan sudah bilang, jangan hamil. Jangan pernah hamil! Nambah beban hidup saja!” ucap Andika tak segan menempeleng Mendung.
Padahal Mendung berpikir, pria pilihan bapaknya itu tidak pernah benar-benar menginginkannya tidak pernah hamil. Mendung sengaja diam-diam tak KB, agar dirinya hamil. Karena setelah mendengar banyak masukan orang-orang terdekatnya, biasanya kehamilan akan membuat suami kasar dan malah sibuk mengurus keluarga sendiri, jadi berubah lebih peduli kepada Mendung dan kehamilannya. Namun nyatanya sungguh tidak. Andika tetap menganggap Mendung bahkan anak yang dikandung, sebagai orang lain yang hanya akan menambah beban hidupnya.
“Aku enggak mau tahu, urus bayi kamu sendiri! Aku sudah pusing, ... beban hidupku banyak!” Itulah jawaban Andika ketika Pelangi lahir dan sibuk menangis di malam harinya.
Saat itu juga, malam-malam dan posisinya sedang hujan disertai petir, Mendung sempat minggat sambil membawa Pelangi yang masih berupa bayi merah. Sebab penantian Mendung yang menunggu Andika akan berubah dan peduli kepadanya justru sia-sia.
Namun, sampai di rumah sang bapak, Mendung malah diusir. Pintu rumah itu tertutup. Saudara tirinya pun mengecam, menganggapnya istri tidak benar. Tentunya, predikat beban keluarga, juga sempat mereka sematkan kepada Mendung.
“Ya Allah ... hidupku kok enggak berguna banget!” batin Mendung yang kemudian berkata, “Nantinya Bunda ingin, ... jika apa yang Bunda alami juga sampai kamu alami, ... jangan pernah ragu untuk bercerai, Ngi. Ingat, berharap orang berubah untuk kita itu mustahil!”
“Enggak Nda, enggak. Aku yakin, mas Riky beda. Hal semacam yang Bunda alami pasti tidak akan terjadi kepadaku!” yakin Pelangi.
“Iya ... ini hanya andai, Ngi. Bukan berarti Bunda mendoakan kamu mengalami. Hanya untuk jaga-jaga. Karena Bunda sudah mengalaminya sendiri. Tiga puluh tahun Bunda menunggu.”
Ketika Mendung masih memberi arahan Pelangi, dari luar seseorang ada yang menggedor pintu mereka. Gedoran yang makin lama makin keras dan terdengar tidak sabar. Tentu jika bukan karena terdesak, pengetuknya itu malah memiliki niat tidak baik.
“MENDUNG!”
“MENDUNG BUKA PINTUNYA JIKA KAMU TAK MAU PINTU RUMAH REOTMU INI AKU DOBRAK!”
Ketika Mendung melangkah lemah menuju pintu kayu di depan sana yang sudah didobrak dari luar. Di dapur, Pelangi tengah cekatan memotong-motong cabai rawit merah di talenan.
Satu genggam penuh cabai rawit telah Pelangi iris, kemudian tuang ke dalam baskom besar. Kemudian, satu bungkus garam juga Pelangi tuang di sana, sebelum ia isi baskom tersebut dengan air dari ember penampung, menggunakan gayung. Pelangi melakukan semuanya dengan cepat.
“Sudah tua, miskin, tak tahu diri. Jelas-jelas suamimu lebih mencintaiku yang masih muda seger montok begini. Masih saja protes tak mengizinkannya menikahi aku!” lantang Yanti, si janda berambut lurus panjang warna pirang.
Bibir tebal menor merah menyala milik Yanti, masih sibuk menghina Mendung, ketika Pelangi keluar dari dapur. Barulah setelah air berisi racikan Pelangi mengguyur wajah Yanti, secara spontan, wanita bertubuh semok montok itu diam.
“Arrrrrggghhhh perih, tolong! Bajingaaaan kamu! Air apa ini, kenapa perih banget!” Yanti histeris kesakitan.
“Rasa perih yang kamu rasakan, enggak ada apa-apanya dari rasa perih yang harus kami rasakan, ya lonte gembrot! Makan sana ayahku yang tak berguna. Semoga kalian selalu bersama-sama sampai neraka!” teriak Pelangi tak segan menaruh baskomnya di kepala Yanti, sebelum kedua tangannya menjadi sibuk memukul baskom dan membuat Yanti berakhir jatuh ke teras rumah Mendung yang masih berupa tanah.
Kedua pengawal Yanti hendak melakukan perlawanan kepada Pelangi, tetapi dengan cepat, Mendung menahannya.
“Berani kalian menyentuh putriku, kalian mati! Jika tangan kalian yang melukai putriku, berarti tangan kalian harus dipotong kemudian dicincang menjadi bagian paling halus. Begitu juga jika kalian melukai putriku menggunakan bagian tubuh kalian yang lain!” Mendung menatap keji kedua pria cungkring berpakaian ala preman di hadapannya.
Jika Mendung melawan melalui kata-kata mengancam, Pelangi sengaja menggunakan baskomnya. Ia pungut baskom biru gelap dari kepala Yanti, kemudian menggunakannya untuk menghantam brutal kedua ajudan Yanti. Baskom berakhir remuk, dan kedua pria cungkring berkelakuan kemayu yang diamuk, ngacir kabur.
Tetangga yang sebelumnya terusik dan merasa tidak nyaman dengan kedatangan Yanti, hanya menjadi penonton. Malahan, ibu-ibu tetangga nyaris mengeroyok Yanti dan mereka sebut lonte gembrot. Andai para suami atau anak-anak mereka tidak menghalang-halangi, tentu Yanti sudah remuk.
“Wuuuuuuuuaaaaaasuuuuuuuuuuu! Dasar bocah enggak tahu tata krama!” teriak Yanti yang masih meringkuk di tanah.
“Di mana-mana yang tidak ngerti tata krama itu tukang perebut suami orang, Mbak Yanti! Walau kamu dan ayahku sama saja. Sama-sama ahli neraka!” balas Pelangi segera mengangkat pintunya yang jatuh di lantai, untuk menutup pintu.
Namun karena masih gemas kepada Yanti, ia sengaja menghantamkan pintu kayu yang sebagiannya sudah dijamah rayap itu, ke Yanti. Pintunya tepat mengenai punggung sekaligus kepala Yanti. Hingga wanita berusia tiga puluhan tahun, dan sangat berambisi menikahi ayahnya itu meneriakinya “kirik” yang artinya “anak anjing”
“Kalau aku kirik, berarti ayahku anjing. Lah tahu gitu, kok kamu gatel banget ke ayahku?” semprot Pelangi.
Dalam diamnya, Mendung paham, kejadian layaknya kini, memang akan terjadi. Akan ada masa di mana anak yang menangani masalah orang tua. Akan ada masanya anaklah yang mendidik orang tua, dan Pelangi sedang melakukannya.
Jika kalian bertanya di mana kini Andika berada, sebenarnya pria itu sudah dibawa oleh Yanti. Bisa jadi, keduanya sudah tinggal bersama bahkan melakukan hal-hal yang membuat Mendung dan Pelangi makin sakit hati.
***
Sekitar magrib menjelang petang, di hari itu juga, suara Andika yang lantang, menyertai gedoran kuat di pintu.
Pintu yang sebelumnya patah jadi dua setelah Pelangi hantamkan ke kepala Yanti, memang sudah diganti. Pelangi menggunakan uang tabungannya untuk membeli, kemudian meminta bantuan tetangga untuk memasangnya.
Acara makan bareng yang akan Mendung dan sang putri lakukan, jadi tertunda.
“Biar aku yang urus, Nda.” Pelangi buru-buru menaruh panci kecil berisi sup bening, juga satu cobek berisi sambal terasi dan ikan asin goreng.
“Ngie, ... biar Bunda saja.” Entah mengapa, firasat Mendung mendadak tidak enak. Dadanya bergemuruh, sementara jantungnya pun berdetak sangat cepat, seolah nyaris copot.
“Kenapa ... kenapa ... kenapa?” Dalam hatinya, Mendung sungguh ketakutan. Terlebih dari nada bicara Andika yang sampai berteriak, serta cara pria itu menggedor pintu.
“Bragggggg!” Baru saja, itu merupakan dobrokan layaknya menggunakan telapak kaki dan sangat kuat.
“Enggak apa-apa, Nda. Biar aku saja. Bunda duduk saja.” Pelangi tetap memimpin langkah, meski Mendung sang bunda terus menyusul.
Jujur, cara sang ayah bersikap kali ini, diam-diam membuat Pelangi ketakutan. Ketakutan yang teramat besar dan mampu mengalahkan rasa kecewa maupun jijiknya kepada sang ayah.
Beberapa saat kemudian, Pelangi sudah berhasil membuka pintu, sementara Mendung yang belum begitu lancar jalan tetap tertinggal.
“Plllaaaaakkk!” Tamparan panas tangan kanan Andika, mendarat di pipi kiri Pelangi.
Tubuh Pelangi sempoyongan dan wajahnya menunduk ke kanan mengikuti tamparan sang ayah.
Darah Mendung seolah dididihkan detik itu juga. Mendung histeris menyuruh Andika pergi. Lain dengan Yanti yang ada di sebelah Andika dan tersenyum puas kepada Mendung.
“Dasar anak setan! Dari kecil dididik, begini kelakuanmu? Mati, kamu mati! Berani-beraninya kamu melukai Yanti!” teriak Andika yang tak segan menjambak Pelangi, kemudian membenturkan kepala putrinya itu ke pintu baru di belakangnya.
Mendung sudah berulang kali menghentikan ulah Andika, tetapi selain Andika mendorongnya, Mendung yang langsung mental juga diamuk Yanti secara brutal. Mendung dijambak-jambak dan kepalanya dibentur-benturkan ke lantai.
“Bunda ... Bunda tolong ... cukup, Ayah ... cukup jangan sakiti Bunda lagi!” Tangis kesakitan Pelangi yang terus berlangsung kemudian digantikan dengan teriak minta tolong, membuat tetangga berdatangan.
“Jangan ikut campur! Ini urusan keluarga kami! Pergi!” Itulah yang terus Andika teriakkan kepada tetangga. Namun, tetangga tetap memisahkan.
Andika dan Yanti diamankan. Begitu juga kedua pengawal cungkring yanti yang kemayu.
“Bunda ... Bunda, Bunda tolong katakan sesuatu!” Pelangi yang keningnya benjol berwarna ungu, menangisi keadaan bundanya. Mendung yang masih lemah, nyaris kembali sekarat setelah sampai diamuk Yanti yang bertubuh gembrot.
Pak RT dan RW juga berdatangan. Niatnya, mereka akan menyidang ulah Andika dan Yanti. Mereka tetap menuntut keadilan untuk Mendung dan Pelangi. Namun, kehadiran mobil polisi, mengubah segalanya.
Mula-mula, semuanya berpikir bahwa rombongan polisi dan jumlahnya ada lima orang itu akan mengamakan Andika dan Yanti. Namun ternyata, rombongan polisi tersebut justru dipanggil oleh Yanti dan Andika, untuk menangkap Pelangi. Karena Yanti atas dukungan Andika, telah melaporkan Pelangi ke polisi.
“Bunda ... Bunda aku takut, Bunda. Bunda ....” Pelangi kacau. Ia amat sangat ketakutan karena kedua tangannya benar-benar diborgol dan ia dipaksa masuk mobil polisi.
“Jangan sentuh putriku! Yanti, kamu boleh ambil siamiku, tapi jangan pernah menyentuh apalagi melukai anakku!!!” Mendung histeris. Rasa sakit yang membuat kepalanya seolah pecah, tak ia hiraukan. Sungguh, ia tidak terma jika putri semata wayangnya sampai dipenjarakan oleh pelakor sekaligus suaminya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!